27/08/2019

Iya, Kamu.

Duhai, apa gerangan yang dulu ada di benakmu?
Apa sesungguhnya yang membuatmu menerima pinanganku?
Bukankah Kau tahu, Aku hanyalah manusia yang penuh dengan kekurangan?
Dari mulai rupa maupun ilmu, akhlak ataupun sikap, tiada satupun yang bisa dikatakan hebat.
Aku tak ada bedanya dengan manusia rata-rata yang ada didunia.


Apa gerangan yang dulu ada di benakmu?
Bukankah mereka yang pernah Kau kenal, jauh lebih cerdas dan berprestasi tinggi?
IPK istimewa, santun dalam berkata-kata, dipandang mulia oleh seantero kota.
Tidakkah Kau akan lebih sekufu dengan salah satu diantaranya?

Apa alasanmu?
Padahal, jika bersanding denganku, kita tak ubahnya seperti langit dan bumi.
Kau adalah langitnya, dan Aku adalah lapisan bawah tanahnya.
Jika bersama denganku, Kita serona Mawar dan sejumput rumput.
Kau semerbak indah wanginya, sedang Aku dedaunan kecilnya.

Duhai, Apa yang sesungguhnya membuatmu menerima pinanganku?
Tidakkah Kau tahu? Persetujuanmu dulu itu membuatku bahagia setengah mati.
Teramat tak percaya diberi hati oleh seorang Bidadari.
Lebih tak percaya lagi kala berakad mengikat janji.
Sungguh, ibarat mimpi.
Mimpi terindah yang pernah kualami.

Apa gerangan yang ada di benakmu?
Tidakkah Kau tahu?
Andai hari esok tiada lagi, bagiku hanya engkaulah Sang Permaisuri.
Kau yang telah berjuang sekuat tenaga demi keluarga.
Dan Kau yang telah mempertaruhkan nyawa demi buah hati tercinta.

Duhai,
Andai raga ini lenyap dimakan renta.
Dan andai jatah usia sudah tak tersisa.
Rinduku padamu tak akan berhenti begitu saja.
Cintaku padamu ‘kan tetap melangit menembus angkasa.

Iya, Kamu..
Whindy Widhiyanti Senjaya.

08/08/2019

Adu Memanah


Setelah berkali-kali menyalahkan busur, berulang-ulang bilang lantaran angin, serta terus menerus berdalih anak panahnya yang tak lurus, tetap saja faktanya Aku tak berhasil mengenai range nilai 10.

Padahal, bidikan anak itu nyata-nyata dua kali tertancap di tengah, serius.. dua kali tepat di tengah!!

Sempurna menyanggah mentah-mentah keraguanku saat kali pertama Ia mengenai sasaran, tepatnya saat Aku menyembunyikan heran sembari berkata, "ah.. itu hanya kebetulan".

Atau ketika tembakanku lagi-lagi meleset dan memberi wejangan, "nah, kalau itu contoh yang salah. Jangan ditiru ya!". Melulu berkata demikian sampai tak ada lagi anak panah yang bisa dilesatkan. Membuat anak berjilbab ungu itu menutup mulutnya sembari cekikikan.

Yah, pada akhirnya Aku memang harus mengacungkan jempol dan memuji Ziya. Ikhlas untuk menyerah, lalu pasrah dan mengaku kalah. Mungkin Putri Mumtaza ini memang benar-benar bisa mengendalikan angin. Membuat jalur udara tak kasat mata, yang lalu melesatkan panah tepat ke tengah sasaran.

Apapun, saat melenggang pulang. Aku masih tergelitik untuk berkata padanya.. "Tuh kan, kalau Kau mengikuti seluruh apa kata Abi, menurut dengan instruksi-instruksi Abi, panahmu jadinya tepat ke tengah. Iya kan?" tanyaku, penuh harap Ia langsung mengangguk mengiyakan.

Sayang, yang ditanya ternyata tak tampak mengangguk. Anak berjilbab ungu itu justru 'keukeuh' menggeleng sembari cekikikan.



02/08/2019

Gratis..

Selalu ada keadaan dimana pensilmu terpatahkan. Dan selalu ada situasi dimana lembaran bukumu terkoyakkan. Beragam pahit terus memaksa jemarimu untuk berhenti menulis, pedihnya terus menyeret lidahmu untuk bersikap pasrah, sedangkan jerinya mendesakmu untuk lekas-lekas menyerah.

Apalah dikata, sepanjang Kau bukan Tere Liye, maka karyamu kan tetap dipandang sebelah mata. Dan selama Kau bukan Habiburrahman el Shirazy, maka bukumu kan dianggap gratis oleh siapapun juga. Saudara, kawan, tetangga, semua berkata hal yang sama.. “Bagi satu ya!”, “Gratis ya!”.

Hmpft..

Sedih? Tentu saja. Lantaran butuh berminggu-minggu untuk menulisnya, dan butuh berbulan-bulan untuk melakukan risetnya saja. Ditambah dengan bermalam-malam begadang, serta bercangkir-cangkir kopi sebagai kawan. Dan semua pengorbanan itu terpaksa kandas dibawah kalimat tajam .. “masih untung ada yang mau baca!”.

JLEB..

Kecewa? Jangan tanya. Karena dalam segala keterbatasan, diri harus berusaha berkali lipat lebih banyak. Evaluasi lalu revisi, serta revisi kemudian evaluasi. Begitu terus.. Alami kondisi jatuh bangun berkali-kali, lewati berpayah-payah dalam segala lelah. Sampai akhirnya terhempas kedalam lembah, ‘tak peduli’.

Iya, Kau suka menulis.

Dan iya, Kau membuat buku.

Lantas kenapa?

JLEB..

Maka adalah sebuah keajaiban jemari ini kembali menari menyusun aksara. Adalah absurd lidah ini terus berupaya mendendangkan cerita. Tidakkah semuanya itu percuma?


“Abi, Ziya waktu dulu lahir teh ngga nangis ya?” tanya Maziya, sang anak pertama.

“Waktu dulu Ziya sering kena asma ya?” lanjutnya

Aku mengangguk sembari tersenyum.

“Iya, kan ceritanya juga ada di buku Ragam Cerita Bersama Ziya” jawabku.

Ziya ikut tersenyum, senang lantaran kisah tentangnya diabadikan dalam tulisan.


“Abi, masih inget waktu Zahdan dulu jatuh di jalan?” tanya anak kecil berponi.

“Masih inget waktu Zahdan pilih sekolahan?” lanjutnya.

Aku pun mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, kan ceritanya juga ada di buku Ragam Ceria Bersama Zahdan” jawabku.

Zahdan langsung terkekeh. Meski saat ini belum bisa membaca sendiri, Ia bangga bahwa peristiwa perihalnya itu dijadikan tulisan.


Nak, mungkin kelak di masa depan, Aku tak bisa menjawab tanya kalian sembari tersenyum lagi. Mungkin Aku tak akan mampu menjadikan kalian sebagai tokoh Putri dan Astronot lagi. Meski demikian, semoga kalian yang akan balas tersenyum sembari membaca jawabanku. Kalian yang akan mengingat waktu kecil tersebut saat masih bersamaku. Dan kalian akan bertanya didalam hati, untuk apa Aku menulis semua itu.

Nak, mungkin Ayahmu ini tidaklah secanggih Tere Liye. Dan Abimu ini juga tak sehebat Habiburrahman el Shirazy. Buku yang kutulis tiada terpajang di toko Gramedia, cerita yang kureka tak banyak diserbu pembaca. Jadi jangan tanya perihal royalti dan tanda tangan.

Tidak.. tidak.., Aku hanyalah seorang Abi. Iya, seorang Abi yang selalu berbahagia saat menulis tentang kalian.


Adalah sebuah keajaiban jemari ini lagi-lagi menari menyusun aksara. Pun berupaya hanya tersenyum ketika seseorang berkata, “buat Aku gratis ya!”.

OY!!

“Oy!! Sstt dulu atuh!! Lihat dulu Zahdan!!” teriak Zahdan, pada kami yang tengah berbincang.

Semua yang ada langsung tersenyum, melihat Zahdan, lalu mempersilahkan.

Tak lama, Zahdan langsung beraksi. Memantapkan kaki, menyisir rambutnya dengan jemari sendiri, lalu menggerakkan kepalanya sedikit ke arah kiri. Kami cekikikan menahan tawa melihat ulahnya ini.

“Nah.. Zahdan ganteng kan? Ganteng kan?” tanya Zahdan kemudian.

Semua orang yang melihatnya langsung mengangguk mengiyakan. Sebagian yang lain tertawa sambil bertepuk tangan.

“Iyaa Iyaaaa.. Zahdan ganteng..” pujiku.

Yang dipuji tersenyum lebar, kemudian melompat-lompat karena senang. Berciat-ciat ala superhero dan pahlawan. Tak lama, Zahdan berlari-lari ke ruangan sebelah.
Kamipun kembali berbincang. Sesekali mengajak main Zhira, berusaha membuatnya untuk tertawa. Tak susah, karena Zhira yang memang begitu ramah. Mudah sekali tersenyum pada orang di sekitarnya.

“Zhira lucuu.. bikin gemes..!” ucap seorang saudara.

 Kami tertawa, bersepakat dengan pendapatnya.
Beberapa detik setelahnya, Zahdan muncul kembali.

“Oy!! Sstt dulu atuh!! Sst duluu!! Lihat Zahdaan!” teriaknya.

Semua yang ada lagi-lagi tersenyum, melihat ke arah Zahdan, kemudian mempersilahkan.
Zahdan pun kembali beraksi. Lagi-lagi memantapkan kaki, menyisir rambutnya dengan jemari sendiri, lalu menggerakkan kepalanya sedikit ke kiri. Diakhiri dengan kata-kata yang serupa dengan sebelumnya.

“Nah.. Zahdan sekarang ganteng kaaan? Zahdan ganteng kaan?” tanyanya.
Semuanya tertawa lantaran ulah Zahdan, namun tak urung mengangguk mengiyakan. Tepuk tangan yang diberikan pun lebih keras dari sebelumnya.

“Yeiy.. Zahdan ganteng!!” kata seseorang.

“Iyaa.. Zahdan memang ganteng!” pujiku lagi.

Zahdan tertawa senang, bergaya tengah melancarkan jurus, terus berlari lagi ke ruang sebelah. Meninggalkan kami yang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.
….

Zahdan memang berbeda. Ia bisa begitu percaya diri tampil di hadapan banyak orang, menyanyi lagu yang Ia tahu sambil tertawa-tawa, serta melontarkan satu dua tebakan yang tak jelas jawabannya.

Termasuk kala diminta untuk naik ke atas panggung. Anak berponi itu terlihat sangat antusias dan bersemangat. Salah satunya ketika prosesi kenaikan kelas, yakni saat Ia memerankan monyet dalam lagu “walking in the jungle”.

Zahdan tampak menikmati beberapa detik durasi tampilnya itu dengan raut yang bangga. Ia bahkan tak ragu melompat-lompat ala monyet betulan. Mengundang tawa dan tepukan dari para orang tua yang menonton.

Bangga yang sama sontak menular padaku. Menahan senyum sembari menatap haru ke arah panggung. Ingin sekali berkata dengan bangga pada orang di samping..

“itu anakku! Ya, yang memerankan monyet itu adalah anakku!”.

Sayangnya, yang ada di sebelahku hanyalah dinding dan deretan pohon. Dinding tempatku bersandar, dan pohon tempatku bersembunyi. Entah dengan barisan semut merah, bisa jadi mereka menatap curiga di antara celah. He..

Maka biarkanlah Aku berkata disini saja, mengucap kalimat singkat pada setiap orang yang membaca tulisan ini.. Ataupun Zahdan sendiri ketika Ia sudah bisa membaca dan dewasa nanti.

 “Hei, itu anakku! Ya, yang memerankan monyet itu adalah anakku! Zahdan namanya, Muzahdan lengkapnya! Ia ganteng bukan?”.