24/08/2021

Pasti Bisa!

Tak usah cemas, nak.
Jarak hanyalah secuil jeda pada peta.
 

Lihat..
Kita masih terduduk di atas bumi yang sama.
Kita pun masih termenung menatap langit yang sama.
 

Tangis rindumu setiap hari disana,
sama derasnya dengan tangis kami setiap waktu disini.

Bersabarlah.
Sungguh, bersabarlah..

Insya Allah,
isak-sesakmu sekarang,
kan berubah tawa dan lapang di masa depan.
 

Susah-lelahmu sekarang,
kan berbayar senang dan bangga ketika dewasa.

Maka berjuanglah, nak.
Kau pasti bisa melewati semuanya.

Kau pasti bisa.


 

Gerbang

 

Ingatkah kau, nak?

Tempat ini adalah sekolahmu ketika TK. Memang, pintu gerbang itu terlihat berbeda. Dulu, pintunya berwarna jingga, desainnya pun lebih tertutup penuh. Dan hanya menyisakan sebuah lubang berbentuk kotak, untuk membuka kunci pintu dari luar.
 
Kau ingat? Dari lubang itulah kau sering mengintip keluar. Berkali-kali melongokan kepala, berulang-ulang melihat ke halaman. Hanya untuk memastikan bahwa aku tetap berada disana, tetap menungguimu hingga tiba waktu pulang.
 
Seringkali aku harus terduduk sambil menahan kantuk. Gegara kerja dan begadang semalaman. Namun ketika melihatmu keluar gerbang dengan raut yang girang, kantukku lenyap begitu saja. Entah kenapa..
 
Terlebih tatkala kau bercerita riang tentang kejadian di sekolah. Tentang kawan sekelas, tentang guru yang kau panggil bunda, tentang yanda, pun tentang segala macam. 
 
Kau menceritakan itu sambil duduk berpegangan di atas motor, mengenakan helm hello kitty berwarna putih, serta terikat sabuk bonceng untuk pengaman.
 
Katakan padaku, apa kau masih mengingat semua itu?
 

 

Piala

Kau ingat, nak?
 
Piala ini, piala tahun 2016 ini, adalah hasil kerja kerasmu bertahun-tahun lamanya. Kau terus mengikuti kompetisi mewarnai, berulang kali. 
 
Habis kompetisi yang satu.. gagal.. menangis. Lalu kau ikut lagi kompetisi yang lain. Gagal lagi, menangis lagi, namun kau tetap bersikeras ikut ketika ada lomba di lain waktu.
 
"Ziya pengen dapet piala, abi!" bisikmu, sambil menatap barisan piala yang dipajang di atas meja panitia.
 
Aku mengangguk, mengelus kepalamu lembut sembari berkata, "Insya Allah. Yang penting sekarang, ziya berusaha dulu saja. Berusaha sebaik-baiknya".
 
Sayang seribu sayang, serona pengulangan, lomba kembali berakhir dengan sedih yang dirasakan.
Tak terhitung berapa kali aku harus menghiburmu, menghapus isak dan air mata di kedua pipimu. Berkata bahwa berani mengikuti lomba, maka sejatinya kau sudah menjadi juara.
 
Ah, kau memang teguh, nak.
 
Terbukti, tatkala piala ini akhirnya kau dapatkan. Kau melulu tersenyum bukan buatan. Sebuah piala yang memang terlihat sederhana, namun raut banggamu tertampak luar biasa.
 
Hari-hari berkesan itu masih kucatat dalam ingatan. Bahkan meski waktu telah jauh berlalu, dan jarak kian renggang memisahkan. Aku masih selalu ingat keteguhanmu itu.
 
Sungguh, kau memang anak yang teguh.
 

 

13/08/2021

Rendah

Dulu, kukira hanya aku yang paling merana, pedih sengsara menanggung luka. 

Batin ini terlampau hampa, mendapat keras berat ujian dunia.

Rahangku menelan geram, hingga hampir-hampir saja membenturkan kepala.

Padahal..
Orang lain memiliki sembilu yang ratusan kali lebih pilu.
Orang lain ditempa ujian yang ribuan kali lebih menikam.
Orang lain didera luka yang melulu menganga,
bahkan hingga seumur hidupnya.

Tapi anehnya..
Mereka masih bisa berdiri tegar tanpa tergoyah.
Tiada kata cerca, walau air mata deras melimpah.

Perasaan rindu yang menggebu..
Perasaan sayang yang menjulang..
Tercurah indah tanpa sumpah serapah.

Dan setelah sekian masa berlalu,
Mereka lantas tenang tersenyum,
seolah segalanya telah baik-baik saja.

Sungguh aneh..

Tidak!
Sungguh rendah..

Rendah sekali diriku,
yang masih melulu dibelenggu hawa nafsu.
Terlena pada dunia yang sekejap mata.
Sehingga kerap abai pada Yang Menciptanya.
 
Rendah sekali diriku..
Sedih membenarkan lidahku untuk meracau.
Sakit membolehkan hatiku untuk mendendam.
Padahal sesungguhnya, jiwakulah yang terlalu lemah.

Sungguh.. Imankulah yang terlalu payah.
Tak mampu menelan pahit walau sedikit.
Tak mau mendapat sakit walau secubit.
 
Rendah sekali diriku.