21/10/2016

Saputangan Biru

Saputangan biru, tergenggam erat di tangan kananku. Meski begitu kumal dan sedikit berbau, memori didalamnya sempurna tak bisa ditiru.
Kau ingat? Saputangan biru ini yg menghapus air matamu. Saat kau datang padaku, mencurahkan keluh kesahmu. Menangis tersedu, terluka karena cinta. Dia yang kau puja, ternyata tertangkap bermain mata. Cemburu, itu katamu.
Lidahku kelu, gagap aku menghiburmu. Meminjamkan saputangan ini, lalu berpura2 menjadi bijak, berkata satu dua kalimat penambah semangat.
Saputangan biru, kuletakkan diatas meja. Saat kau datang dengan pipi yang merona. Bola matamu bersinar dengan indahnya. Lalu kau berkata, "tolong sampaikan salamku padanya!" katamu, dengan pipi yg semakin memerah. Aku terpaku, diam..membisu. Demi menatap ayu nya wajahmu, kepalaku mengangguk, namun hatiku menggeleng. Ia yg menyakitimu, bagaimana mungkin kau masih juga memberikan hatimu padanya. Aku tak mau kau menangis lagi, aku tak mau kau terluka lagi, aku tak mau hatimu untuk yg lain lagi. Dan, salammu itupun.. kusampaikan. Kau begitu terharu, titik air mata diujung matamu, kau seka dengan saputangan biruku.
Saputangan biru, memudar berubah abu, kumasukkan kedalam saku. Sesaat setelah ku melihat kedatanganmu. Dengan mata yang sembap, dan masih terisak menahan sesak. Pedihnya luka kau katakan, rasa kecewa pun kau utarakan. Penghianatan, itu yg hendak kau jelaskan.
Aku tergugu, menatap pilu air mata yg mengalir di pipimu. Hatiku merana kala melihat kau terluka. Deras hujan diluar sana, tak lebih menyedihkan dibanding hujan dari sudut matamu.
Kau terdiam, heran dengan sebuah keganjilan. Bukankah biasanya aku selalu menyodorkan saputangan biru untuk menghapus airmatamu? Aku tertunduk. Cukup.. Tidak kali ini.
Saputanganku berubah abu, lebih kelabu warna hatiku. Aku orang yang diam2 menyukaimu. Terlalu menyukaimu malah. Merelakan separuh hatiku hancur berkali2. Membiarkan jiwaku koyak berulang2. Karenamu.. Ya, karenamu. Karena aku benar2 mencintaimu. Tidak, tak ada lagi kalimat pemberi semangat. Huruf2nya sudah teramat berkarat.
Saputangan, yg tak lagi biru, kusodorkan tepat kehadapanmu. Kepalaku tertunduk, lirih membisikan tiga kata padamu. Tiga kata yg tertancap jauh didalam kalbu. Tiga kata yang paling tak ingin kukatakan, terutama padamu.
"aku menyerah atasmu" lirihku.

Kisah Danu

Namanya danu, seorang remaja berseragam putih abu yang begitu pemalu. Sayang, virus merah jambu datang tak pandang bulu. Tak melihat pemberani atau bukan, virus itu menyerang siapa saja, termasuk danu. Ia datang hanya sesaat setelah pertemuan danu dengan ayu, adik kelasnya sendiri. Ayu berparas elok, sungguh senada dengan namanya, membuat danu selalu tersipu setiap kali berpapasan dengannya. Semburat merah di pipinya, ingin sekali mengungkapkan isi hatinya. Sekali lagi sangat disayangkan, danu yang pemalu, tak pernah mampu berterus terang pada ayu.
Seminggu dua minggu, danu masih mampu diam membisu. Sebulan dua bulan, danu terus bertahan sembunyikan perasaan. Hingga tiba purnama kelima, anggrek putih mekar dengan indahnya, danu tak lagi bisa memendam cintanya. Ia harus berkata.. Ia harus mengungkap rasa.. Setidaknya hendak memastikan, apa tangannya bertepuk sebelah saja.
Dan, kata2 itupun diutarakan. Dengan lutut yg gemetaran, dengan wajah yg kemerahan, dan dengan jantung yg berdegup begitu kencang. Danu berhasil membuat ayu tahu, bahwa dirinya dihadiahi separuh hati danu.
Sayang seribu sayang, ayu menolaknya. Tak ada tempat bagi danu di hati ayu.
Remuklah danu seketika, berat langkahnya, sedih hatinya. Danu..ditolak.
Lalu, apakah danu menyerah? Tidak ternyata.
Beberapa bulan setelah itu, danu kembali menyatakan cintanya. Dan ayu pun lagi2 menolaknya. Begitupun beberapa bulan sesudahnya, pernyataan cintanya ditolak lagi dan lagi. Danu selalu tersungkur, hatinya remuk berulang2. Harapannya kandas diambang batas. Lalu mengapa ia terus saja mengutarakan perasaannya? Karena ia adalah org yg bodoh. Dan mengapa ia tak memalingkan saja cintanya? Sekali lagi karena ia org yg bodoh.
Tapi lihatlah sekarang, kebodohannya membuatnya kini tengah bersanding di pelaminan bersama Ayu. Hati yang remuk itu secara ajaib utuh kembali. Memang butuh waktu lama bagi ayu untuk mengerti kesungguhan cinta danu. Tapi buah perjuangan danu terbayar sudah, di kali ke 7 ia menyatakan perasaannya, ayu ternyata mengangguk menerima danu menjadi suaminya. Jika saja di kali ke 3 danu berputus asa, tentulah tak akan seberuntung ini nasibnya.
Cinta memang perlu diperjuangkan.

Sayang, di dunia ini tak semua orang memiliki kisah seberuntung danu. Banyak diantara mereka yg melanjutkan hidup dengan hati yg tinggal separuh. Sungguh banyak diantara mereka yg melangkah dengan asa yang jeri merekah. Ah, urusan perasaan ini memang sulit sekali dijelaskan. Orang mampu bertahun2 memendam cinta, padahal yg dicinta sedikitpun tak peduli padanya. Dan adapula org yg terus menerus memasung setia padahal yg disetiai justru sudah melaju di pelaminan sana.
Aneh memang..
Ayu terlihat elok dengan busana pengantin berhiaskan. Untaian melati menjulur ke bawah menutupi wajah. Kedua mata basah, tak jelas untuk siapa ia bersimbah. Dan saat seorang pemuda tiba2 berdiri dihadapannya, kedua tangan terangkat mendoakannya. Saat itulah ayu begitu merona pipinya. Kenapa? Kenapa bukan dia yg menikah dengannya? Padahal ayu yg lugu, teramat lama memendam rindu, bahkan sejak mereka berbaju putih biru.
 

Zahdan dan Swalayan

"Selamat datang di ****mart, selamat berbelanja." ucap seorang pelayan toko, hanya sesaat setelah kami melangkah masuk. Aku mengangguk, berterima kasih atas ucapan ramahnya. Seorang anak kecil disampingku sudah melesat masuk, berlari mencari2 rak berisi mainan, rak kesukaannya. Sementara kakaknya, berjalan dengan santainya menuju rak berisi buku dan alat tulis. Keduanya sama2 tak acuh pada ucapan selamat datang dari penjaga toko. Membuatnya merasa menjadi patung belaka. Hei, jangan marah, setidaknya aku sudah mengangguk bukan?
Zahdan, anak kecil yg melesat ke rak berisi mainan, sudah ribut berteriak kepadaku. "Abiih.. Ferdinand nya ga ada. Cuma ada persi sama helold" ucapnya dengan antusias. Ferdinand adalah nama salah satu kereta mainan. Zahdan sudah mengoleksi beberapa diantaranya, dan ferdinand adalah satu yang ia belum miliki. Aku kembali mengangguk, "yaah..sayang ya. Ga apa2 lah, zahdan beli makanan aja ya?" tawarku. Zahdan kembali berbalik, menjelajah rak2 di toko tersebut.
Aku menuju ke rak berisi alat tulis, tampak ziya tengah khusyu melihat2 kertas binder, tempat pensil, juga stiker2 lucu. "Ziya, beli makanan aja ya?" saranku. Ziya tak menjawab.
Aku mengambil sebotol air minum, lalu berbalik mencari zahdan. Aneh, zahdan tak ada di rak jajanan. Aku mencarinya di rak mainan, tak ada juga. Zahdan seperti menghilang, suaranyapun tak terdengar. Aku langsung menuju rak alat tulis. Terlihat ziya masih khusyu disana. "ziya, lihat zahdan ngga?" tanyaku. Ziya masih juga tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua pundaknya, tak acuh. Matanya tak bergeming dari sebuah tempat pensil bergambar tokoh my little pony. Aku menghela nafas, lalu kembali menyusuri rak demi rak, satu persatu. Mencari bocah kecil yg biasanya berteriak2.
Tiba di rak terakhir, aku menangkap sebuah bayangan tengah mengendap2. Kepalanya melongok perlahan, mulutnya cekikikan. Aku melihatnya dari belakang, tersenyum . Rupanya ini alasan zahdan sulit ditemukan. Ia bersembunyi dariku, menganggap toko ini tempat yg ideal untuk bermain petak umpet.
"zahdan!" panggilku. Zahdan berteriak kaget, lalu tertawa2 sambil berlari kembali. Penjaga toko melihat kami tanpa ekspresi. Aku mulai merasa risih dengan tatapannya.
Aku mencoba mengejar zahdan, terlambat. Zahdan sudah menghilang kembali dibalik barisan rak. Aku menepuk jidat, "aduuh zahdaan.." gumamku.
"Abi, boleh beli ini?" tanya ziya, tiba2 saja ada di belakangku. Ia menunjukkan sebuah tempat pensil berwarna pink. Aku menghela nafas, lalu setengah berbisik aku menjawab, "abinya belum gajian nak... Beli makanan aja ya..?" ujarku. Ziya menghela nafas, kecewa, tapi kuyakin ia bisa mengerti. Bukan sekali dua kali aku memberi pengertian seperti ini padanya. Dan ziya selalu bisa memaklumi. Cara berfikirnya sudah lebih dewasa dibanding anak lain seusianya.
Ziya berlalu, mengembalikan tempat pensil tersebut ke tempatnya semula. Sesaat setelah ziya berbalik, aku melihat zahdan mengendap2 tak jauh dari rak alat tulis. Refleks aku menyambar tangan zahdan. Zahdan berteriak kaget, lalu tertawa2 riang.
"zahdan, beli makanan ya. Mau boboiboy atau chiki?" sergapku langsung. Zahdan masih terkekeh saat menjawab "boboiboy rasa coklat" jawabnya spontan. Aku mengangguk mengiyakan, lalu menuntunnya ke tempat rak makanan.
Belanjaan tengah dihitung kasir toko. Aku menghitung kasar angka2 yg tertera di layar monitor. Khawatir isi dompet tipis yang kubawa tak cukup untuk membayar total tagihan akhirnya.
"Alhamdulillaah.." bisikku, puas setelah melihat ternyata tagihannya tak sebesar yang kukhawatirkan. Akupun bergegas membayar, lalu berbalik hendak keluar toko tersebut. "ziya, zahdan, ayo!!" panggilku. Yang dipanggil tak menyahut. Aku menoleh, tak ada siapa2 dibelakangku. Hanya penjaga toko yang memandangiku tak mengerti, membuatku merasa risih untuk kedua kalinya.
Aku menyusuri rak, melihat ziya yang terduduk di lantai, menimang2 tempat pensil berwarna pink. "aduh ziya! Ayo!!" panggilku. Ziya tersentak kaget, mengangguk, lalu melangkah mendekat dengan santainya. "zahdan mana?" tanyaku. Ziya menggeleng, "ga tau, tadi mah ada disini" jawabnya. Aku bergegas ke rak mainan, tak ada. Ke rak makanan, tak ada juga. Zahdan pasti bersembunyi dariku, lagi. Menganggap toko ini tempat yg sempurna bermain petak umpet.
"Zahdaaan!!! Abi tinggal ya!!" teriakku, berusaha tak acuh pada penjaga toko yang masih memandangiku. Dan zahdan akhirnya menyeruak keluar sembari tertawa2, puas sudah mengerjaiku. Aku menggeleng2 kepala.
"terima kasih, ditunggu lagi kedatangannya" ucap penjaga toko, terdengar hambar. Karena Ziya dan zahdan sudah berlari keluar, tak acuh pada kata2 penjaga toko. Aku juga sudah berlalu tanpa sempat mengangguk, karena terpaksa harus berteriak lagi, "zahdaaan.. Jangan lari2, bisi ada motor!!! Ziya, tuntun zahdan! Tuntun zahdaan!!" teriakku.

Duhai

Duhai, lidah ini ringan sekali menyanyikan lagu kebaikan. Padahal kaki ini sedikitpun tak mampu menarikan iramanya.
Jangankan menari, untuk berdiri saja mereka gemetar begitu kuat. Jangankan berlari, untuk melangkah saja mereka tertancap kubangan lumpur yang teramat pekat.
Lihat, lihatlah kawan dan saudaraku. Mereka sudah terbang jauh ke langit sana. Sementara aku masih jua terbelenggu dalam kisah dan dongeng diatas tanah.
Wahai putri dan pangeran kecilku. Jika kelak kalian memasuki pintu syurga Jannah. Ingatlah, ingatlah pada alif ba ta tsa yang kuajarkan pada kalian dulu. Ingatlah pada ruku dan sujud yang kucontohkan dulu. Ingatlah pada nasihat kebaikan yang kubacakan sebelum kalian tidur dulu.
Jangan biarkan abi kalian ini terpanggang dalam api yang tak henti menyala-nyala.

03/10/2016

Roda Kereta dan Rambut Zahdan

Zahdan kecil tengah asyik bermain keretanya. Flynn, Emily, dan Hero bisa kembali melaju diatas rel dengan semangatnya. Tentu saja, dengan batu baterai yang baru diganti, mereka tak ragu lagi meski harus berulang kali berkelok mengelilingi jalur berbentuk angka 8 tersebut. Tak ada suara peluit kereta, yang ada malah teriakan zahdan. Ia tertawa-tawa saat melihat salah satu keretanya terguling saat berbelok. Beberapa kali aku menangkap basah ketika zahdan ternyata dengan sengaja mengganjal rel dengan potongan lego, membuat keretanya terguling dengan sengaja. Hmph..ada-ada saja.
Ulah zahdan ternyata tak berhenti sampai disitu saja. Bosan dengan lajur kereta yang searah, ia membuat satu keretanya berbalik berlawanan arah. Akibatnya kereta-kereta itu bertabrakan satu sama lain tepat di bumper depannya. Mereka tak melaju, masing-masing saling mendorong. Beberapa detik kemudian keduanya terguling. Mengundang tawa dan teriakan zahdan yang kegirangan melihatnya. Kasihan sekali kereta-kereta itu.. Sayang, mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas zahdan. Akupun memilih pergi ke kamar, mengistirahatkan mata yang terasa pedih, akibat kurang tidur semalam.
***
Zahdan menepuk-nepuk lenganku. "Abi..abi.. Bangun. Ini Flynnnya nempel.." ujar zahdan. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, sembari menggerutu kesal. "Aduh Zahdaan.. Abinya ngantuk nak, kan semalem kerja. Abi pengen tidur dulu barang seben..." ucapanku terpotong. Karena kesalku berubah 180 derajat menjadi tawa. "ini Flynnya.. Nempel terus.." ulang zahdan lagi. Aku tak kuasa menahan tawa "he..he... Astaghfirullaaah... Zahdan..zahdan. kenapa Flynnya bisa ada di kepala zahdan atuh?" tanyaku, sembari tetap terkekeh melihat sebagian rambut zahdan terbelit kedalam roda mainan kereta tersebut. Zahdan malah ikut tertawa, tak sedikitpun ada ekspresi kaget di wajahnya. Aku mematikan mesin kereta mainan, lalu berusaha mengurai rambut zahdan di roda mainan tersebut. Sebagian berhasil terlepas, namun sebagian lagi sulit bukan main. "Huft.. Zahdan, ini mah susah, gunting aja ya?" tanyaku. Zahdan tak menjawab, ia masih terlihat sumringah ada kereta menggantung di kepalanya, mungkin berasa tambah keren. He.. Dengan hati-hati, aku menggunting bagian rambut zahdan yang terbelit. "Nah, udah zahdan, keretanya udah lepas" kataku. Zahdan masih tak berkomentar, raut wajahnya berubah kecewa. Mungkin merasa kerennya berkurang. Mudah-mudahan, ia tak lantas sengaja menggantungkan lagi kereta-kereta mainan yang lain di kepalanya.

Membujuk Zahdan

Zahdan kecil menangis keras, berteriak-teriak begitu nyaringnya. "GA MAUUU !!!" ujarnya, sembari menghentak-hentakkan kakinya ke kursi, kesal. Aku menatapnya iba, jarang sekali zahdan bersikap seperti ini. Biasanya jika kesal pada orang lain, ia akan gunakan tangan atau kakinya. Pernah ketika seorang anak tetangga main ke rumah, ia lalu mengambil mainan kereta zahdan tanpa minta izin terlebih dahulu. Zahdan kesal, tanpa ba bi bu didoronglah anak tersebut hingga mundur beberapa langkah, nyaris jatuh terjengkang. "Ga Boleeh!!" tegasnya, sembari merebut mainannya cepat. Anak tetangga tersebut melongo heran, kaget bukan kepalang. Pun dengan anak-anak lain, zahdan tak segan-segan meluapkan kekesalannya. Jika tangannya ditahan, kakinya yang maju. Ck..ck..
Tapi tidak kali ini, sepertinya zahdan merasa segan untuk melawan, ia hanya bisa menangis menahan kesal. Pasalnya hanya satu, aku mengajaknya menjemput ziya kakaknya dari sekolah. Dan zahdan tak mau, ia menolak ajakanku. Jika difikir, wajar rasanya zahdan menolak, karena sedari pagi tadi zahdan sudah diajak kesana kemari, mengantar ziya ke sekolah, mengantar jemput umminya, dan itu bukan hari ini saja. Hampir setiap kali zahdan selalu dibawa, apalagi saat aku libur seperti hari ini, seharian penuh tugasku mengasuh dan menangani masalah transportasi. Sayang, tampaknya zahdan mulai merasa lelah. Tak mau menurutiku, ia menangis dan berteriak-teriak.
Jam menunjukkan pukul 10:30, ziya bubar sekolah setengah jam lagi. Sekolah ziya terbilang cukup jauh, seharusnya aku sudah berangkat dari sekarang. Dengan terburu2, aku membujuk zahdan dengan iming-iming permen dan jajan ke swalayan. Tak berhasil, zahdan tetap menolak. "zahdan, kasian kak ziya, ga ada yang jemput" ucapku. Zahdan tak terpengaruh, tetap menangis menolak dan bilang "ga mauuu!!!" teriaknya. Waduh, aku harus bagaimana, masa ditinggal di rumah sendirian, otakku berfikir keras.
"Zahdan mau kuding?" tanyaku, maksudnya puding buatan sendiri, berwarna orange.

Zahdan memang belum fasih menyebutnya puding, ia malah memanggilnya kuding. Kue "putu" ia sebut dengan kata "kutu", "toko" pun ia katakan "koto", he.. "Itu tuh, yang rasa mangga, kesukaan zahdan" ucapku lagi. Masih dengan menangis, zahdan berkata "mmauu..." lirihnya. "iya, abi ambilin. Tapi zahdan berhenti nangisnya ya.." kataku, lalu berbalik, mengambil puding dari kulkas.
Zahdan masih sesenggukan saat kusuapi puding tersebut. Ia begitu lahap memakannya. Berkali-kali aku memujinya, menyebut cara makannya hebat. Jam sudah menunjuk 10:37, aku kembali memutar otak.
"zahdan, kereta zahdan teh siapa aja? Emily, Hiro, mm..sama siapa ya?" tanyaku. Zahdan langsung menjawab "sama Flynn!!" jawabnya, tak terlalu jelas, mulutnya penuh dengan puding. "Oh iya, Flynn, abi lupa" ucapku. "Eh, sayang ya.. Flynn, Hiro, sama Emily nya ga bisa jalan. Batere nya udah abis ya nak?" lanjutku. Zahdan mengangguk, ia masih sesenggukan. "Batere nya harus diganti !" ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, tapi batere abi di laci udah abis, ga bisa ganti sekarang" kataku. Zahdan menatapku kecewa. Lalu, dengan hati-hati aku berkata padanya, "gimana kalau kita beli dulu di swalayan, sambil jemput kaka ziya. Kan kasian Flynn sama Hiro, ga bisa maju di rel" ajakku. Zahdan mengernyit, berfikir sejenak. Aku bertanya lagi, "gimana? Mau?" tanyaku. Zahdan menatapku, lalu menjawab "mauu!!" jawabnya. Aku menghela nafas lega. "Alhamdulillaah.." bisikku, sembari melirik ke arah jam dinding. Jam 10:45, aku harus bergegas..

"Ya Allaah...!!" ucapku, spontan. Kulihat antrian kendaraan dari kejauhan, begitu panjang, mengular hendak melintas di jembatan cimanuk. Heran, padahal tadi pagi saat aku mengantar ziya sekolah, jalannya lancar-lancar saja. Tak ada pilihan lain, aku bergegas memutar balik kendaraan. Mengambil jalur yang lebih jauh, tapi kemungkinan arusnya lebih lancar. Terpaksa, kelas ziya akan bubar jam 11:00 sebentar lagi, mudah-mudahan dengan sedikit mengebut aku bisa tiba tepat waktu, begitu fikirku. Sementara zahdan, terlihat tak peduli. Ia malah memintaku membukakan bungkus kacang telur kemasan, cemilan kesukaannya. Aku mengangguk, dan dengan mata tetap memperhatikan jalan, aku mengambil bungkus kacang itu dari tangan zahdan.
Orang bilang, laki-laki tak bisa mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Itu salah besar bung. Di balik kemudi ini, aku dituntut harus bisa mengerjakan hal lain. Membuka makanan zahdan, membuka minuman ziya, mengganti kaset film kesukaan zahdan, hingga menahan kepala zahdan gara-gara tertidur dengan sebelah tanganku. Dulu, kakaknya sering sekali tertidur diatas motor. Aku terpaksa harus memeganginya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan mengendalikan laju sepeda motor. Sampai di rumah, tangan kiriku sampai bergetar karena pegal.
"Ini nak.." kataku singkat, sembari menyerahkan kemasan cemilan yang sudah terbuka pada zahdan. "Abi masih susah.." ujar zahdan. Aku melirik, tampaknya zahdan masih kesulitan mengambil cemilannya. Lubang yang kubuat tak cukup besar. Aku segera mengambilnya kembali dengan tangan kiri, menggigitnya, lalu merobeknya lebih besar. "segini cukup?" tanyaku. Zahdan menjawab "iya" katanya singkat. Lalu ia pun khusyu menikmati cemilan tersebut.
Jalur yang kutempuh adalah jalan provinsi, beberapa kali aku tertahan truk besar dan bus yang berjalan lambat didepanku. "astaghfirullaah.." lirihku, sembari berusaha menyalip kendaraan besar tersebut.

Jam 11 tepat, aku masih di jalanan. "hmph.. Zahdan, kayaknya kita bakal telat jemput kak ziya, jam segini kita masih..." ucapku terhenti, karena kulihat Zahdan ternyata.. tidur, kepalanya manggut2 ke kanan dan kiri. Aku lekas menahan kepalanya dengan tangan kiri, khawatir ia terantuk pintu.
Pelan, aku menghentikan kendaraanku dulu. Memundurkan sandaran kursi zahdan, membaringkannya senyaman mungkin, memasanginya sabuk pengaman, dan mengamankan bungkusan cemilan yang masih berada dalam genggaman zahdan. Setelah dirasa ok, kendaraan pun melaju lagi. Kali ini dengan semua kaca jendela tertutup, karena khawatir suara bising diluar membangunkan zahdan kecil dari tidurnya. Dan dengan laju yang lebih cepat, secepat yang aku bisa, khawatir ziya menunggu terlalu lama di sekolahnya.

Gelisah masih membuatku resah, meski sudah tiba di sekolah. Bingung, bagaimana caranya menjemput ziya. Kelasnya yang berada didalam, membuatku harus masuk kesana, sementara zahdan..tak mungkin kubangunkan. Hmph..andai saja diri ini bisa dibagi dua. Keluar dari kendaraan, seorang ibu dari siswa teman ziya berkata padaku. "Pa, maziya sudah nunggu dari tadi" ujarnya. Aku bertambah bingung, "i..iya bu. Ini adiknya tidur di dalem" jawabku tak jelas, sembari menunjuk ke arah zahdan yang lelap di dalam kendaraan. Berharap ibu tersebut berinisiatif menjagai zahdan sementara aku menjemput kakaknya.
Sayang, ibu itu tampaknya terburu-buru pula. Ia pergi sembari menuntun anaknya menjauh. Aku melihat ke kanan kiri, ada tukang parkir disana. "Apa kutitipkan ke tukang parkir saja dulu?" bisikku didalam hati. "Tidak.. Tidak.. Ide yang buruk" jawabku sendiri. Arrghhh.. Bagaimana ini..
Akhirnya, aku membuka sedikit kaca jendela, agar zahdan tak merasa sesak didalam, lalu bergegas meloncat pergi. "Ya Allah, aku titip zahdan.." bisikku, sembari berlari menuju ke kelas ziya.
Di kelas, Ziya menggerutu sebal saat melihatku, "euh.. Abi meni lama sekali..!!" ucapnya. Aku tak menjawab, malah langsung memberi perintah, "ziya, cepet pake sepatu! Mana tasnya?" tegasku. Ziya mengernyit heran, namun bergegas berbalik mengambil tasnya. "Zahdan abi tinggal tidur di mobil. Makannya ziya harus cepet. Tadi jalannya macet panjang. Abi harus muter jalannya, lebih jauh lagi. Makannya telat jemput ziya" paparku, sembari memakaikan ziya sepatu di kakinya. Bukan karena ziya tak mampu sendiri, tapi ziya menurutku masih kurang cepat. Ziya tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil tanda mengerti.
Setengah berlari aku menarik tangan ziya. Bergegas kembali menuju zahdan. Ziya tergopoh-gopoh, sekuat tenaga berusaha mengejar kecepatanku.
 

Lalu lalang para orang tua yang hendak menjemput menghalangiku. Aku membetulkan tas ziya yang kutenteng di bahuku, lalu menarik kembali tangan ziya cepat. "Ziya, kita nyebrang!!" teriakku. Ziya tak sempat mengangguk, susah payah ia berlari mengikutiku, tangan kecilnya erat sekali menggenggam tanganku.
Sampai di kendaraan, kulihat zahdan masih tertidur nyenyak. Alhamdulillaah.. Bisikku. Ziya menatapku polos. Aku tersenyum, menghela nafas lega, lalu bertanya, "jadi ziya, ngisi ulangannya tadi bisa?" tanyaku. Ziya mengangguk sembari tersenyum pula. 

Kemarahan Cimanuk

Ambulan meraung-raung di tengah kemacetan. Berteriak hingga parau meminta diberi jalan. Sayang, sepagi ini bukan ia sajalah yang punya kepentingan. Karyawan kantoran, anak sekolahan, hingga ibu-ibu berburu belanjaan, semua berebut ingin didahulukan. Petugas menggeleng-gelengkan kepala tak berdaya. Ketika sebuah mobil mewah menolak untuk berhenti, tak mau memberi jalan bagi sang ambulan. Lamat-lamat, sirine ambulan memelan dan terdiam, pasrah pada keadaan. Mendekati area jembatan, macet kian parah saja. Dan jam masih menunjukkan pukul 7 lewat 20 menit. Bukan, bukan gara-gara air sungai yang meluap lagi. Bukan pula gara-gara endapan lumpur yang menutupi jalanan lagi. Tapi karena para pelancong yang berhenti begitu saja di jembatan. Memarkir kendaraan sembarang, lalu berfoto ria di depan bekas luapan sungai. Kurang ajar memang, tempat kejadian bencana, mereka anggap tempat berwisata. Mengambil gambar bergantian, sekedar untuk update instagram. Miris...
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menerobos kerumunan. Rambutnya kaku, bekas terkena lumpur yang mengering. Begitupun wajah, tangan, dan kaki anak tersebut. Berwarna coklat, tak beda dengan endapan lumpur yang tengah dibersihkan para relawan. Tiba di bibir jembatan, anak itu berteriak keras, "KAU.. KAAAU!! LIHAT APA YANG SUDAH KAU LAKUKAAAN!!!" teriaknya, menyayat hati. Semua orang memandang ke arahnya, heran. "Kau sudah menghanyutkan rumahku, kau menelan pula ayah dan ibuku. Kau merusak seluruh desa. Apa yang kau lakukan hah?" teriak anak itu lagi, kali ini dengan wajah berurai air mata, deras dari kedua ujung matanya. Tangan kanannya bergetar, menunjuk tegas ke arah sungai didepannya. "Sekolahku kau banjiri, adikku yang masih bayipun.. Kau membawanya pergi.. Hiks... A.. Apa yang kau lakukaan..." suaranya memelan, ia menangis sesenggukan. Berulang kali ia menghapus air mata dengan baju lusuhnya, percuma, air matanya selalu keluar lagi, dan lagi. Orang-orang yang berada di jembatan terenyuh, tergugu, tak mampu berkata apa2. Keadaan menjadi hening. Lirih, anak tesebut berkata lagi, "aku tak pernah berlaku buruk padamu. Hampir setiap pekan aku berenang, bermain di alirmu. Tapi mengapa justru akulah yang kau sisakan? Mengapa kau merebut semua keluargaku?" papar anak kecil itu. Seorang petugas penyelamat berjalan mendekat, hendak menenangkannya. Anak itu mengatupkan rahang, menggeram marah, lalu mengambil sebuah batu didekat kakinya. "Kau tahu, ayahku.. Ayahku selalu memuji keindahanmu, memuji ketenanganmu, memuji kesabaranmu. Ia membesarkanku dengan mengajarkan cara berteman denganmu. Dan lihat sekarang? Kau melibas orang yang begitu menghormatimu!! Kau.. KAU JAHAAAT!!" teriaknya. Dan dengan sekuat tenaga ia melemparkan batu itu jauh ke arah sungai. Tampak sekali kekecewaan dari wajah anak tersebut. Keadaan semakin hening. Semua orang masih terdiam, beberapa diantaranya malah ikut terisak pelan, menangis.
Petugas penyelamat berkata lembut, "sudahlah nak, ikhlaskan saja, ayo bapak antar ke posko bantuan" ajaknya. Sayang, anak tersebut tidak menurut, dengan wajah yang bersimbah air mata, ia mengambil batu kedua, lalu kembali melemparkannya ke arah sungai, lebih jauh dari lemparan pertamanya. "Kenapa sekarang kau diam saja hah? Jawab pertanyaanku. JAWAB PERTANYAANKU !!" teriaknya lagi. Petugas penyelamat tak mampu menahan air matanya, ia mendekat lagi, mencoba membujuknya. "Nak, sudahlah.. Ini adalah tak..." kata-katanya terhenti. Karena tiba-tiba, suara bergemuruh terdengar begitu kerasnya dari arah sungai. 
Orang-orang panik, berlarian menjauh dari jembatan. Semua ketakutan, terbayang air sungai akan meluap untuk yang kedua kalinya. Semua.. Kecuali anak kecil itu. Ia tetap berdiri tegap di bibir jembatan. Menatap sungai dengan mata yang tajam. Dengan santainya, ia mengambil kembali batu sebesar bola pingpong. Lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkannya kembali ke arah sungai. Lemparan ketiga, yang lebih jauh dari lemparan pertama dan kedua. Ajaib, bersamaan dengan menghilangnya batu tersebut ditelan arus sungai, suara gemuruh berhenti begitu saja. "Kau hendak membanjiri kami lagi hah?" tanya anak tersebut, penuh keberanian. Samar, terdengar suara jawaban. "Ma..maafkan aku nak.." terdengar tak begitu jelas, bercampur dengan suara angin yang bertiup. Namun semua orang di tempat itu, bisa menangkap suara tersebut dengan telinganya. Mereka terperangah, tak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri. Mereka menoleh ke arah anak kecil di bibir jembatan. Tampak anak itu sedang tersenyum. "Hmp..kau menjawab juga akhirnya" ujarnya. 
"Nak, selayaknya dirimu yang dibakar kemarahan, begitupun denganku. Aku yang beratus tahun menyaksikan dan merasakan sendiri prilaku manusia padaku. Mereka yang mengaku makhluk yang paling mulia. Mereka yang mengaku makhluk paling sempurna. Mereka yang diserahi peran menjadi khalifah atas bumi dan apa-apa yang ada diatasnya. Tapi lihat saja, berapa ton sampah yang mereka buang padaku setiap harinya. Berapa banyak limbah pabrik yang mereka alirkan padaku setiap waktunya. Dan tak cukup sampai disitu, mereka berbondong-bondong mendirikan bangunan, membangun perumahan, jauh didalam batas sungai alirku. Membuat lebar sungai ini semakin kecil dari waktu ke waktu. Belum lagi botol-botol khamr bekas mabuk mereka, pakaian-pakaian bekas zina mereka, pun amplop-amplop bekas suap mereka. Aku berteriak pada Tuhan, lenyapkan mereka Ya Allah.. Binasakan mereka Ya Robb. Tapi Dia berkata, jangan. Masih ada lisan-lisan penuh zikir saat melihat aliran sungaiku. Masih ada segelintir manusia yang teguh melarang perusakan alam. Hingga beberapa tahun terakhir ini, bukan hanya sampah yang mereka buang padaku. Tapi janin. Ya, janin. Janin hasil dari perbuatan zina para pemudi dan pemuda. Hotel dan penginapan yang berdiri di kota ini, menjadi tempat bermaksiat semata. Taman kota yang indah ditata, malah menjadi tempat menjajakan diri di malam hari. Hasilnya, aborsi, mereka buang buah dari perbuatan haram mereka, janin-janin yang tak berdaya itu, kedalam derasnya aliran sungaiku. Kau tahu nak, janin-janin itulah yang menjerit-jerit pada Tuhan, binasakan mereka Ya Allah, lenyapkan mereka Ya Robb.. Hingga akhirnya, Diapun mengizinkanku meluapkan kemarahan ini" Papar suara tersebut, panjang lebar. Semua orang yang hadir terdiam, tertunduk teramat dalam. Bukan hanya lumpur diatas jalanan yang harus dibenahi. Namun iman didalam hati, ia harus pula diberesi. 

Dede vs HP

"Bu, dede nanyain terus dari tadi sore. Biasanya sore ibu sudah datang jemput, tapi..." kata-kata seorang wanita paruh baya terhenti seketika, dipotong oleh perempuan cantik dan berpakaian rapih yang ada di hadapannya. "tadi aku lembur bii...! Baru beres jam stengah enam. Ga bisa nolak, ga enak sama si bos. Aku kan udah kasih uang jajan tambahan buat dede tadi pagi. Mana dede? Lagi ngapain dia?" celoteh perempuan cantik tersebut, sembari sibuk menatap layar smartphonenya. Jari-jarinya lincah mengusap tombol-tombol touchscreen, cek email, update status fb, periksa group wa, semua ia lakukan dengan cekatan seolah tanpa berkedip. Nada tanda pesan masuk berbunyi berulang-ulang. Perempuan cantik semakin sibuk memainkan jempol dan telunjuknya. 
"Dede sedang tidur bu.." wanita paruh baya menjawab dengan roman sedih. "tidur? Jam segini?" ujar perempuan cantik, mengangkat wajahnya sebentar, lalu kembali menunduk, menatap layar smartphone kembali. "Ya sudah, bibi bawa dede ke mobil ya, tidurkan di jok belakang!" perintahnya. Rona wanita paruh baya terlihat berubah. "sa..saya khawatir akan membangunkan dede bu, menurut saya biar saja dulu sampai ia bangun nanti, atau kalau perlu biarkan dede tidur disini untuk malam ini saja.." paparnya. Perempuan cantik menggeleng, "tidak bi, saya bilang bawa dan tidurkan dede di jok belakang. Bibi jangan bantah saya!" ujarnya, dengan nada yang meninggi, namun pandangan tetap terkunci pada layar smartphone. Wajah wanita paruh baya kian berubah, memerah, lalu mengatupkan rahangnya, geram. Dan tiba-tiba saja, ia sambar smartphone dari tangan perempuan dihadapannya itu, lalu ia lempar ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Pemilik smartphone kaget bukan kepalang, matanya langsung mendelik marah. "A..apa maksud bibi!! Tau tidak, itu harganya mahal, gaji bibi saja ga akan cukup buat ganti! Berani sekali, saya peca.." bentakan perempuan cantik terpotong oleh kata-kata wanita paruh baya."Silahkan!! Ibu bisa pecat saya kapan saja. Ibu juga bisa potong gaji saya semau ibu buat ganti hp ibu. Saya hanya ingin menunjukkan, bahwa semahal apapun hp itu, tetap saja ada gantinya. Seberantakan apapun kondisinya, tetap saja ia tak akan merasakan sakit. Tapi dede bu.. Dede anak ibu.. Dede anak yang ibu kandung 9 bulan, dan yang ibu lahirkan dengan susah payah dari rahim ibu sendiri. Kenapa ibu perlakukan ia seperti kardus barang? Dede punya hati bu. Sekali hatinya remuk, tidak akan ada yang bisa ganti. Dimana hati nurani ibu?" tanya wanita paruh baya, terisak tak mampu menahan tangis. Perempuan cantik tergugu, lidahnya tercekat, tak bisa berkata apa-apa. "Tadi siang Dede nangis, dia cemburu melihat anak tetangga tengah bermain ditemani ibunya. Ia malah sempat menarik2 tangan ibu tersebut, memintanya untuk menemani dede bermain juga. Ia pun berulang kali bertanya pada saya, kapan ibu datang menjemputnya, ia ingin segera bermain ditemani ibu. Bu, ibu menyayangi Dede bukan? Yang paling butuhkan bukanlah uang jajan, bukan juga mainan. Akan tetapi perhatian, kehadiran, dan kasih sayang seorang ibu. Sayang sekali jika ibu ternyata lebih sayang pada pekerjaan, lebih perhatian pada hp menyebalkan" paparnya. Perempuan cantik tertunduk, air matanya mengalir.