21/12/2014

Belajar Jalan

"Bbiiih.. Bbiii..." Ujar Zahdan kecil, ketika mendengar suara motor mendekat, masuk ke garasi. Tahu betul jika yang datang adalah aku. Maka tak heran ketika melihatku mengucap salam dan membuka pintu, Zahdan kecil langsung tersenyum lebar, kembali memanggil-manggil "Bbii.. Bbiiii.." panggilnya. Aku pun tersenyum, dan berjongkok hendak membuka sepatu terlebih dahulu. Namun, kalah cepat dengan zahdan. Ia seketika saja sudah berada disampingku menarik-narik lengan bajuku, minta digendong.
Zahdan kecil memang belum mau jalan sendiri. Padahal usianya sudah 1 tahun 8 bulan. Ziya saja dulu bisa jalan sendiri di usia 1 tahun 6 bulan. Entahlah, tampaknya zahdan belum percaya diri untuk berjalan sendiri, Ia selalu saja mencari pegangan terdekat untuk menyeimbangkan badannya. Jika tidak, Ia memegang tanganku, lalu berkata "Nnaah.. Naa.." ujarnya sembari menunjuk ke arah pintu. Maksudnya minta dituntun untuk berjalan kesana, ke arah pintu, lalu keluar rumah. Seperti yang terjadi sekarang ini. Padahal, sebenarnya zahdan sudah bisa bangkit sendiri, lalu berjalan beberapa langkah. Namun jika ia merasa jaraknya terlalu jauh untuk kembali menemukan pegangan, zahdan memilih untuk merangkak saja. "biar lebih cepat" mungkin itu fikirnya. Karena terbukti dengan merangkak, zahdan bisa sampai di tempat yang dituju hanya dalam hitungan detik. Sedetik ia berada di kamar, sedetik kemudian ia sudah berada di ruang tamu, beberapa detik selanjutnya ia tiba-tiba saja sudah berada di dapur. Membuat kami harus lebih esktra waspada dalam mengawasinya. Karena pernah beberapa kali ia kami dapati tengah berada di dapur, berpegangan pada tembok, lalu berdiri dan meraih knop kompor, berusaha memutarnya. Sepertinya ia meniru apa yang kami lakukan saat menyalakan kompor.
"Bbii..." ujar zahdan kembali, menegaskan keinginannya untuk digendong. Urung membuka sepatu, aku menggendong zahdan sembari berdiri. "kenapa.. zahdan kangen sama abi ya.." celotehku. Yang ditanya tersenyum kembali, lalu seketika saja memegang telingaku, dan mencengkramnya kuat-kuat. Aku meringis menahan sakit. Melihat ekspresiku, zahdan tertawa senang, lalu kembali mencengkeramnya, kali ini ditambah dengan menarik-nariknya sembarang. Aku semakin meringis, membuat zahdan kian tertawa senang. Mengira aku tengah mengajaknya bercanda. "Aduuhh.. zahdan..sakiit.. abinya disayang atuh.." ujarku. Zahdan patuh, berhenti memegang telingaku, lalu membelai rambutku, tersenyum "yaah.. yaa.." (Sayang.. sayang) celotehnya. Sama seperti yang pernah kuajarkan untuk menyayangi ziya kakaknya, Umminya, dan semua saudaranya, termasuk ketika ada kucing yang tengah berjemur di depan rumah, Zahdan membelai kepala kucing dan berujar kata-kata yang sama, sembari tertawa-tawa tentunya. Tak sedikitpun ada rasa khawatir kucing tersebut akan berbalik dan mencakarnya.
"Tuu... tuu.." ujar zahdan tiba-tiba. Menarik tangannya dari rambutku, lalu menjulurkan kedua tangannya seolah tengah memegang sesuatu. "Ada apa nak..?" tanyaku. "Tuu.. tuu.." Ujarnya lagi, kali ini dengan alis mengernyit serius. "Ooh.. zahdan nangkep kutu ya? banyak ngga?" kataku, menangkap maksud kata-kata zahdan. Zahdan mengangguk, kemudian kedua tangannya ia kepalkan dengan bertenaga "Hsss..." ujarnya, lalu tersenyum senang. Seolah kutu nya sudah ia matikan. Meniru gerakan Umminya ketika menemukan kutu di kepala ziya. Aku tertawa melihatnya. "He.. hebat nak.. cari lagi.. cari lagi kutunya.." kataku, zahdan pun kembali mengulurkan tangannya ke atas kepalaku sembari berkata "Tuu..tuu". He..

Chat..

Ad : Rasa-rasanya, baru kemarin sore aku menyemir sepatu kerjamu.
Al : (senyum)
Ad : Ya, waktu itu jika sepatumu kurang mengkilap, kau akan menyuruhku mengulanginya lagi hingga benar-benar mengkilap. Sampai terkadang, aku mengerjakannya sembari menggerutu kesal.
Al : He..
Ad : Dan rasa-rasanya, baru semalam aku memijati pundakmu hingga kau tertidur lelap. Seringkali, aku berharap kau lekas tertidur, hingga aku bisa cepat-cepat berjinjit menjauh..kabur.. jika tidak..kau akan segera memanggilku kembali..
Al : Hehe..
Ad : Kau pasti kecewa padaku..
Ad : Padahal masih kuingat betul, ketika kau kau menggendongku dipunggungmu. Membawaku bermain di tempat kerjamu.. Membuatkanku kamar dan lemari belajar sendiri.. Dan membelaku ketika lembar jawaban ulanganku disalahkan oleh guru di sekolah.
Al : (diam)
Ad : Rasa-rasanya, baru tadi pagi kau mengusap kepalaku, dan berbisik tulus ditelingaku "sabar ya nak..", ketika aku terbaring menahan sakit di ruang UGD Rumah Sakit setelah kecelakaan motor.
Al : (masih diam)
Ad : Dan..rasanya baru tadi maghrib.. Aku bersimpuh di hadapan jasadmu, terbungkus kafan putih. Aku tersedu.. merasakan kesedihan dan penyesalan, Kenapa kau tak bersedia menunggu. Menungguku hingga bisa menyenangkanmu. Menungguku hingga bisa membuat bangga dirimu.. Menunggu hingga kau bisa berkata bangga pada para tetangga.."itu anakku..". Sebangga ketika dulu kau menunjukkan angka-angka didalam rapotku pada mereka. Tampak jelas kau begitu senang berkata "ini rapot anakku.."
Al : (masih terdiam)
Ad : Mungkin itulah satu-satunya kejadian dimana aku bisa menyenangkanmu. Kenapa kau tak beri waktu untukku melakukannya lagi?
Al : .... (senyum) sudahlah.. Eh, gimana kabar anak-anak? sehat ?
Ad : Huft.. Alhamdulillah sehat. Kau memang bukan pembicara yang baik. Setiap kali membuka obrolan, kau selalu saja bertanya kabar anak-anak. Tak pernah yang lain.
Al : haha... dan itu menurun padamu bukan?
Ad : He.. iya..
Ad : Alhamdulillah..kini aku bisa menyicil rumah dan kendaraan.. Kau tak harus lagi murung seperti ketika dulu kau mendengar kabar aku diusir dari kostanku. Kaupun harusnya menjadi orang pertama bersama ibu, yang kuajak jalan-jalan ke tempat manapun yang kau ingin kunjungi.
Al ; iya.
Ad : Apa kau bangga padaku ? ayah..
Al : .... Nak, tentu saja.. ayah tentu bangga. Tapi ayah akan lebih bangga lagi, ketika kau mendo'akan ayah di setiap akhir shalatmu. Hingga ruang yang ayah tempati sekarang menjadi benderang karena do'amu. Dan ayah berkata pada para malaikat penjaga, serta amal yang turut serta, "itu anakku.. do'anya lah yang telah meluaskan dan menerangi tempat ini.." (senyum).
Ad : iya.. Insya Allah.. Insya Allah selalu kudo'akan..
Ad : Semoga dengan ini kau tahu, bahwa aku sungguh rindu ingin bertemu..

13/10/2014

Lomba mewarnai.. (lagi)

Ziya ikutan lomba mewarnai (lagi..). Entah sudah yang ke berapa kalinya Ziya ikut acara-acara seperti ini. Tapi setiap ada Lomba, Ziya bersikeras buat daftar. Kali ini meski Ia tengah terkena cacar dan badannya dipenuhi bintik-bintik merah, Ziya tetap saja serius saat menggoreskan crayonnya di atas kertas. Semangatnya bertambah ketika melihat piala-piala yang berjejer disamping panggung. Tak mengerti bahwa piala-piala itu bukan hanya untuk lomba mewarnai saja, akan tetapi piala untuk lomba matematik, science dan aritmatika pun dipajang disana. Singkat cerita, ziya selesai mewarnai, hasilnya lumayan bagus. Setidaknya itu yang terlihat olehku dari kejauhan. Jeda waktu untuk menunggu pengumuman pemenangpun, ziya enggan pergi. Ia "keukeuh" pengen nunggu hasilnya disana. Setelah dibertahu bahwa pengumumannya masih setengah jam lagi, barulah ziya bersedia diajak keluar, mencari sesuatu untuk mengisi perut. Singkat cerita, hasilnya pun dibacakan. Ziya duduk dengan manisnya didepan panggung bersama anak-anak lainnya. Dan...tak ada nama ziya disana. Hingga piala terakhir dibagikan pun, tak ada nama ziya dibacakan panitia. Ziya tampak menahan tangis. Matanya berkaca-kaca. Ingat pada janji sebelumnya, jika nanti ga menang, ga boleh nangis. Tampaknya ia berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.. Hmph.. "ga apa-apa nak, nanti kita coba lagi..." ujarku sembari mengusap air matanya yang akhirnya meleleh juga.

Berhenti..

Berhenti.. Tolong.. Berhentilah..
Bisikku pada sang waktu.
Berharap ia berhenti melaju.
Menahan detaknya tanpa terburu.
Lalu memberi beku,pada setitik temu.

Berhenti.. Tolong berhenti.
Diri memelas putaran bumi.
Beriirama henti tuk bait puisi.
Beri isyarat jeda tuk baris cerita.
Beri ruangudara dua jiwa tuk bersua.
Pada mimpi di ujung hati..
yg sempurna tertutup dantersembunyi.

Sayangnya..
Dentingan waktu selalu saja berlalu.
Acuh satukanmasa, yang terpilah sekian lama.
Dan acuh pula pisahkan ia, yang baru bersuasekejap mata.
Tak peduli betapa hati yang mencari, masih teramat merindui.
Takpeduli betapa langkah menjauhi, masih terlampau berat dijalani kaki.

Masa Lalu

Masa lalu itu ambigu. Betapa tidak, hari kemarin saja adalah masa lalu bagi hari ini. Dan hari ini, adalah masa lalu bagi hari esok. Begitupun esok, esoknya lagi.. esoknya lagi.. dan esoknya lagi.
Lantas, dimana sebenarnya masa lalu itu? Kenapa ia seringkali diibaratkan dengan sesuatu yang tertinggal jauh di belakang. Sesuatu yang hanya tertinggal dalam ingatan. Sesuatu yang tak pernah bisa kembali diulang. Sesuatu yang selalu kita sesalkan, namun sesuatu yang selalu kita rindukan..

Masa lalu itu ambigu. Betapa tidak, Ia yang dulu itu adalah masa lalu kita yang sekarang. Dan kita yang dulu, mungkin adalah masa lalu Ia yang sekarang. Begitupun kita yang sekarang, bahkan kita di masa depan, bisa jadi selalu merupakan masa lalu bagi sebagian insan.
Lantas, dimana sebenarnya masa lalu itu? Kenapa Ia yang wujudnya jauh tak terperlihatkan, namun bayangnya masih berada dalam pandangan. Mengapa Ia yang kita tinggalkan jauh dibelakang, namun datangnya malah teramat kita rindukan.

Membingungkan..
Seperti kaki yang berhenti berlari. Tapi jalanan tetap saja terlewati.
Layaknya sayap yang berhenti mengepak. Tapi daratan masih saja tak terhinggapi.

Hmph...
Masa lalu... selalu saja ambigu..
Hingga kita berulangkali bertanya. Berada di masa apa kita sebenarnya..

Purnama Kelima

Purnama kelima, Sedap malamku berbunga..

Kawan, Malam tak selalu berhias purnama.
Ciptakan bintang-bintang yang kesepian sepanjang ia terjaga.
Kau sadari ataupun tidak kau mengerti.
Purnama selalu dinanti, apapun yang terjadi.

Hari berganti hari, malam pun datang silih berganti.
Purnama tiba berulang kali, ramaikan malam di masa yang tak terkembalikan.
Setiap ia tiba, sedap malamku berbunga, indah tiada bisa terkata.
Setiap ia berlalu, sedap malamku kembali tergagu, habiskan hari dengan cerita semu.

Andai bisa kuubah dunia,
Purnama yang sempurna, hanya dicipta tuk sedap malamku saja.
Biarkan saja bintang di kanan kiri tak henti-henti mencaci.
Mencaci purnama dengan senyumnya,
Megejek sedap malamku dengan putihnya.

Andai saja..
ya, andai saja..

Namun ternyata,
Purnama kan lebih sempurna, jika ia berada diatas sana.
Melayang di langit malam, dihias kerlipnya jutaan bintang.
Purnama kan lebih bermakna, jika ia membagi terangnya ke seluruh penjuru dunia.
Hingga bukan hanya sedap malamku saja yang berbunga.
Akan tetapi melati dan mawar jingga,
pun turut indah berbunga karena purnama.

Duhai..
Purnama yang bahagia di langit sana.
Curahkan cahya sucimu tuk penghuni dunia.
Biaskan sinar putihmu tuk makhluk di alam fana.
Hingga kelak semua kami kan bersaksi.
Kau purnama sempurna yang layak menghiasi surgawi.

Kesedihan Abadi

Kesedihan abadi..
Kokoh tertancap di relung hati.
Semakin berusaha tuk kita obati.
Semakin jeri sakitnya kita rasai.
Tak ada yang bisa kita lakukan.
Tak mampu Ia kita hilangkan.
Melupakan..
Hanya membuat luka bertambah dalam.
Menghentikan..
Hanya membuat darah mengalir tak terelakkan.

Kesedihan abadi..
muncul tatkala bidadari turun ke pelataran bumi.
Memberi senyuman yang sempurna menyejukkan.
Lalu menghilang bak embun menjelang siang.
Sisakan segenggam bayangan dalam ingatan.
Sisakan sejumput rindu dalam kenangan.
Dan sisakan sedih yang tak terungkapkan..

30/08/2014

Surat untuk abi

Jam 08:00 pagi, rumah terlihat sepi. Ziya pasti sudah diantar Umminya sejak satu jam yang lalu. Sejak masuk ke SD, ziya memang harus pergi lebih awal. Tidak seperti waktu di TK dulu, ia kerap menungguiku pulang untuk mengantarnya. Tak ada aturan harus datang tepat waktu di TK. Meski begitu, ziya tampaknya bersemangat sekolah di tempat yang baru. Tak ada lagi istilah mogok sekolah seperti dulu. Padahal di SD jam belajarnya lebih lama, pelajaranpun lebih banyak, kadang aku merasa kasihan juga melihatnya membawa tas besar dipunggung yang berisi buku-buku lumayan berat. Akan tetapi rasa kasihan itu menghilang ketika pulang sekolah ziya bercerita banyak tentang asyiknya bersekolah, tentang teman-temannya, tentang jajanannya, semua ia ceritakan dengan penuh semangat. Kemarin saja ia bercerita "abi, ziya disuruh sikat gigi pake pep**dent sama bu guru, padahal ziya mah ga mau, pepsodent nya mau dikasiin ke orang lain aja" ujarnya. "memang ziya ga tanya sama bu guru, boleh pake yang lain ga pasta giginya?" tanyaku. Ziya menggeleng acuh, "ga tau, da kata bu guru pake pep**dent" jawabnya. Aku baru mengerti ketika membuka tas ziya, disitu terdapat sikat gigi dan pasta gigi merk pep**dent, sepertinya dibagi gratis dari sekolah. "Ooh.. ini mah dikasih nak, ga apa2, kita kan ga beli" kataku. Sepertinya ziya masih ingat ceritaku minggu kemarin tentang palestin yang dijahati israel, tentang produk2 yang ternyata buatan israel, serta untuk memboikot produk-produk tersebut. Ziya menggeleng lagi "ngga ah, ziya mah mau pep**dent nya mau dikasih ke orang lain aja" tegasnya. Aku mengalah, lalu mengangguk mengiyakan. Dalam hati ada rasa bangga atas sikap ziya tersebut.
Jam 08:02, aku baru menyadari bahwa ada yang berbeda dari keadaan di rumah. Tampak sebuah kertas menempel di pintu kamarku. Didalamnya terlihat gambar ziya, berikut tulisan-tulisannya. Aku mencoba memahami maksud gambarnya, membaca tulisannya, lalu tersenyum.. Ziya..ziya.. ada-ada saja anakku ini..

02/08/2014

Muzahdan

Bagi yang belum kenal, mari saya perkenalkan.. Namanya Muhammad Muzahdan Mumtazan Azmi. Biasa disingkat dengan nama panggilannya, Zahdan. Nama ini kerap membuat lidah (suku sunda khususnya), menemui kesulitan melafalkannya. Seringkali orang menyebutnya "dadan", "jasdan", atau "jahdan". Tak berbeda ketika menyebut zebra dengan "jebra", zorro menjadi "jorro", dan maziya dengan "majiya".
Zahdan lahir pada tanggal 8 april tahun 2013 lalu. Dengan proses kelahiran yang Alhamdulillah diberi kelancaran, dan kesehatan bagi sang bayi berikut ibunya. Zahdan adalah anak kedua kami, artinya ia adalah adik dari maziya (kini lebih senang dengan sebutan kaka ziya).
Banyak yang berkomentar, zahdan itu berbeda dengan ziya. Mungkin bisa dikatakan kebalikan ziya adalah zahdan, dan kebalikan zahdan adalah ziya. Hal ini karena sikap zahdan yang selalu ramah dan tersenyum. Baik itu pada keluarga, saudara, tetangga, orang yang baru dikenalnya, bahkan pada kucing yang lewat pun zahdan selalu memberi senyuman. Membuat orang begitu greget melihatnya, dan tentunya menimbulkan rasa penasaran untuk membuatnya tersenyum kembali. Kata umminya sih, zahdan itu suka TP (tebar pesona), he.. Sepertinya zahdan memiliki karakter ekstrovert yang dominan, berbeda dengan ziya yang introvert, yang enggan untuk tersenyum, bahkan seringkali marah ketika disapa.
Kedua, zahdan memiliki ketahanan fisik yang hebat. Meski ia seringkali dibawa kesana kemari, dititipkan pada sang bibi, dan diboncengi motor berulang kali, zahdan Alhamdulillah sehat luar biasa. Entah mungkin karena ia adalah anak laki-laki. Atau mungkin juga pengaruh dari pola makannya yang kuat. Semangka, pisang, ubi, semua ia lahap dengan semangat. Bahkan rasanya, tak ada makanan yang tidak ia suka. Membuat acara menyuapinya menjadi momen yang begitu "melelahkan". He.. Karenanya, aku sering menjulukinya dengan sebutan super zahdan, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi seolah tengah terbang di angkasa. Yang diangkat malah tertawa-tawa senang sembari menggerakan tangannya.
Kaka ziya sempat cemburu dengan kehadiran zahdan. Betapa tidak, zahdan selalu menyita perhatian kami. Berguling-guling di kasur hingga jatuh dari tempat tidur, menggigiti buku dan kabel, sampai acara pipis dan pup nya. Sementara ziya lebih sering bermain sendiri, sekedar mendandani boneka-bonekanya, atau menggambari kertas kosong dan mewarnai bukunya..sendiri.
Terkadang ketika diminta untuk menemani zahdan, ziya mengajak main dengan caranya sendiri. "zahdaaan... lagi aapaa..?" itulah kata sapaan favorit ziya untuk zahdan. Dan zahdan akan menjawabnya dengan senyuman berikut celotehannya yang belum jelas. Ziyapun seringkali melompat-lompat di atas kasur, membuat super zahdan tertawa-tawa sambil sesekali berteriak girang.
Bagaimanapun tersitanya perhatian kami, bagaimanapun tersainginya ziya sekarang ini, ziya tetap menyayangi zahdan sepenuh hati. Ketika zahdan menangis karena terantuk sesuatu, ziya sering berkata dengan mata yang berkaca, "ummi mah da, kasian kan de zahdan nya jadi nangis.., jagain atuh.." ujarnya. Begitupula ketika kami memintanya untuk mengambilkan popok dan celana zahdan saat ia ngompol. Zia akan segera melangkahkan kaki kecilnya itu ke lemari pakaian zahdan.
Usia 1 tahun, Zahdan kian menggemaskan. Lima buah gigi kecil yang berderet berbariskan, membuatnya semakin bersemangat menggigiti kue dan makanan. Keripik kentang yang biasanya kuhabiskan sendirian, kali ini menjadi bahan rebutan dengan zahdan.
Di bulan puasa, makanan tajil jatah ziya kerap terbagi dua dengan adiknya. Ziya tampaknya tak keberatan membaginya. Tanda bahwa ia pun sayang kepadanya. Satu hal yang ia tak suka, hanya mainan laba-laba karet milik zahdan. Ziya selalu bergidik dan berlari sembunyi di kamar saat melihatnya. Sedangkan zahdan, acuh saja sembari mengigiti laba-laba tersebut. "Bah.. bah.." itu katanya.

01/06/2014

Buku Ziya

Seperti biasa, ziya terlihat tengah berkutat sendiri diruang tengah dengan kertas dan crayonnya. Zahdan adiknya sudah tidur di kamar sejak beberapa menit yang lalu. Menyisakan suasana sepi rumah ini. Hanya senandung ziya yang terdengar mengalun pelan. Sepertinya ia tengah mengerjakan sesuatu yang ia sukai, sampai-sampai bisa sambil bersenandung segala. Lain halnya jika tengah mengerjakan PR, jangankan bersenandung, ia malah menguap berkali-kali, 'zia kan cape'..itu kilahnya.
Tiba-tiba, ziya berdiri. Sepertinya sesuatu yang ia kerjakan itu sudah selesai. Ziya berbalik, melihatku sembari tersenyum lebar,menyembunyikan kertas hasil kerjanya dibelakang punggungnya. 'abi lihat geura, buku bikinan ziya..'ujarnya, menghampiriku yang masih berbaring di dalam kamar. 'oya, mana?' jawabku singkat. Ziya lalu menjulurkan kedua tangannya, menunjukkan 3 lembar kertas yang dilipat tak sempurna menyerupai buku tipis. Pada cover depannya bergambar princess dengan latar hijau, dan tanda hati di pojok kirinya. Aku mulai membaca, begini tulisannya “ziya menagis kenapa ziya menagis katAte itu Abiya sakit <Oooo> Dkirainloba sekolah ziya ia tapi…Ado buga ya… ia ketika ya sebaikya kita kelilig kota ketika makan malam ini kitahuahua minumya tida sabar”. Butuh waktu untuk memahami maksud tulisan sebenanrnya. Dan setiap tulisannya, dibarengi dengan gambar dihalaman berikutnya. Ada gambar ziya dan Ateu (saudara ziya). Juga ada gambar princess belle dan Cinderella.
Aku tersenyum membacanya. “bagus nak.. ziya pengen jadi penulis buku?” tanyaku. Ziya mengangguk. Beberapa detik kemudian ia sudah berlalu ke kamarnya, mengambil kerudung umminya dari lemari, lalu memakainya menjadi gaun. “Abi lihat, baju ziya bagus” celotehnya. “iya” jawabku pendek. Sejurus kemudian ziya kecil sudah berada diatas kasur, memijiti kakiku. “abi enakeun dipijit ziya?” tanyanya. “iya nak..”jawabku sembari menahan senyum. Anak ini sudah bertingkah layaknya orang dewasa saja.. Dan, 5 detik kemudian ziya sudah berlalu lagi. Keluar kamar sembari membawa kertas kosong dari lemariku. Ck..ck..ck.. 
Seminggu kemudian, ziya membuat "buku" lagi, yang ia beri judul Keajaiban Menerima. Dengan tokoh didalamnya tertulis jelas "princess alisah". ^_^

Ukhti..

Ironi.. Di negeri seberang sana, muslimah mati-matian mempertahankan kerudungnya. Mati dalam arti yang sebenarnya.. Mereka lebih takut tersingkap auratnya, ketimbang peluru panas yang melubangi kepalanya. Sementara disini.. Dengan dalih emansipasi dan hak asasi, kerudung seolah hanya tren di bulan suci. Selebihnya menjadi seragam pegawai negeri, pun seragam sekolah putri.

Apa yang sebenarnya terjadi?
Kerudung merupakan identitas muslimah bukan? Yang jika ditanggalkan, antara muslim dan bukan tak akan bisa dibedakan.
Kerudung itu identitas muslimah bukan? Yang jika kau lepaskan, sungguh keislamanmu tengah dipertaruhkan?

Ukhti.. Kalian begitu dimulyakan oleh Sang Nabi. Do'amu lebih tinggi berkali-kali dibanding kami. Kedudukanmu menjadi prioritas dimata kami. Namun apa yang kau lakui? Berboncengan tanpa hijab dengan lelaki. Berpegangan tangan dengan yang bukan suami. Berkhalwat dan berdua-duaan di tempat sepi. Hingga aborsi tanpa sedikitpun kau merasa peduli, bahwa ia darah dagingmu sendiri.. Ia anak kandungmu sendiri..  kau yang mengandungi, kau pula yang membunuhi.. Prilaku hewan mana yang kau tirui? ..

Ukhti.. apa yang kan kau katakan? Tatkala kau tengah berpacaran, didatangi oleh Sang Nabi Junjungan. Beliau mengajukan pertanyaan, “kalian ummatku bukan?” Jawaban apa yg kan kau berikan???. Padahal meski diujung kematian, Beliau masih memikirkan kalian.. “Ummati..ummati..” tapi kau seolah tak pernah peduli.
Ukhti.. apa yang kan kau katakan? Ketika kau tengah berdua-duaan, Izrail datang atas perintah Tuhan. Dicabut nyawamu dengan penuh kekasaran. Diadili perbuatanmu yang penuh kemaksiatan. Diseret tubuhmu ke dasar neraka jahanam. Apa yang akan kau katakan?

Ukhti.. Di telapak kakimu ada surga. Namun kau membiarkan auratmu terbuka. Menjadi konsumsi publik demi ketenaran semata. Dan kau merasa bangga karenanya?
Ukhti.. Di telapak kakimu ada surga. Kepalamu ditutupi kerudung dengan sempurna. Namun kau melegalkan pacaran yang jelas-jelas mendekati zina. Fitrah..itu katamu. Cinta..itu ujarmu. Omongkosong..itu kataku!

Maaf ukhti.. Kutulis ini bukan dengan emosi. Namun dengan tangis yang mendera hati. Jika teladan yang kau beri di generasimu adalah seperti ini. Bagaimana dengan anakmu nanti? Bagaimanadengan generasi anak perempuanku nanti? Tak ingin rasanya, ia yang semula bercita-cita menjadi bidadari surga. Tiba-tiba bertanya, “abi..aborsi itu artinya apa?”, “Prostitusi itu apa maksudnya?”, “Kenapa wajah teteh sama aa di tv itu diburamkan gambarnya?”

Tolong ukhti.. Aku memohon dengan segenap hati.. Hentikan semua ini.. Hentikan semua ini..

Pegangan Tangan

Suatu hari,rumah kami kedatangan seorang teman. Ia membawa serta istri beserta anak laki-lakinya. Usia anaknya tersebut kurang lebih terpaut dua tahun dibawah ziya. Sikapnya yang masih malu-malu, membuat kami para orang tua dengan spontan meminta ziya mengajak main anak laki-laki tersebut. Ziya tak begitu merespon.
Aku berkata 'ziya, boleh ga mainannya dipinjemin sama aai?' tanyaku. Ziya mengangguk, 'yang untuk anak laki-laki ya' ujarnya. Aku tentu saja mengiyakan. Zahdan adiknya saja ketika penasaran dengan mainan boneka ziya, langsung ziya ambil tanpa kompromi, 'zahdan.. itu mainan anak perempuan!! ni zahdan main ini aja..' ujar ziya sembari mengambilkan robot buzz lightyear. Robot yang sama yang diberikan pada anak laki-laki yang berkunjung ke rumah kami.
Awalnya sih ia menolak, namun akhirnya.. tertarik juga, tentu saja setelah tombol robot buzz ditekan hingga lampunya menyala, dan terdengar pula suara robot khas buzz. Anak laki-laki selalu suka hal tersebut, menganggap itu sesuatu yang 'keren'. Berbeda dengan anak perempuan. Mereka mungkin berfikir 'apa kerennya buzz, cantik juga ngga, didandanin juga ga bisa, mana ga ada rambutnya..'.
Tak lama, mereka bermain sendiri-sendiri. Ziya dengan bonekanya, dan anak tersebut dengan robotnya. Kami para orangtuapun bisa dengan tenang dan  leluasa berbincang tentang urusan kami.
Singkat cerita, para tamu hendak berpamitan. Aku memanggil ziya 'ziya, salim dulu nak..' kataku. Ziya meninggalkan bonekanya di atas karpet, lalu beranjak mendekati para tamu yang tersenyum menjulurkan tangan kanannya. Ziyapun salim, seperti yang kerap diajarkan di sekolahnya. 'meni pinter.. Ini aa juga salim atuh sama teteh ziya' ujar tamu tersebut, membimbing anaknya mendekat ke arah ziya.Tanpa dikomando, ziya tiba-tiba saja menarik lengannya, lalu menggeleng. 'lho, ziya itu aa nya mau salim' ujarku. Ziya menyembunyikan tangannya ke belakang punggung, sambil tetap menggeleng. 'oo, ga mau katanya a, ga apa2 ya..' kataku pada anak tersebut. Kami berfikir, mungkin ziya masih terlalu pemalu untuk berinteraksi dengan seorang anak sebayanya yang baru ia kenal. Semua memakluminya. Para tamupun akhirnya pulang. Dan ziya kembali bermain dengan bonekanya.
Setelah beberapa lama, aku mendekati ziya. 'ziya, ma kasih ya, tadi udah jadi anak hebat, mau pinjemin mainan ke aa yang tadi'' kataku. Ziya mengangguk sambil tersenyum. Aku berkata lagi 'eh, ziya..tadi waktu aa nya mo salim, ko ziya ngga mau?' tanyaku. Ziya lalu menjawab tanpa menoleh dari bonekanya, 'abi, aa itu kan anak laki-laki, ga boleh pegangan tangan sama permpuan. Nanti bisi dimarahin princess fatimah' jawabnya polos. Sepertinya, ia masih ingat dengan cerita tentang para princess dan princess fatimah. Cerita dimana para princess didatangi oleh princess fatimah dari langit. Di cerita itu princess fatimah adalah bidadari, ia menegur para princess karena tidak memakai kerudung, dan suka berpegangan tangan dengan pangeran yang bukan muhrimnya. Lebih lanjut para princess diingatkan, betapa kaum perempuan begitu dimulyakan dalam Islam. Bak seorang ratu kerajaan, tak semua orang bisa mendekat dan bersalaman. Itulah kedudukan tinggi yang ia dapati. Jika ia menjaga kehormatannya ini, menjadi bidadari adalah hal yang pasti. 
Ziya kecil sudah mengerti, untuk bisa menjadi bidadari di surga nanti, ia harus berusaha meneladani bidadari idolanya, princess fatimah, putri dari baginda Rasul Muhammad SAW. “Insya Allah nak..

Pernikahan

Pernikahan..  tak sempurna hadirkan kebahagiaan.
Saat akad dilantunkan, saat cincin disematkan,
saat sahnya ijab kabul disaksikan para undangan..
Beberapa kursi pun menjadi saksi,
bahwa tamu yang menduduki, tiada tulus dalam berseri.
Disaat yg lain bertepuk tangan, hatinya menangis memilukan.
Disaat yang lain berfoto bersama, hatinya berulang melempar tanya.
Mengapa? Mengapa bukan aku yang berdiri disana?
Menyematkan cincin di jari manisnya?
Lalu menghabiskan seumur hidupku hanya untuk bahagiakannya.
Mengapa? Bukankah kupernah berjanji.. kan tetap setia sampai mati..
Mengapa jodoh slalu saja menjadi misteri?
Tak bisakah manusia menentukannya sendiri?

Ah.. Mungkin saja..
Akulah yang tak berhak bersanding dengannya.
Akulah yang tak pantas menjadi qowamnya.
Maafkan aku. yang terlalu lancang menjadi pacarmu.
Namun terlalu pengecut tuk menjadi suamimu.
Terlalu lancang menggandeng mesra erat tanganmu.
Namun terlalu pengecut tuk mesra mengimami shalatmu.
Hingga pesan-pesan roman yang dikirimkan.
Ternyata mengganggu waktu ibadahmu kepada Tuhan.
Kata-kata puitis yg diberikan.
Ternyata menyita khusyumu di pengajian.
Tak heran,
jika kini Tuhan memurkai.
Duhai.. Maafkan diri. Yang telah tega mengotori hati.
Benar kata orang pada para pemuda.
Mundur layaknya pria, atau menikah secara ksatria.

14/05/2014

Apa yang kau kejar..

Satu hari kembali menghampiri.
Setelah hari yang lalu telah menjauhi.
Duniapun ditapaki lagi.
Habiskan jatah usia hingga disudahi nanti.

Mentari kian meninggi, bermacam kesibukan pun diawali.
Demi sesuatu bernama materi.
Demi sebuah jabatan dan posisi yang tinggi.
Pun demi mendapati diri disanjung nan dipuji.

Apa yang sebenarnya kaukejar kawan?
Harta dan kesenangan dunia ibarat lautan.
Semakin kau telan, semakin haus kau rasakan.
Angkuh kau sematkan, sepi teramat yang berdatangan.

Apa yang kau kejar kawan?
Mahalnya baju berderetkan.
Hanya kafan yang kelak lama kau kenakan.
Rumah luas yang kau banggakan.
Hanya sepetak tanah saja yang menjadi hunian.

Lihat saja.. Orang-orang di sekeliling kita..
Satu persatu pergi ke alam sana.
Tinggalkan kita yang masih jua terlena.
Seolah kepergian mereka hanya canda belaka.

Apa lagi yang kan kau kejar kawan?
Sementara kakekmu.. Nenekmu.. Ayahmu..
Bahkan Rasulmu..
Tengah menanti perjumpaan denganmu.
Mereka rindu ingin bertemu.
Menantimu bercerita tentang ibadah yang tak pernah kaulewatkan.
Menunggumu bertutur tentang sunnah-sunnah yang kau jalankan.
Pun kisah tentang wakaf dan sedekah yang senantiasa kaukeluarkan.

Apa yang akan mereka katakan kawan?
Jika ceritamu nanti, adalah tentang dosa-dosa yang melulukau buati.
Jika kisahmu nanti, adalah perihal maksiat-maksiat yangselalu dan selalu kau lakoni.

Hmph..
Bukankah bagi seorang hamba, dunia adalah penjara?
Dan kampung akhirat itu tempat sebenar-benarnya?

Apa yang kan kau kejar, kawan?

01/05/2014

Asma Ziya

Suara mendengung mesin memenuhi seluruh penjuru ruangan. Memantul-mantul dari satu dinding putih, ke dinding-dinding putih lainnya di ruangan tersebut. Begitu terus, berulang-ulang.. Seorang anak kecil yang terbaring di tengah ruangan, berdiam tanpa kata sedikitpun. Pasrah membiarkan mesin itu bekerja. Pasrah pula membiarkan asap dari mesin itu masuk ke dalam saluran pernafasannya.
*****
Hari itu, beberapa menit usai kumandang adzan zhuhur, sebuah pesan masuk ke dalam handphone. Ternyata berasal dari guru ziya di sekolah. Ia menanyakan perihal alasan ziya tidak masuk sekolah, sekaligus memberitahukan bahwa besok seluruh siswa TK B akan mengikuti karnaval di alun-alun kota, memakai baju adat dan daerah, dalam rangka memperingati hari kartini. "Eh, maaf bun, lupa belum sempat minta izin. Baju daerahnya dari sekolah atau masing-masing?" tanyaku kala itu. "masing-masing, abi" balas sang Bunda.

Aku merenung sejenak. Ziya kecilku memang batal sekolah tadi pagi. Padahal ia telah memakai baju seragam lengkap. Namun zahdan adiknya yang masih panas sedari kemarin, menuntut perhatian ekstra. Kamipun sepakat untuk segera mencarikannya dokter. Alhasil, tak jadi sekolah membuat ziya senang bukan main, meski ia terlihat berusaha menyembunyikan senyumnya, dan beranjak semalas mungkin untuk berganti baju seragam, namun setelah berada di kamar, ia meloncat-loncat di kasur sembari tertawa-tawa. "Asiik.." pasti kata itu yang ada didalam benaknya.

Tambahan informasi dari Bunda ziya, ternyata baju daerah untuk karnaval tidak disediakan di sekolah. Dan siswa tidak diwajibkan mengikuti acara tersebut, tidak masalah. Hmph.. Otakku langsung melamun, darimana bisa mendapat pinjaman baju daerah untuk ziya. Mungkin saja ada tetangga yang punya. Jika tidak, sepertinya ziya akan libur lagi besok. "Huft.." aku menghela nafas panjang, lalu melihat ke arah kamar ziya. Tampak ziya cepat-cepat berhenti melompat, menyadari aku sedang memperhatikannya. Ziya lantas kembali bergerak "malas", membuka lemari pakaiannya.
 
Singkat cerita, setelah bertanya pada tetangga kanan kiri, pedagang sayur dan pedagang bakso yang lewat di depan rumah, didapatlah alamat seorang kenalan yang diperkirakan memiliki baju daerah berukuran kecil untuk bisa ziya pinjam. "Ziya, kata bunda besok ada karnaval. Ziya mau ikutan?" tanyaku. Ziya yang saat itu tengah asyik menggambar, menatap ke arahku, sepertinya istilah karnavalpun baru ia dengar sekarang. Namun, ternyata bukan definisi karnaval yang ia tanyakan, melainkan "Kalo temen-temen ziya, ikut ngga?" ujarnya. "Mmm... kayaknya temen-temen sekolah ziya ikutan" jawabku. "Ziya juga ah, mau ikutan" jawabnya mantap. "bener?" tanyaku lagi. "Iya Abi" jawab ziya lagi. "Ya udah, Insya Allah nanti maghrib kita cari bajunya, soalnya kata bunda harus pake baju daerah. Ziya nanti cobain dulu bajunya, cukup ato ngga. Kalo cukup, kita pinjem buat karnaval besok" kataku. Ziya menjawabnya dengan sebuah anggukan tanda mengerti, lalu kembali tenggelam dengan kertas dan crayon dihadapannya.

Sorenya, ziya ikut mengantar zahdan ke dokter, ikut pula berlari-lari kecil, berusaha menghindari rintik hujan yang tengah turun.

Usai maghrib, aku membonceng ziya keluar area perumahan, berjalan memasuki gang, mencari tempat sesuai alamat yang diberitahukan. Saat itu hujan sudah reda, menyisakan genangan-genangan air di jalan setapak yang kami lalui. Penerangan jalan yang minim membuat kami berulang kali tak sengaja menginjak genangan air tersebut. Menyuntikkan rasa dingin yang menusuk di sela-sela sandal yang kami kenakan.

Singkatnya, didapatlah satu set baju kebaya berwarna merah. Yang mpunya meminta ziya mencobainya terlebih dahulu, akan tetapi ziya menolak. "malu" begitu bisiknya padaku. Betapapun aku berusaha membujuknya, ziya kecil tetap saja menggeleng. Alhasil setelah dicoba di rumah ternyata baju yang didapat berukuran sedikit lebih kecil dari ukuran badan ziya. Dan ziya harus menarik nafas terlebih dahulu agar kancing bajunya bisa tersematkan. Meski begitu, ziya tampaknya senang bukan kepalang, berlenggak lenggok di depan kaca lemari, mematut-matut diri, sambil tersenyum-senyum sendiri. "Abi, bajunya bagus ya.. Ziya jadi cantik" ujarnya. "Iyaaa.." jawabku singkat.

Karnaval pun dimulai, lapangan dipenuhi dengan anak-anak dari berbagai sekolah. Mereka memakai baju daerah yang bermacam-macam. Tak hanya baju daerah, baju seragam polisi, baju pesta, bahkan ada diantaranya yang memaki baju princess. Ramai sekali suasananya. Ditambah ramai lagi dengan banyaknya para pedagang mainan yang menjajakan dagangannya. Sungguh ramai sekali. Membuat Guru harus ekstra hati-hati mengawasi murid-muridnya, khawatir ada diantaranya yang hilang karena ditelan keramaian. Sebuah tali pun dibentangkan membentuk persegi panjang, anak-anak diwajibkan tidak keluar dari tali tersebut. Sebagian menurut patuh, sebagian lagi malah menganggapnya sebagai permainan tarik tali. Ck..ck..ck... He..

Matahari mulai meninggi, cuaca semakin panas. Sayangnya, area lapang tidak ditutupi dengan tenda besar. Sehingga guru dan orang tua beramai-ramai mengembangkan payung yang ia bawa. Lha yang bawa payung, yang ga bawa? Guru-guru sekolah ziya sudah mengantisipasinya dengan membawa sebuah kain besar, dibentangkan diatas kepala anak-anak, dengan setiap sisinya dipegangi oleh para guru. Brillian..

Acara pun dimulai, Setiap sekolah bergantian mulai berjalan ke arah jalan raya, melakukan pawai setertib mungkin. Polisi sibuk mengatur lalu lintas, menghentikan laju kendaraan saat anak-anak hendak memasuki jalanan. Beberapa sekolah mengawali pawainya dengan kelompok marching band. Membuat suasana semakin meriah saja.

Ziya kecil berjalan dengan tersendat. Wajahnya sudah lusuh diterpa panas, mulutnya yang sebelumnya tersenyum sumringah, kini cemberut disengat matahari. Sepertinya bukan arti "karnaval" seperti yang ia inginkan.

Separuh jalan, ziya mulai menangis kelelahan. Air matanya meleleh bercampur dengan keringat. Tak tersisa lagi ekspresi tersenyum saat bercermin di rumah semalam. Mendekati akhir perjalanan, ziya minta digendong. "Abii.. ziya capee..." ujarnya. Akupun lalu menggendongnya, lalu bergegas membawanya mendahului barisan anak-anak sekolah lain didepannya. "Bunda mah jalannya malah milih yang jauh, ziya kan jadi cape" keluh ziya ketika berada dalam gendongan. Aku tersenyum, "he.. iya nak. Jalannya jauh ya.. Ga apa-apa, biar ziya tambah kuat" aku berusaha menghiburnya. "Kita duluan aja sampe sana, nanti ziya ikut baris lagi sama temen-temen ziya yang lain ya.." kataku. Ziya mengangguk lemas.

Selesai acara, ziya ternyata kembali bersemangat. Ia menarik-narik tanganku ke arah pedagang buku mewarnai, lalu kembali menarik bajuku ke arah pedagang boneka barbie. Dan langsung menunjuk sebuah boneka berambut merah muda. "yang itu cantik ya abi.." bisiknya. "Iyaa..." jawabku, sembari berfikir, berapa sisa uang yang ada didalam sakuku saat itu.
***********

"Assalamu'alaikum" sapaku sepulang kerja. Ziya kecil berlari menyambutku, tangannya memegang sesuatu yang ia sembunyikan dibelakang punggungnya. "Uhuk..uhuk... A..bi.. me.. merem. uhuk..uhuk... merem du.. lu... Uhuk.." ujar ziya sambil terbatuk-batuk. Kalimatnya terputus-putus, seperti membutuhkan energi yang banyak untuk menyelesaikan satu baris kalimat saja. Aku memperhatikannya, lalu berpura-pura menutup mata. "Taraa...!! uhuk.. i..ni.. hadi..ah, uhuk..uhuk.. buat a..bi" Kata ziya sembari menunjukkan sesuatu yang semula ia sembunyikan di punggungnya. Sebuah kertas yang dilipat tak berbentuk, dilem pula. Mungkin ia hendak membuatkan bentuk kado dari selembar kertas. Beberapa kali ziya memang seringkali membuat prakarya sendiri, atas imajinasi sendiri. Baik itu lukisan keluarga, istana, atau lipatan-lipatan kertas seperti ini. "Waah.. ma kasih ya nak.." ujarku. Ziya tersenyum dan mengangguk. Durasi nafasnya terdengar memburu, bergerak lebih cepat dari biasanya. Ia kembali terbatuk-batuk. Aku lalu merapatkan telingaku di punggung ziya, terdengar suara "ngik..ngik.." seiring waktu bernafasnya. Semakin lama, suaranya semakin jelas terdengar keluar. Aku menoleh pada Umminya, "Mi, ziya harus dibawa ke dokter.." kataku.  

************
Dan, disinilah ziya sekarang berada. Di sebuah ruangan berdinding putih, ruangan tindakan sebuah klinik kesehatan. Apa yang dulu kukhawatirkan, ternyata benar-benar terjadi. Ziya divonis mengidap asma, sama seperti Umminya. Sebuah penyakit yang timbul ketika penderita mengalami kelelahan, atau tak bisa menghindari pemicu alergi yang dipunyai. Inilah ziya, terbaring lemah, di tengah suara mendengung mesin nebulizer yang dijalankan.

Dengan masker bening yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Dimana disela-selanya keluar asap obat untuk dihirupnya. Ziya menatapku, matanya mengerjap-ngerjap. "Gimana nak, nafasnya sekarang udah lebih enakan?" tanyaku. Ziya menjawab dengan anggukan kecil. Zahdan tiba-tiba saja meronta dari gendongan, berusaha meraih masker yang tengah dipakai sang kakak. "Ha.. ni zahdan pengen juga katanya kak.. padahal zahdan kan masih kecil ya..?" kataku. Ziya mengangguk pelan lagi. "Ni katanya kakak ziya hebat, kayak punya kekuatan, bisa keluar asap segala.. Hebat.." ujarku, berusaha menghiburnya. Ziya tampak tersenyum senang. Kata "kekuatan" memang kerap akrab di telinganya. Beberapa kali ia mengungkapkan keinginannya itu "abi, ziya pengen punya kekuatan kayak di film flojen (maksudnya frozen)" ujarnya. Aku tersenyum "Ooh.. ziya udah punya kekuatan kok. Kekuatan ziya itu, baik hati, suka nolong orang lain. Trus ziya juga sabar, kalo pengen mainan, tapi abinya belum gajian, ziya ga suka marah-marah minta dibeliin. Ziya sabar sambil tetep senyum. Itu kekuatan ziya.." paparku. Mendengarnya, ziya tersenyum lebar. Entah mengerti..entah tidak..
Hmph.. Cepatlah sembuh nak.. Dunia membutuhkan kekuatanmu. ^_^

23/04/2014

Meminta Maaf



Aku setengah berlari ke arah sekolah ziya. Jam di hp sudah menunjukkan angka 12:10 wib. 'terlambat..' gumamku. Ziya pasti sudah menungguiku dari 10 menit yang lalu. Ini gara2 aku bangun kesiangan di rumah tadi. Memang, sepulang kerja shift malam tadi pagi, aku langsung mengantar ziya dan umminya ke sekolah masing2. Menunggui ziya sebentar di sekolah sambil menahan kantuk, lalu pulang dan bersegera melempar badanku ke atas kasur. Agar jam stengah 12 nanti aku bisa bangun kembali dan menjemput ziya di sekolah. 
Sialnya, aku terlalu pulas hingga bangun kesiangan. Melihat jam di layar hp membuatku seperti tersambar petir. Bergegas.. Menstarter mobil, lalu membiarkannya tetap menyala sementara aku mencuci muka, dan meminum obat sakit kepala andalanku. Kurang tidur memang kerap mebuat kepalaku terasa sakit. Tapi ini bukan saatnya mengingat masalah bahayanya obat2an medis. Ziya kecilku kini tengah cemas menungguiku di sekolah. Sebelum mengunci pintu rumah, aku masih sempat menyambar beberapa potong kue dan melahapnya, menjawab gerutu perutku yang sedari pagi belum diberi apapun. Lekas masuk kedalam mobil, membanting pintu, lalu tancap gas.. 
Benar saja, setiba di sekolah, terlihat ziya menyandarkan punggungnya di gerbang sekolah, wajahnya lusuh, sepertinya ia sudah cukup lama berada disitu. Melihat kedatanganku yang tergopoh-gopoh, ziya kecil menyambutku dingin. Ia berjalan malas menghampiri. “abi ko lama sih? Zia udah dari tadi nungguin” ucapnya. “iya, maafin abi ya, tadi abi bangunnya kesiangan, jadi telat deh kesininya. Maaf ya nak..” jawabku. Ziya mengangguk malas. 
Siang ini ziya entah kenapa tidak mampir di pedagang mainan seperti biasanya. Bahkan warung Mang Lili pun ia lewati begitu saja. Padahal biasanya ia seringkali berhenti, menarik-narik tanganku, lalu menunjuk indomilk kids rasa coklat, atau chiki berhadiah mainan yang terlihat jelas digantung di warung tersebut. Entahlah, mungkin saja ia masih merasa sebal karena terlambat dijemput, atau mungkin juga teringat ketika dua hari kemarin kumarahi. Pasalnya ziya yang sedang bermain boneka Barbie, menolak saat disuruh shalat maghrib. Ya, meski akhirnya ziya shalat sembari cemberut dan menangis, juga meski aku sudah minta maaf dan ziya mengangguk memaafkanku, mungkin saja ziya masih mengingat kejadian tersebut, sehingga moodnya “tenggelam”, tidak riang, dan..."dingin". (he..). 
Begitupun di perjalanan, ziya tak bernyanyi-nyanyi, ia hanya terdiam membisu.
Setiba di rumah, pintu rumah masihlah terkunci, sambil menanti pintu kubukakan, ziya tiba-tiba saja berkata pelan “Abi..” ujar ziya. Aku langsung menyahut “ya, kenapa nak..?” tanyaku. “Mm.. Kenapa sih abi kalo marah sama ziya trus suka minta maaf..?” tanyanya. Oh, jadi ini toh yang difikirkannya sejak tadi. Aku berfikir sejenak. “Mmm… memangnya ga boleh?” aku balik bertanya. “Boleeeh, tapi kenapa, kan marahnya gara-gara ziya nya yang nakal, ga mau nurut sama abi” ujarnya. “Mm.. gimana ya.. kan biar bisa masuk ke surga" jawabku, setengah ragu, merasa itu bukanlah jawaban yang tepat. Namun meski begitu, ziya terlihat sedikit mengangguk  Ooh..” ujarnya singkat.
Entah mengerti atau tidak, yang pasti beberapa saat setelah pintu rumah terbuka, ziya tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya didepanku, mengajak bersalaman, sambil berkata “abi maaf ya, tadi ziya udah marah sama abi, soalnya abi ngejemputnya lama” ucapnya polos, diakhiri dengan tersenyum. Aduuh, anak kecilku  ini, sudah bisa bersikap bijak mirip orang-orang dewasa. Padahal umurmu 6 tahun pun belumlah genap. Hmph… “..iya nak.. ga apa-apa” jawabku singkat, menahan haru.  

21/04/2014

hasil tes psikologi ziya (2)

Hari sudah siang. Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Adzan zhuhur pun sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Tak lama lagi, pintu gerbang sekolah akan dibuka, mengeluarkan murid2 tk b satu persatu. Menyeruak kumpulan para orang tua penjemput yang telah bergerombol di depan pintu sejak tadi. Menahan panasnya sengatan matahari siang, berharap anaknya
adalah yang pertama diizinkan keluar gerbang.
Marilah kita tinggalkan saja cerita tentang para orang tua, dunia mereka sudah tak seru lagi bukan?
Menjalani hidup dengan rutinitas yang membosankan. Menghabiskan sebagian besar otaknya untuk kata 'kerja, dan uang'. Jarang sekali ada diantara mereka yang tertarik bermain air bekas hujan di kubangan. 'kekanak-kanakan'..itu mereka bilang. Tak heran jika orang dewasa kerap mengidap stres yang tak kunjung tersembuhkan. Karena mereka terlalu serius menjalani kehidupan.
Baiklah, langsung saja.. Ziya kecil telah menyeruak diantara kerumunan. Tersenyum kecil mendekatiku, lalu berkata 'abi sekarang bulan apa?' katanya. 'bulan april nak' jawabku. 'kalo besok?' tanyanya lagi. Aku mengerti arah pertanyaan ziya, ia hampir setiap hari bertanya seperti ini. Menghitung waktu untuk ia bertambah usia. Sepertinya bagi ziya usia bertambah itu adalah hal yang keren.. he.. 'besok mah masih april, bulan depan baru mei, bulan depannya lagi juni' jawabku. 'juni ziya enam tahun ya?' tanyanya (tuh kan..). 'IYAAA..' jawabku dikeraskan. Mengundang tawa cekikikan dari ziya kecil.


Di atas motor, aku membuka pembicaraan, 'ziya, masih inget ga, waktu zia dites di SD minggu-minggu kemaren?' tanyaku. Ziya mengangguk mengiyakan. 'nah, tadi abi dikasih tau hasilnya. Katanya, ziya itu pinter, pinter liat gambar, bisa tau apa yang ga ada digambar, pinter juga nyusun balok' ujarku. Ziya terdiam, menunggu kata-kataku berikutnya.'Nah, kata bapa yang tadi, katanya ziya bakal lebih pinter lagi kalo ziya berani cerita di depan kelas, berani nanya sama bunda..' ziya memotong, 'ziya suka cerita ko' ujarnya. 'iyaa, bagus kalo gitu, kalo ziya suka cerita, suka nulis,ziya pasti bisa bikin buku kayak teteh yang usianya 12 tahun itu, yang ziya pernah liat bukunya itu' paparku. 'iya, yang di toko buku itu ya abi? ziya pernah liat, dibelakangnya ada photo teteh yang usianya 12 tahun, cantik, pake kerudung. ziya juga cita2nya mau jadi pembikin buku ah' ujarnya. 'maksudnya jadi penulis buku..?' tanyaku. Ziya mengangguk. 'katanya dulu mau jadi astronot?' kataku. 'iya, jadi astronot sama penulis buku.... mm.. sama jadi princess juga' jawabnya. Aku tertawa, lalu berujar 'iya boleh, ziya boleh jadi semuanya, makanya ziya harus jadi anak yang pinter, yang hebat kayak teteh yg nulis buku itu. Oya, bapa itu bilang lagi, ziya kalo bisa jangan terlalu banyak maen game, jangan juga banyak nonton spongbob, soalnya katanya bisa ngurangin pinter ziya'. Ziya terdiam sesaat, sepertinya masih mencerna kata-kataku tadi, tak lama baru menanggapi, 'ah ziya mah ga mau nonton spongbob lagi ah, ga akan banyak maen game lagi..biar pinter..' tegasnya. 'nah, kalo gitu ziya pasti jadi anak yg pinter. Biar makin pinter lagi, ziya shalat yg rajin, ngaji juga, minta sama Allah biar ziya jadi pinter sama sholehah, kan nanti di surga ziya bisa jadi bidadari..' kataku. 'iya abi.. Mmm..abi, kata abi cantikan ummi ato bidadari?' tanya ziya begitu saja. Aduuh, pertanyaannya out of the topic, susah pula.. 'mm..gimana ya. Kata abi mah cantikan Ummi' jawabku. Ziya langsung berujar 'kalo kata ziya mah lebih cantik bidadari dibanding ummi mah' katanya polos. Aku berkata 'he.. iya nak, tapi kan ummi rajin shalat sama ngaji nak, suka ngajarin teteh-teteh ngaji juga. Nanti sama Allah Ummi dijadiin lebih cantik dari bidadari, malah bisa jadi ratunya bidadari'. Ziya berujar lagi 'ziya juga ah, ziya ma mau jadi putri bidadari' katanya tak mau kalah. Hehe.. 'iya..iya nak... mudah-mudahan ziya juga nanti jadi putri bidadari ya..' kataku yang langsung disambut dengan anggukan mantap ziya.

10/04/2014

Hasil tes psikologi



Nak, kau tahu? Seminggu yang lalu abimu ini menerima sebuah laporan, ya.. laporan hasil tes psikologi yang kau jalani kurang lebih sebulanan ke belakang. Bapak yang bersangkutan memberi waktu 10 menit untuk penjelasan dan konsultasi. Tanpa banyak ba bi bu, laporan tersebut segera dibuka. Hasil tes yang tertera menunjukkan, pada kolom tes verbal, kata “rendah” mendominasi setiap barisnya. Aku tersenyum saja melihatnya. Ziya tak pandai dalam berbahasa adalah sebuah hal yang biasa. Tanpa tes semacam inipun orang bisa melihat bahwa ziya tipikal anak yang tak banyak berkata-kata. Aku menggeserkan pandangan ke arah kolom yang lain. Dua baris yang berisikan “tinggi”, terdapat pada kata Picture Completion, dan Block Design. Aku pun langsung bertanya maksud dari kata tersebut.
Nak, bapak yang memberikan laporan ini menjelaskan, katanya kau berpotensi besar dalam kedua hal tersebut. Kau mampu melihat sesuatu gambar secara detail, menyadari apa yang berbeda dari gambar tersebut, dan bisa menunjukkan apa-apa saja yang hilang ketika diberikan gambar yang nyaris sama. Ya, mungkin ini jawaban atas kata-katamu yang terkadang mengejutkan. “abi, ko itu di tivi laki-laki pake anting ya, kayak perempuan?” ujarmu waktu itu. “mana? O iya.. aneh ya..” jawabku. “ini mah baju sofia nya aneh, harusnya ada bulet-bulet kecil di sini” katamu sembari menunjuk gambar di majalah. “o ya??” kataku balik bertanya. Hmph… Picture Completion..
Yang kedua, bapak dihadapan abi kembali menjelaskan, katanya kau memiliki kecerdasan dalam menyusun kembali balok sesuai dengan gambar yang diinstruksikan. “maksudnya meniru?” tanyaku yang langsung dijawab oleh bapak tersebut dengan sebuah anggukan. Hmm.. setahuku ziya memang bisa meniru gambar, meski belum sempurna, namun hampir semua detail yang ada bisa ziya pasangkan semua. Tapi balok? Ziya di rumah jarang sekalii bermain balok. Ia selalu berkutat dengan kertas-kertas dan crayonnya, terkadang mendandani boneka-bonekanya, atau mendandani dirinya sendiri dengan kerudung-kerudung umminya.
Di akhir laporan tertera sebuah nama orang yang menerbitkannya, diikuti dengan gelar S,Psi dan M.Pd Psikolog yang jelas tertulis disana. Menambah keyakinanku jika hasil tes ini bukan dikelola oleh orang sembarang. Sayangnya, setelah hasil ini diterima, lantas muncul pertanyaan. Metode pengajaran seperti apa yang bisa kuterapkan di rumah? Bagaimana mensikapi ziya sehari-hari agar potensi kecerdasannya kian melejit? Kebiasaan apa yang harus ditanamkan sehingga item-item yang rendah tadi bisa ditambah porsi potensinya?
Batas waktu 10 menit konsultasi berakhir dengan cepat, menyisakan 1 pertanyaan yang menggantung didalam benak. “Hmph.. abi harus gimana?”