23/04/2016

“GA APA-APA NAK, ADA ABI DISINI..”



“GA APA-APA NAK, ADA ABI DISINI..”
Oleh : Adi Wahyudin
Malam masih temaram, bintang gemintang masih bertebaran. Berkedip menemani purnama, yang membentuk bulatan teramat sempurna. Ajaib rasanya, mengingat dulu ia pernah terbelah menjadi dua, lalu kembali menyatu. Memberi bukti kekuasaan Tuhan pada sekelompok manusia yang ragu. Sayang, kesombongan acapkali membutakan fikiran dari kebenaran. Bulan yang nyata-nyata terbelah dua, tak lantas membuat hati mereka terbuka. Malah kian berkilah. Sihir, itu ucapnya.
Dari kejauhan terdengar suara kokok ayam jantan, menyambut semburat merah di ufuk timur yang memanjang perlahan. Sebuah pertanda bagi manusia-manusia pecundang, bahwa waktu shubuh sudah hampir berlalu, dan malaikat pun telah berganti. Hilang sudah kesempatan mendapatkan amalan setara beribadah sepanjang malam. Pupus sudah peluang memperoleh pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Tak acuh, para pecundang kembali menarik selimutnya, berfikir nanti pun masih ada sholat lagi, esok pun masih ada shubuh lagi. Tak perlu buru-buru, lebih baik membuai diri sendiri diatas empuknya ranjang, yang hangat, dan begitu nyaman. Lelaplah ia kembali, menambah erat tiga buah buhul yang mengikat, mengundang tawa setan-setan yang ramai mengencingi mata terpejamnya.
Seorang anak berjingkrak-jingkrak keluar dari mesjid. Dengan hati-hati Ia melangkahkan kaki kecilnya di atas teras yang basah sisa hujan semalam. Mata bulatnya bergerak ke kanan kiri, mencari-cari sandal frozen kesayangannya. Tak butuh waktu lama, ia dengan segera bisa menemukannya. Tentu saja, tak banyak sandal-sandal yang berderet di pinggiran teras tersebut. Karena seperti biasa, jamaah shubuhnya hanya 10 orang laki-laki saja. Tak pernah lebih dari itu. Pernah bershaf-shaf banyaknya, adalah hanya ketika bulan Ramadhan tiba. Itupun di minggu-minggu awal puasa. Sedang di hari-hari menjelang Idul Fitri mereka jauh berkurang, terlampau sibuk dengan rutinitas perayaan. Membeli baju-baju baru, mengisi toples-toples kue, hingga menghiasi rumah dan pagar dengan lapisan cat baru.
Pun jamaah perempuan, shubuh di bulan Ramadhan bisa membuatnya kembali lagi ke rumah karena tak kebagian tempat di masjid. Itupun jika ia tak mau berdesak-desakan di teras atau pelataran. Sungguh berbeda dengan keadaan di hari-hari biasa seperti sekarang. Jika jamaah laki-laki hanya ada 10 orang, jamaah perempuannya hanya ada dua orang saja. Seorang diantaranya adalah nenek-nenek berusia lanjut, dan seorang lainnya adalah anak kecil yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Ia memakai atasan mukena berwarna coklat, dan tengah melenggang girang dengan sandal frozen di kedua kakinya.
“Maziya..” panggilku. Anak tersebut menoleh, lalu bergegas mendekat. Wajahnya tersenyum riang, tak terlihat sedikitpun rasa kantuk di raut mukanya. Ia sudah terbiasa bangun sepagi ini, lalu ikut shalat shubuh berjamaah di masjid. Aku mengelus kepalanya, lalu bertanya, “ziya masih ngantuk ga? Mau abi gendong sampe rumah?” tawarku. Ziya menggeleng mantap, sambil menjawab, “ga usah abi. Ziya jalan sendiri saja” ujarnya, lalu menggamit lengan kananku, menariknya pelan. Aku tersenyum, ziya sepertinya sudah tahu. Bahwa kini badannya sudah lebih berat dibanding dulu, menggendongnya di punggung seringkali membuatku terengah ketika sampai di rumah.  Meski tak pernah aku mengatakan lelah, tapi ziya sepertinya sudah bisa mengerti hanya dengan melihat peluh bercucuran di dahiku. Aku memang tak sekuat dulu. Hmph.. Jika begini aku jadi merasa semakin tua saja.
“Abi, rasi bintang Gemini kelihatan ga?” Tanya ziya, kepalanya tengadah menatap ke langit. Ziya memang sedang tertarik pada rasi bintang, bermula saat Ia membeli kertas-kertas lucu untuk bindernya. Ia menemukan kertas bergambar menarik bertuliskan nama konstelasi. Didorong rasa penasaran, Ia meminta penjelasan yang lebih rinci. Akupun terpaksa menerangkan padanya dengan hati-hati. Tak mau Ia terpancing dengan segala sesuatu terkait Ramalan Bintang.
“Abi kelihatan ga?” Ziya mengulang lagi pertanyaannya. Aku mengikuti arah matanya, ikut melihat ke atas. “Hmm.. Kayaknya ngga nak. Yang kelihatan jelas cuma rasi bintang biduk sama scorpio” ucapku. Ziya langsung menimpal heran “rasi bintang scorpio?” tanyanya. Aku  kembali menjawab, “iya. Rasi bintang biduk yang kayak layang-layang, rasi bintang scorpio yang ekornya panjang itu” jawabku, sambil menunjuk ke langit. Ziya mengangguk-angguk sok mengerti. “Scorpio itu binatang?” tanyanya lagi. “Scorpio itu sebutan lain untuk binatang kalajengking. Yang punya capit kayak kepiting, tapi ekornya panjang. Trus diujung ekornya itu ada benda tajam, beracun juga. Kalo disengat sama ekornya itu, kita bisa kemasukan racun, sakit, malah bisa meninggal” paparku. Ziya masih berusaha mencerna kata-kataku, sebelum akhirnya ia mengangguk lagi. “Ziya mah kan Gemini ya abi? Yang rasi bintangnya kayak anak kembar kan?” celotehnya. “Iya, ziya kan lahirnya bulan juni” kataku. “Coba ziya punya sodara kembar ya..” gumam ziya, berandai-andai. Aku hanya tersenyum melihatnya. Ketertarikannya pada rasi bintang kerap ia tuangkan di dalam buku gambarnya. Pernah kulihat ia menggambarkan tokoh-tokoh putri yang ia beri nama sama dengan gugusan bintang. Putri Gemini, putri Aquarius, dll. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan imajinasinya itu. Biasanya, hal itu akan berlanjut dengan menulis cerita tentangnya.
Tiba di depan rumah, ziya langsung membuka pintu sembari mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum..” ucapnya. Umminya yang tengah mengaji sontak terhenti, “Wa’alaikumsalam. Eh..Kak Ziya udah pulang, tadi shalatnya sambil ngantuk ngga?” tanyanya sembari tersenyum. Ziya menggeleng, “ya ngga atuh Ummi. Ziya kan udah cuci muka” kata Ziya, sambil melepaskan mukena coklatnya, melipatnya sembarang, lalu setengah melemparnya ke atas kasur. Sedetik kemudian ia sudah mengambil kertas kosong dan bolpoin, bersiap melaksanakan hobinya, menggambar. “Lah, Ka Ziya ga tidur lagi? Apa nanti ga akan ngantuk di sekolah?” tanya Umminya. Ziya menjawab “ngga ah, sekarang ziya mah mau ngegambar putri Scorpio. Eh tau ga Ummi, scorpio itu sebutan buat binatang kalajengking, yang ada capitnya, trus juga ada racun di ekornya. Kalo ada manusia yang kena racunnya bisa sakit, malah sampai meninggal !!” papar ziya dengan antusiasnya. Umminya mengernyit heran, “Lho, ziya tau darimana?” tanyanya. Ziya menjawab lagi “tau dari Abi barusan, makanya ziya sekarang mau gambar putri Scorpio, tapi putrinya yang jahat, bawa-bawa racun. Sudah ya Ummi, ziya ngegambar dulu” ucap Ziya, lalu masuk ke kamar, mulai menggoreskan pena nya di atas kertas kosong. Umminya hanya berkata singkat “I.. iya” ujarnya, tergagap. Setelah menarik nafas panjang, Ia kembali melantunkan ayat suci Alqur’an perlahan, tenggelam didalamnya, beberapa kali terlihat sambil mengusap kedua ujung matanya yang basah.
Meja belajar Ziya penuh dengan deretan buku-buku dan tumpukan kertas. Sebagian besar adalah buku pelajaran sekolah, sebagian lagi adalah buku cerita KKPK (Kecil-kecil Punya Karya). Tentu saja, Ziya memang bercita-cita menjadi seorang penulis. Setelah sebelumnya Ia ingin menjadi guru, juga pelukis, pengajar biola, bahkan Ia pernah berkata ingin menjadi artis. Mendengar rentetan profesi itu, aku sempat dibuat kewalahan. Ia kudaftarkan Les mewarnai, berhenti. Lalu daftar lagi Les biola, berhenti. Terakhir Ia meminta didaftarkan di Pesantren Tahfiz. Yang terakhir ini terkait cita-citanya yang baru, yakni menjadi seorang Ustadzah. Amiin.. He..
Sembari menggambar, ziya berulang kali menegakkan kepalanya, menatap dua buku yang berjejer di dekat cermin. Satu buku berjudul “Ragam Cerita Bersama Ziya” dan satu lagi berjudul “Tiga Putri”. Keduanya adalah buku hasil karyaku, terinspirasi dari keseharianku bersama Ziya. Tak heran bila isi buku-buku itu kebanyakan menceritakan tentang Ziya, di kehidupan nyata, maupun imajinasi. Buku-buku itu dibuat untuk memotivasi ziya dalam kegiatan menulis. Tentunya terkait pula dengan cita-citanya yang ingin menjadi penulis. Apapun itu, kami berdua memang suka sekali membaca buku cerita. Dulu, kami sering menghabiskan waktu berdua di toko buku, Ziya memilih sendiri buku yang ia inginkan. Terkadang minta dibacakan satu per satu. Aku membacakannya dengan cepat, merasa risih dengan penjaga toko yang mondar-mandir dibelakang kami, sepertinya ia takut kami hanya mengacak-acak isi toko, tanpa membeli buku satupun juga. (He..)
Sebelum tidur, Ziya pun selalu minta dibacakan dongeng, dari bukunya sendiri, atau buah dari improvisasiku. Hingga akhirnya ziyapun semakin penasaran dan ingin diajari mengetik di laptop, Ia mulai menulis cerita. Aku senang sekali melihatnya. Jari-jari mungilnya menelusuri barisan keyboard, mencari huruf yang diinginkan. Serentetan pertanyaanpun memberondongku tanpa ampun, “Abi, kalo mau ngehapus gimana? Abi , kenapa hurufnya jadi ke bawah? Abi, nulis angkanya gimana? Abiii…. Layarnya jadi iteeem… !!” ujarnya. Untuk yang terakhir itu, Aku hanya menelan ludah, laptop tua itu memang sudah waktunya diganti baru.
“Abi, nanti ziya bakal kasih hadiah buku karangan ziya” ujar ziya, hanya sesaat setelah aku memberinya hadiah atas nilai-nilai ulangannya yang semakin membaik. Ziya mengucapkan kata-kata itu dengan sorot mata yang berbinar, sungguh-sungguh ingin membalas hadiah dariku dengan balasan yang terbaik. Aku hanya mengangguk mengiyakan, lalu mengelus kepalanya lembut, “Iya nak.. Abi yakin, ziya pasti bisa bikin buku yang lebih bagus dan lebih banyak dari Abi” jawabku menahan haru. Ziya tersenyum lebar, memperlihatkan gigi depannya yang tanggal di bagian depan.
***
“Ka Ziyaa.. Mandii !! Sudah jam setengah tujuh !!” teriak Umminya. Itu adalah kali ketiga Ia menyuruh ziya mandi. Dan jawaban yang sama pun meluncur dari mulut Ziya “Iyaa!! Sebentar lagii!!” ujarnya, tanpa sedikitpun bergeming dari kertas dan gambar yang tengah digarapnya. Umminya terdengar beristighfar berkali-kali. Kesal karena Ziya masih jua tak keluar dari kamar. Sementara kedua tangannya masih harus disibukkan dengan membuat sarapan, memandikan Zahdan (adik Ziya), dan sesekali melongok keluar rumah mencari Pedagang Sayur keliling sambil mengomel. Sungguh nyanyian pagi hari yang akrab sekali di telingaku.  
“Ziya, sudah nak. Mandi dulu gih, bisi sekolahnya kesiangan” ucapku pada Ziya. Ziya langsung menoleh ke arahku, lalu terkekeh. “Hehe.. Iya.. iya Abi..” jawabnya, sembari beranjak dari kursinya, berjalan dengan santainya menuju kamar mandi. Umminya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Aku tersenyum, Ziya kerap lupa waktu jika sudah menggambar atau menulis. Saking asyiknya, bisa berjam-jam lamanya Ia didepan meja belajar itu. Aku melirik kearah kertas gambar ziya diatas meja. Tampak gambar seorang putri, lengkap dengan baju istananya, serta istana megah dibelakangnya. Putri itu membawa sebuah gelas, ziya menulisi gelas tersebut dengan kata “Racun”. Di samping kertas bagian kanan, beberapa gambar putri yang lain tengah ketakutan. Masing-masing putri Ia beri tulisan dibawahnya, “putri Gemini”, “Putri Leo”, dan seterusnya. Sementara Putri yang memegang gelas racun Ia namai “Putri Scorpio”. He.. Tampaknya Ziya sudah berhasil menuangkan imajinasi yang ada dalam fikirannya kedalam gambar ini.
Dibawah tumpukan kertas, gambar-gambar ziya yang lain tertera disana. Gambar rumah, gambar pohon, gambar sekolah, dll. Beberapa diantaranya sempat dianalisa oleh seorang pakar. “Bi, Ziya itu memang memiliki karakter introvert, pemalu. Tapi dia memiliki potensi yang besar. Bahkan sekarang dia sudah berkembang ke arah yang baik. Coba lihat saja gambar ziya yang ini!” ucapnya, menunjukkan kertas gambar ziya padaku. Terlihat gambar rumah di kertas bagian kanan. Dihiasi pagar dan bunga-bunga indah. Di bagian kirinya terdapat pohon besar berbuah, ada ayunan menjuntai kebawah. Seorang anak tengah berayun disana. “Kau lihat, rumah itu bahasa anak tentang ibu, disitu terlihat bahwa ibu memiliki pengaruh dalam kehidupan ziya. Habitsnya, lingkungannya bagus. Apa yang Ia tanamkan pada ziya sudah bagus. Sementara pohon, itu bahasa anak tentang ayah. Lihat, pohon itu berbuah, itu artinya ziya merasa kau yang banyak memberi pada ziya. Di pohon itupun ziya tengah bermain ayunan disana. Artinya, Ziya merasa kau itu berarti, tempatnya bergantung, bermain, dan menemukan kebahagiaan. Lainnya, ziya terlihat sudah siap untuk aspek sosialnya, Ia sudah siap menunjukkan kelebihannya di mata teman-temannya” paparnya, panjang lebar. Aku mengangguk-angguk senang, membisikkan Hamdallah berulang kali. Dalam fikiranku, Ziya yang introvert, tak akan lagi kesepian. Ia akan memiliki banyak teman seperti anak-anak yang lain. Terbayang kembali masa dimana ziya kerap bermain sendiri, tak ada yang mau menemani satupun. Ya, satupun. Mereka beranggapan ziya ga asyik. Karena ziya tak pernah mau diajak memusuhi teman yang lain, Ia dengan segala kepolosannya berbagi kebaikan dengan siapapun yang mendekatinya. Tak mengerti jika anak yang lain tengah memusuhinya. Ia pun tak mau melepas kerudung saat main di luar rumah, Satu keadaan dimana anak-anak yang sudah biasa berkelompok, saling mengejek satu sama lain antar kelompok, mentertawakan anak yang memakai kerudung. Mirip ibu-ibu, itu kata mereka. Ziya yang perasa, pulang ke rumah sambil menangis. Menghambur dalam pelukanku, Ia terisak lalu mengadu. Akupun membelai kepalanya lembut, menenangkannya. Menceritakannya tentang arti kerudung bagi seorang muslimah. Tentang semakin rapat ia menutup auratnya, semakin dekat pula jaraknya dengan surga. Kisah itu ditutup dengan berbagai pertanyaan ziya seputar surga. “Abi, apa di surga ada boboboy? Ada air terjun ga? Kalo istananya kayak gimana?” celotehnya polos, matanya bulat menatapku meminta jawaban. Tampak masih ada air mata dikedua ujungnya. Melihat hal itu, aku memeluknya kembali. “Ziya jangan pernah nangis lagi ya, ga usah takut, ada abi disini yang nemenin ziya” ujarku. Ziya menjawab dengan sebuah senyuman menggemaskan.
***
Ziya tiba di sekolah 10 menit sebelum bel tanda masuk berbunyi. Ia berjalan gontai masuk ke kelas, menggendong tas berbentuk kura-kura yang gemuk berisi buku-buku. Ia lalu duduk di kursinya, sendiri.. Tak ada satupun teman sekelasnya yang mendekat, mengajak ngobrol, atau bermain bersama. Mereka sibuk dengan kelompok masing-masing. Ada yang menunjukkan tempat pensil baru, ada yang bermain petak umpet, ada yang berkejaran, sisanya “ngrumpi” sembari tertawa-tawa. Sementara ziya, Ia terlihat menopang dagu sendirian. Ia sudah siap untuk bersosialisasi, Ia sudah siap untuk menunjukkan minat dan kelebihannya. Sayang, tampaknya lingkungannya belum siap menerima Ziya. Predikat “ga asyik” masih melekat erat pada Ziya. Mata bulatnya menatap teman-temannya datar, memperhatikan mereka satu per satu. Hingga Ia melihatku diluar jendela. Ziya segera mendekat, memberi isyarat dari belakang kaca, “abi pulang aja” ucapnya. Aku mengangkat alis, berpura-pura tak mengerti. Ziya kembali mengulang kata-katanya, “abi pulang aja” ucapnya lagi. Aku terpaksa mengangguk, lalu berbalik kanan menjauh. Berat rasanya meninggalkannya di kelas tanpa teman. Mungkin Ia sudah terlalu terbiasa diperlakukan demikian. Hingga sendiri menjadi sesuatu yang tidak aneh lagi baginya. “bertahanlah nak, kau pasti bisa..” bisikku dalam hati.
***
Langit-langit ruangan berwarna putih, aku menatapnya sembari melamun, Rasanya ia mengingatkanku pada sesuatu. Ya, waktu dimana Ziya masih sangatlah kecil. Ketika proses kelahiran yang tak berjalan lancar, membuat ziya kecil teracuni air ketuban. Ia sulit bernafas. Hingga saat seluruh badannya keluar ke dunia, Ia tak menangis..sedikitpun. Badannya pucat dan lemas. Seluruh saudara yang hadir membisu, tak mampu berkata apa-apa. Memperhatikan bidan yang panik bukan kepalang. Mendengar denyut jantung ziya, memukul-mukul telapak kakinya, hingga memasukkan selang ke paru-paru ziya, mencoba menghisap cairan yang masuk kedalamnya. Waktu seolah berhenti saat itu. Neneknya yang ikut hadir disana, terjatuh lemas, menangis tak tertahankan. Aku berusaha terlihat tegar, menahan lutut yang lemas agar tetap berdiri. Satu jam lamanya, Ziya kecil akhirnya terbatuk, lalu menangis kecil.
Tak berhenti sampai disitu, ziya harus dibawa ke rumah sakit besar, langsung dirawat di High Care Unit. Selang-selang membelit tubuhnya, sensor-sensor ditempelkan padanya. Jarum infus menusuk tubuh lemahnya. Seolah semua hal itu dianggap tak cukup, dokter mengatakan hal yang kembali membuatku tersiksa, detak jantung ziya dibawah rata-rata, jantungnya lemah.
Maka, sungguh suatu kejaiban Ziya bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Setiap hari aku menungguinya di luar ruangan. Mengunjunginya setiap pintu khusus itu dibuka. Tanpa cerita, hanya menatap bayi kecil yang berada dibalik tabung kaca. “ga apa-apa nak, ada abi disini.. ada abi disini” ulangku, terus menerus sambil berbisik.
***
Malam masih temaram, bintang gemintang masih bertebaran. Ramai kedipnya bergantian, mendampingi rembulan yang tak lagi membentuk bulatan. Semburat merah di ujung timur memanjang perlahan, menambah tinggi lengkingan kokok sang ayam jantan.
Adzan shubuh sudah 15 menit berlalu. Kali ini jamaahnya berkurang satu. Kakek Toha, tengah dirawat di Rumah Sakit karena usia. 9 orang jamaah laki-laki, dan 2 orang jamaah perempuan. Satu diantaranya adalah seorang nenek berusia lanjut, yang masih khusyu berzikir di belakang tirai pemisah. Seorang lainnya sudah berjingkrak-jingkrak girang, dengan sandal frozen yang ia kenakan, Ia melompati genangan-genangan air di jalan, sisa hujan semalaman.
“Abi, rasi bintang Gemini sekarang kelihatan?” tanyanya riang. Aku mendongak, memperhatikan langit. “Masih belum nak, yang ada malah rasi bintang cancer” ucapku. Ziya langsung meloncat, “Cancer?? Mana bi? Yang mana??” tanyanya, begitu penasaran. Aku tertawa melihatnya, lalu mengarahkan telunjuk kananku ke arah sekelompok bintang yang berkumpul di sebelah utara. Mata ziya memicing mengikuti telunjukku, lalu mendelik sembari berkata “yang itu bi? Yang kayak kepiting?” ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. “Iya, rasi bintang cancer itu berbentuk seperti kepiting. Tuh lihat ada capit di kanan kirinya” ujarku. Ziya mendengarkan dengan serius. “Selain nama untuk rasi bintang, cancer juga adalah nama penyakit. Istilah Indonesianya adalah Kanker” penjelasanku dipotong ziya, “sakitnya kaya kena racun kalajengking abi?” tanyanya. Aku berfikir sejenak “mm.. ya, mungkin beratnya kaya gitulah. Soalnya, yang sakit Kanker bisa sampai meninggal juga” jawabku. Ziya mengangguk-angguk, sok mengerti.
Tiba didepan rumah, ziya membuka pintu sembari mengucap salam “Assalamu’alaikum” katanya, dengan suara yang tidak terlalu keras. Ia tahu Zahdan adiknya pasti masih tertidur, Ia tak mau membangunkannya. Umminya yang tengah membaca Al Qur’an langsung berhenti. “Wa’alaikum salam” jawabnya. “Ka ziya, tadi sholatnya bareng sama Bu Haji?” tanya Ummi lagi. Ziya mengangguk mengiyakan. Seperti biasa Ia melipat mukenanya asal, melemparnya ke atas kasur, lalu bergegas mengambil kertas kosong dan bolpoin, hendak menggambar. “Ummi, tau ga.. tadi ziya ditunjukin rasi bintang Cancer, yang bentuknya kaya kepiting” ujar Ziya. Alis Umminya mengernyit, “oya, ziya ditunjukin sama siapa?” tanyanya. Ziya langsung menjawab “sama abi. Abi juga bilang kalo Cancer itu nama penyakit juga, kaya kena racun kalajengking, soalnya bisa bikin orang mening….” Perkataan Ziya terhenti, dipotong Umminya. “Cukup Ziya..!!! Berhenti !!” bentaknya dengan suara yang tinggi. Beruntung suara itu tak membangunkan Zahdan. Ziya terpaku, kaget dibentak Umminya seperti itu. Ia menatap Umminya tak mengerti. “Cu..kup Ziya… Cu..kup.. jangan lagi..” ujar Umminya, sembari terisak penuh kesedihan, air matanya meleleh, mengalir di kedua pipinya, hingga menetes membasahi lembar Al Qur’an yang tengah dipegangnya. Ziya masih menatap Umminya tak mengerti. “Kau harus ikhlas nak.. Kau harus ikhlas… Jangan lagi kau bicara ketemu sama abi.. kau harus ikhlas.. Abi itu udah ga ada… Kanker sudah..” Umminya kembali terisak keras, lalu menutupi wajahnya, air matapun kian deras mengalir. Saat itu, Zahdan terbangun, memanggil-manggil Umminya. Dan dengan suara yang masih terisak, Ummi menjawab panggilannya “i..iya.. nak..” ucapnya, lirih.
Ziya tertunduk. Membisu.. Lidahnya kelu.. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Pelan, Ia melangkah ke kamarnya. Dan diatas meja belajar itu, Ia menangkupkan kepalanya, menangis.. tanpa suara.
Aku iba melihatnya. Dengan lembut, aku lalu mengelus kepalanya. “Ga apa-apa nak.. Ada abi disini.. ada abi disini..” bisikku.