27/12/2015

benci

Ada masa. Ketika kau merasa teramat benci pada dunia. Benci pada manusia.. Dan benci pada segala. Berharap jiwa, dihapus saja dari lauhul mahfuzNya. Inginkan diri, ditelan saja oleh gelapnya bumi. Hingga tak ada lagi yang kan menyakiti, tak ada lagi yang kan mengejeki. Bukankah saat ini pun tak ada lagi yang peduli. Berbuat baik kau dihina. Berbuat salah kau dicela. Pun diam saja, kau diejeki sedemikian rupa. Lantas untuk apa kau berpayah. Jika selalu saja kau dianggap salah. Entahlah.. Mungkin kau sajalah yang terlampau lelah. Dan rindu bertemu ayah.

hati tersembunyi

andai hati tak tersembunyi. mungkin tak banyak lagi orang yg patah hati. karena perasaan rindu dan suka, begitu saja tersampaikan dengan sendirinya. tak ada lagi galau dan mengurung diri. sembari menulis status tak jelas siapa yang tengah dibicarai. tak ada lagi pura2an, tak ada lagi jaim2an. cinta yang disemaikan, terbaca jelas kepada siapa ia diberikan. tapi hey.. jika seperti demikian, cinta menjadi tak menarik lagi bukan?
jika demikian, tak ada lagi rona sipu memerah dikedua pipi. tak ada lagi dag dig dug jantung berdebar,saat hadirnya kita temui. tak ada lagi misteri, kepada siapa hatinya kan ia beri.. padahal bukankah hal2 sederhana demikianlah yang membuat cinta manusia teramat indah dan begitu berarti..

Anna vs Anna

Hari itu panas sedang terik-teriknya. Menyengat makhluk-makhluk yang hilir mudik bertebaran di jalanan kota Garut. Entah, mungkin bulatan matahari diatas kepala itu tengah mendekat beberapa inci ke permukaan bumi. Menyapa setiap manusia yang selalu saja mengeluh pada cuaca, baik itu hujan maupun panas, mereka selalu mengeluh. Atau mungkin gumpalan awan saja yang tengah menyingkir dari langit. Membiarkan panas matahari langsung menghujam kepala-kepala manusia yang pongah. Mereka yang merasa angkuh atas apa yang ia miliki, sombong atas apa yang bisa ia lakukan. Padahal, untuk menghentikan keriput wajahnya saja ia tak mampu. Dan untuk menghitung rambut di kepalanya saja ia tak bisa. Namun sungguh aneh, kesombongan yang ia kenakan begitu luar biasa. Enggan ia untuk menundukkan kepalanya, apalagi untuk meletakkan dahinya di atas tanah, bersimpuh, berserah atas segala keterbatasan yang ia miliki. Berserah pada Sang Pencipta yang Maha Kuasa atas segalanya.

Panas yang terik, tak menghentikan nyanyian ziya diatas sepeda motor yang tengah melaju. Nada-nada lagu "Let It Go"nya film Frozen, disenandungkan ziya dengan lancar tanpa terbata. Meski liriknya ia lafalkan menurut versi ia sendiri, dan tak perlu melihat kamus untuk mengetahui artinya. Karena pasti tak akan bisa kita temukan apa yang ziya katakan.
"Abi lihat.. ada baju frojen..!!" teriak ziya, sembari menunjuk salah satu toko pakaian anak di pinggir jalan. Aku melirik sebentar, lalu menjawabnya. "Waah... iya.. bajunya bagus ya?" kataku. Ziya mengangguk mantap. Sedetik kemudian, ziya bertanya begitu saja "Abi, kalo abi lebih milih Anna atao Elsa..?" tanyanya. Belum sempat aku menjawab, ziya sudah "nyerocos" panjang lebar "kalo ziya mah suka Anna da, bajunya bagus ada warna ungunya, ziya kan suka warna ungu juga, kalo dulu ateu suka sama Elsa, soalnya elsa punya kekuatan salju". Aku mendengarkan ziya dengan sabar, menunggunya menyelesaikan kata-katanya. "Mmm.. kalo abi mah suka siapa ya, olaf aja gitu?" kataku. Ziya langsung berkata nyaring "Abi mah Kristop aja, kalo olaf itu zahdan. Zahdan kan lucu kayak olaf" kata ziya. "He... Iya..iya nak, zahdan jadi olaf ya.." jawabku singkat. Ziya tertawa-tawa, lalu tak berapa lama ia melanjutkan lagi senandungnya, kali ini lagu "For The First Time In Forefer.

Wabah Frozen memang tengah menyebar luas. Dari anak-anak, sampai dewasa tahu film animasi tersebut. Gambarnya pun bisa kita temukan dimana saja. Dari mulai alat tulis, hingga pakaian anak dan remaja, semua bergambar Elsa dan Anna, dua tokoh film tersebut. Tak ketinggalan dengan ziya, semua pernak-pernik yang ia kenakan haruslah bergambar frozen. Jaket, buku, pensil, lemari, semua haruslah ada gambar Frozennya. Video lagunyapun berulang kali ia putar ulang di layar handphone dan laptop. Demam frozen sungguh-sungguh telah menyerang anak ini. Jika maghrib tiba, Ziya memakai kerudung ungu umminya yang besar, lalu menjadikannya sebagai sayap di punggungnya. Sedetik kemudian ia sudah berlari di luar, memerankan tokoh Anna yang tengah menelusuri salju. Umminya hanya bisa mewanti-wanti, jangan sampai kerudungnya kotor.

"Abi, fol de feus taym teh apa artinya?" ujar ziya suatu kali. "Apa.. oh.. maksudnya itu For the first time, itu artinya untuk yang pertama kali" jawabku, baru mengerti dengan yang dimaksud ziya. "Kalo folefel apa artinya?" tanyanya lagi. "Forever, itu artinya selamanya" jawabku. "Ooh.. jadi kalo fol de feus taym in folefel apa artinya?" ziya bertanya sembari menatapku. Aku mengernyit, "Mmm.. apa ya. Artinya untuk yang pertama kali dalam selamanya" jawabku hambar, merasa bingung dengan jawabanku sendiri. Untungnya, ziya tak peduli, Ia malah tersenyum senang. Lalu berlari riang keluar rumah menemui teman-temannya. Belakangan, ternyata hal tersebut ia sampaikan pada temannya. "fol de fes taym in folefel itu artinya, untuk yang pertama kali dalam selamanya" ujarnya dengan penuh percaya diri. Teman-teman yang mendengarkannya melongo keheranan. "Jadi, artinya apa itu teh?" tanya mereka.

Demam Frozen lambat laun telah membuat ziya enggan lagi berkerudung saat main keluar rumah. Ia lebih suka memakai sayap dipunggung ketimbang kerudung di kepalanya. Ia beralasan, "takut diketawain orang lain. waktu itu juga ziya pake kerudung, malah diketawain sama anak laki-laki" jawabnya ketika kutanya. Aku tersenyum "ziya, anak laki-laki itu mah bukan ngetawain ziya yang pake kerudung, tapi dia mah ketawa sendiri, soalnya ada semut masuk ke ketiaknya. Jadi kegelian, trus ketawa-tawa sendiri. Coba aja ziya, kalo ada semut masuk ke ketiak ziya, pasti bakal geli kayak... Giniii... !!" paparku, yang lalu diakhiri dengan menggelitiki ziya. Ziya tertawa-tawa kegelian.
Setelah kejadian itu, ziya kembali memakai kerudungnya ketika keluar rumah. Meski beberapa kali ketika ada anak laki-laki yang katanya pernah mentertawakannya, ziya cepat-cepat kembali ke rumah, bersembunyi. Melihatnya, aku hanya menghela nafas panjang "Huft.. ternyata tak mudah". fikirku.

Suatu kali, aku mendekati ziya yang tengah menggambar tokoh Frozen. "Ziya, tahu ga.. abi lihat film Anna yang beneran.." kataku. Ziya langsung meloncat, mendekat kearahku. "Anna yang beneran? dimana abi? dimana? ziya juga pengen lihat.." katanya, penuh antusias. Aku tersenyum, lalu melanjutkan ceritaku. "Kalo Anna yang ini mah muslim, suka sholat, sama pinter ngajinya juga. Pake kerudung, kerudungnya panjang, bajunya juga kayak princess muslimah" kataku. "Waah.. kerudungnya warna apa abi?" tanya ziya. "Kerudungnya warna biru, kadang pake yang warna ungu juga. Nah, Anna yang ini mah udah pernah nulis buku. Judul bukunya melukis pelangi" jawabku. Ziya terlihat semakin antusias. "Mana abi.. mana... Ziya juga pengen lihat filmnya.." kata ziya. Aku meneruskan ceritaku. "Iya, nanti kita lihat. Anna yang ini mah, bukan Anna dari Arendelle, nama panjangnya malah lebih bagus" kataku, menambah penasaran ziya. "Apa.. apa abi? apa nama kepanjangannya?" ziya bertanya tak sabar. "Namanya, Anna.... Anna Althafunnisa.." jawabku. "Anna altafunisa..?" tanya ziya. Aku menjawabnya dengan anggukan, lalu merogoh handphoneku, membuka file video ceramah singkat oki setiana dewi. Tema yang diterangkannya kebetulan tentang idola. Ziya memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. "Anna nya cantik abi, bajunya juga bagus, kayak princess muslimah" bisik ziya, dengan pandangan yang tetap tertuju pada layar handphone.

Usai menyaksikan ceramah tersebut, aku memberi penjelasan. "Nah ziya, denger kan tadi kata Anna Althafunnisa. Nanti di akhirat, manusia tu baris ngikutin idolanya. Kalo idolanya anna sama elsa yang ga suka sholat, ya pas anna sama elsa dibawa malaikat masuk neraka, yang suka sama anna juga bakal ngikutin masuk neraka. Tapi kalo sukanya sama princess fatimah yang rajin sholat, yang sholehah, yang sering sedekah, nanti pas princess fatimahnya masuk surga, yang suka sama princess fatimah juga bakal ngikutin masuk ke surga. Begitu nak.." paparku. Ziya mengangguk tanda mengerti.

Besoknya, ziya terlihat memakai kerudungnya saat bermain di luar rumah. Bercerita pada teman-temannya tentang Anna yang muslimah, Anna Althafunnisa. Seperti biasa, teman-temannya melongo keheranan, tak mengerti dengan apa yang ziya ceritakan. He..

kala ziya ompong

Seorang anak kecil memberitahuku tiba-tiba "ayahnya ziya, itu ziya tadi giginya berdarah" ujar anak tersebut, hanya sesaat setelah aku tiba di depan sekolah ziya. "berdarah.., oh iya.. Ma kasih ya.." jawabku singkat, memutuskan untuk tidak menunda waktu dengan bertanya lebih jauh, bergegas melangkah ke arah kelas 2 abu bakar..kelas ziya. Berpapasan dengan seorang anak lagi "tadi ziya berdarah.." ujar anak tersebut, menghentikanku. "oya.. Nangis ngga ziya nya?" tanyaku. "nangis.." jawab anak tersebut, yang kutahu ia teman satu kelas ziya. Aku mengangguk berterima kasih, mempercepat langkah, lalu menengok kedalam kelas. Tampak ziya didampingi gurunya. Berjalan mendekatiku. "tadi giginya berdarah, mau copot tinggal sedikit lagi" ujar sang guru, menjawab gurat kekhawatiranku. Aku kembali mengangguk takzim, berterima kasih atas apa yang telah ia lakukan. Lalu menatap ziya lamat-lamat. Ziya tak terlihat sedih, wajahnya lurus, tak ada yang terlihat janggal. Hanya noda darah tampak jelas di kerudung putih yang ia kenakan. Berjalan seperti biasa, tak acuh, seolah tak terjadi apa-apa. Mungkin dalam fikirannya tak berbeda selayaknya anak-anak lain seusianya, merasa terlihat keren ketika ada noda darah di pakaiannya. Apalagi jika yang memakainya tidak menangis, unsur kerennya bertambah dua kali lipat.
"ziya" panggilku. Ziya menoleh tanpa menyahut, menjaga mulutnya tetap tertutup. "boleh abi lihat gigi ziya yang berdarah tea?" tanyaku. Ziya mengangguk mengiyakan, lalu membuka mulutnya. Terlihat jelas, salah satu gigi depan bagian atasnya hampir tanggal, menekuk ke arah dalam. Sepertinya ziya berusaha bersikap tenang, berusaha terlihat kuat. Kaget.. Itu pasti.. Di usianya yg sekecil itu, masalah gigi ompong kerap menjadi bahan ejek mengejek antar teman. Beberapa anak tetangga pernah berkali-kali ditertawakan hanya karena giginya ompong. Kecuali ziya, ia tak akan pernah berani mengejek temannya, karena jika demikian sudah tentu akan kumarahi ia. "waah..tinggal dikit lagi itu mah nak. Bentar lagi juga lepas.." ujarku. Ziya diam tak berkomentar. "tadi ada darahnya ya? Ziya nangis ngga?" tanyaku. Sembari memakai sepatu, ziya bercerita "iya..tadi teh...tadi teh lagi ngisi buku paket, trus langsung ada darah keluar dari mulut, sama ziya langsung diginiin.." papar ziya, yang diikuti dng gerakan menutup mulut dengan kerudungnya, memperagakan apa yg tadi ia lakukan. "ooh... Temen ziya nolongin ngga?" tanyaku. "iya, temen ziya yang laki-laki yang bangkunya deket ziya nolongin" jawabnya. "mm..berlian ya?" tebakku. Ziya mengangguk, "berlian sama abi temen ziya" jawabnya. Aku tersenyum, geli mendengar nama teman ziya yang sama dengan panggilan ziya padaku.
"ziya, giginya coba digerak-gerakkin biar cepet lepas" kataku. "atuda sakit abi" jawab ziya, meringis. Lalu menutup mulutnya lagi rapat-rapat, tak mau terlihat anak lain. "he.. Ya.. Ga apa-apa. Ziya tau ga? Kalo udah ompong itu, artinya ziya udah mo jadi anak hebat" ujarku, ziya mengernyit mendengarkan. "abi waktu dulu, ompongnya bukan ompong sendiri, tapi kena pipa besi, berdarah banyak.." kataku yang langsung dipotong ziya "ziya juga tadi darahnya banyak" ujarnya tak mau kalah. "abi nangis ngga?" tanya ziya. "ya iya atuh, waktu itu abi kan masih kecil, umur 6 taun kayaknya" jawabku. "ooh.." kata ziya.
"tapi sejak ompong, abi jadi lebih bisa, lebih berani naek pohon mangga, lebih..." kata-kataku dipotong lagi ziya. "ziya juga, waktu ompong gigi belakang, trus ziya teh ngerjain bahasa inggris, trus ziya teh jadi bisa ngerjainnya" ucap ziya. Kali ini giliranku yang mengernyit bingung, apa kaitannya, dan harus menjawab apa. Ziya menoleh, menunggu jawabanku. "mmm... Ooh.. Gitu ya... Mm..tuh kan, ziya jadi lebih hebat" ujarku, sedikit dipaksakan. Nyatanya, mendengar jawaban yang dipaksakan tadi, ziya terlihat tersenyum sumringah, senang sekali ia tampaknya. Berlari-lari kecil menyusuri trotoar jalan menuju tempat dimana kendaraanku diparkirkan. Tertawa girang, merasa kerennya bertambah..3 kali lipat. He..

es krim zahdan

Sebuah tangan mungil menarik-narik jariku, "abii.. Ayuh.. Ayuuh.." ujarnya tak sabar. Aku mengikuti langkahnya sembari tersenyum, "iya nak.. Sebentar.." ujarku, menggenggam erat tangan kecilnya, khawatir ia terhuyung dan terjatuh. Zahdan memang seringkali tak sabaran, geraknya tak beda dengan kijang. Loncat kesini, loncat kesana. Lari kesini, lari kesana. Sementara kakinya belum terlalu mantap menginjak bumi. Alhasil ia kerap terjatuh ketika kakinya terantuk sesuatu.
Pintu kaca supermarket terbuka, sebuah sapaan ramah dari karyawannya menyambut kedatangan kami. Aku membalasnya dengan anggukan kecil. Zahdan langsung berlari ke tempat es krim, hanya sesaat setelah lepas dari peganganku. "ais kim.. Ais kim.. Abbii.. Ais kiim.." celotehnya riang, mengundang perhatian semua orang di toko. "iya.. Sebentar ya.." jawabku lagi, sambil menengok ke belakang, ke arah kakaknya yang tengah berjalan melenggang dengan santainya. "ziya ayo cepetan..." panggilku. Yang dipanggil tak menyahut, hanya sedikit mempercepat jalannya. Ya, sedikit, karena jika gerak zahdan ibarat kijang, gerakan ziya itu sebaliknya. Seperti bunga salju yang beterbangan, meluncur diantara rerumputan dengan anggunnya. Aku mendehem pelan, ziya menoleh, lalu tersenyum sembari mempercepat kembali gerak kakinya. 
"abbii.. Lihat.. Ada ais kim kua-kuaa" teriak zahdan, maksudnya es krim kura-kura. Aku mengangguk, menghampiri zahdan yang berjinjit didepan etalase es krim. "oya? Kenapa, zahdan mau es krim kura-kura? Iya?" tanyaku. Zahdan kecil mengangguk mantap, "iya.. Mau.. Tu.. Mau ais kim.." ucapnya, menggemaskan. Aku mengambil es krim tersebut, lalu memberikannya pada zahdan. Zahdan berteriak girang "yeee.. Asiik" ujarnya, langsung berlari menuju ke meja kasir, menerobos orang2 yang tengah mengantri, lalu berjinjit demi meletakkan es krim diatasnya. "zahdan.. Tunggu.. Jangan dulu... " cegahku yang tak dipedulikan zahdan. Orang2 yang mengantri hanya tersenyum melihat zahdan kecil, tingkah lakunya menggemaskan. Siapapun senang melihatnya. "zahdan, jangan dulu, ka ziya kan belum selesai jajannya" ucapku, sambil mengambil es krim dari atas meja kasir. Zahdan langsung menoleh kanan kiri, berceloteh lagi "ka jia.. Ka jia mana.. " katanya sembari berlari-lari mencari kakaknya.
Sementara yang dicari, diam tak menyahut. Tengah asyik sendiri memilih-milih buku tulis dan pulpen. "abi, ziya boleh beli yang ini?" tanyanya saat kuhampiri. "loh, ziya ga beli makanan?" tanyaku. Ziya menggeleng, "ngga ah, yang ini aja. Boleh ya abi?" ujarnya. Aku tersenyum, "buku ziya yang dulu udah abis ya. Ya udah, boleh beli buku, tapi beli makanan juga ya, biar perutnya diisi" kataku. Ziya mengangguk setuju. 
"naaah.. Ni ka jia.. Ka jia.. Ayuuh.. Ais kim.. Mau? Iya?" celoteh zahdan tiba-tiba. Ziya menggeleng santai. "ka ziya ga suka es krim zahdan.." jawabnya. Tapi zahdan tak peduli, ia meraih tangan ziya, lalu menariknya ke arah etalase es krim.

02/02/2015

Ragam Cerita Bersama Ziya

Alhamdulillah, telah terbit, buku dengan judul "Ragam Cerita Bersama Ziya". Berisi kisah haru biru perjalanan sang waktu.. bersama buah hati tercinta, Maziya. Sebuah upaya mengikat kenangan, dalam deretan tulisan. Mudah-mudahan menjadi sudut inspirasi tersendiri bagi kita, yang mengaku dan merasa dewasa, yang pernah menjadi anak-anak..seperti Ziya.
Buku bisa didapatkan di http://www.leutikaprio.com/produk/11027/kumpulan_cerpen/14121114/ragam_cerita_bersama_ziya/14126527/adi_wahyudin atau melalui facebook Abi Ziya https://www.facebook.com/adi.wahyudin.940

21/01/2015

Nilai Jempol

"Abi nanti istirahat kesini ya?" ujar ziya. Permintaan sama yang kelima kalinya sejak tiba di sekolah setengah jam yang lalu. Aku tidak mengangguk, khawatir nanti aku tidak bisa memenuhi permintaannya tersebut. "Kita liat nanti aja ya nak" jawabku tak jelas.
Minggu lalu, saat ziya meminta hal yang sama, aku mengangguk mengiyakan. Namun pada jam yang telah ditentukan ternyata aku masih terlelap, terlampau lelah setelah kerja shift malam. Dan saat aku menjemputnya siang hari, ziya terlihat masam. Ia terlihat kecewa karena aku melanggar janjiku. Saat aku meminta maaf padanya karena tak bisa datang saat istirahatnya, ziya hanya mengangguk dingin. "abi ketiduran nak.." ucapku waktu itu. Ziya berkata tanpa senyum, "ga apa-apa abi" katanya. Karena masih merasa tak enak, aku lalu membawanya ke penjual ayam goreng tepung di dekat sekolahnya, yang halal tentunya. Itu adalah salah satu lauk favorit ziya, kedua setelah telur goreng. Saat ziya menenteng kantong ayam kesukaannya, aku kembali meminta maaf padanya, reaksi berbeda pun terlihat. "He.. Ga apa-apa abi.." jawabnya, kali ini dengan wajah ceria, dan tersenyum-senyum sendiri. Berulang-ulang Ia mengintip goreng ayam di dalam kantong kresek yang dibawanya.
Ini hari Senin, anak-anak sekolah berbondong-bondong menuju ke lapangan untuk upacara bendera. Dengan seragam putih merahnya, ramai mereka menyusuri gang menuju ke lapangan. Sekolah ziya ini memang terletak di tengah lokasi padat penduduk. Karenanya, lapang tempat upacara dan berolahraganyapun terpisah puluhan meter dari sekolah. Namun tak lantas semangat mereka surut karenanya, justru menjadi momen yang mengasyikan saat "bertualang" terlebih dahulu sebelum sampai di lapangan. Lihat saja, sebagian dari mereka memetiki bunga milik tetangga, sebagiannya lagi mampir dulu pada bunda-bundanya di taman kanak-kanak, dan beberapa diantaranya memilih jalan memutar untuk menuju lapangan, berlomba "dulu-duluan" siapa yang lebih cepat sampai.
Sayangnya, tidak demikian dengan ziya. Dari kerumunan anak-anak berseragam putih merah tersebut, ziya malah berjalan melawan arus, mendekat padaku dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. "Lho, ziya kenapa malah nangis?" tanyaku. Ziya merenggut, lalu berbisik padaku. "Ziya ditinggalin sama temen-temen" ujarnya. Aku lalu menggenggam tangan kanannya, lalu menuntunnya berjalan sambil berkata "ga usah nangis nak, ziya kejar aja temen-temennya, ayo abi anterin" ucapku sembari menarik tangannya agar berjalan lebih cepat. Ziya setengah berlari mengikutiku.
Memang, ziya tak terlalu unggul dalam kegiatan fisik. Ia seringkali tertinggal dibanding teman-temannya, langkahnya lebih ringkih, dan tenaganyapun lebih kecil. Beberapa kali aku melihatnya kehilangan keseimbangan setelah tersenggol di keramaian. Yah, meski demikian, aku yakin ziya memiliki keunggulan yang lain dibanding teman-temannya. Bukankah setiap anak memang memiliki kelebihannya masing-masing. Dan tugas kitalah selaku orang dewasa untuk menemukan kelebihannya itu.
Jam 09:45, Aku memacu motorku. Bergegas, 15 menit lagi waktu istirahat ziya. Tak ingin rasanya aku mengecewakannya lagi kali ini. Masih terbayang matanya yang berkaca-kaca pagi tadi. Setibanya di sekolah, ramai sudah anak-anak dipelataran. Sebagian bermain di teras kelas, sebagian besar lainnya tengah berkerumun di penjual mainan yang berjejer di trotoar. Mereka sibuk memilih mainan, berebut ingin dilayani pertama kali. Berulang kali berteriak "kalo yang ini berapa harganya mang?", "yah.. uangnya ga cukup mang, 500 aja ya?", tawar mereka. Lagaknya sudah seperti orang dewasa saja.
Kelas ziya belum istirahat. Ziya pun terlihat masih berada di bangkunya, menghabiskan jatah makanan yang disediakan pihak sekolah di mejanya. Ketika melihatku di luar kelas, ziya tersenyum senang, lalu melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tangannya. Sekarang giliran ziya yang bergegas, menyelesaikan makannya, dan keluar kelas berlari menghampiriku. Tampaknya ia sangat senang aku datang saat istirahatnya. "Ziya udah jajan belum?' tanyaku. Ziya menggeleng. "Jajan aja dulu, berani sendiri kan?" tanyaku lagi. Ziya mengangguk, lalu berjalan ke penjual mainan, yang masih penuh dikerumuni anak-anak. Aku memperhatikannya dari jauh. Menaruh keyakinan padanya, ia sudah bukan TK lagi, ia pasti sudah bisa sendiri. Pertama kali, ziya membeli teh gelas, lalu membeli mainan malam berwarna warni. Uang dua ribu yang ia pegang, bergegas ia berikan pada orang dewasa dibelakangnya. Orang itu malah menolak. Menolak? tentu saja.. Orang dewasa dibelakang ziya bukanlah penjualnya, ia orang tua murid juga yang tengah mendampingi anaknya. Tersenyum, lalu memberi isyarat dengan tangannya, menunjuk penjual asli yang baru kembali dari pedagang sebelahnya, tampaknya baru selesai menukar receh untuk kembalian. Usai memberi isyarat, orang dewasa itu menyentuh pipi kanan ziya sembari tersenyum. "Lucu" mungkin itu fikirnya. Memang, beberapa kali aku bertemu dengan orang dewasa yang kerap menatap ziya sembari tersenyum, gemas ingin mencubit pipinya. Dan seperti sekarang, ziya kecil tak acuh saja, mata bundarnya sibuk mencari-cari penjual asli, lalu cepat-cepat memberikan uang yang ia pegang, tak sabar ingin membuka mainan yang baru dibelinya.
Melihat kejadian tersebut, aku jadi teringat sewaktu ziya masih di TK dulu. Saat aku mengantar ziya membeli mainan di pelataran sekolah, lebih dari satu kali aku disangka penjual mainan oleh anak-anak, dan orang tuanya. "Ini berapa mang?" tanya sang ibu padaku. Aku tersenyum, lalu menjawab "ga tau bu, bukan saya yang jualnya" jawabku. Ibu itu melihatku, lalu kaget seketika. "Aduh.. maaf.. maaf, ibu kira.." kata sang ibu, menyadari bahwa ia salah kira. Ummi ziya yang saat itu ada disamping gerobak mainan, tertawa cekikikan melihat kejadian tersebut. Kasus yang sama terjadi ketika di toko buku. Saat sedang melihat-lihat buku, seorang perempuan muda pun bertanya pertanyaan serupa. "A, kalo buku jenis ini sebelah mana ya?" tanyanya. Aku menatap tak mengerti. Sedetik kemudian perempuan itu kaget, baru menyadari kesalahannya, meminta maaf, lalu bergegas berlalu karena malu. Meninggalkanku yang berfikir apakah aku memang terlihat seperti pelayan toko atau penjual mainan.
Waktu istirahat tinggal tersisa 10 menit lagi. Aku menemani ziya bermain mainan malamnya di kursi pelataran sekolah. Di dekat kami berjejer teh gelas dan teh kotak, teh gelas adalah yang dibeli ziya, dan teh kotak adalah bekalku. Sambil menemaninya aku bercerita. "Ziya, tahu ga.. tadi malam ada yang sepedanya dicuri" kataku. Mata ziya membelalak kaget. "siapa abi?" tanyanya. Aku melanjutkan "Itu nak, yang rumahnya deket bu enur. Pencurinya teh naek ngeloncatin benteng.." "Benteng teh apa?" ziya memotongku. "Euh.. itu, tembok yang tinggi. Nah, terus pencurinya teh ngeliat sepeda diluar rumah deket bu enur, trus diambil deh sepedanya" paparku. Ziya mengangguk, lalu bertanya "sepedanya besar ato kecil?". Aku menggeleng "ga tau yang gede ga tau yang kecil" jawabku. Ziya bertanya lagi "punya kakanya ato adiknya?" tanyanya. "Ga tau, abi ga tau itu mah" jawabku. Mungkin Ziya berfikir, kalo sepeda besar milik kakanya, kalo sepeda kecil milik adiknya. "Nah, makanya ziya kalo sore-sore habis main sepeda, masukin lagi sepedanya ke dalem rumah, biar ngga diambil sama pencuri. Sepeda zahdan juga, kalo abi lagi kerja malem, sama ziya masukin sepedanya ya" kataku. Ziya mengangguk "iya, wakti kemarin-kemarin juga sepeda ziya dimasukin ke rumah" ujar ziya. Aku mengiyakan. Bel tanda istirahat selesai nyaring berbunyi. Anak-anak berlarian masuk kedalam kelas. Pun ziya, bergegas membereskan mainannya, lalu berlari membawanya ke dalam kelas. "Ziya ini teh gelasnya ga dibawa?" teriakku. "Buat abi aja" jawab ziya, sambil berlalu meninggalkanku, tak ingin terlambat masuk ke kelas.
Siangnya, ketika aku menjemputnya, Ziya keluar kelas sambil tersenyum. Mendekatiku, lalu berkata pelan. "Abi, tadi denger ga kata Bunda Anik di kelas?" katanya. Aku menggeleng, "ngga, memang Bunda Anik bilang apa?" tanyaku. Ziya lalu menjawab "tadi di kelas, Bunda Anik bilang, Nilai Ziya jempol." ujarnya sembari tersenyum bangga. "Maksudnya nilai Ziya bagus ya?" tanyaku, yang langsung dijawab ziya dengan anggukan. "Waah.. hebat.. abi kasih jempol juga ya.." kataku, lalu mengangkat jempol kiriku didepan ziya. Ziya kembali tersenyum.