22/09/2021

Pura-pura

Wahai, Ayah Bunda yang gemar berpura-pura.
 
Ayah bilang tiada lelah diluar sana.
Bekerja seadanya, seolah tak perlu memeras tenaga.
 
Padahal, lihatlah!
Keringatmu jelas-jelas deras bersimbah.
Sekujur badanmu bergetar tanda melemah.
 
Kau selaksa kayu yang menjadi jembatan.
Dari luar berat menopang, dari dalam renta menyerang.
 
Tetapi anehnya, ketika pulang, kau selalu saja terlihat girang. 
Mengangkat kami sambil tertawa.
Menawari kami, mau dibelikan mainan apa.
 
Seakan seluruh letih-lelah usahamu,
sepenuh pedih-payah tenagamu,
 
kau korbankan hanya bagi kami, anak-anakmu.
...
 
Wahai, Ayah Bunda yang gemar berpura-pura.
 
Bunda bilang perutmu sudah kenyang,
membujuk kami makan tak bosan-bosan.
 
Padahal, dengarlah!
Kosong perutmu nyata-nyata menjerit.
Lapar menjadikan lambungmu tercabik-cabik.
 
Kau selaksa pelita yang melulu menyala.
Ke luar, ikhlas memberi cahaya. Ke dalam, sakit menahan bara.
 
Tetapi anehnya, kau selalu saja tersenyum menampilkan tenang.
Memasak lezatnya hidangan, yang kau sendiri bahkan jarang sekali kebagian.
 
Seakan seluruh penat-pekat penderitaanmu,
sepenuh resah-risau kekhawatiranmu.
 
Tak boleh sampai diketahui kami, anak-anakmu.
...
 
Wahai Ayah,
 
Wahai Bunda.
 
Terima kasih telah menganggap kami bukan hanya sebagai anugerah, 
melainkan juga sebagai amanah.
Amanah yang dijaga sebaik-baiknya, 
pun amanah yang dituntun selurus-lurusnya.
 
Izinkan kami, menjadi saksi kebaikan kalian, 
kelak nanti di hari penghisaban.
...
 
Wahai Ayah,
 
Wahai Bunda.
 
Terima kasih..
Sungguh, terima kasih atas kepura-puraan kalian.
 
Izinkan kami sekarang, membalasnya dengan "pura-pura" yang sama.
 
Kami akan "pura-pura" meletakkan dahi di lantai mesjid,
padahal tengah memohonkan ampunan Allah bagi kalian.
 
Kami akan "pura-pura" mengangkat tangan di akhir sholat berjamaah,
padahal sedang meminta balasan kebaikan dari Allah untuk kalian.
 
Kami pun akan "pura-pura" menghafal ayat suci Al Qur'an.
Padahal kami sedang mempersiapkan sepasang mahkota cahaya.
 
Mahkota yang lebih indah...
jauh lebih indah dibanding dunia dan seisinya.
 
Mahkota yang khusus kami persembahkan, hanya bagi kalian..
 
Bagi Ayah..
Dan bagi Bunda yang kami sayang.
 

 

09/09/2021

Pohon

 

Ah, iya! Pohon ini.. Kau ingat?
 
Hampir setiap kali kemari, kau selalu menyempatkan diri untuk memanjatnya.
Meski di awal, seringkali kau meminta bantuanku lantaran takut terjatuh.
 
Namun ketika sudah berhasil duduk di dahannya, kau akan betah berlama-lama disana.
 
Terduduk..
 
Sendiri..
 
Menatap takzim arak-arakan awan dari sela rimbunnya dedaunan.
Terlarut damai menikmati hembusan angin yang sepoi dan menenangkan.
 
Tentu saja, kau memang anak abi.
Dulu, sewaktu kecil, akupun memang kerap memanjat pohon mangga di depan rumah.
 
Duduk, sendiri..
 
Tak peduli, meski orang rumah tengah mencari-cari. Tak acuh walau ada kawan yang memanggil-manggil namaku.
 
Pun ketika harus pergi ke tanah rantau. Aku kerap memanjat pohon di depan kamar kost. Melamunkan rumah, membisik rindu pada angin yang berlalu.
...
 
Nak, kudengar kelasmu di lantai dua, bukan?
Dan perpustakaanmu di lantai tiga. Iya, kan?
 
Kau tak perlu lagi memanjat pohon untuk bisa berbincang bersama angin.
Tinggal buka lebar jendela,
 
Kemudian katakan saja..
 
Titipkan rindumu itu bersama sepoinya.

Anak Abi

Iya. Dulu, anak ini yang kerap bersembunyi di belakang kaki. Dia yang selalu ingin ikut kemanapun aku pergi. Dia yang selalu saja ingin aku temani.

Termasuk ketika awal-awal masuk sekolah, dia bersikeras ingin selalu didampingi.

Bahkan, anak ini pula lah yang sejak awal mendorongku ke pusaran tulisan.

Membersamai beragam kisah keseharian, kemudian mengikatnya kedalam cerita sederhana.

Iya.. Dia ini yang selalu ingin disebut sebagai anak abi. Dia pula yang selalu ingin dikatakan mirip abi. Pun dia yang acapkali ingin membantu, setiap aku mengerjakan sesuatu.

Maka, membaca novelnya yang berjudul #seratuskalisayanguntukabi, tentu saja memberi haru tersendiri.

Embun di kedua mata ini mencair entah karena apa. Entah lantaran alur ceritanya yang sungguh menyedihkan, atau gegara bangga pada dia yang menuliskan.

Maziya, tetaplah berjuang, nak! Tekuni apa yang kau sukai, tebar kebermanfaatan di seantero bumi.


 

01/09/2021

PO Novel Ziya

Sebuah proses yang sungguh melahap durasi. 
Bertahun-tahun kau jalani dengan emosi yang berfluktuasi.
 
Sedih dan pedih, luka dan duka, menyeret paksa butiran embun di ujung kedua mata.
Sesal dan kecewa, kecil hati dan putus asa, memunculkan pilu yang kian membuatmu tersedu.
 
Bahkan, hampir-hampir saja kau ingin menyerah, hendak menukar cita-citamu dengan yang lebih mudah.
 
Tapi lihat sekarang, nak!
Lihatlah sekarang!
 
Karyamu itu betulan jadi buku, bukan?
 
Dan namamu terpampang jelas di bagian depan. 
Iya, kan?