11/02/2018

Bantuin Abi

Malam kian larut, menelan semua kesibukan siang dalam sebuah hening yang akut. Lihat saja, pintu rumah-rumah disini sudah rapat tertutup, para penghuninya telah lelap tertidur dibawah tebalnya selimut. Satu dua malah ditambahi kerasnya dengkuran. Dimana antara satu dan lainnya melantunkan irama yang berlainan. Tak apa, sepanjang siang sudah mereka gunakan untuk bermacam kesibukan. Wajar rasanya jika di malam ini merasakan kelelahan. Dan bukankah waktu malam memang sudah sepatutnya digunakan untuk mengistirahatkan badan. Iya kah?
Tidak juga.
Selepas Isya tadi, ada seorang tamu yang datang. Ia hendak menyelesaikan sebuah urusan. Lumayan panjang, dua setengah jam baru selesai dan pulang. Alhasil pekerjaan menyetrikaku jadi tertunda beberapa lama. Baru bisa memanaskan setrika di jam setengah sepuluh kurang lima. Eh, lupa belum makan malam pula. Hmph.. tak apa, perihal yang itu biarlah nanti saja.
Tumpukan pernel dan popok Zhira sudah menanti diatas karpet. Aku memilahnya sebagian untuk dijadikan alas setrika. Setelah setrika dirasa cukup panas, Aku mulai menggarap pekerjaan itu satu per satu. Popok Zhira tak pernah bisa ditunda hingga esok hari, khawatir malam ini Zhira mengompol dan membutuhkan ganti.
“Abi..” panggil sebuah suara, tiba-tiba.
Aku menengok ke samping, tampak Zahdan kecil tengah berdiri di pintu kamarnya. Kedua tangannya masih mengucek-ucek matanya.
“Lho.. Zahdan kenapa bangun? Masih malem Nak, tidur lagi saja!” ucapku.
“Jadan ga bisa tidur..” jawabnya, sembari melangkah mendekat padaku. Kepalanya direbahkan dipangkuanku, manja.
Tentu saja Ia tak bisa tidur, sedari sore tadi Zahdan telelap nyenyak. Kecapaian sehabis bermain di luar bersama teman-temannya. Apalagi siangnya Ia keasyikan bermain pula, jam tidur siangnya terlewat begitu saja. Tak heran jika Ia terbangun di jam segini.
“Abi lagi nyetrika punya de Jira ya?” tanyanya, memperhatikanku.
Aku mengangguk, “iyaa.. Zahdan mau bantuin Abi?” tanyaku.
Zahdan sontak bangkit, langsung balas mengangguk dengan antusiasnya. Kedua matanya yang hampir tertutup poni itu berubah segar.
“Ya sudah, Zahdan tolong pisahin popok de Zhira satu-satu ya? Terus tolong kasih ke Abi, bisa?” tanyaku.
“Siap Pa Abi!!” jawabnya, sembari tertawa. Aku balas tersenyum.
Tak lama kedua tangan kecilnya segera memilah-milah popok Zhira, menyodorkan satu demi satu untuk kusetrika. Untuk urusan-urusan seperti ini, Zahdan memang lumayan bisa diandalkan. Ia kerap bersemangat ketika diajak melakukan pekerjaan rumah. Membersihkan kaca jendela, menyiram tanaman, sampai mencuci kendaraan, Zahdan tak mau ketinggalan ikut membantu. Meski seringnya Ia lakukan sembari bermain-main air. Girang bukan kepalang bukan karena selesainya pekerjaan, namun justru ketika bajunya sudah kuyup tersiram.
Pun ketika Umminya baru pulang. Zahdan kecil Ia minta mengambilkan air minum di dapur. “Zahdan, tolong ambilkan air minum buat Ummi bisa?” katanya. Yang langsung disambut Zahdan dengan jawaban mantap, “siap, bu Ummi..!!” katanya.
Dan tak sampai semenit, Zahdan sudah kembali sembari membawa gelas plastik berisi air minum. Hati-hati Ia membawa gelas tersebut dengan kedua tangannya. Kami tersenyum bangga melihat kesigapannya itu.
Serupa dengan malam ini, Zahdan berusaha telaten memilah-milah popok Zhira. Sekali dua kali sambil berceloteh, ‘eh..yang ini mah beda, ga ada gambarnya’, ‘Abi, ini teh disetrikanya semua?’, ‘Abi, ko de Jira mah pake popok?’, celotehnya polos.
Tak terasa, setrikaan sudah beres sebagian besarnya, tinggal sedikit lagi.
“Zahdan, sedikit lagi ya?” tanyaku.
Yang ditanya langsung menatap apa yang ada dihadapannya, bibirnya komat kamit sebentar, seolah sedang menghitung. Tak lama langsung menjawab, “iya Abi, tinggal sedikit lagi!” jawabnya. Aku tertawa melihatnya.
“Oh iya, Zahdan tadi pas tidur mimpi apa?” tanyaku lagi.
Alis Zahdan sontak mengernyit, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
“Em.. Jadan mimpi jadi astronot!! Terbang pake roket ke bulan sama planet!” ujarnya.
“Oya? Asyiik.. Abi diajak ngga Zahdan? Abi juga kan pengen maen ke bulan” kataku.
Zahdan mengangguk mantap, “iya, diajak” jawabnya.
“Kalo Ummi?” tanyaku.
“Iya, diajak juga” jawabnya lagi.
“Ka Ziya?”
“Diajak”
“De Zhira?”
“Iya diajak”
“De Mikel temennya Zahdan?”
“Diajak atuh!”
“Mm.. Teh Jasmin temennya Zahdan tea?”
“Iyaa..diajaaak!”
“Kalo Nenek? Kakek? Ateu? Om Amay? Bi Neneng?”
“Euh.. Diajak Abiii.. semuanya Jadan ajak naik roket! Biar semuanya bisa main di bulan!” jawabnya.
“Memang roketnya muat?” tanyaku, sambil terkekeh.
Zahdan tertegun sebentar. “em.. kan roketnya yang segede truk, kayaknya bakalan muat. Ya kan Abi?” tuturnya, balik bertanya. Aku langsung mengangguk mengiyakan.
Setelah menyetrika selesai, Zahdan bersikukuh ikut membantu juga memasukannya ke lemari Zhira. Dua tangan kecilnya mengangkat beberapa pernel. Raut wajahnya seolah menandakan berat, Aku hanya tersenyum, tahu bahwa itu hanya pura-pura semata.
“Zahdan, ma kasih ya udah bantuin Abi. Zahdan memang anak Abi yang hebat!” kataku. Yang dikatai terkekeh senang, matanya sayu, mulai mengantuk.
“Nah, biar lebih hebat lagi, Zahdannya sekarang tidur dulu. Anak kecil kan ga boleh kurang tidur. Tidur itu, bisa bikin Zahdan jadi lebih kuat dan tinggi” kataku.
“Oh, lebih tinggi dari Abi?” tanyanya.
Aku mengernyit, lalu cepat mengangguk, “iyaa.. Zahdan nanti juga bisa lebih tinggi dari Abi. Asal makannya yang banyak, tidur siang jangan kelewat, sholat sama ngaji ga boleh ketinggalan, banyak-banyak bantuin Abi sama Ummi, ga lupa tolongin juga temen-temen Zahdan yang butuh bantuan, Insya Allah Zahdan bakal jadi tinggi dan lebih hebat lagi!” paparku, sungguh-sungguh.
Zahdan mengangguk mantap, “siap pa Abi!! Tapi Zahdan mau diceritain dulu..” ucapnya.
Giliran Aku yang mengangguk, melangkah hendak mengambil buku di rak. Namun urung, lantaran lampu kamar Zahdan harus dimatikan, artinya acara membacakan buku harus didukung dengan senter kecil milikku, dan senter tersebut sudah habis baterainya. Lagipula, ada Ziya yang sudah pulas di kasur sebelahnya, Ia mungkin akan terganggu jika Aku menyalakan lampu.
Akupun beralih mengambil handphone, menggeser-geser telunjuk untuk membuka blog pribadi, ada banyak cerita yang pernah kuupload disana. Biasanya Zahdan menyukai cerita yang kutulis tentangnya sendiri, terkadang pula meminta dibacakan cerita tentang Ziya kakaknya.
Aku bergegas masuk ke kamar, “Zahdan, mau dibacain cerita tentang kak Ziya lagi?” tanyaku.
Yang ditanya tak menjawab sedikitpun, lantaran matanya sudah terpejam rapat, seluruh badannya seolah menempel dengan kasur, Ia telah tertidur dengan pulasnya, hanya dalam hitungan jari sebelah tangan saja. Akupun tersenyum, mengambilkan selimut bergambar Thomas, lalu menyelimuti Zahdan perlahan.
“Terima kasih anak hebat!” bisikku.