07/09/2019

Bukan Kopi Biasa

Mobil berkelok ke kanan dan kiri, menanjak dan menurun berulang kali. Mau bagaimana lagi? Kontur bumi disini memang tidaklah datar, berundak-undak bak tiada henti.

Hampir serupa dengan hidup yang terus diuji. Selesai ujian yang satu, muncul kembali ujian yang lain. Usai kesulitan yang satu, bertandang kembali kesulitan yang lain.

Butuh kesabaran yang tinggi untuk tetap tegak berdiri.
..

CKIIT..! Mobil berkelok lagi, kali ini belokan tajam setengah putaran.

“Ergh..” Aku mengernyit menahan sakit.

Meski tetap menyandarkan kepala ke jendela kaca, ternyata pusing tetap saja keras mendera. Pun meski sebutir obat pereda sakit sudah kutelan, ternyata sembuhnya hanya sementara.

Ah, sakit di kepala ini pastilah lantaran lambungku. Maag yang kambuh gara-gara terlambat makan siang tadi. Aku baru bisa melahap nasi di hampir setengah dua, setelah sepanjang jam istirahat melakukan pekerjaan.

Alhasil lambungku kini seperti melilit-lilit. Mual mengaduk-aduknya tanpa bisa berkelit. Kopi yang sudah diseduh tadi, hanya bisa didalam tas Ia terselip. Aku tak berani meminumnya.. sedikitpun. Fikiranku berkata, meminum kopi saat maag kambuh, hanya akan memperparah rasa mual dan pusingnya.
..

DUK..! Mobil menjajal jalan berlubang.

Sang sopir tak mampu menghindarinya lantaran terhalang kendaraan. Hal itu membuat hentakan mendadak di kaki-kaki mobil, diredam seadanya oleh pegas, menjalar masuk ke kursi jok, dan spontan membuat kepala ini bertambah sakit.

Sakit sekali, bahkan..

Harapan sakit itu hilang jika bisa tidur barang sejenak, terpupus sudah. Apalagi setelah turun nanti Aku masih harus menjemput Ziya dari sekolah. Bagaimana bisa menjemputnya kalau kepalaku sesakit ini?
..

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk di salah satu grup WhatsApp. Isinya kebetulan tentang kopi yang sudah kuseduh dan berada didalam tas. Katanya, meski maag sedang kambuh, kopi ini justru mampu mengurangi gejalanya.

Ah, sepertinya mustahil. Mana ada kopi yang mengobati maag..

Namun, karena terdorong oleh rasa penasaran, Akupun nekat meminumnya. Dua kali tegukan, diawali dengan kalimah Basmallah.

Tak apa, andai muntah betulan pun biarkan saja. Dengan track jalan berkelak-kelok seperti ini, setiap penumpang di mobil inipun pastilah merasa ingin muntah. Semuanya pasti maklum.

Empat kali tegukan, rasa mual itu tak datang juga.

Enam kali tegukan, alih-alih ingin muntah, yang ada perutku justru terasa baikan.

Sembilan kali, sakit di kepalaku yang mulai berkurang.

Hingga turun dan berganti mengendarai motor, berangkat menjemput Ziya dan pulang ke rumah, pusing ini akhirnya hilang sepenuhnya. Alhamdulillah..

Duh, kopi apa sih ini? Rasanya enak, tapi dibuat dari tujuh rempah kaya manfaat. Bunga dari Gula Palm, Buah dari Mengkudu, Kulit Manggis, Akar dari Jahe, Batang Kayu Angin, Bijinya Habbatussauda, dan Daun Sendok.

Kopi apa sih ini? Warnanya tak hitam, tapi memberi banyak pengobatan. Mulai dari asma dan anemia, anti oksidan dan gangguan pencernaan, bersifat adaptogen (kekebalan tubuh) dan sedatif (menenangkan), analgesik, hipotensif, de el el.. de el el..

Kopi apa sih ini? Di Tivi tak terlihat iklan, tapi terkenal di berbagai kalangan. Meminumnya bisa menjaga kesehatan, tapi mampu juga sebagai pengobatan.

 Ah, sudahlah. Tulisan ini murni sekedar berbagi pengalaman, tak lebih.. pun tak kurang. Bukankah kemustahilan hanya akan terjawab sendiri dengan sebuah pembuktian?

Zahdan Bisa Baca

Di suatu malam yang kian temaram..

“Jadi, Kau dengar apa kataku tadi? Aku akan mengizinkanmu, dengan syarat Kau membawakanku tiga benda legenda. Satu, Mutiara Hitam dari Laut Selatan. Dua, Tanduk Rusa Emas dari hutan pedalaman. Dan Tiga, Dahan Gelap Aquilaria dari Tubir Asfar, kata Raja” Aku menarik nafas sebentar, kemudian melanjutkan membaca draft tulisan pada layar.

“Ikal menelan ludah merasa gentar, dua matanya menatap Sang Raja dengan setengah kesal. Bagaimana mungkin Ia bisa mendapat benda-benda legenda itu? Nama-namanya saja baru kali ini Ia mendengarnya. Atau mungkin Raja Awandra hanya berkata sembarang, sebuah langkah jitu untuk mematahkan harapan” kataku, kemudian menghela nafas panjang.

“Nah, udah dulu ya ceritanya..” pungkasku, sembari menutup program Microsoft Word, lalu bersiap mematikan Laptop.

“Yaah… Terusin dulu atuh Abii!!” kata Zahdan, merajuk.

“Iya Abi, terusin dulu.. Ziya juga da belum tidur!” Ziya mendukung adiknya.

Aku tentu saja harus menggeleng, jam tidur anak-anak ini sudah terlewat setengah jam. Lagipula, ada alasan lain yang membuatku tak bisa meneruskan membaca cerita.

“Aduuh, ceritanya belum selesai, Zahdan. Abi baru ngetik sampai bab sembilan yang ini, masih mikir-mikir gimana kelanjutan ceritanya. Nanti deh, kalau sudah ada, Abi bacain lagi. Ya?” kataku.
Ziya dan Zahdan mengucap ‘Yaah’ hampir bersamaan. Ziya yang sudah lebih dewasa, mengangguk tanda mengerti, membaca do’a sebelum tidur, lalu langsung merapatkan selimut. Tidur miring ke sisi kanan.

Sedangkan Zahdan, entah karena masih penasaran, tergelitik untuk kembali bertanya.

“Abi, Raja Awandra itu teh jahat ya? Terus nanti Ikalnya gimana?” tanyanya, tak peduli padaku yang sudah mengucek mata menahan kantuk.

“Iya Zahdaaan.. Nanti aja Zahdan denger lagi ceritanya. Udah ah, sekarang mah Zahdannya tidur dulu. Besok-besok kalau Zahdan udah bisa baca, pasti bakal seru. Kayak Ka Ziya tuh, sering asyik sendiri baca buku KKPK. Nah, Zahdan juga, nanti pilih buku cerita mana saja yang ada di rak, terus langsung dibaca sendiri, ga usah nunggu Abi buat bacain. Cerita tentang astronot, tentang planet, semua kan ada” ucapku.

Zahdan tersenyum, melafalkan do’a sebelum tidur, lalu ikut memejamkan mata sembari merapatkan selimut, entah apa yang akan dimimpikannya.


Benar, hingga Zahdan menginjak usia keenamnya, Aku memang tak pernah khusus mengajarinya membaca. Aku hanya menyodorinya buku-buku, menawarinya membeli buku, serta menyediakan wadah khusus untuk buku-buku miliknya. Wadah yang berbeda dengan tempat menyimpan mainan-mainannya.

Dulu, Zahdan kecil sering terduduk di pangkuan, lalu kubacakan teks cerita sembari menunjuk gambar-gambar yang tertera. Ia akan berceloteh ‘bah..bah..’ tanpa kumengerti apa maksudnya.
Termasuk kartu baca balita. Rasa-rasanya Aku tak pernah sekalipun mengkhususkan waktu bagi Zahdan belajar tentangnya. Mengeja suku kata, atau bernyanyi ‘ba-bi-bu-be-bo’, semua dijalani Zahdan apa adanya.

Adakalanya, Zahdan berkata sok tahu, kala Ia melihat sebuah spanduk mencolok yang dipasang di depan sebuah rumah.

“Abi, rumah yang itu teh pasti dijual ya!” tebaknya, begitu yakin. Mungkin karena dulu Aku pernah memberitahunya saat Ia bertanya hal yang sama tentang rumah yang berbeda.

“Mana? Ooh.. yang itu. Bukan Nak, rumah yang itu mah bukan dijual, tapi dikontrakan” jawabku, sembari terkekeh.

Zahdan mengernyit tak mengerti. Padahal spanduknya sama persis, warna dan ukuran hurufnya pun mirip, kenapa bisa berbeda.

Dan percakapan selanjutnya membahas tentang apa itu ‘dikontrakan’. Aku sebisa mungkin memilih kata-kata yang bisa dimengerti oleh anak seusianya.


Beberapa waktu kemudian, ketika Aku mengajaknya membeli jajanan, Zahdan tiba-tiba saja berkata sendiri..

“Par.. Kir.. Mo.. Tor.. Ma.. Sih.. Ko.. Song.., Abi!! Disana itu tempat parkir motor ya?” tanyanya, sembari mengarahkan wajahnya ke arah sebuah toko.

Sontak Aku terperanjat. Alih-alih menjawab, Aku malah bertanya balik.

“Ha? Zahdan udah bisa baca??” tanyaku, tak percaya.

Yang ditanya hanya terkekeh sambil mengangguk bangga.

“Coba.. coba.. baca yang ini..!” kataku, menunjukkan bagian depan kaos yang tengah kukenakan.

“Em.. Tehe.. Gre.. Aaa.. Tes.. Ta.. Uuu.. Hid..!” kata Zahdan.

Lagi, Aku harus menggelengkan kepala tak percaya. Anak kecil berponi ini ternyata sudah bisa membaca tanpa kuduga.

Boleh jadi, Zahdan sudah diajari gurunya di sekolah, meski Ia nyata-nyata tak pernah membawa buku mengeja ke rumah.

Jumlah durasi sekolahnya pun sangat-sangat terbatas, tak lebih dari empat jam waktunya. Ditambah dengan tingkat ketidakhadiran Zahdan yang tinggi, serta diinterupsi dengan periode bermain Zahdan yang unlimited, ternyata eh ternyata.. Zahdan bisa cepat juga belajar membaca.

Kau memang hebat, Nak..

Lain waktu, Kau bisa membaca sendiri kelanjutan cerita Raja Awandra di laptop ini. He..

Sahabat Terbaik Zahdan

Dulu, di perumahan ini Ziya memiliki sebuah geng, ASiMa namanya. Singkatan dari nama-nama mereka sendiri, yakni Armida, Silmy, dan Maziya. Trio yang pernah didaulat untuk mengurusi Taman Baca Mumtaza. Berbagi tugas melayani anak-anak yang hendak membaca atau meminjam buku.

Selama beberapa waktu, ASiMa memang selalu bersama kemanapun juga. Membeli makanan ke warung bertiga, pergi ke mesjid bersama-sama, serta bermain di taman dengan kompaknya. Mereka akan memilih menunggu jika salah seorang belumlah tiba.

Istilah 'no one left behind' benar-benar mereka terapkan.

Tak cukup, mereka mengenakan pula baju yang senada. Ditambahi dengan memakai pernak pernik yang nyaris tak ada beda. Bolpoin dan dompet, kertas binder, ataupun bros cantik yang disematkan di kerudung. Dan tatkala seorang darinya lupa tak memakai bros, maka dua lainnyapun akan kompak melepas bros.

Prinsip 'one for all, all for one', sungguh-sungguh mereka jalankan.

Sayangnya, geng ini terpaksa berhenti karena kepindahan Silmy. Tempat tinggalnya kini jauh berkilo-kilo meter dari komplek ini. Terang saja Ziya dan Armida berduka, Taman Baca pun ditutup sementara.

Meski demikian, Ziya masih suka menulis cerita tentang mereka bertiga. Ia pun beberapa kali mengirim kado dan menitipkan surat. Ziya sering berkata bahwa Silmy adalah sahabatnya.
Seorang sahabat terbaik yang pernah Ia punya.

Dan hei..! Kata-kata itu ternyata terdengar oleh Zahdan kecil. Walau belum mengerti benar apa arti sahabat, Zahdan tetap tak mau kalah. Ia ingin punya sahabat seperti kakaknya.

Sesuatu yang tampaknya mudah saja bagi Zahdan, lantaran di sekitarnya banyak anak yang mau berkawan. Zahdan tinggal pilih seorang, lalu.. Abrakadabra! Jadilah Zahdan punya sahabat.
Bagai cepu dengan tudungnya, pilihan Zahdan ternyata jatuh pada anak bernama Mikel, adik dari Silmy sendiri. Dulu, Zahdan kecil memang sering bermain bersamanya. Meski tak sampai pada tahap membuat geng, atau kompak memakai bros yang sama.

Kepindahan Silmy, artinya sama dengan kepindahan Mikel. Zahdan kerap 'ikut-ikutan' menulis surat, padahal membaca saja Ia belum bisa. Setelah menggoreskan pensil disana sini, Ia meminta tolong diejakan kata, 'teruntuk.. sahabat terbaikku'.

Aih, ada-ada saja anak kecil berponi ini!

Terkadang, Zahdan bahkan terlihat duduk menatap jendela sembari memegang fotonya bersama Mikel. Dengan segurat bibir yang tertekuk, ditambah dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Zahdan kemudian lirih berkata..

'Zahdan kangen sama Mikel..' ucapnya, hanya sedetik sebelum pecah tangisnya.

Entah karena Ia kangen betulan, entah lantaran hanya ingin diperhatikan. Buktinya, ketika tiba-tiba ada Byaz dan Jamil -teman lain- datang, mengajak bermain robot dan mobil-mobilan, Zahdan seketika saja menjadi riang. Berlari-lari keluar rumah sembari menenteng mainan. Meninggalkan foto yang semula dipegang tergeletak sembarang.

 Lagi-lagi, Aih.. Ada-ada saja anak ini!