09/05/2017

Ulah Zahdan

Jalanan teramat ramai, barisan kendaraan bergerak merayap, terhalang hilir mudiknya orang. Maklum, jam segini ini adalah waktunya bagi anak-anak sekolah bubaran. Dan masing-masing orang tua datang untuk menjemput mereka pulang. Berdesakan, dulu-duluan, khawatir anaknya menunggu kelamaan.

Aku?

Tidak, Aku memilih menunggu di trotoar saja. Tak ingin ikut berdesakan ke pelataran sekolah atau mengantri di depan kelas. Ziya kubiarkan saja menunggu barang sebentar. Tentulah, siapa yang mau berdesakan disana jika sebagian besar orang tua penjemput adalah para ibu. Risih, lebih baik menunggu lengang.

"Abi.. mau jajan kalpiko.." rajuk Zahdan, yang berada dalam gendongan. Aku menghela nafas, menatap raut wajah zahdan yang setengah lelah. "Oh..Iya, Zahdan belum jajan ya? Aduuh..maaf ya.." jawabku, sembari tersenyum. Zahdan ikutan tersenyum, lalu berkata "iya Abi. Abi pasti lupa ya? Abi lupa kan? Abi lupa beliin jahdan kalpiko ya?" serunya berulang-ulang. Aku tertawa, "Aduuh..Iya Abi lupa. Zahdan suka calpico yang warna ungu kan? nanti kita beli ya, tapi tunggu kaka ziya dulu. Kasian, hawatir nyari-nyari kalo kita tinggal sekarang" ucapku. Zahdan mengangguk mengerti.

Peluh semakin meleleh di dahi dan pipi, hari ini panas sekali. Zahdan kuturunkan, tanpa sedikitpun melepaskan tangannya dari genggaman, takut hilang ditelan keramaian. Mataku menatap para ibu yang menuntun anak-anak mereka keluar sekolah, mereka ribut bercerita dan menyapa satu sama lain. Terkadang berhenti untuk mengobrol, menghalangi jalan mereka yang di belakang. Geregetan melihatnya, tidak bisakah acara mengobrolnya ditunda? disambung nanti-nanti lagi. Bukankah yang mau menjemput anak di belakang masih banyak. Hmph..

Zahdan masih mengoceh soal kereta thomas, seputar temannya percy yang ketakutan pada bayangan monster. Padahal bayangan itu hanyalah tumpukan jerami, jendela rumah, atau tali jemuran. Aku mengangguk-angguk mendengarkan. Sekali-kali bertanya padanya, apa ia takut sama monster juga. Zahdan dengan tegas menggeleng. "Jahdan mah ga takut sama monstel. Jahdan kan pembelani" katanya. "Oh..kalau sama balon?" sindirku, sambil melap keringat di dahi dengan lengan baju kiri. Zahdan mengernyit, ragu menjawab takut atau tidak. Dulu pernah ada balon meledak tepat di tangannya, itu sebabnya Ia tak mau dekat-dekat lagi.

Zahdan belum sempat menjawab, ketika Aku melihat jalanan sudah sedikit lengang, tak lagi berdesakan. Tak menunda waktu, Aku menarik lengan Zahdan, berusaha menerobos masuk. "Ayo Zahdan..!!" ajakku. Yang diajak tergopoh-gopoh mengikuti, berusaha mengimbangi kecepatanku. Namun terganggu, karena melewati banyak pedagang makanan dan  mainan di sekitarnya. Matanya melihat kesana kemari, bahkan beberapa kali kakinya hingga terantuk sesuatu. Paham situasi, Aku langsung menggendong Zahdan lagi. Memegangnya dengan dua tangan erat, lalu melesat. Bukan apa-apa, Zahdan yang sekarang memang sudah bertambah berat.

Alhasil Aku tiba di depan kelas Ziya dengan tangan yang gemetar kehabisan energi. Sepulang kerja tadi pagi, Aku memang belum sempat menyendok nasi. Terlanjur tidur lantaran kelelahan sembari menemani zahdan menonton film thomas. Bangun-bangun langsung bergegas berangkat menjemput ziya.

Beruntung, Ziya bisa dibilang sudah bisa bersikap lebih dewasa. Ia tak merajuk atau protes ketika Aku belum datang menjemputnya. Ia menghabiskan waktu sambil menulis cerita, atau menggambar komik, hobi barunya. "Sumimasen, watashi datangnya lama. Anata marahkah deska?" kataku. Mencomot asal kata-kata dalam bahasa jepang. Ziya tertawa, lalu menggeleng. Dia memang sedang senang-senangnya pada film aikatsu, komik jepang, dan yang sejenisnya. Membuatnya kadang melafalkan satu dua kata-katanya. Aku tak mau kalah, mengingat-ingat dialog dalam film naruto yang pernah kutonton.

"Watashi Maziya desuka!" katanya, lagi-lagi bab memperkenalkan diri. Aku balas tertawa, lalu mengangguk. "Wakarimasta, Watashi Abi desuka" jawabku. Zahdan tiba-tiba menarik rambutku, "Abi..abi.. lihat..lihat.." katanya, memaksaku untuk mengarahkan wajahku padanya. Setelah merasa aku memperhatikannya, zahdan lalu berujar, "mm.. ada yang bisa ngomong jepang?" katanya, meniru iklan air minum kemasan. Tanpa kujawab, Zahdan lalu menjawab sendiri pertanyaannya, "sa..saya Pa. mm.. JEPANG!" ucapnya setengah teriak, lalu terkekeh girang. Ziya ikut tertawa melihat kelucuan adiknya.

Tak lama, Kamipun beranjak dari sekolah. Aku menggendong Zahdan di tangan kiri, sekaligus menuntun Ziya dengan tangan kanan. Dilihati beberapa ibu dan para pedagang yang berada di pelataran. "Abi..jahdan mau jajan kalpiko tea..!" katanya. Aku menjawab dengan anggukan, "Iya.. kita beli sekarang ya.." kataku. Tangan Ziya dalam genggaman, kutarik sedikit. Memberi isyarat agar jalannya dipercepat. Seorang pedagang yang sedikit akrab memandangiku, lalu berkata menyapa "waah..yang satu digendong, yang satu dituntun. ibunya kemana pa?" katanya. Aku hanya tersenyum, tak menjawab meski dengan satu kata saja. Percuma, dijawab pun pedagang itu tak akan lantas membantu menggendong Zahdan. Atau setidaknya membawakan tas berat Ziya yang berada dipundakku. Lagi-lagi percuma. Hanya dalam fikiran saja berkelebat sebuah kalimat. 'Ibunya..sedang di..hmph entahlah..'.

Mungkin ini sudah menjadi takdirku, menghabiskan hampir seluruh hari bersama anak-anak. Mencuci kendaraan, cari makan, ke tempat permainan, semua bersama Ziya dan Zahdan. Tak apa, mereka memang lebih akrab padaku. Kami seringnya kemana-mana hanya bertiga. Sudah menjadi takdirku, beristrikan seorang pekerja pintar. Yang memiliki mimpi besar, tanggungjawab besar. Ini sudah takdir.. sungguh..ini sudah takdir.

Panas makin menyengat, peluh semakin bercucuran di dahi dan kedua pipi. Aku merasa lelah, sangat lelah. Lalu menurunkan Zahdan dari gendongan. "Zahdan jalan sendiri ya..Abinya cape.." ucapku. Tanpa kusangka, Ziya menangkap keringat letih di wajahku. Ia lalu berkata padaku, "Abi..di tas ziya ada fruit tea kesukaan Abi. Snack dari bu guru tadi. Buat Abi aja.." ucapnya, tulus. Aku tersenyum menahan haru. "Oya? Alhamdulillah.. ma kasih ya Ziya, Abi memang lagi haus ini teh" kataku. Setelah berjongkok, dan mengeluarkan minuman itu dari tas ziya, segera aku meminumnya. Sesaat terasa segar. Ya, sesaat.. Karena tiba-tiba, Zahdan meraih paksa minuman itu. "Jadan juga mauuu!!" teriaknya, tangannya merebutnya dariku. Ziya langsung melarangnya, "Zahdaan!! itu mah buat Abi. Zahdan mah kan nanti beli calpico" katanya. Zahdan tak peduli, Ia tetap merajuk, mau menangis.

"Sudah..sudah.. Ga apa-apa Ziya, mungkin Zahdan juga haus. Tadi kan ikut nungguin Ziya diluar sekolah. Ni Zahdan..minum. Tapi sambil duduk, ga boleh sambil berdiri" kataku. Zahdan tersenyum senang, Ziya menatapnya sambil bersungut sebal. Aku mengalihkan pandangan ke arah sekitar, supermarket masih berjarak beberapa rumah lagi, mungkin sebaiknya sekalian saja sambil mencari nasi untuk makan siang sekarang. Perutku terasa sangat lapar, anak-anak juga sudah waktunya makan siang.

"Abi, udah.." kata Zahdan lima detik kemudian, minuman itu diberikan lagi padaku. Aku menerimanya, hendak meminumnya, tapi.. "Zahdaaaaan!!! Minumnya dihabisiiiin??" ujarku, setengah teriak. Zahdan tertawa-tawa tanpa merasa bersalah. "iya. hehe..." jawabnya, polos menunjukkan raut wajah lucunya. Aku menggeleng-geleng tak percaya, Zahdan ternyata bisa menghabiskannya sekejap saja. Mungkin ia memang sangat haus, atau mungkin mau menjahiliku. Yang pasti, melihat ekspresi kesalku Zahdan malah semakin tertawa senang. Kakaknya tak berkomentar, Ia ikut menggeleng-geleng tak percaya. "Zahdaan..zahdan" katanya.