25/03/2014

Lomba Mewarnai



Ini adalah kali ketiga ziya kecil mengikuti lomba mewarnai. Di pagi-pagi buta ziya sudah bangun tanpa harus dibangunkan. "abi, hari ini ziya ikut lomba mewarnai ya?" tanyanya. "iya nak, makanya ayo cepet bangun, ke aer trus gosok gigi, bisi terlambat" jawabku. Anehnya, tanpa menunggu lagi, ziya kecil bangkit begitu saja, berjalan ke kamar mandi sendiri, memilih baju sendiri, makan sendiri, beberapa hal yang di hari-hari biasa sebenarnya memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Tentu saja, biasanya sebelum ke kamar mandi ia menengoki terlebih dulu mainannya, sebelum makan ia menengoki lagi mainannya. Dan selagi makan pun, mainannya itu masih ditengoki juga.

Saat sarapan, berulang kali aku mengingatkan ziya. "Barney itu warnanya ungu nak, perutnya warna hijau. Nanti jangan lupa warnai yang penuh, trus ga boleh keluar garis. Tambahin gambar awan ato bunga kesukaan ziya. Nih gambarnya kayak gini.." ucapku sembari menggoreskan crayon di atas kertas putih. Ziya menyimak dengan serius sembari mengunyah nasi didalam mulutnya. "Boleh gambar orang?" tanya ziya tak jelas. "mm.. ga boleh nak, kan udah ada barney" jawabku. Sepertinya ziya ingin menggambar princess favoritnya, seperti yang kerap ia torehkan di kertas-kertas kosong yang kuberikan.

Lomba pun dimulai, kekhawatiranku pun dimulai. Kulihat ziya dari kejauhan. Ia mengambil crayon warna hijau, lalu menggoreskannya di bagian perut gambar barney. "Bagus.." bisikku. Lalu ziya mengambil crayon lagi, warna.. biru. "waduh.. bukan nak.." bisikku lagi. Ziya tampak menoleh ke arah teman disampingnya, lalu perlahan mengganti crayon biru tersebut dengan warna ungu. fuuh... untunglah, sepertinya ziya sudah mengerti apa yang harus ia lakukan. Akupun berjalan menjauh, mencari tempat berteduh. Lalu membuka kembali modul yang kumasukkan di tas ziya yang kubawa, ada tugas yang harus dikerjakan.

Kurang lebih lima menit kemudian, aku mengecek ziya. Terlihat ziya menopang dagu dengan lengan kirinya. Sementara lengan kanannya berada di atas kertas gambar barney berwarna ungu dan hijau. Tampaknya ziya sudah menganggap itu selesai. Padahal panitia berulang kali meneriakkan bahwa warnanya harus penuh, tidak boleh kosong. Akupun mendekati ziya, sulit.. berdesakan dengan orang tua lain yang kebanyakan para ibu. "ziyaa..!!" teriakku. "ke ziya mah lewat sini saja" ujar seorang bunda. Aku lalu mendekat. "Ziyaa.." yang diteriaki menoleh. Aku lalu memberi tanda, tambahin gambar belakangnya, tambahin awan, warnai yang penuh..
Entah mengerti atau tidak, ziya bergerak malas. Tanpa melepas tangan kiri di dagunya, ziya meraih pensil dengan tangan kanannya. Lalu mulai mencorat-coret. Aku memperhatikan..

Anggap saja waktunya sudah habis. Ziya memberikan karyanya pada sang bunda. Sekilas bisa kulihat. Sebuah gambar barney berwarna ungu dan hijau di tempat yang seharusnya. Ditambahi ziya dengan garis-garis lurus di samping kanannya, yang kutahu itu adalah gambar rumput. Didekatnya ada bulatan-bulatan kecil tak berbentuk, yang kutahu pula itu adalah gambar bunga versi ziya. Ziya pun menambahi dengan gambar lingkaran di atas telapak tangan barney. Itu maksudnya adalah, kekuatan. Ya, ziya membayangkan barney memiliki kekuatan entah itu es atau cahaya di kedua tangannya. Di sekeliling barney pun ziya tambahkan garis-garis bermacam warna, seolah barney tengah dikelilingi pelangi. Waduh.. ziya sepertinya lupa dengan pelajaran saat sarapan tadi. Ia hendak memberikan yang terbaik yang bisa ia berikan pada gambar barney di depannya. Lihat saja, ziya menuliskan pula kata "Barni" dalam kotak, yang setiap hurufnya dihias menurut hiasan terbaik yang ia tahu. Yaitu beberapa gulung lingkaran yang meniru tulisan pada judul film "sofia the first". Intinya, ziya telah memberikan yang terbaik yang ia miliki pada gambar barney dihadapannya.
            

Sayangnya, faktor "imajinasi" bukanlah faktor utama dalam penilaian sebuah karya yang dilombakan. Jikapun diperhitungkan, mungkin ia berada jauh dibawah faktor kerapihan dan penggunaan warna. Ziya yang belum bisa sempurna memetakan imajinasinya pada sebuah kertas, tentunya akan mendapat hasil yang mengecewakan.
Terbukti, saat pengumuman dibacakan. Dari juara harapan 3 sampai juara utama 1, tak ada nama ziya disebutkan. Yang juara utama ternyata teman ziya sendiri, teman satu sekolah. Ziya menyaksikan dari jauh ketika temannya itu, berikut bunda-bundanya melonjak girang saat sang panitia membacakan hasil tersebut. "Waah.. temen ziya yang me.." ujarku terputus, melihat ziya yang mau menangis. "ziya.. pengen.. juara.." bisiknya. Air mata pun meleleh dari matanya, yang cepat-cepat ia hapus dengan lengan bajunya. "udahlah nak.. ga apa2, kita pulang aja yu.." ujarku sembari menuntun ziya berbalik. Menjauh dari area lomba.

Kami berdua duduk di pelataran toko. Ziya masih juga terdiam, menyembunyikan matanya yang masih berkaca-kaca. Aku menepuk halus punggungnya. "ziya, udah.. ga apa-apa. Ga semua yang ngikutin lomba harus jadi juara sekarang. ziya tadi lihat gambarnya temen ziya kan?" tanyaku. ziya mengangguk pelan. "kata ziya bagus ga?" tanyaku lagi. Ziya kembali mengangguk pelan. "Nah, itu artinya, ziya kalo mau juara, harus lebih rajin lagi latihan menggambar sama mewarnainya, biar lebih bagus lagi." ujarku. ziya masih juga terdiam. Tak apalah, biarkan ia mengerti apa itu kekalahan, sehingga bisa lebih memahami apa itu perjuangan. "Nak, masih ingat cerita waktu abi ikutan lomba baca waktu kecil?" tanyaku. Ziya menatapku dengan mata yang masih berkaca-kaca, lalu mengangguk. "Nah, waktu itu abi kalah kan, soalnya belum tau cara baca yang bener itu kayak gimana. Tapi apa lantas abi jadi ga mau lagi baca? kan enggak. Abi tetep belajar baca yang bener. Buku-buku yang bagus abi kumpulin. Jadi sekarang abi tahu, kalo buku itu seru. Coba kalo waktu dulu abi mogok baca, ga mau baca lagi karena ga menang di lomba. Abi ga akan bisa bacain cerita princess ke ziya, cerita raib dari keluarga bulan sama seli dari keluarga matahari, juga cerita marhotap yang bilang kalo hujan itu turun karena ada yang pipis di langit. iya kan?" paparku. ziya sedikit tersenyum, ia memang selalu tersenyum saat mendengar cerita tentang asal usul hujan. "kalo ziya rajin latihan, ziya bisa jadi juara ya abi?" tanya ziya, kali ini dengan suara yang lebih keras. Aku mengangguk mantap "Iya, Insya Allah ziya bisa jadi juara". jawabku. "Udah ah, yu kita pulang" ajakku.
Sampai di rumah ziya langsung mengambil kertas kosong dan crayon, langsung menggambar matahari, pohon, dan menunjukkannya padaku. "abi pohon teh gini ya?" tanyanya. "iya nak.." ujarku sambil tersenyum.

Sebuah Wujud Tak Sempurna

Sebuah wujud tak sempurna.
Membisu seribu bahasa.
Dari balik kotak kaca maya, ia sembunyikan keberadaannya.
Berdiam adalah ungkapan gembiranya.
Pun sedih, diam adalah perwujudannya.
Siapa peduli? Dia hanya wujud tak sempurna.

Sebuah wujud tak sempurna.
Gemetar berdiri dibalik dinding maya.
Bicaranya adalah kata tinta tak berupa.
Pun teriak bisiknya, menelurkan titik koma belaka.
Siapa peduli? Toh ia hanya wujud tak sempurna.

Sebuah wujud tak sempurna.
Terisak memeluk lututnya.
Sepi melihat ramainya dunia, dari balik jendela tak kasat mata.
Berharap seluruh dunia tak pernah sempurna seperti dirinya.
Berkhayal seluruh manusia teramat kesepian, seperti yang ia rasakan.
Siapa peduli? itu hanya harapan dan khayalan bukan..
Dari si wujud tak sempurna.

Sebuah wujud tak sempurna.
Keberadaannya seringkali dianggap tiada.
Bak terendah di berbagai sistem kasta.
Lihat saja, jerih payahnya dianggap tak berharga.
Karya-karyanya diambil begitu saja, lalu dikatai sampah belaka.
Ia didekati ketika dibutuhkan.
Namun dicampakkan ketika ia tak diperlukan.
Ia senantiasa dikucilkan..
Jikapun dianggap ada, Ia diejek segala rupa..
Namun sekali lagi mereka bicara.
Siapa peduli?
Ia hanya wujud tak sempurna

Benci.

Rasa benci yang kupunyai.
Semakin hari semakin tinggi.
Berakar dari sebuah pengharapan.
Dan berakhir dengan sebuah kekecewaan.
Benarlah apa yang orang katakan.
Jangan mengharap remah, pada makhluk berbahan tanah.

Sayangnya, rasa benci ini kian menjalar.
Mengular bak penyakit menular.
Bukan hanya pada sang sumber perkara.
Namun pada setiap inci putaran dunia.

Apa yang kulakukan..
Rasa benci tlah menjauhkanku dari kitab suci.
Tak suka tlah mengasingkanku dari ritual mulya.
Ia tlah sempurna merusak berbagai hal indah yang pernah kurasa sebelumnya.

Pergilah benci.
Hidupku terlalu singkat untuk kau penuhi.

Tak Tahu

Merindu dalam diam, sungguh kerinduan yang teramat dalam.
Berharap akan sebuah pertemuan, meski sekejap..tlah teramat cukup berbilang.
Wahai.. Kau tak tahu betapa hati ini berdesir saat menantimu.
Kau juga tak tahu betapa diri ini slalu mencari keberadaanmu.
Kau tak tahu bahwa senyummu teramat membekas dalam benakku.
Kau pun tak tahu jika namamu slalu terukir dalam mimpiku.

Sayangnya kau..
Memang tak pernah tahu..

Rindu.

Kau tahu..
Penawar rindu tak melulu dengan temu.
Sungguh banyak hati merindu,
menjadi sembuh hanya dengan secangkir waktu.

Tuangkan saja pada rindu yang menggenang.
Biarkan ia menguap meski perlahan.
Menggulung menggumpal menjadi awan.
Hilangkan genangan, di hati yang paling dalam.

Kawan..
Kerinduan itu ibarat pertanyaan.
Dan perjumpaan, bukanlah satu-satunya jawaban.
Tak sedikit insan terpenjara kerinduan.
jadi terbebas, lantaran masa yang bertiupkan.

Hembuskan saja pada rindu bertumpukkan.
Biarkan ia beterbangan tak terarahkan.
Melayang menghilang dari pandangan.
Sisakan kenangan, di hati yang tersembunyikan.

Sayang seribu sayang..
Rinduku tlah jeri ditikam belati.
Rinduku tlah masam ditelan zaman.
Rinduku.. tlah kelu hingga membatu.
Ribuan waktu sekalipun, sungguh tak mampu membungkam rindu.
Jutaan masa yang ada, sungguh tak guna hapus keberadaannya.

Entahlah kawan..
Rindu yang mengawan, ia akan kembali terhujankan.
Rindu yang melayang, ia akan kembali terjatuhkan.
Hadirkan kembali bayangan.
Datangkan kembali kenangan.