16/11/2017

Zahdan jatuh!

Sore hari, adalah waktu bermain yang terbaik bagi anak-anak cilik. Seolah memiliki jadwal tak terdaftar, selepas Shalat Ashar anak-anak ramai berada di luar. Mereka bermain sepeda, bermain lompat tali, hingga bermain bola di jalanan aspal komplek yang keras sekali. Terpaksa, karena memang tak ada lapangan bermain di tempat ini. Sesuatu yang sedari awal seharusnya disediakan Developer sebagai fasum (fasilitas umum) bagi penghuni, namun entah mengapa mereka lebih memaksimalkan lahan yang ada untuk hunian saja. Tak ada lapangan, tak ada tempat makam. Padahal semua fasilitas itu tercantum jelas dalam aturan. Serius, jelas-jelas tercantum dalam aturan penyelenggara perumahan dan permukiman. Namun acapkali diabaikan, mungkin lantaran tak secara langsung memberi keuntungan.
Zahdan terdengar tertawa-tawa bersama kawan-kawannya, tak tahu sedang bermain apa mereka. Disela tawanya terdengar suara Ziya, sepertinya Ia sedang mengasuhnya disana.
Tak lama, Zahdan menangis kencang. Aku langsung melompat keluar, melihat keadaan. Di jalan, tampak Zahdan tengah tersungkur, sepeda roda tiga yang dikendarainya terguling ke samping. Telak, wajah Zahdan beradu aspal yang keras. Tetangga-tetangga melihat keluar, Aku cepat meraih tubuh Zahdan, melihat kondisinya.
Luka baret dan benturan jelas tertampak di hidung dan dagu Zahdan, namun yang paling membuatku jeri, adalah darah yang mengucur dari sela gigi seri bagian atasnya. Aku bergegas membawanya ke kamar mandi, memeriksa luka di mulutnya.
"Ini Zahdan, kumur-kumur dulu, jangan ditelan, keluarin lagi!" perintahku, sambil menggendong Zahdan dengan tangan yang satu, sedang tangan lain menyodorkan air didalam gelas. Meski sambil menangis, Zahdan menurut. "Puah!! Heu..sakit..! Sakit Abi..!" isaknya. Lembaran darah kental berwarna merah masih menggantung di mulutnya. Hati-hati Aku mengusapnya dengan kain bersih yang basah.
"Lagi Zahdan, kumur lagi!" perintahku, lagi. Zahdan kembali menurut, "Puuh.. Sakit Abi..!" ucapnya lagi. Aku mulai panik, darahnya belum berkurang juga. "Coba buka mulutnya Zahdan!" kataku. Kemudian menekan luka di deretan gigi serinya. Sekian detik, Aku menggantinya dengan kain lainnya. Darahnya sedikit berkurang, tapi tak lama, merembes lagi di giginya. Sepertinya gigi-gigi itu menjadi longgar akibat benturan, membuat pendarahan. Bibirnyapun terlihat memar dan bengkak.
Tak mau ambil resiko, Aku memutuskan membawa Zahdan ke klinik. "Zahdan Abi bawa ke dokter ya, biar ga berdarah lagi" kataku. Zahdan mengangguk kecil, "Mau pake selimuut.." ucapnya, masih sambil menangis. "Iya, boleh" jawabku. Setiap dibawa ke dokter, Zahdan memang seringnya ditidurkan di jok belakang, lalu diselimuti. Biasanya karena Asma yang tengah menyerangnya, dan butuh energi besar hanya untuk menarik nafas sekali saja.
"Ziya, pake kerudungnya, Kita ke Dokter" kataku lagi, sembari menggendong Zahdan. Ziya menurut tanpa berkata apapun, kedua matanya memerah akibat menangis juga. Wajahnya menyiratkan raut perasaan bersalah. Aku langsung menduga jatuhnya Zahdan kali ini pasti ada kaitan erat dengannya. Namun demi menjaga perasaannya, Aku tak lantas langsung menanyainya, fokus terlebih dahulu pada Zahdan.
Di klinik, sedang tak ada dokter jaga. Situasinya lengang, benar-benar lengang, bak tak ada satu orangpun disana. Aku mulai menggerutu didalam hati. Sedih karena kecelakaan Zahdan, kesal lantaran keadaan, dan lebih kesal lagi pada diri sendiri. Mengapa barusan Aku tak berada di luar rumah menjagai Zahdan. Mengapa Aku malah mempercayakan sepenuhnya pada Ziya yang untuk hal-hal tertentu Ia terkadang masih kurang bisa sigap. Serta kenapa Aku malah memilih beristirahat karena kerja semalam tadi. Toh pening di kepala bisa hilang dengan meminum obat sebutir saja.
Zahdan kurebahkan di UGD, lalu menerobos masuk ruangan dengan lancangnya. Seorang petugas muncul dari belakang lemari, habis ketiduran sepertinya. Setelah Kujelaskan situasinya, Ia beranjak ke ruang seberang, hendak meminta bantuan petugas lainnya.
Tak lama, datang seorang berpakaian kaos biasa. Kutebak Ia bukanlah dokter. "Ooh, ini mah ga apa-apa Pak. Ga ada luka sobek di bibirnya juga. Darahnya hanya dari giginya saja. Kalau mau dibawa ke Dokter gigi juga silahkan, biar dicabut sekalian" ucapnya. Aku langsung mengernyit, menatap Zahdan jeri. Merasa ragu Zahdan akan mau jika giginya dicabut. "Tuh Pak, darahnya juga sudah berkurang. Tinggal ditekan saja pakai kain atau perban. Adek jangan nangis, kalo nangis nanti malah tambah sakit" lanjutnya lagi, kalimat terakhir Ia tujukan pada Zahdan yang masih meringis saat luka di mulutnya ditekan.
Singkat cerita, Aku keluar klinik dengan ragu yang masih mendera. Bimbang, antara membawanya ke dokter gigi, atau menghentikan pendarahannya saja. Harusnya sih, dikompress pakai es. Agar pendarahannya berhenti. Tapi Zahdan pasti tak akan mau mulutnya diganjal es batu. Hmph.. Setelah difikir-fikir, Aku melaju ke tempat yang lain secepatnya, lalu turun dan membelikan sesuatu untuk Zahdan.
"Ini Zahdan, tempelin di gigi atas Zahdan ya!" perintahku. Zahdan berhenti menangis, Ia menatap es krim spiderman yang kuberikan padanya dengan mata yang berkaca setengah tak percaya. Itu adalah es krim di iklan-iklan yang setiap kali tayang, Ia selalu berkata girang, "Abi lihat! Ada es klim spaydemen!! Kelen ya Abi" ucapnya. Dan Aku selalu menjawab, "Iya Zahdan. Tapi kan Zahdan mah punya asma, ga boleh makan es krim, khawatir batuk, trus nafasnya sesek lagi". 
Tapi kali ini berbeda, luka di giginya harus dihentikan secepatnya. Mudah-mudahan saja tak sampai membuat Zahdan pilek dan batuk. Tak menunggu waktu lama, Zahdan segera saja menjilati es krim tersebut dengan nikmatnya. Kamipun melaju kembali ke rumah.
"Ziya, tadi sepeda Zahdan itu Ziya yang dorong ya?" tebakku, sambil menengok ke arah Ziya. Ziya mengangguk tanpa sedikitpun menoleh. Rasa bersalah masih begitu kentara di air mukanya. Pengalaman ini sudah cukup memberinya pelajaran, sepertinya tak usah lagi Aku memberinya wejangan yang menyebalkan. Alhasil Aku membiarkan saja Ziya yang terdiam. Ia menutupi sebagian wajahnya dengan kerudung yang dikenakannya.
"Mm.. Srluupp.. Es Klim spaydemennya enak Abi! Lezat..!" ucap Zahdan di belakang, dengan mulut yang terlihat membengkak. Efek dingin dari es tersebut sepertinya telah sukses mengurangi sakit yang dirasakannya, sekaligus menghentikan pendarahan di gigi depan kecilnya. Aku hanya tersenyum memperhatikannya, dalam hati merasa tenang atas keadaannya. "Iya, iyaa...!!"

    

Gagal

Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi dibelakangku. "Gagal..lagi" lirihku. Handphone yang semula tergenggam di tangan, Kulemparkan ke samping dengan sembarang. Layarnya masih menyala terang, menayangkan sebuah pengumuman lomba kepenulisan. Kubiarkan saja.. Discroll berulang kali pun percuma, tak ada namaku dideretan pemenangnya.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Aku gagal di kompetisi literasi. Bukan juga kedua, ketiga, atau bahkan kelima. Sudah berkali-kali banyaknya Aku mendapati berita yang sama, pengumuman bahwa naskahku tersisih oleh peserta-peserta lainnya. Memaksa naskah tersebut menjadi penghias blog semata. Meski begitu, tak lantas Aku jadi terbiasa. Penolakan terhadap tulisan serona penolakan pula terhadap harapan. Sensasi serasa dihantam itu tak sedikitpun berkurang. Malahan semakin Ia terulang, rasanya kian bertambah menyakitkan.
"Abi, kenapa diem aja?" tanya Ziya, tiba-tiba. Aku menoleh, tak langsung menjawab, malah terdiam beberapa saat. Hingga entah kenapa Aku memutuskan untuk bercerita padanya.
"Ziya, Abi ga lolos. Tulisan Abi kalah di lomba kemarin. Itu pengumumannya.." kataku, sembari menunjuk layar handphone.
Ziya ber oh singkat, lalu berkata dengan wajah datar, "Tuh kan.. kata Ziya juga" ucapnya, polos. Sebuah JLEBB pun langsung menohok hatiku. "Memangnya, Ziya pernah berkata apa.." fikirku.
"Abi sih, kalo bikin cerita suka berlebihan"
JLEBB!! lagi.
"Kan Ziya udah bilang ceritanya jangan berlebihan"
JLEEBBB!!!
"Kata-katanya juga pada susah"
JLEBB!!
JLEBBB!!!
JLEBBBB!!!
Giliran Aku yg ber-oh singkat. Ziya pun pergi, mengambil selembar kertas kosong, kemudian berkutat dengan gambar manga nya. Aku memilih bergeser ke sudut ruangan, memeluk lutut.. sendirian.
^_^  he..

Sekali Hijrah Selamanya Istiqamah

Rasanya malu saja, dijejerkan bersama barisan khusus pengukir kata. Bukan sembarang kata, melainkan dijejali hikmah dan sarat akan makna. Padahal, dengan ilmu yang sedangkal ini, Aku sungguh tak layak memberi materi. Dan dengan pemahaman yang secetek ini, Aku benar-benar tak pantas untuk dianuti.
Rasanya malu saja, turut menyuguhkan dua tema yang begitu berat kandungannya. Hijrah, yang sungguh tak pernah mudah. Istiqomah, yang beratus kali lipat menyeret lelah. Dan dengan kadar iman yang masih lemah, sudah sepatutnya Aku menyalakan mode menyerah. Dengan level akhlak yang masih rendah, sudah seharusnya Aku menggeleng merasa jengah. Lalu teronggok diam tergugu.. membisu sejuta kelu.
Tapi, Hei! Bukankah menyeru pada kebaikan adalah transformasi Hijrah itu sendiri? Dan saling ingat-mengingatkan adalah penguat Istiqomah itu sendiri? Tak peduli seberapa dangkalnya ilmu, ataupun seberapa rendah iman di kalbu, hidup yang kita jalani melulu menjadi guru? Ia memberi petuah saat Kita merasa bahagia, dan mengajarkan hikmah kala kesedihan datang mendera? Pun serupa denganmu, bukan?
Jadi izinkan Kami berbagi cerita padamu. Perihal rantai-rantai setan yang begitu membelenggu. Serta upaya Kami berhijrah, berpayah-payah, lalu berpindah ke keadaan yang lebih indah.
Restui Kami untuk bertutur kisah. Tentang belati dosa yang memasung kedua kaki. Serta geliat Kami untuk berhijrah, berdarah-darah, kemudian beranjak ke keadaan yang lebih indah.
Terakhir, semoga buku ini bisa mendatangkan energi kebaikan, menyemangati Kita semua untuk terus berhijrah. Jika jatuh, bangkit lagi. Kembali jatuh, Hijrah lagi. Menerus bangkit mendekat pada Allah dan RasulNya. Melulu beristiqomah hingga jasad ditimbun tanah.
Aamiin.
#SekaliHijrahSelamanyaIstiqomah