02/12/2017

Corat Coret Pasukan Oranye


Izinkan Aku menceritakan sebuah malam.. Malam dimana tak banyak orang yang tahu. Hanya Tuhan, Aku, dan pasukan oranye kawan-kawanku.
Hanya lima belas menit menjelang pukul Sembilan malam, Aku sudah bersiap dengan baju kebesaran. Tidak, baju seragam ini tak benar-benar kebesaran. Ini kukatakan demikian, lantaran baju ini adalah identitas yang bertahun-tahun tak pernah kulepaskan. Banyak orang mencibir, menyamakannya dengan petugas-petugas parkir. Tak apa, sungguh tak apa. Yang penting profesi Kami dan mereka, tak pernah sedikitpun menggerogoti uang negara. Sangat berbeda dengan mereka yang berdasi, berpenampilan trendi, namun sikapnya tak terpuji.
Jam Sembilan kurang tiga belas, Aku menelisik cipratan tampias. Berharap langit reda sejenak dari menurunkan butiran hujannya. Tak perlu tiada sama sekali, gerimis kecil saja sudah cukup untuk membahagiakan hati. Karena dengan demikian, Aku tak harus susah-susah memakai jas hujan. Memang tak rumit, hanya saja jas hujanku ini sudah tak sepenuh hati lagi melindungi, beberapa jahitan longgarnya kerap meloloskan air hujan menembus pakaian.
Beruntung, malam ini hujan sudah berhenti. Menyisakan genangan-genangan di atas aspal jalanan. Jika keberuntungan memang bisa diwadahi, sudah pasti Aku akan mengantonginya banyak sekali. Karena Kau tahu? Di jam kerja malam seperti sekarang ini, Aku memang membutuhkan keberuntungan, sangat membutuhkannya bahkan.
Sepuluh menit berlalu, kuhabiskan diatas sepeda motor yang dipacu. Melawan udara dingin yang seolah menusuk-nusuk tulang, betapapun tebal baju dan jaket yang kukenakan. Biarkan, Aku sudah terbiasa dengan dingin seperti ini. Di tempat kerja Kami disana, suhu udara luar bisa mencapai 11 derajat banyaknya. Membuat Kami sering menggigil kedinginan, bersin-bersin berkesinambungan.
Tiba di tujuan, Sopir yang piket tengah menungguku. Kepalanya terantuk-antuk menahan kantuk. Entah sudah berapa gelas kopi yang dihabiskannya, hanya demi membuat sepasang matanya itu bisa tetap terjaga. Wajar saja, sedari siang Ia pasti sudah bolak-balik mengantar-jemput pekerja. 45 menit waktu antarnya, 45 menit waktu jemputnya. Tiga kali balikan setiap harinya. Belum lagi jika terjebak macet saat melewati pasar, atau ketika ada truk yang terjungkal kedalam jurang. Waktu tempuh itu bisa berkali lipat lebih lama dari biasanya. Jika Kau berkata itu hal yang biasa, sungguh TERLALU namanya.
Singkat cerita, semua pasukan oranye sudah berada didalam mobil. Dengan keadaan yang tak berbeda dengan sopir saat menunggu tadi. Kepala mereka terantuk-antuk menahan kantuk. Setelah malam sebelumnya diharuskan untuk tetap terjaga, dan sesiangnya mengabdikan dirinya mengurus keluarga. Waktu istirahat bagi mereka tak lebih dari beberapa jam saja. Sebuah pengorbanan besar selaku kepala rumah tangga.
Jalanan bekas hujan tampak mengkilap diterpa lampu mobil yang bergerak. Maklum, rute menuju tempat yang dituju memang berkelak-kelok, menanjak dan menurun tiada ampun. Sang Sopir sudah lebih dari ahli mengendalikan laju mobil yang dikendarai. Kedua matanya tak boleh lalai barang sedikit saja, sejumlah nyawa menjadi taruhannya.
Pegunungan didekati, Sopir semakin berhati-hati. Disini bukan jarang lagi, banyak kendaraan yang hilang kendali. Mulai dari terperosok ke jurang, hingga tak sengaja membentur tiang. Beruntung, longsor yang berkali terjadi juga disini, tak pernah sampai hati menyapu kendaraan yang tengah melaju. Ia hanya sebatas membuat jalur menjadi terhalang, tak bisa dilewati motor yang menyebrang.
Semakin jauh dari waktu berangkat, selimut kabut semakin pekat terlihat, lebih pekat berkali lipat. Jarak pandang mobil dan keadaan didepan, tak lebih dari 2 meter berbilang. Sang sopir sampai memajukan kepalanya ke dekat kaca, memicingkan matanya sepicing-picingnya, mencoba menangkap satu dua benda yang bisa menjadi petunjuk batas kiri dan kanannya. Pepohonan, semak belukar, rumput, atau apalah saja, yang pasti harus menjauhkan mobil itu dari curamnya jurang didekatnya.
Apalah daya, di musim kemarau saja selimut kabut kerap menghalangi pandangan, apalagi di musim penghujan seperti sekarang. Mereka tak tanggung-tanggung datang bergerombolan, pekatnya kebanyakan.. mainnya keroyokan. Curang, he..
Alhasil, dua-lima meter, enam-delapan meter, STOP..! Mobil berhenti di sebuah tanjakan.
Aku melihat kanan kiri jendela, tak tampak apapun disana. Hanya warna putih saja yang terselubung diluarnya. Seolah Kami tengah dikungkung gelombang awan, lalu diserbu lautan debu. Mobil tak berani beranjak maju, ragu.
Pasukan oranye terjaga, kantuknya hilang entah kemana. Menatap sekitar dengan hati yang berdebar. Satu dan lain saling mengingatkan, membaca dzikir-dzikir untuk kemudahan perjalanan. Pun Sang Sopir, Ia menarik tuas rem tangan, berusaha terlihat tenang. Pelan, Ia menoleh pada para penumpang. “Gimana ni Pak? Jalannya sama sekali ga keliatan, Kita terus atau putar balik saja?” tanyanya.
Wajah-wajah cemas saling berpandangan, bingung untuk mengambil pilihan. Bukan apa-apa, jika terus maju, maka resiko terperosok ke jurang kian menjadi kemungkinan. Jikapun mundur, penampakan jalan dibelakang sudah sama-sama kabur, bersama selimut kabut mereka berbaur. Tak terbayang rasanya jika mobil ini benar-benar masuk ke jurang, lalu apa yang bisa Kami lakukan?
Semua orang terdiam, cukup lama terdiam, didera bermacam bayangan yang datang bergantian. Mulai dari bayangan mobil yang berguling kedalam jurang, evakuasi yang penuh keterlambatan, sampai pada bayangan keluarga yang kehilangan. Semua bercampur aduk, membuat gentar hati yang diliputi rasa takut.
Tiba-tiba.. “Kita jalan terus” ucap seseorang. Yang lain hendak menyanggah, namun kalimatnya terhenti saat di lidah. “Hidup mati adalah takdir, dan bekerja itu adalah ibadah. Jikapun Kita mati saat hendak bekerja, bukankah itu adalah cara mati yang mulia?” ucapnya lagi. Seorang lain mengangguk membenarkan, lalu menanggapi “Dia benar, Kita bekerja adalah demi keluarga, ini adalah resiko yang harus ditanggung sebagai kepala keluarga, ini adalah resiko yang harus Kita tempuh sebagai pekerja” ujarnya. Beberapa orang masih terdiam, merasa cemas pada apa yang ada di hadapan. Orang tadi berkata lagi, “Lagipula..Kita memang tak ada pilihan lainnya. Kawan, lihatlah di belakang, pekatnya bukan kepalang. Kita kembalipun sama saja akan menghadapi resiko yang tak berbeda” katanya lagi. Satu dua pasukan oranye menengok ke kaca belakang, lalu terdiam membenarkan.
Akhirnya, semua penumpang bersepakat, tetap berangkat menembus kabut yang pekat. Saling memberi tahu sopir atas benda apapun yang dilihat. Mobilpun melaju dengan perlahan, meraba-raba batasan jalan yang ada di hadapan. Semua lisan yang ada berdzikir dan berdo’a mengharap kelancaran. Memohon Sang Pencipta mengurai kabut hingga pandangan terjernihkan.
Akupun demikian. Jika saja keberuntungan itu memang bisa dikantongi, maka Aku akan mengeluarkan seluruhnya yang kukantongi. Karena malam ini Kami memerlukannya, sangat memerlukannya bahkan.
Kawan, ini hanyalah curahan hati. Perihal satu dari sekian malam yang harus Kami lewati, untuk bisa sampai di lokasi mengabdi. Ini hanyalah satu dari sekian malam, dimana Kami mati-matian menembus penghalang. Meski acapkali dicaci, tapi Kami tak peduli. Semua demi berkontribusi menerangi negeri, memenuhi kebutuhan listrik di seantero bumi.
Kawan, ini hanyalah curhat semata. Perihal perjuangan yang Kami lakukan di banyak malam. Perjuangan dimana orang kebanyakan tengah dibuai kantuk, nyaman meringkuk di kasur empuk. Perjuangan dimana orang kebanyakan tengah kegirangan menonton pertandingan, begadang demi menyaksikan tim kesayangan. Perjuangan dimana orang kebanyakan tengah belajar di larut malam, demi keberhasilan besok saat ujian.
Mereka tak menyadari, jika dipegunungan terpencil ini, ada pasukan oranye yang tengah terjaga untuk melayani negeri.
Mereka tak tahu, karena memang tak banyak orang yang tahu. Hanya Tuhan, Aku, dan pasukan oranye kawan-kawanku.

16/11/2017

Zahdan jatuh!

Sore hari, adalah waktu bermain yang terbaik bagi anak-anak cilik. Seolah memiliki jadwal tak terdaftar, selepas Shalat Ashar anak-anak ramai berada di luar. Mereka bermain sepeda, bermain lompat tali, hingga bermain bola di jalanan aspal komplek yang keras sekali. Terpaksa, karena memang tak ada lapangan bermain di tempat ini. Sesuatu yang sedari awal seharusnya disediakan Developer sebagai fasum (fasilitas umum) bagi penghuni, namun entah mengapa mereka lebih memaksimalkan lahan yang ada untuk hunian saja. Tak ada lapangan, tak ada tempat makam. Padahal semua fasilitas itu tercantum jelas dalam aturan. Serius, jelas-jelas tercantum dalam aturan penyelenggara perumahan dan permukiman. Namun acapkali diabaikan, mungkin lantaran tak secara langsung memberi keuntungan.
Zahdan terdengar tertawa-tawa bersama kawan-kawannya, tak tahu sedang bermain apa mereka. Disela tawanya terdengar suara Ziya, sepertinya Ia sedang mengasuhnya disana.
Tak lama, Zahdan menangis kencang. Aku langsung melompat keluar, melihat keadaan. Di jalan, tampak Zahdan tengah tersungkur, sepeda roda tiga yang dikendarainya terguling ke samping. Telak, wajah Zahdan beradu aspal yang keras. Tetangga-tetangga melihat keluar, Aku cepat meraih tubuh Zahdan, melihat kondisinya.
Luka baret dan benturan jelas tertampak di hidung dan dagu Zahdan, namun yang paling membuatku jeri, adalah darah yang mengucur dari sela gigi seri bagian atasnya. Aku bergegas membawanya ke kamar mandi, memeriksa luka di mulutnya.
"Ini Zahdan, kumur-kumur dulu, jangan ditelan, keluarin lagi!" perintahku, sambil menggendong Zahdan dengan tangan yang satu, sedang tangan lain menyodorkan air didalam gelas. Meski sambil menangis, Zahdan menurut. "Puah!! Heu..sakit..! Sakit Abi..!" isaknya. Lembaran darah kental berwarna merah masih menggantung di mulutnya. Hati-hati Aku mengusapnya dengan kain bersih yang basah.
"Lagi Zahdan, kumur lagi!" perintahku, lagi. Zahdan kembali menurut, "Puuh.. Sakit Abi..!" ucapnya lagi. Aku mulai panik, darahnya belum berkurang juga. "Coba buka mulutnya Zahdan!" kataku. Kemudian menekan luka di deretan gigi serinya. Sekian detik, Aku menggantinya dengan kain lainnya. Darahnya sedikit berkurang, tapi tak lama, merembes lagi di giginya. Sepertinya gigi-gigi itu menjadi longgar akibat benturan, membuat pendarahan. Bibirnyapun terlihat memar dan bengkak.
Tak mau ambil resiko, Aku memutuskan membawa Zahdan ke klinik. "Zahdan Abi bawa ke dokter ya, biar ga berdarah lagi" kataku. Zahdan mengangguk kecil, "Mau pake selimuut.." ucapnya, masih sambil menangis. "Iya, boleh" jawabku. Setiap dibawa ke dokter, Zahdan memang seringnya ditidurkan di jok belakang, lalu diselimuti. Biasanya karena Asma yang tengah menyerangnya, dan butuh energi besar hanya untuk menarik nafas sekali saja.
"Ziya, pake kerudungnya, Kita ke Dokter" kataku lagi, sembari menggendong Zahdan. Ziya menurut tanpa berkata apapun, kedua matanya memerah akibat menangis juga. Wajahnya menyiratkan raut perasaan bersalah. Aku langsung menduga jatuhnya Zahdan kali ini pasti ada kaitan erat dengannya. Namun demi menjaga perasaannya, Aku tak lantas langsung menanyainya, fokus terlebih dahulu pada Zahdan.
Di klinik, sedang tak ada dokter jaga. Situasinya lengang, benar-benar lengang, bak tak ada satu orangpun disana. Aku mulai menggerutu didalam hati. Sedih karena kecelakaan Zahdan, kesal lantaran keadaan, dan lebih kesal lagi pada diri sendiri. Mengapa barusan Aku tak berada di luar rumah menjagai Zahdan. Mengapa Aku malah mempercayakan sepenuhnya pada Ziya yang untuk hal-hal tertentu Ia terkadang masih kurang bisa sigap. Serta kenapa Aku malah memilih beristirahat karena kerja semalam tadi. Toh pening di kepala bisa hilang dengan meminum obat sebutir saja.
Zahdan kurebahkan di UGD, lalu menerobos masuk ruangan dengan lancangnya. Seorang petugas muncul dari belakang lemari, habis ketiduran sepertinya. Setelah Kujelaskan situasinya, Ia beranjak ke ruang seberang, hendak meminta bantuan petugas lainnya.
Tak lama, datang seorang berpakaian kaos biasa. Kutebak Ia bukanlah dokter. "Ooh, ini mah ga apa-apa Pak. Ga ada luka sobek di bibirnya juga. Darahnya hanya dari giginya saja. Kalau mau dibawa ke Dokter gigi juga silahkan, biar dicabut sekalian" ucapnya. Aku langsung mengernyit, menatap Zahdan jeri. Merasa ragu Zahdan akan mau jika giginya dicabut. "Tuh Pak, darahnya juga sudah berkurang. Tinggal ditekan saja pakai kain atau perban. Adek jangan nangis, kalo nangis nanti malah tambah sakit" lanjutnya lagi, kalimat terakhir Ia tujukan pada Zahdan yang masih meringis saat luka di mulutnya ditekan.
Singkat cerita, Aku keluar klinik dengan ragu yang masih mendera. Bimbang, antara membawanya ke dokter gigi, atau menghentikan pendarahannya saja. Harusnya sih, dikompress pakai es. Agar pendarahannya berhenti. Tapi Zahdan pasti tak akan mau mulutnya diganjal es batu. Hmph.. Setelah difikir-fikir, Aku melaju ke tempat yang lain secepatnya, lalu turun dan membelikan sesuatu untuk Zahdan.
"Ini Zahdan, tempelin di gigi atas Zahdan ya!" perintahku. Zahdan berhenti menangis, Ia menatap es krim spiderman yang kuberikan padanya dengan mata yang berkaca setengah tak percaya. Itu adalah es krim di iklan-iklan yang setiap kali tayang, Ia selalu berkata girang, "Abi lihat! Ada es klim spaydemen!! Kelen ya Abi" ucapnya. Dan Aku selalu menjawab, "Iya Zahdan. Tapi kan Zahdan mah punya asma, ga boleh makan es krim, khawatir batuk, trus nafasnya sesek lagi". 
Tapi kali ini berbeda, luka di giginya harus dihentikan secepatnya. Mudah-mudahan saja tak sampai membuat Zahdan pilek dan batuk. Tak menunggu waktu lama, Zahdan segera saja menjilati es krim tersebut dengan nikmatnya. Kamipun melaju kembali ke rumah.
"Ziya, tadi sepeda Zahdan itu Ziya yang dorong ya?" tebakku, sambil menengok ke arah Ziya. Ziya mengangguk tanpa sedikitpun menoleh. Rasa bersalah masih begitu kentara di air mukanya. Pengalaman ini sudah cukup memberinya pelajaran, sepertinya tak usah lagi Aku memberinya wejangan yang menyebalkan. Alhasil Aku membiarkan saja Ziya yang terdiam. Ia menutupi sebagian wajahnya dengan kerudung yang dikenakannya.
"Mm.. Srluupp.. Es Klim spaydemennya enak Abi! Lezat..!" ucap Zahdan di belakang, dengan mulut yang terlihat membengkak. Efek dingin dari es tersebut sepertinya telah sukses mengurangi sakit yang dirasakannya, sekaligus menghentikan pendarahan di gigi depan kecilnya. Aku hanya tersenyum memperhatikannya, dalam hati merasa tenang atas keadaannya. "Iya, iyaa...!!"

    

Gagal

Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi dibelakangku. "Gagal..lagi" lirihku. Handphone yang semula tergenggam di tangan, Kulemparkan ke samping dengan sembarang. Layarnya masih menyala terang, menayangkan sebuah pengumuman lomba kepenulisan. Kubiarkan saja.. Discroll berulang kali pun percuma, tak ada namaku dideretan pemenangnya.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Aku gagal di kompetisi literasi. Bukan juga kedua, ketiga, atau bahkan kelima. Sudah berkali-kali banyaknya Aku mendapati berita yang sama, pengumuman bahwa naskahku tersisih oleh peserta-peserta lainnya. Memaksa naskah tersebut menjadi penghias blog semata. Meski begitu, tak lantas Aku jadi terbiasa. Penolakan terhadap tulisan serona penolakan pula terhadap harapan. Sensasi serasa dihantam itu tak sedikitpun berkurang. Malahan semakin Ia terulang, rasanya kian bertambah menyakitkan.
"Abi, kenapa diem aja?" tanya Ziya, tiba-tiba. Aku menoleh, tak langsung menjawab, malah terdiam beberapa saat. Hingga entah kenapa Aku memutuskan untuk bercerita padanya.
"Ziya, Abi ga lolos. Tulisan Abi kalah di lomba kemarin. Itu pengumumannya.." kataku, sembari menunjuk layar handphone.
Ziya ber oh singkat, lalu berkata dengan wajah datar, "Tuh kan.. kata Ziya juga" ucapnya, polos. Sebuah JLEBB pun langsung menohok hatiku. "Memangnya, Ziya pernah berkata apa.." fikirku.
"Abi sih, kalo bikin cerita suka berlebihan"
JLEBB!! lagi.
"Kan Ziya udah bilang ceritanya jangan berlebihan"
JLEEBBB!!!
"Kata-katanya juga pada susah"
JLEBB!!
JLEBBB!!!
JLEBBBB!!!
Giliran Aku yg ber-oh singkat. Ziya pun pergi, mengambil selembar kertas kosong, kemudian berkutat dengan gambar manga nya. Aku memilih bergeser ke sudut ruangan, memeluk lutut.. sendirian.
^_^  he..

Sekali Hijrah Selamanya Istiqamah

Rasanya malu saja, dijejerkan bersama barisan khusus pengukir kata. Bukan sembarang kata, melainkan dijejali hikmah dan sarat akan makna. Padahal, dengan ilmu yang sedangkal ini, Aku sungguh tak layak memberi materi. Dan dengan pemahaman yang secetek ini, Aku benar-benar tak pantas untuk dianuti.
Rasanya malu saja, turut menyuguhkan dua tema yang begitu berat kandungannya. Hijrah, yang sungguh tak pernah mudah. Istiqomah, yang beratus kali lipat menyeret lelah. Dan dengan kadar iman yang masih lemah, sudah sepatutnya Aku menyalakan mode menyerah. Dengan level akhlak yang masih rendah, sudah seharusnya Aku menggeleng merasa jengah. Lalu teronggok diam tergugu.. membisu sejuta kelu.
Tapi, Hei! Bukankah menyeru pada kebaikan adalah transformasi Hijrah itu sendiri? Dan saling ingat-mengingatkan adalah penguat Istiqomah itu sendiri? Tak peduli seberapa dangkalnya ilmu, ataupun seberapa rendah iman di kalbu, hidup yang kita jalani melulu menjadi guru? Ia memberi petuah saat Kita merasa bahagia, dan mengajarkan hikmah kala kesedihan datang mendera? Pun serupa denganmu, bukan?
Jadi izinkan Kami berbagi cerita padamu. Perihal rantai-rantai setan yang begitu membelenggu. Serta upaya Kami berhijrah, berpayah-payah, lalu berpindah ke keadaan yang lebih indah.
Restui Kami untuk bertutur kisah. Tentang belati dosa yang memasung kedua kaki. Serta geliat Kami untuk berhijrah, berdarah-darah, kemudian beranjak ke keadaan yang lebih indah.
Terakhir, semoga buku ini bisa mendatangkan energi kebaikan, menyemangati Kita semua untuk terus berhijrah. Jika jatuh, bangkit lagi. Kembali jatuh, Hijrah lagi. Menerus bangkit mendekat pada Allah dan RasulNya. Melulu beristiqomah hingga jasad ditimbun tanah.
Aamiin.
#SekaliHijrahSelamanyaIstiqomah

23/10/2017

Anak Kecil Yang Bertanya



Alun-alun kota, begitu indah ditata ahlinya. Lampu-lampu antik, bangku-bangku unik, berderet rapih mengelilingi lapangan hijau tanpa keramik. Belasan pot bunga besar ditempatkan di beberapa titik, menambah suasana alun-alun kota itu menjadi terlihat semakin menarik. Tak heran jika orang-orang gemar sekali datang ke tempat ini. Sekedar menghabiskan istirahat siang, sekedar duduk-duduk di pinggiran taman, atau hanya melihati anak-anak yang saling berkejaran di lapangan.
“Horee..! Kakak yang pertama!!” teriak satu diantaranya, riang. Satunya lagi bersungut sebal, “Nggak boleh!! Ade yang menang!” balasnya, setengah merajuk. Keduanya berebut, tak mau kalah satu dan lainnya. Hingga Ayahnya datang mendekat, menengahi pertengkaran mereka. “Sudah..sudah.. Kakak yang pertama, dan Ade yang kesatu” ucapnya. Yang langsung disambut tawa girang sang Adik. Sementara sang Kakak menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, masih berusaha mencerna kata-kata bijak Ayahnya yang belum Ia pahami maksudnya.
Sejurus kemudian, mereka berdua sudah berlari lagi. Kali ini berebut ingin naik becak mini. Sebuah becak lucu yang berukuran kecil, khusus untuk anak-anak. Mereka berdua sama-sama ingin berada di posisi mengayuh. Keduanya saling mendorong, tak rela melepaskan sadel becak dari pegangannya. Lagi-lagi Ayahnya datang mendekat, menengahi pertengkaran anak-anaknya. Sementara pemilik becak hanya tertawa, senang karena becaknya akan ada yang menyewa. “Murah Pak, cuma 2000 Rupiah saja buat tiga kali putaran” ujarnya. Sang Ayah mengangguk, lalu merogoh saku. Ia mengeluarkan dua lembar uang 2000-an. “Saya sewa dua becak Pak!” ucapnya. Sontak disambut girang anak-anaknya, yang kini masing-masing memiliki becak mini untuk dikayuhnya.
Seorang Ayah memang harus memiliki seribu solusi dalam hal perdebatan anak-anaknya. Ia harus bijak dalam menengahi pertengkaran tak berujungnya. Berakhir perdebatan yang satu, muncul lagi perdebatan berikutnya. Usai pertengkaran yang satu, datang lagi pertengkaran yang lainnya. Lihat saja, sesaat setelah tertawa-tawa mengayuh becak, kini dua anak itu saling meledek satu sama lain, berlomba dulu-duluan berkeliling lapangan. Balapan..lagi. Berharap menjadi yang tecepat dalam hal mengayuh becak mini.
Sebenarnya tak hanya becak mini saja, beragam sewa permainan pun ada di tempat ini. Mulai dari DelDom, sebuah Delman kecil yang ditarik seekor Domba, Pancing ikan mainan dengan magnet, Odong-odong bermacam bentuk, hingga penjaja gelembung dan ragam jajanan. Alun-alun kota sungguh menjadi tempat kunjungan favorit bagi orang kebanyakan. Selain tempatnya yang nyaman, harga-harganya pun terhitung murah berbilang.
Tak jauh darinya, sebuah Mesjid Agung yang cukup megah berdiri dengan kokohnya. Dua menaranya yang sangat tinggi, selalu menyuarakan panggilan Adzan lima kali dalam sehari. Memanggil muslim-muslim di sekitarnya, di kantor-kantor sekelilingnya, dan mereka yang tengah berada di Alun-alun kota, untuk bersegera menunaikan kewajibannya. Shalat lima waktu, sungguh tak pernah berdurasi lama. Yang meski diakumulasikan secara keseluruhan pun, Ia tak pernah lebih dari separuh waktu dalam siklus 24 jamnya.
***
Menjelang sore, Alun-alun kota kian dipadati manusia. Kali ini kebanyakan pengunjungnya adalah anak-anak sekolah dan para remaja. Mereka hendak memanfaatkan keindahan taman sebagai tempat untuk berpacaran.. berdua-duaan. Barisan bangku uniknya diduduki mereka secara berpasangan, padahal sungguh usianya barulah menginjak belasan. Tapi tak lantas menyurutkan niat mereka untuk mengikuti tren orang kebanyakan. Seperti dalam adegan drama-drama, sinetron-sinetron, dan iklan-iklan pacaran yang menjadi konsumsi harian mereka di setiap tayangan.
Lihatlah, sebagian remaja berusia belasan itu sudah berpakaian bebas, gaul, dengan wajah dipermak bedak, dan bibir diolesi gincu merah tebal. Membuatnya makin aneh terlihat, seperti lebih tua berkali lipat. Sementara sebagian remaja lagi bahkan masih berpakaian seragam. Ada yang putih-abu, ada pula yang putih-biru. Miris sekali melihatnya..
Dan, cinta pun menjadi pembenaran atas kejahatan mereka. Cinta yang tak tahu menahu tentang pelampiasan nafsu, cinta yang senantiasa bercahaya di ujung terdalam kalbu, serta cinta yang begitu mulia anugrah dari Sang Pencipta, diberangus dengan kejam tuk menyumpal bualan perbuatan-perbuatan syetan. Mulai dari ‘hanya’ duduk berdampingan, bertambah ‘hanya’ pegangan tangan, hingga mereka yang nekat ‘hanya’ mesra berpelukan. Sesuatu yang sedari jauh hari telah diperingatkan Sang Nabi untuk dijauhi. Namun marak diperbuat oleh remaja-remaja di masa kini. Termasuk di pelataran Alun-alun kota ini.
Adzan Ashar dikumandangkan, suaranya melengking dan membuaikan. Memanggil-manggil segenap muslim untuk kembali datang menghadap. Puluhan orang segera bangkit dan berjalan mendekat. Meninggalkan segala kegiatan dunia, yang Demi Allah semua itu adalah fana belaka. Mereka mengantri di tempat wudhu, membasuh raga sementara mereka. Menggugurkan dosa di setiap alir dan tetes air wudhunya.
Sementara belasan orang sisanya, masih sibuk dengan kegiatannya. Pedagang-pedagang yang terlalu khawatir kehilangan pendapatannya, karyawan-karyawan yang terlalu takut dimarahi atasannya, serta sepasang remaja yang masih jua duduk bersisian, tersenyum saling berpandangan, dihiasi tawa dan sorakan syetan yang tak henti-henti memberikan bisikan.
***
Shalat Ashar barulah usai, para jamaahnya keluar beriringan. Memakai sandal, lalu kembali pada kegiatannya masing-masing. Dengan hati yang lebih lapang, fikiran yang lebih tenang, dan wajah-wajah bercahaya yang bekas sujudnya ditampakkan. Tinggal anak-anak kecil yang berlarian girang. Mereka bermain sembari  menunggu guru mengajinya datang. Sore ini memang jadwal mereka belajar Alif Ba Ta Tsa, tak heran jika masing-masing membawa buku Iqro dalam genggamannya.
Satu diantara anak kecil tersebut berhenti berlari, kemudian berjalan mendekat ke arah remaja yang duduk bersisian. Dengan wajah polosnya yang menggemaskan, anak kecil itu bertanya tanpa beban, "Kak, kakak muslim bukan?" tanyanya. Yang ditanya kaget bukan kepalang, menoleh pada sang Anak, lalu mengangguk spontan.
Anak itu bertanya lagi, "Kitab Suci kakak itu Al Qur’an bukan?" katanya. Dengan terpatah-patah, remaja laki-laki kembali menjawab dengan anggukan.
"Terus kenapa kakak masih saja berdua-duaan?" tanya anak tersebut. "Bukankah Allah dalam Al Qur’an menyatakan, larangan muslim mendekati Zina, menuruti Syetan?" lanjutnya. Wajah dua remaja memerah padam, tak terima kata-kata polos sang anak kecil, seketika mereka naik pitam. "Apa pedulimu anak kecil? Pergi sana, jangan urusi Kami yang sedang bersenang-senang !" bentak remaja pria, menyalak marah.

Anak kecil itupun menangis sesenggukan. Bukan.. bukan lantaran sebuah bentakan. Melainkan karena sikap mereka yang tak mau diingatkan.
***

5 menit berlalu, meski pertama terlihat takut, langkah kaki anak kecil itu tak seketika surut. Ia mendatangi kembali dua remaja yang masih duduk bersisian, kemudian mengajukan tanya, "Kak, apa itu cinta?" tanyanya. Yang ditanya kali ini tersenyum gembira, lalu memandang manusia disebelahnya. "Cinta itu ibarat bunga, cantik tiada tara, wangi tak terkira, dan senyumnya sungguh memesona" jawabnya. Yang dipandangi sontak memerah pipinya, malu-malu menyembunyikan senyumnya. "Duh.. so sweet.." katanya, manja. Mereka lalu tertawa, kedua tangan mereka berpegangan dengan mesranya.

Anak kecil itu mengangkat alis, lalu bertanya dengan herannya, "Kak, kenapa kakak tidak membuktikan kesungguhan cinta kakak dengan menikahinya?" tanyanya. Remaja pria terlihat gelagapan, "Me..me.. menikah??.. " ujar sang pemuda, terbata. Ia menatap anak kecil didepannya dengan kikuk. Namun tak lama, karena Ia kembali marah, lalu membentak anak itu dengan kasarnya, "Anak kecil tahu apa? Pergi sana !! Jauhi kami yang sedang menikmati cinta !!" ujarnya.

Anak kecil kembali menangis. Sekali lagi bukan karena bentakan, melainkan karena mereka tak mau diingatkan.
***

4 menit kemudian, anak kecil itu lagi-lagi mendatangi mereka, lalu dengan wajah polosnya Ia bertanya, "Kak, apa kakak tidak bisa hidup tanpa Cinta?" tanyanya. Dua remaja yang tengah bermesraan manja, seketika langsung tertawa dan saling menatap mata pasangannya. Sang remaja pria tersenyum, lalu menjawab, "Tentu tidak, aku tidak pernah bisa hidup tanpa kau, Cinta.." katanya. Demi mendengar jawaban sang remaja pria, wanita di sebelahnya merona pipinya, hampir-hampir saja jatuh pingsan karena kata-katanya.

Anak kecil kembali mengangkat alis, "Kak, Aku tidak percaya" katanya. Sang remaja pria langsung menimpali, "Ya, karena Kau anak kecil yang terlalu banyak tanya. Ha..ha..ha…"ujarnya, mereka berdua menertawai anak kecil itu.

Remaja pria kembali mengusirnya, "Sudah, pergi sana.. Jangan ganggu kita !" bentaknya lagi, untuk yang kesekian kali.

Sayang, anak kecil itu tak lagi menangis seperti sebelumnya. Ia tak sedikitpun bergeming dari tempat berdirinya. Dua remaja hendak kembali mengusirnya, namun urung ketika Anak kecil itu bertanya lagi,

"Kak, apa Kakak takut jika dicabut nyawa?” tanyanya. Yang ditanya menoleh pada kekasihnya, lalu menjawab dengan tak acuhnya, "Jikapun nyawa melayang, demi dirimu kan kurelakan Sayang.." gombalnya. Gadis disebelahnya kembali melayang, terbuai dengan kata-kata gombal sang remaja pria. Dengan rona merah di kedua pipinya, Ia hendak menghadiahi sang pria dengan sebuah kecupan syetan.

Namun, belum sempat hal tersebut dilakukan, Sang anak kecil berkata dengan suara yang terdengar berbeda dari sebelumnya. Jauh berbeda dari sebelumnya. Suara yang terdengar lebih berat, mengelegar, dan teramat menyeramkan.

"HRRGGHH...BAIKLAH..!!" ucap suara itu. Perlahan, wujud anak kecil berubah menjadi sebuah sosok tinggi besar yang mengerikan. Matanya merah menyala, menatap remaja pria dengan sorotan tajamnya. Dan dengan suara yang lebih menyeramkan lagi, wujud itu berkata, "AKU DIPERINTAH TUHANKU UNTUK MENCABUT NYAWAMU SEKARANG..!!" katanya, sembari menjulurkan tangannya ke arah sang remaja pria.

Mereka terpana, tak mampu berkata barang sedikit saja. Matanya terbelalak, wajahnya berubah pucat. Ketakutan teramat besar sungguh tergambar di wajahnya. Jantungnya berdegup sangat kencang, sekencang-kencangnya. Namun itu hanya sesaat, karena tak lama kemudian jantung itu berhenti berdetak. Ruh remaja pria itu dicabut paksa, ditarik dengan kasarnya. Ibarat kawat berduri didalam daging mentah, yang ditarik sekencang-kencangnya, begitu sakit, begitu berdarah-darah.  

Remaja itu mati, tanpa disangka sama sekali. Ajalnya tiba, justru di waktu yang tak pernah diduga-duga. Ruhnya dipukuli sembari diseret, meninggalkan jasad yang matanya masih melotot ketakutan, dan lidah yang masih menjulur kesakitan. Remaja gadis kekasihnya, sudah berlari entah kemana. Tak sanggup melihat kematian yang begitu mengerikan dalam pandangan.
***

Selang berapa lama, sebuah pertanyaan kembali diteriakkan pada sang remaja pria. "MAN ROBBUKA ?" suaranya bergema, menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarnya.

Sayang, untuk kali ini remaja pria itu tak lagi bisa berkata.. "Pergi sana..!”   


T A M A T

Berdamai Dengan Masalah (Sebuah Cerpen)



Kalender duduk itu masih jua terduduk di rak penyekat. Entah sudah berapa puluh kali Aku menatapinya lekat-lekat. Menekuri saat demi saat berjalannya tenggat, menghitung satu demi satu bergulirnya waktu, serta menandai angka demi angka terlewatinya masa. Tak heran, jika 31 bilangan yang terpampang di hadapan, ternyata telah ditandai hampir keseluruhan. Dan serona hari-hari sebelumnya, berpuluh angka itu seperti beterbangan mengelilingiku, bergerombol menanyaiku, ramai-ramai menyudutkanku.
Mereka datang merasuki, menjejali setiap inci bagian otak sebelah kiri. Membuat kongsi-kongsi, federasi-federasi, bahkan asosiasi-asosiasi. Yang satu dan lainnya saling tersambung, dengan penghubung berbagai tanda operasi hitung. Setumpuknya ditambah kemudian dikurangi, hasilnya dikali lalu dibagi-bagi. Selesai?
Ternyata tidak. Angka-angka hasil operasi itu kembali lagi membentuk kongsi-kongsi, federasi-federasi, pun asosiasi-asosiasi. Yang untuk kemudian mereka disambung dan dihitung, ditambah dan dikurangi, lagi.. lagi.. dan lagi.
Tak kurang dari delapan pekan, Aku membuat lingkaran demi lingkaran. Membulati setiap hari yang dilewatkan tanpa adanya penyelesaian. Hingga sekarang, angka 23 itu yang mendapat giliran. Aku tergugu, gelisah sempurna menyerangku. Mengapa? Mengapa ‘kewajiban’ itu tak jua terlunaskan? Bukankah jiwa seseorang kan tertahan hingga ‘urusan’ itu terbayarkan? Dan bukankah Nabi saja tak mau menyolatkan jenazah yang perihal ‘kemestiannya’ masihlah gamang? Lalu mengapa setelah sekian masa berjalan, ‘perkara’ itu belum juga diselesaikan? Tanyaku, entah pada siapa.
“Abi..!!” panggil seorang anak kecil berponi, mengagetkanku. Rambut depannya memang sudah terjulur hingga menutupi sebagian matanya. Buah dari penolakannya pada tempat pangkas rambut di pinggir jalan sana. Menjadikan Aku sendiri yang harus berkreasi mengguntingi, membentuk potongan gaya rambut anak ini menjadi model poni, satu-satunya potongan yang kukuasai. Tinggal ditutupi dengan rantang[1], lalu digunting sekelilingnya. Selesai, begitu mudahnya.
“Ada apa Zahdan?” tanyaku, sembari mengusap lembut rambutnya yang lurus. Zahdan tak lantas menjawab, Ia malah terkekeh memberi isyarat. Jemarinya menarik tangan kananku, lalu mendekatkan mulutnya kearah telingaku. Ia berbisik pelan, “He.. Abi, mm.. Jadan.. emm.. Jadan mau.. Jadan mau jajan.. Boleh ya Abi?” ucapnya, dengan nada yang manja. Aku menoleh sembari terkejut. “Haa?? Bukannya tadi Zahdan udah jajan Chiki?” tanyaku. Zahdan tak lantas merasa bersalah, Ia malah mengangguk dengan penuh semangat. Lalu dengan setengah berbisik, Ia berkata lagi, “Iya Abi.. sekalang Jadan mau jajan coklat, yang ada hadiah Boboboynya. Hadiahnya kelén (maksudnya keren) lho Abi..!” bujuk Zahdan, dengan raut wajah yang terlihat penuh harap, serta dua mata bulat yang menatapku lekat-lekat, sama lekatnya dengan saat Aku menatap kalender di rak penyekat.
Aku menghela nafas, angka-angka di otak kiriku kembali berkongsi-kongsi. Hitungannya kali ini dengan menyertakan faktor lembaran dana yang kupunyai. Segera, dompet kukeluarkan dan kubuka, memastikan siapa sajakah gerangan yang masih bertengger didalam sana. Tetap setia dan melulu ada, hingga maut memisahkan Kita. (Duh..)
TARAA…!! Didalamnya Kulihat, satu lembaran kusam berwarna coklat. Barisan bilangan nol berjumlah tiga, terpampang sempurna dibelakang angka limanya. Yang meski kubacakan mantra berulang kali, digit nol itu tak pernah bertambah barang sebiji. Satu lembar kusam berwarna coklat, menatapku sedemikian hangat. Satu? Ya, hanya satu. Ia ternyata satu-satunya yang teramat taat. Mendampingi dengan tabah, meski Aku tengah dilanda susah. Padahal, lembaran yang lain telah pergi entah kemana.
Si Hijau yang dulu memukau, meracau galau gara-gara motorku mendadak tak mau menyala. Ia kemudian angkat kaki, hanya sekejap setelah bensin motorku kembali diisi. Si Biru yang begitu lugu, terbujuk rayu seorang kasir di minimarket itu. Ia berganti posisi dengan detergen plus pewangi, yang katanya bisa juga mencuci sendiri. Sedang Si Merah yang bertuah, terlalu cepat beranjak enyah, hanya sesaat setelah alarm meteran listrik berteriak-teriak marah. Ia mau saja ditukar dengan deretan panjang angka, yang bahkan huruf R dan P didepannya saja tak ada.
Alhasil, lembaran coklat adalah satu-satunya yang tersisa. Membuatku semakin ragu untuk mengeluarkannya. Ia adalah yang paling setia diantara semua lembaran yang pernah ada. Ia adalah yang paling lama bertahan, saat yang lain sudah menghilang berlarian. Aku tak tega memutuskannya, Aku tak sampai hati menceraikannya. Luka yang Kutorehkan pasti akan membekas abadi, duka yang Kutancapkan pasti akan menyakitkan sekali. Duhai.. Apakah jodoh ini memang hanya sampai disini? Benarkah kebersamaan ini memang hanya berujung disini? Tidakkah ikatan ini harus melulu dierati, meski apapun jua yang terjadi? Tidakkah Kita harus saling menguatkan, apalagi saat badai datang melemahkan? (Lagi-lagi, Duh..)  
“ABII..!! MANA??” anak kecil berponi mengagetkanku untuk yang kedua kali. Rambut depannya masih jua terjulur hingga menutupi sebagian matanya. Aku kembali menoleh ke arahnya, pura-pura tak mengerti maksud dan tujuannya. “Ada apa Zahdan?” tanyaku, polos. Yang ditanya langsung merajuk, “Iiiih.. Abi mah! Jadan kan mau jajan coklat, yang ada hadiahnya téa. Abi kasih Jadan uangnya atuh..” ucap Zahdan, kali ini dengan menyodorkan telapak tangan yang terbuka, menuntut pengamalan secara real dan nyata, bukan hanya janji-janji politik semata. Sontak Aku langsung menggulung spanduk-spanduk kampanye, menggulung lengan baju hingga ke siku, menggulung ujung celana hingga ke lutut, dan menggulung tikar yang baru digelar.. Namun berhubung belum ada Razia, tikarnya kembali kugelar saja. (He..)
Sembari menatap Zahdan, Aku aktif melancarkan upaya preventif, dengan cara yang teramat persuasif.
“Mm.. Zahdan, bukannya coklat di warung itu udah abis?” tanyaku.
“Masih ada kok” jawabnya.
“Bukannya warungnya udah tutup?” tanyaku.
“Masih buka kok” jawabnya.
“Yang jagain warungnya lagi pergi ya?” tanyaku.
“Ngga, ada disana kok!” jawabnya.
“Em.. Zahdan, makan nasi dulu aja gih. Biar kenyang” kataku.
“Udah” jawab Zahdan.
“Minum Susu?” tanyaku.
“Udah juga” jawabnya.
“Berarti ga usah jajan” simpulku.
“Mau jajan!” simpulnya.
“Kan udah kenyang” kataku.
“Kan biar tambah kenyang” katanya.
“Makan nasi lagi aja” tawarku.
“Ga mau!” tolaknya.
“Minum susu?” tawarku lagi.
“Ga mau!” tolaknya lagi.
“Mau apa atuh?” tanyaku.
“Mau jajan!” jawabnya.
“Ergh.. Ya udah, Abi kasih uangnya. Tapi coklatnya satu aja ya?” tawarku.
“Em.. dua aja Abi!” jawabnya.
“Satu!” tegasku.
“DUA!!” tegasnya.
“SATUUU!!!” kataku, keras.
“DUAAAAAA!!” katanya, lebih keras.
Akhirnya, perdebatan Kami selesai, hanya sepersekian detik setelah lembaran coklat berpindah antar. Dompetku langsung kehilangan, teramat kehilangan bahkan. Cukup lama mulutnya terus terbuka, menganga.. setengah tak percaya isi perutnya dikuras hingga tiada sisa. Sedangkan Aku? Hanya bisa tergugu menahan pilu. Terbayang lembaran coklat kan bertukar tempat dengan lembaran abu. Dilengkapi tiga digit nol yang jumlahnya sama-sama enggan bertambah meski sebuah. Barisan bundarnya selalu rapi tertata, dibelakang angka yang kata orang mirip sekali angsa. Namun Angsa yang tanpa sepasang sayap, dan tanpa sepasang kaki. Tanpa adanya buntut, dan tanpa kejelasan patuk. Heran, dengan banyaknya ‘tanpa‘ tersebut, mengapa orang masih berkata angka itu mirip angsa?
Aku menatap anak kecil berponi berlari girang ke warung seberang. Tangannya tinggi mengibar-ngibarkan lembaran coklat, yang untuk berpamitan saja tak diberi sempat. Ia sudah menghilang.. dibawa jajan Zahdan. Ditukar dengan dua bungkus coklat yang memikat. Tidak, yang memikat Zahdan pastilah hadiah Boboiboynya, bukan coklatnya. Hmph.. hidup memang terkadang begitu kejam Kawan.
Belum usai Aku mengenang masa-masa kebersamaan bersama lembaran coklat, Zahdan kecil sudah datang membawa keresek berisi jajanan. Wajahnya sumringah bukan kepalang, berteriak-teriak dengan suara semarak. “Abii!! Lihaat!! Kata Ibu walung kalo belinya lima libu, dapet coklat sama Boboboynya lima. Lihat Abi!! Jadan dapet hadiahnya limaa!! Banyaak.. kelén-kelén Boboboynyaa!!” celotehnya, Ia tak tersentuh sedikitpun dengan arti lembaran coklat beserta kesetiaannya. Aku menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya dengan yang kulihat didepan mata. Tak ada lagi angka yang berkongsi-kongsi didalam kepala, tak ada lagi bilangan-bilangan yang dihitung campuran. Semuanya hilang bersamaan dengan teriakan Zahdan. “Abii.. Boboboynya masuk comberaan!!”
***
Tak ada asap, jika tak ada api. Tak ada fakta, jika tak ada bukti. Dan tak ada uang, jika belum dapat gaji. Artinya, bukan tanpa alasan, selembar lima ribu bisa menjadi teramat berarti bagiku. Bukan tanpa sebab, selembar berwarna coklat itu satu-satunya yang tersisa didompetku. Semua hal tersebut berasal dari sesuatu menyeramkan yang bernama, “Utang”.
Sebut saja Mr X, seorang pengusaha kawakan. Jam terbangnya dalam hal jual beli sudahlah tinggi. Teknik promosi, marketing strategy, termasuk hitung-hitungan laba dan rugi, sudah menjadi santapannya sehari-hari. Di waktu Aku berangkat kerja di pagi buta, Mr X masih meminum secangkir kopi dengan santainya. Di siang hari Aku beristirahat dengan kepala penat, Mr X tengah semarak, dengan pembeli Ia bercakap. Dan dikala Aku berlelah-lelah di saat petang, Mr X sudah sumringah menghitung keuntungan harian. 24 jumlah jam yang sama, namun apa yang Kami lalui dan hasilkan sungguhlah berbeda.
Aku sudah lumayan lama kenal dengan Mr X, karena selain masih terkait hubungan saudara, cukup sering Aku dimintai tolong olehnya. Mulai dari sekedar servis komputer, pesan-beli laptop, adu tawar rumah yang akan Ia beli, membuat desain rumah yang akan Ia bangun, membuat layout toko yang hendak Ia renovasi, membuat desain logo, membuat banner dan spanduk, serta masih banyak lagi. Yang kesemuanya tak pernah Kujadikan bisnis, murni saja memberi pertolongan. Mau diganti silahkan, tak digantipun tak mengapa. Semua disebabkan karena Kami ada keterkaitan saudara.
Sebaliknya, Mr X pun sudah banyak sekali berbuat baik. Tak jarang, Ia bantu mengantar Ziya (kakaknya Zahdan) pergi ke sekolah. Terutama bila Aku belum pulang dari tempat kerja. Terkadang pula Ia dititipi Zahdan sebentar, memberi nasihat yang terujar, serta kebaikan-kebaikan lain yang tak bisa Kujabar. Sayang, dari sekian banyak kelebihan yang ada padanya, hanya satu hal yang membuat Mr X kerap tercoreng namanya. Ia acapkali abai pada utangnya. Itu saja.
“Mana radio komunikasi yang Kupesan kemarin?” tanyanya, suatu kali. Aku menggeleng pelan, bingung hendak memberi jawaban yang tepat. Bukan apa-apa, Mr X suka meminta dibelikan barang, namun seringkali tanpa uang yang dibekalkan. Alasannya selalu klasik, ‘nanti diganti’. Padahal, kata ‘nanti’ itu bisa beminggu-minggu lamanya, bisa berbulan-bulan lamanya. Dan kata ‘nanti’ tersebut, memberi konsekuensi serius pada siklus keuanganku. Aku harus menggunakan simpanan pribadi terlebih dahulu, jika ada. Jika tidak, terpaksa menggilirnya dengan stok dana dari pos keuangan yang lain. Pos untuk bayar sekolahan, atau pos untuk kebutuhan dapur dan makan.
“Mm.. belum, belum sempat dipesankan” jawabku, setengah ragu. Berharap Mr X langsung mengerti dan memberi uang terlebih dahulu. Aku memang bukan tipikal orang yang berani berterus terang, terutama masalah uang. Aku selalu didera ambigu, membicarakan uang bagiku rasanya seperti sesuatu yang tabu. Mendengar jawabanku yang terbata, Mr X hanya mengangguk dan berkata, “Cepat pesankan ya! Nanti uangnya diganti” ucapnya.
Aku menghela nafas pasrah. Lagi-lagi kata ‘nanti’ itu muncul lagi. Padahal, bekas pembuatan spanduk minggu kemarin saja belum diganti, katanya nanti. Pembelian keyboard laptop bulan lalu saja masih belum dilunasi, katanya nanti. Belum lagi dengan pembelian PC bekas untuk tokonya, perbaikannya, programnya, berikut scanner barcodenya. ‘Nanti’ yang lama belum selesai, kini sudah ada ‘nanti’ yang baru. Tak tahu, ‘nanti’nya itu membuatku harus pontang panting mengatur isi saku. Tak sadar, ‘nanti’nya itu membuatku harus menahan lapar sampai terkapar. Entahlah, mungkin saja bagi Mr X besar nominal rupiah itu tak seberapa. Terlalu kecil dibandingkan perputaran uang di usaha yang tengah dikelolanya. Namun bagiku, nominal itu bisa menambal kebutuhan berminggu-minggu. Sayangnya Ia tak tahu, sekalipun tak pernah tahu.
Ingin sekali Aku lugas berkata padanya, “Mr, bayar dulu utangmu! Baru Kubelikan lagi pesanan-pesananmu!”. Atau sekedar jujur dalam bertutur, “Mr, Aku sedang tak punya uang, pesananmu tak bisa kubelikan!”. Namun Aku tak bisa. Aku benar-benar tak bisa berkata sedemikian lugasnya, Aku sungguh-sungguh tak mampu bertutur sebegitu jujurnya. Aku selalu teringat akan kebaikan-kebaikan yang sudah Ia lakukan, dan Akupun menjaga adab berucap pada Ia yang Kuberi hormat.
Kawan, Aku ini seorang perantau. Ayahku sudah meninggal dunia, sedang Ibuku tinggal jauh di kampung halaman sana. Di kota ini Mr X sudah kuanggap seperti orang tua sendiri. Anak-anaknya sudah Kuanggap seperti adik-adikku sendiri. Tak terhitung berapa kali, jika di rumahnya nasi belumlah matang, Anak-anaknya datang menumpang makan. Pun sebaliknya, saat Ziya atau Zahdan kecil bermain disana, mereka kerap disuapi makanan pula. Selayaknya keluarga seharusnya, Kami saling menolong satu dan lainnya. Seyogyanya keluarga semestinya, Kami saling membela dari rongrongan yang menerpa. Maka sungguh sangat disayangkan, jika sekarang ini hubungan baik tersebut berubah menjadi renggang, membelah kekerabatan, dan menarik garis jarak yang terbentang panjang. Semua hanya gara-gara urusan utang yang melulu terabaikan.   
***
Angka 28 yang terpampang, sempurna sudah Kutandai bulatan. Setelah sebegitu banyak bulatan-bulatan yang Kutorehkan, berderet berdesakan di sebuah lembar kalender yang terpajang. Pekan ke sembilan? Entahlah, untuk menghitungnya ulang Aku terlalu enggan. Dan untuk terus menandai tanggal seperti inipun, Aku makin didera kemalasan. Bukan apa-apa, rasanya percuma saja setiap tanggal kutandai. Urusan itu tetap saja tak tertanggulangi. Alih-alih menjadi solusi, fikiran ini malah makin terbebani. Teringat tanggal terus-terusan, menanggung derita berkesinambungan.
Lagi-lagi, Aku bertanya dalam hati. Mengapa? Mengapa utang itu tak jua terlunaskan? Bukankah jiwa seseorang kan tertahan hingga utangnya terbayarkan? Dan bukankah Nabi saja tak mau menyolatkan jenazah yang perihal utangnya masihlah gamang? Lalu mengapa setelah sekian masa berjalan, utang itu belum juga diselesaikan? Tanyaku, dengan gelisah yang menyerang. Berpadu dengan gejolak lapar yang menyerbu perutku. Tidak, gajian masih beberapa hari ke depan, sebisa mungkin Aku harus bertahan. Mengupayakan anak-anak di rumah mendapat kenyang, agar tak ada dari mereka yang memelas jajan. Dompetku? Tak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Keberadaannya kini jarang sekali dipertanyakan. Mungkin saja Ia sudah mati, sakit hati lantaran tak pernah diisi. Atau barangkali sekedar koma, saat seekor laba-laba sudah bersarang didalamnya.
PRAANG!! Suara benda pecah membuatku terkejut. Sontak Aku melompat, bersegera menuju ke sumber suara. Dan tampaklah di dapur, pecahan kecil piring berantakan di lantai. Ziya Sang anak pertama, tengah berdiri di dekatnya, wajahnya menatap kearahku dengan takutnya. Kedua matanya berkaca, hanya butuh sedikit bentakan saja bisa dipastikan pecahlah tangisnya. Sepertinya Ziya hendak memasak mie goreng, makanan favoritnya. Selama ini Ziya memasaknya lancar-lancar saja. Ia sudah terbiasa melakukannya tanpa bantuan. Namun entah kenapa kali ini piringnya tersenggol dan pecah beradu lantai.
“Ziya, ga apa-apa kan? Kakinya ada yang sakit ngga?” tanyaku. Ziya hanya menggeleng, masih dengan wajah yang mengerut takut. Aku berkata lagi, “Kalo gitu Ziya naik ke atas kursi disana, Abi beresin dulu pecahan piringnya” ucapku. Ziya menurut, naik ke kursi dengan hati-hati.
Singkat cerita, pecahan di lantai sudah Kubersihkan. Mie goreng Ziya sudah Kubuatkan. Aku lalu memberikannya pada Ziya yang masih juga terdiam. “Ini, Ziya makan dulu. Sambil kakinya Abi lihat ya, khawatir tadi kena pecahan” kataku. Ziya hanya mengangguk. Aku berlutut, mengamati telapak kaki Ziya dari dekat.
“Mm.. Abi” panggil Ziya, pelan. Aku mengangkat wajah, “Iya, kenapa?” tanyaku. Ziya belum sedikitpun menyentuh mie goreng di hadapannya, Ia malah memperhatikanku. “Kenapa sih, tadi Abi ga marah? Tadi kan, Ziya udah mecahin piring..” katanya. Aku lalu tersenyum, “Ziya, itu kan hanya piring.. HANYA piring.. Benda yang ga punya hati. Bisa dicari lagi, bisa dibeli lagi. Tapi kalo Abi marahin Ziya, trus hati Ziya yang pecah, susah buat benerinnya lagi” jawabku. Ziya mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak. 
Aku melanjutkan, “Lagipula, Ziya pasti ga sengaja mecahin piringnya kan? Lebih mudah buat Abi mengikhlaskan saja. Ziya ga usah takut, itu HANYA..” ucapanku terhenti. Sebuah kata yang terakhir tiba-tiba berbalik menyerang fikiranku. Memberondong kongsi-kongsi angka di dalam benakku, bilangan-bilangan didalam otakku, serta tanda lingkaran-lingkaran di kalender itu, semuanya bergumul, berkecamuk menjadi satu.   
Ziya berkata, “Abi.. Ma kasih ya. Ini.. Mie gorengnya buat berdua aja. Abi juga lapar kan?” tawar Ziya. Aku masih tergugu dengan kata-kataku sendiri, menatap mata Ziya yang tak lagi berkaca, berganti binar yang bersinar dengan tulusnya. “Em.. Bu.. Buat Ziya aja dulu. Nanti kalo Ziya udah kenyang, Abi yang habiskan. Ma kasih Ziya udah nawarin” jawabku. Ziya tersenyum lalu mengangguk.
Aku berbalik, menuju kalender kembali. Kemudian sekuat tenaga merobek semua tanggal yang sudah ditandai, menghilangkannya dari pandangan, melenyapkannya dari ingatan. Lirih Aku berkata, “Itu hanya uang.. HANYALAH uang. Berapapun jumlahnya, meski berpuluh atau beratus-ratus sekalipun, itu tak lebih dari benda mati belaka. Tak bisa menjadi jaminan berikan kebahagiaan. Jadi, lebih mudah bagiku untuk melepaskannya saja. Lebih enteng bagiku mengikhlaskannya saja. Ya Allah, kenapa Aku bisa lupa hal yang sedari dulu selalu Kuyakini? Aku terlalu dibuai dengan hitung-hitungan dunia. Padahal hitungan Allah lah yang lebih baik dari segalanya. Tak apa.. Jikapun tak dilunaskan, Insya Allah Aku sedekahkan. Biar menjadi amal kebaikanku di hari penghisaban. Bismillaah.. Aku sedekahkan semuanya Yaa Allah!! Aku Ikhlaskan semuanya Yaa Robb!!” lirihku, mantap. Tanganku meremas sobekan kalender, melemparkannya ke tempat sampah, kemudian tersenyum tenang. Jauh lebih tenang ketimbang perasaanku selama berpekan-pekan.
“Abii… Ini Ziya sisain buat Abi!” teriak Ziya. Aku langsung menyahut, “Oya? Asyiik, pasti lezat sekali. Ma kasih Ziya ya!” balasku, begitu semangat. Ziya mengangguk sembari tersenyum. Namun, mendadak terdengar suara “Jadan mauuu!!!” teriak seorang anak berponi, tiba-tiba muncul begitu saja dibelakangku, Ia baru bangun dari tidur siangnya. Aku sontak melompat, membawa kabur piring berisi mie goreng tersebut, pura-pura hendak bersembunyi. Zahdan mengejarku sambil merajuk dan tertawa. “Abiii…!! Jadan Mauu..!!” teriaknya. Ziya menepuk jidatnya, “Zahdaaan, itu mah punya Abi. Buat Zahdan biar Kakak bikinin aja!” kata Ziya, begitu bijaknya. Namun Zahdan tak peduli, Ia memilih mengejar-ngejarku hingga tertangkap. Lalu terburu-buru menghabiskan sisa mie yang ada. Ziya menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Aku tertawa melihatnya. Senang rasanya tak lagi dihantui angka-angka. Lebih senang lagi bisa merasakan kembali kebahagiaan di sekitar. Hilang sudah beban yang mengungkung hati, musnah sudah penat yang mendera fikiran. Ternyata yang perlu Kulakukan hanyalah, BERDAMAI DENGAN MASALAH, itu saja.


[1] rantang/ran·tang/ n panci bersusun dan bertutup untuk tempat makanan dengan dilengkapi tangkai, yang berfungsi sebagai pengait dan pegangan