26/10/2018

Fachri

Namaku Fachri, seorang santri.
Bukan kawan.. Aku bukanlah Fahri tokohnya Habiburahman el Shirazy. Fahri yang telah dipertemukan dengan bidadari bernama Aisha, lalu mengukir cerita dalam ayat-ayat cinta. Fahri yang berbuat kebaikan dengan segala apa yang dimilikinya. Ilmu, maupun harta. Semuanya Ia kerahkan untuk kebaikan semata.

Sedang Aku? Aku hanyalah seorang remaja biasa, sama selayaknya remaja-remaja pada umumnya. Bedanya, Aku tak tinggal tinggal di rumah dan bermanja-manja. Aku tak bisa menghabiskan waktu dengan nge-game seharian. Apalagi nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan balapan. Masa mudaku hanya sekali, sayang rasanya jika dihabiskan hanya untuk hal-hal seperti itu.

 Sejak setahun ke belakang, Aku didaftarkan ibu untuk tinggal di pesantren.. mondok. Mempelajari ilmu-ilmu agama, menghafal ayat demi ayat Al-Qur’an di luar kepala, untuk kemudian belajar menyelami setiap isi kandungan dan maknanya. Siapa tahu kelak, Aku bisa memakaikan mahkota bagi kedua orang tua tercinta. Sebuah prestasi tertinggi dari kejuaraan apapun di muka bumi.

Hari itu, adalah hari santri. Kami berkumpul bersama kawan santri dari pesantren-pesantren yang lain. Bahagia rasanya, menyaksikan kumpulan remaja para penuntut ilmu agama. Aku bahkan berkenalan dengan satu dua diantaranya. Teduh menyelimuti setiap pandangan mata mereka. Cerah menghias setiap inci dari wajah mereka. Wajah-wajah yang bercahaya karena senantiasa dibasuh air wudhu. Kening-kening surga yang tak pernah melewatkan sujud di sepertiga malam terakhir. Kalimat-kalimat dzikir meluncur takzim dari setiap percakapan kami.

ALLAHU AKBAR!!
Takbir menggelora, bergemuruh didalam dada. Disambut seluruh santri dengan teriakan semangat yang tak kalah membahana. Kesemuanya membuat sengatan matahari siang seolah tak ada apa-apanya. Gegap gempita merasuk kedalam relung setiap jiwa.

Seorang santri bahkan sampai mengibarkan panji Rasulullah SAW, saking semangatnya. Lupa bahwa panitia sempat memberi berita, bahwa yang boleh dikibarkan hanya bendera negara.

Alhasil panitia terpaksa menegurnya. Dengan sebuah senyuman sembari bersalaman, santri tersebut diberitahu dengan baik-baik. Yang diberitahu ikut tersenyum, kemudian mengangguk tanda mengerti.
Sayang, beberapa orang berseragam tiba-tiba datang mendekat. Mereka menyita panji tersebut, untuk kemudian dibawa begitu saja. Membuat sebagian besar panitia hanya melongo tanpa bisa melawan.

Di bagian lain lapangan, orang-orang berseragam itu berkumpul dan menyalakan api, hendak membakar panji tersebut. Beberapa lainnya bahkan terdengar semangat bernyanyi.
Dari kejauhan Aku terhenyak, memandangi mereka dengan tatapan tak percaya.

Tidakkah mereka bisa membaca, kalimat Lailahaillallah yang tersemat diatasnya? Kalimat suci yang memposisikan secara tegas iman seseorang. Kalimat yang dipertahankan kita selaku muslim, bahkan melebihi dari nyawa kita sendiri. Kalimat yang para sahabat Rasul mati-matian menjaganya agar tak sampai jatuh ke atas tanah, bahkan hingga putus kedua tangannya, serta syahid menjemputnya.

Lalu kenapa orang-orang berseragam itu malah hendak membakarnya? Apa yang mereka fikirkan sebenarnya? Bukankah mereka.. muslim juga?

Api mulai berhasil membakar ujung panji, Aku menatapnya dengan teramat jeri.

Sesenti..

Dua senti..

Hatiku tak tahan lagi.
Aku langsung berlari sekencang-kencangnya, kemudian melompat menyambar panji itu dari tangan mereka. Gantian, giliran mereka yang terhenyak. Tak percaya dengan apa yang kulakukan.

BUKK..
Aku terjatuh sembari memeluk panji tersebut. Nyala apinya kupadamkan dengan kedua tanganku sendiri.

Panas memang, rasa pedih seketika mendera kulit telapak tanganku.

Sshh..

Biar..

Biar saja tangan ini melepuh. Dan biar saja sekalipun tubuh ini terbakar. Asalkan kalimat suci dalam panji tak sampai ternodai. Aku tak akan rela.. Sedikitpun tak rela orang-orang itu menghinakannya.
Beruntung, tanganku ternyata baik-baik saja. Tak nampak ada luka walau sucuil saja. Dan yang lebih penting, panji itu tak jadi terbakar. Hanya menghanguskan ujung dan sedikit bagian tulisan didalamnya. Aku membisikkan Hamdallah pelan.

Aku tak sadar, jika perbuatanku barusan membuat orang-orang dibelakangku menjadi geram. Kesal karena tindakannya tadi berhasil digagalkan. Maka tak ayal, seorang yang semula memegang korek api, menjulurkan tangan kekarnya ke arah leherku, hendak mencekik dan menyeretku. Sedang tangan lainnya berusaha merebut panji itu dari tanganku.

Aku tak membiarkannya. Panji itu tetap kupeluk erat-erat. Aku tahu badanku kecil, tenagaku pun berbeda jauh dengan mereka yang fisiknya terlatih. Tapi Aku tak akan menyerah.

Biar..

Lagi-lagi biar..
 
Biar badanku remuk sekalipun, tulang-tulangku patah sekalipun, Aku tak akan melepaskan panji ini. Jika mereka “keukeuh” ingin membakarnya, bakar saja bersama ragaku.

Cengkraman tangan besar itu semakin kuat. Membuat leherku terasa sakit, Aku mulai kesulitan bernafas.
EKH.. A..Allah… bisikku, memohon pertolonganNya.

Hanya sedetik setelah itu, tiba-tiba saja cengkeraman tangan itu menjadi longgar. Aku cepat-cepat meloncat dan berbalik.

Tampak olehku, orang berseragam yang semula mencekikku, berdiri terpaku dengan mulut terperangah.

“A..A… Apa..i..ini?” ucapnya, tergagap.
Ia menatap dengan lengannya sendiri dengan kedua mata nanar. Karena dalam waktu sepersekian detik, dua buah lubang seukuran bola pingpong, tiba-tiba saja terlihat menganga disana. Satu dekat pergelangan tangan, dan satu lagi berjarak dua senti dari sendi siku.
 
Yang tak kalah aneh, sekeliling lubang lukanya tampak menghitam hangus, seolah telah ditembus sesuatu yang teramat panas. Daging dan ototnya terkoyak, bak dedaunan yang dimakan ulat.

“AAAAAKKH….!!” Jerit orang berseragam, merasakan sakit.
Disusul jeritan sama dari orang berseragam yang lain, dengan luka menganga yang serupa. Membuat kawan-kawannya yang tak terluka sontak berlarian mencari perban dan kotak P3K, sedangkan sebagian lagi kikuk menelfon ambulan. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat peduli lagi pada panji yang kupeluk.

Saat itulah, di tengah lapangan, beberapa santri menunjuk ke atas langit, sepintas mereka merasa melihat sekelompok burung terbang dengan membawa batu menyala di kakinya.

(Ini adalah cerita fiksi. Jika ada kesamaan tokoh, waktu maupun kejadian, itu hanyalah kebetulan semata)