22/01/2023

Kalajengking


 

Jagoan Andalan

"Abi, boleh aku bantuin?" tanya zahdan, tiba-tiba.
 
Aku menoleh, lalu langsung mengangguk mengiyakan.
 
"Tentu saja boleh, sangat boleh bahkan" jawabku, senang.
 
Karena dengan tenaga yang hanya tinggal sisa, dan dengan telah terkurasnya pikiran dalam kepala, tentu bantuan siapapun akan aku terima. 
 
Dan zahdan, untuk yang kesekian puluh kalinya, menjadi orang yang melulu datang menawarkan bantuan. Membantu apapun yang dia bisa. 
 
Dari sekedar membersihkan rak sampai membereskan buku bacaan.
 
Dari memberi makan ikan, sampai membuatkan adiknya semangkuk mie instan.
 
Pun sekarang, dari hanya membukakan bungkus plastik, hingga menyusun rapi berlembar-lembar kertas untuk buku mutaba'ah. 
 
Zahdan hampir selalu berperan di setiap pekerjaan.
 
Terima kasih, nak! Kau memang sungguh jagoan andalan.
 

 

Karantina Tahfidz

Masih berjuang.

Menaklukan kecemasan,

melalaikan keengganan, 

menanamkan ayat-ayat Al Quran, 

lekat ke pikiran yang dalam.

 

Terus tuturkan, Nak. terus hujamkan, 

langitkan lagi ke angkasa yang paling tinggi.

Biar para malaikat mengamini, 

hingga erat terpatri di kotak memori, dan terikat kuat di dasar hati.

 

Terus pendarkan, nak. Terus pijarkan, 

berulang kali hingga menjadi sinar yang benderang.

Biar mereka menjadi sebaik-baik pengingat, 

senantiasa menguatkan pijak,  

dan Insya Allah tinggi mengangkat derajat.



Mumtaza

Mumtaza. 
Ya, nama seorang putri dari dunia fiksi. Sebetulnya bukan sepenuhnya fiksi, karena Putri yang ini kuadaptasi dari Maziya, si anak pertama.

Perasa kah? Memang.
 
Jauh sebelum anak itu dites sidik jari, karakter perasa memang sudah terlihat sedari kecilnya. Tak ingin menyakiti, berimajinasi tinggi, sampai yang paling mengerti, ketika abinya ini belum mendapat gaji. He..
 
Setelah dites, benar saja.. Ziya termasuk tipe feeling, seorang yang memiliki kemampuan berbicara dengan 'rasa'.
 
Ah, lihat saja quotes-quotesnya, tulisan-tulisannya, puisi-puisinya, bahkan novel karyanya. Rata-rata berkisah tentang perasaan, yang lumrah dimiliki semua orang. Maka tak heran, jika ziya kerap menjadi tempat curhat beberapa kawan.
 
Tokoh putri mumtaza, dulu diimajinasikan berusia belasan. Sama dengan usia ziya di masa sekarang. 
 
Bedanya, tentu saja kekuatan pengendali angin. Ziya tak bisa menciptakan sepoi seperti putri mumtaza. 
Atau bahkan membuat topan sebagai wujud marahnya. Entahlah, apa anak itu masih suka berlama-lama di atas pohon? Akrab bersenda renyah bersama angin, atau bahkan lirih bersenandika bersama jiwa. 
 
Putri Mumtaza, maupun Maziya si anak pertama. Aku yakin keduanya memiliki sisi baik yang sama.