23/04/2014

Meminta Maaf



Aku setengah berlari ke arah sekolah ziya. Jam di hp sudah menunjukkan angka 12:10 wib. 'terlambat..' gumamku. Ziya pasti sudah menungguiku dari 10 menit yang lalu. Ini gara2 aku bangun kesiangan di rumah tadi. Memang, sepulang kerja shift malam tadi pagi, aku langsung mengantar ziya dan umminya ke sekolah masing2. Menunggui ziya sebentar di sekolah sambil menahan kantuk, lalu pulang dan bersegera melempar badanku ke atas kasur. Agar jam stengah 12 nanti aku bisa bangun kembali dan menjemput ziya di sekolah. 
Sialnya, aku terlalu pulas hingga bangun kesiangan. Melihat jam di layar hp membuatku seperti tersambar petir. Bergegas.. Menstarter mobil, lalu membiarkannya tetap menyala sementara aku mencuci muka, dan meminum obat sakit kepala andalanku. Kurang tidur memang kerap mebuat kepalaku terasa sakit. Tapi ini bukan saatnya mengingat masalah bahayanya obat2an medis. Ziya kecilku kini tengah cemas menungguiku di sekolah. Sebelum mengunci pintu rumah, aku masih sempat menyambar beberapa potong kue dan melahapnya, menjawab gerutu perutku yang sedari pagi belum diberi apapun. Lekas masuk kedalam mobil, membanting pintu, lalu tancap gas.. 
Benar saja, setiba di sekolah, terlihat ziya menyandarkan punggungnya di gerbang sekolah, wajahnya lusuh, sepertinya ia sudah cukup lama berada disitu. Melihat kedatanganku yang tergopoh-gopoh, ziya kecil menyambutku dingin. Ia berjalan malas menghampiri. “abi ko lama sih? Zia udah dari tadi nungguin” ucapnya. “iya, maafin abi ya, tadi abi bangunnya kesiangan, jadi telat deh kesininya. Maaf ya nak..” jawabku. Ziya mengangguk malas. 
Siang ini ziya entah kenapa tidak mampir di pedagang mainan seperti biasanya. Bahkan warung Mang Lili pun ia lewati begitu saja. Padahal biasanya ia seringkali berhenti, menarik-narik tanganku, lalu menunjuk indomilk kids rasa coklat, atau chiki berhadiah mainan yang terlihat jelas digantung di warung tersebut. Entahlah, mungkin saja ia masih merasa sebal karena terlambat dijemput, atau mungkin juga teringat ketika dua hari kemarin kumarahi. Pasalnya ziya yang sedang bermain boneka Barbie, menolak saat disuruh shalat maghrib. Ya, meski akhirnya ziya shalat sembari cemberut dan menangis, juga meski aku sudah minta maaf dan ziya mengangguk memaafkanku, mungkin saja ziya masih mengingat kejadian tersebut, sehingga moodnya “tenggelam”, tidak riang, dan..."dingin". (he..). 
Begitupun di perjalanan, ziya tak bernyanyi-nyanyi, ia hanya terdiam membisu.
Setiba di rumah, pintu rumah masihlah terkunci, sambil menanti pintu kubukakan, ziya tiba-tiba saja berkata pelan “Abi..” ujar ziya. Aku langsung menyahut “ya, kenapa nak..?” tanyaku. “Mm.. Kenapa sih abi kalo marah sama ziya trus suka minta maaf..?” tanyanya. Oh, jadi ini toh yang difikirkannya sejak tadi. Aku berfikir sejenak. “Mmm… memangnya ga boleh?” aku balik bertanya. “Boleeeh, tapi kenapa, kan marahnya gara-gara ziya nya yang nakal, ga mau nurut sama abi” ujarnya. “Mm.. gimana ya.. kan biar bisa masuk ke surga" jawabku, setengah ragu, merasa itu bukanlah jawaban yang tepat. Namun meski begitu, ziya terlihat sedikit mengangguk  Ooh..” ujarnya singkat.
Entah mengerti atau tidak, yang pasti beberapa saat setelah pintu rumah terbuka, ziya tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya didepanku, mengajak bersalaman, sambil berkata “abi maaf ya, tadi ziya udah marah sama abi, soalnya abi ngejemputnya lama” ucapnya polos, diakhiri dengan tersenyum. Aduuh, anak kecilku  ini, sudah bisa bersikap bijak mirip orang-orang dewasa. Padahal umurmu 6 tahun pun belumlah genap. Hmph… “..iya nak.. ga apa-apa” jawabku singkat, menahan haru.  

21/04/2014

hasil tes psikologi ziya (2)

Hari sudah siang. Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Adzan zhuhur pun sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Tak lama lagi, pintu gerbang sekolah akan dibuka, mengeluarkan murid2 tk b satu persatu. Menyeruak kumpulan para orang tua penjemput yang telah bergerombol di depan pintu sejak tadi. Menahan panasnya sengatan matahari siang, berharap anaknya
adalah yang pertama diizinkan keluar gerbang.
Marilah kita tinggalkan saja cerita tentang para orang tua, dunia mereka sudah tak seru lagi bukan?
Menjalani hidup dengan rutinitas yang membosankan. Menghabiskan sebagian besar otaknya untuk kata 'kerja, dan uang'. Jarang sekali ada diantara mereka yang tertarik bermain air bekas hujan di kubangan. 'kekanak-kanakan'..itu mereka bilang. Tak heran jika orang dewasa kerap mengidap stres yang tak kunjung tersembuhkan. Karena mereka terlalu serius menjalani kehidupan.
Baiklah, langsung saja.. Ziya kecil telah menyeruak diantara kerumunan. Tersenyum kecil mendekatiku, lalu berkata 'abi sekarang bulan apa?' katanya. 'bulan april nak' jawabku. 'kalo besok?' tanyanya lagi. Aku mengerti arah pertanyaan ziya, ia hampir setiap hari bertanya seperti ini. Menghitung waktu untuk ia bertambah usia. Sepertinya bagi ziya usia bertambah itu adalah hal yang keren.. he.. 'besok mah masih april, bulan depan baru mei, bulan depannya lagi juni' jawabku. 'juni ziya enam tahun ya?' tanyanya (tuh kan..). 'IYAAA..' jawabku dikeraskan. Mengundang tawa cekikikan dari ziya kecil.


Di atas motor, aku membuka pembicaraan, 'ziya, masih inget ga, waktu zia dites di SD minggu-minggu kemaren?' tanyaku. Ziya mengangguk mengiyakan. 'nah, tadi abi dikasih tau hasilnya. Katanya, ziya itu pinter, pinter liat gambar, bisa tau apa yang ga ada digambar, pinter juga nyusun balok' ujarku. Ziya terdiam, menunggu kata-kataku berikutnya.'Nah, kata bapa yang tadi, katanya ziya bakal lebih pinter lagi kalo ziya berani cerita di depan kelas, berani nanya sama bunda..' ziya memotong, 'ziya suka cerita ko' ujarnya. 'iyaa, bagus kalo gitu, kalo ziya suka cerita, suka nulis,ziya pasti bisa bikin buku kayak teteh yang usianya 12 tahun itu, yang ziya pernah liat bukunya itu' paparku. 'iya, yang di toko buku itu ya abi? ziya pernah liat, dibelakangnya ada photo teteh yang usianya 12 tahun, cantik, pake kerudung. ziya juga cita2nya mau jadi pembikin buku ah' ujarnya. 'maksudnya jadi penulis buku..?' tanyaku. Ziya mengangguk. 'katanya dulu mau jadi astronot?' kataku. 'iya, jadi astronot sama penulis buku.... mm.. sama jadi princess juga' jawabnya. Aku tertawa, lalu berujar 'iya boleh, ziya boleh jadi semuanya, makanya ziya harus jadi anak yang pinter, yang hebat kayak teteh yg nulis buku itu. Oya, bapa itu bilang lagi, ziya kalo bisa jangan terlalu banyak maen game, jangan juga banyak nonton spongbob, soalnya katanya bisa ngurangin pinter ziya'. Ziya terdiam sesaat, sepertinya masih mencerna kata-kataku tadi, tak lama baru menanggapi, 'ah ziya mah ga mau nonton spongbob lagi ah, ga akan banyak maen game lagi..biar pinter..' tegasnya. 'nah, kalo gitu ziya pasti jadi anak yg pinter. Biar makin pinter lagi, ziya shalat yg rajin, ngaji juga, minta sama Allah biar ziya jadi pinter sama sholehah, kan nanti di surga ziya bisa jadi bidadari..' kataku. 'iya abi.. Mmm..abi, kata abi cantikan ummi ato bidadari?' tanya ziya begitu saja. Aduuh, pertanyaannya out of the topic, susah pula.. 'mm..gimana ya. Kata abi mah cantikan Ummi' jawabku. Ziya langsung berujar 'kalo kata ziya mah lebih cantik bidadari dibanding ummi mah' katanya polos. Aku berkata 'he.. iya nak, tapi kan ummi rajin shalat sama ngaji nak, suka ngajarin teteh-teteh ngaji juga. Nanti sama Allah Ummi dijadiin lebih cantik dari bidadari, malah bisa jadi ratunya bidadari'. Ziya berujar lagi 'ziya juga ah, ziya ma mau jadi putri bidadari' katanya tak mau kalah. Hehe.. 'iya..iya nak... mudah-mudahan ziya juga nanti jadi putri bidadari ya..' kataku yang langsung disambut dengan anggukan mantap ziya.

10/04/2014

Hasil tes psikologi



Nak, kau tahu? Seminggu yang lalu abimu ini menerima sebuah laporan, ya.. laporan hasil tes psikologi yang kau jalani kurang lebih sebulanan ke belakang. Bapak yang bersangkutan memberi waktu 10 menit untuk penjelasan dan konsultasi. Tanpa banyak ba bi bu, laporan tersebut segera dibuka. Hasil tes yang tertera menunjukkan, pada kolom tes verbal, kata “rendah” mendominasi setiap barisnya. Aku tersenyum saja melihatnya. Ziya tak pandai dalam berbahasa adalah sebuah hal yang biasa. Tanpa tes semacam inipun orang bisa melihat bahwa ziya tipikal anak yang tak banyak berkata-kata. Aku menggeserkan pandangan ke arah kolom yang lain. Dua baris yang berisikan “tinggi”, terdapat pada kata Picture Completion, dan Block Design. Aku pun langsung bertanya maksud dari kata tersebut.
Nak, bapak yang memberikan laporan ini menjelaskan, katanya kau berpotensi besar dalam kedua hal tersebut. Kau mampu melihat sesuatu gambar secara detail, menyadari apa yang berbeda dari gambar tersebut, dan bisa menunjukkan apa-apa saja yang hilang ketika diberikan gambar yang nyaris sama. Ya, mungkin ini jawaban atas kata-katamu yang terkadang mengejutkan. “abi, ko itu di tivi laki-laki pake anting ya, kayak perempuan?” ujarmu waktu itu. “mana? O iya.. aneh ya..” jawabku. “ini mah baju sofia nya aneh, harusnya ada bulet-bulet kecil di sini” katamu sembari menunjuk gambar di majalah. “o ya??” kataku balik bertanya. Hmph… Picture Completion..
Yang kedua, bapak dihadapan abi kembali menjelaskan, katanya kau memiliki kecerdasan dalam menyusun kembali balok sesuai dengan gambar yang diinstruksikan. “maksudnya meniru?” tanyaku yang langsung dijawab oleh bapak tersebut dengan sebuah anggukan. Hmm.. setahuku ziya memang bisa meniru gambar, meski belum sempurna, namun hampir semua detail yang ada bisa ziya pasangkan semua. Tapi balok? Ziya di rumah jarang sekalii bermain balok. Ia selalu berkutat dengan kertas-kertas dan crayonnya, terkadang mendandani boneka-bonekanya, atau mendandani dirinya sendiri dengan kerudung-kerudung umminya.
Di akhir laporan tertera sebuah nama orang yang menerbitkannya, diikuti dengan gelar S,Psi dan M.Pd Psikolog yang jelas tertulis disana. Menambah keyakinanku jika hasil tes ini bukan dikelola oleh orang sembarang. Sayangnya, setelah hasil ini diterima, lantas muncul pertanyaan. Metode pengajaran seperti apa yang bisa kuterapkan di rumah? Bagaimana mensikapi ziya sehari-hari agar potensi kecerdasannya kian melejit? Kebiasaan apa yang harus ditanamkan sehingga item-item yang rendah tadi bisa ditambah porsi potensinya?
Batas waktu 10 menit konsultasi berakhir dengan cepat, menyisakan 1 pertanyaan yang menggantung didalam benak. “Hmph.. abi harus gimana?”