21/02/2019

Tampak Berbeda

"Zahdan, mau sekolah disini?" tanyaku.
"Iya mau! Disini mah banyak pohonnya!" jawab Zahdan, polos.

Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Zahdan. Ia mungkin tak tahu, dulu sekolah ini terkenal dengan kata 'Pembangunan', bukan lantaran kata 'Pepohonan'.

"Abi, kalau perpustakaannya dimana?" itu Ziya yang bertanya.

Aku lantas menggaruk kepala, mengingat-ingat kembali letak ruangan itu dahulunya. Bukan apa-apa, banyak hal yang langsung teringat seketika. Bercampur aduk antara pengalaman dan perasaan, duka dan bangga, serta antara haru dan setampuk rindu.
...

Apapun itu, menjejakkan kaki di tempat ini, serona mengais kembali kepingan-kepingan memori. Ironis memang, setelah 20-an tahun berlalu, Aku masih mengharapkan sekolah ini terlihat seperti dulu.

Padahal, lihatlah.. Pohon nangka yang dulu tingginya hanya selutut, kini sedemikian kokoh dan menjulang, di beberapa cabang bahkan berbuah menggiurkan.

Pagar yang kuwarnai biru dahulu, kini sudah hilang entah kemana. Tentu, dengan hanya berbahan bambu, Ia mampu dilahap rayap dalam waktu yang singkat. Masa telah meleburnya menjadi debu. Dan menemukannya adalah hal yang mustahil bagiku.

Area taman berbentuk segitiga, yang semula hendak didirikan menara sederhana, kini berubah menjadi pemancar raksasa. BTS tinggi yang dikelilingi tembok dan jeruji. Meniadakan jejak taman hingga ke akar-akarnya.

Lihat pula warung kecil di pinggir jalan sana, tempat dulu kami berkumpul dan saling bertukar rahasia. Membeli satu dua gorengan, namun ngobrolnya bisa berjam-jam. Merasa tenang, toh Sang pemilik warung tak pernah berkeberatan. Sayangnya, sekarang tempat itu telah berganti menjadi toko kue dan makanan. Berdampingan dengan jasa pengiriman barang, dan toko-toko lain yang tak sedikitpun kukenal.

Ah, Aku harus berkaca diri.

Tempat ini tak mungkin terlihat seperti dulu lagi.

Seperti dulu saat pertama dimana kaos putihku diberi tinta, dan tak boleh hilang meski dikenakan seminggu lamanya. Betapapun pekat aroma lumpur dan sisa keringat, mesti melekat walau putihnya berubah coklat.

Pun seperti ketika menyeret kaki berpayah-payah, membawa tas berbahan karung menuju aula. Atau ketika rambut gondrongku kena razia saat Upacara. Berbagai saat yang selalu teringat, hingga era kelulusan pada akhirnya.

Ah, lagi-lagi Aku harus berkaca diri.

Tempat ini tak pernah mungkin tampak seperti dulu lagi.

Meski demikian, potongan tentangnya tak mungkin terlupakan. Tak mungkin mudah terenyahkan.
Entahlah, bisa jadi suatu saat kisah panjangnya diceritakan ulang dalam sebuah buku. Bisa saja bukan?
...

"Zahdan, bagusan sekolah Abi atau sekolahnya Ummi?" tanyaku.

"Bagusan sekolahnya Abi, luas.. Bisa lari-lari, bisa naik pohon. Pohonnya ada banyak" jawab Zahdan, masih saja menyinggung perihal pohon.

Aku langsung terkekeh pelan.

"Abi, dimana perpustakaan teh?" Ziya masih mengajukan pertanyaan yang sama.

"Emm.. Di.. Disana mungkin. Tuh, yang pintunya ditutup" jawabku tak jelas, sembari menunjuk pada ruangan-ruangan yang berjajar.

Dan kesemua pintunya memang tak ada satupun yang terbuka

16/02/2019

Lorong Waktu

Sungguh, ini bukanlah lorong waktu.
Tapi entah kenapa, lorong tersebut seolah bisa menghubungkanku pada masa lalu.
Pada papan mading tempat kutempeli guntingan artikel-artikel itu, pada pintu workshop berukuran besar dan berat itu, pun pada taman rumput dengan pagar yang bercat biru itu.
Semuanya adalah pengingat sempurna akan era remaja dan belajar menjadi dewasa.
Pengingat terbaik akan keberadaan kawan dan hangatnya kebersamaan.
Pun pengingat terdalam akan rasanya bertepuk sebelah tangan.
Eh.. 😅