21/12/2016

Aleppo..

Dunia.. Kau ini kenapa?
Usiamu renta, tapi sejarahmu dipenuhi luka.
Belum mengering darah palestin, kembali bersimbah merah suriah.
Belum lupa siksa di tanah rohingnya, kini aleppo rata dengan tanah.
Sembunyikan potongan tubuh anak-anak dan bayi yang masih merah.

Apa.. Apa yg terjadi denganmu wahai dunia?
Tidakkah kau dengar teriakan ayah yg membawa jasad anaknya,
dalam potongan kain yg tak henti bercucuran darah.
Tidakkah kau lihat bayi tenggelam dalam tangisan.
Bukan.. bukan lantaran ia lapar dan kehausan. 
Melainkan karena ususnya yang terburai berantakan 
serta tangan kakinya remuk tertimpa bangunan. 
Tidakkah kau lihat itu semua? 
Tidakkah kau dengar itu semua?
Sampai kapan lagi darah muslim terus membanjiri tanah? 

Sampai kapan lagi kelaliman terus menindas yg lemah?
 

Mengapa? 
Bukankah mereka yang terluka adalah yang tak pernah lupa sholatnya? 
Mereka yang disiksa adalah yang sentiasa bertakbir dan bertahmid padaNya?
Astaghfirullaah.. 


Ya Allah.. Turunkan ribuan malaikatMu Ya Robb! 

Tenggelamkan mereka yg berbuat kezhaliman di tanah rohingnya, 
seperti Qarun yg di telan bumi karena pongahnya! 
Binasakan mereka yg meratakan aleppo, 
seperti binasanya firaun dan bala tentaranya! 
Tumbangkan mereka yg melindungi si penista, 
seperti tumbangnya namrudz yang disusupi nyamuk kedalam otaknya. 
Hancurkan manusia-manusia keji itu Ya Aziz.. 
Luluh lantakkan pasukan tak berhati itu Ya Robb.. 
Dan azab muslim-muslim pengkhianat itu Ya Allah.. 
Mereka yang mengaku muslim, namun mencari perlindungan pada orang-orang kafir. 
Mereka yang lidahnya melafalkan tauhid, namun di hati mereka melekat kuat palu dan arit.

Dunia.. Kau ini kenapa? 

Hentikan kezhaliman mereka..
hentikan fitnah-fitnah mereka.. 
Tinggikan kebenaran, melampaui fakta yang mereka putarbalikan. 
Tinggikan keadilan, melampaui berita yang mereka sembunyi-sembunyikan.
Kami memohon padaMu Ya Allah.

Lindungi seluruh muslim-muslim yang tengah difitnah dan dizholimi di seluruh dunia ini. 
Aamiin..

Taman Baca Mumtaza

Bermula dari satu dua tetangga yang datang ke rumah, hendak pinjam buku katanya. Aku mempersilahkan saja. Buku-buku itu lebih bermanfaat dipinjam ketimbang teronggok begitu saja di rak. Waktu berjalan, aku pun kelupaan. Kebingungan ketika ditanya, dulu siapa yah yang pinjam buku A? Siapa yah yang bawa novel B? Aku menghela nafas, menatap isi rak yg terlihat lengang. Catat mencatat harus diterapkan.. Itu yang kufikirkan.

Berawal dari obrolan sederhana. Dengan Maziya, sang anak pertama. Jika punya taman baca, hendak diberi nama apa. Deretan nama tokoh KKPK dan komik pun meluncur dari mulutnya, tak ketinggalan nama-nama indah teman-teman di sekolahnya. Aku menghela nafas, menatap binar semangat di hitam bola matanya. Taman baca mumtaza.. Itu saranku padanya.

Dan, ziya pun bergerak bersama dua kawannya. Menjejerkan buku-buku di meja tamu. Lengkap dengan kasir mainan, dan receh kembalian dari celengan. Sebuah kertas ditempel sederhana di kaca. "taman baca mumtaza", pinjam pertama tanpa biaya, kali kedua seribu rupiah saja, gratis bros lucu pula. Tak cukup sampai disana, bertiga mereka berkeliling menawarkan taman bacanya. "taman baca mumtaza! Ada di rumah ziya!" teriaknya. Alhasil bergerombollah anak-anak tetangga, ramai meminjam buku satu dua. Aku menghela nafas memandangnya, mereka perlu dukungan lebih serius tampaknya.


Kemudian, ruang tamupun dihilangkan. Rak dan buku-buku ditempatkan. Ziya terlihat senang bukan kepalang. Hadiah-hadiah disiapkan. Berikut aplikasi pencatatan, dan kartu anggota yg tak boleh kelupaan. Maziya, armida, dan silmy. Duduk di atas kursi kecil yg dibariskan. 

Ah, andai saja ada naysila, tokoh-tokoh tiga puteri akan selengkap dalam cerita.
 

Akhirnya, Taman baca mumtaza resmi berada. Dengan buku-buku yg masih berupaya dilengkapi lagi koleksinya. Daftar anggota gratis. Baca di taman baca gratis. Mudah-mudahan bisa sedikit menjadi penawar dahaga bagi para pecinta baca. 

Jadi, tak perlu ragu.. Kunjungan anda kami tunggu. He..

#TamanBacaMumtaza

Puisi Kecewa

Ziya, kau tau nak?
Adakalanya kau kan merasa kecewa,
sempurna merasa kecewa.
Pada dunia yang ternyata tak seramah yang kau kira.
Pada manusia yang ternyata tak sebaik tokoh dalam cerita.
Hingga luka hati yang menganga,
tak mampu lagi kau terjemahkan dalam barisan kata.
Dalamnya kecewa di ujung asa,
tak bisa lagi kau obati dengan pena dan sejumput tinta.

Jika itu terjadi nanti, maka diamlah..
Tak ada arti pura-pura berseri.
Tiada guna memaksa untuk tertawa.

Diamlah..
Peluk erat kedua lututmu, 
tangkupkan dalam seluruh wajahmu. 
Lalu menangislah..
 

Tak apa nak, tenang saja.. 
Aku janji tak akan mengataimu cengeng. 
Bahkan mungkin, Abimu ini tak akan ada, 
meski hanya lisan untuk menghiburmu dengan cerita, 
atau hanya tangan tuk mengelus lembut kepalamu tanpa berkata.
 

Sepertiku sekarang, 
telan saja semua luka itu sendirian nak.. 
Terima semua kecewa itu sendirian saja. 
Karena kau tahu? 
Orang yg dekat begitu banyak yg pergi, 
menjauhi diri tanpa bisa untuk kembali. 
Namun orang yg jauh, justru tetap saja tinggal, 
begitu bebal dengan hati yg tersumpal.

Ilustrasi Sebuah Negeri

"Gawat pa..! Gawat..! Tetangga depan rumah kemalingan. Tuh masih teriak-teriak minta tolong" lapor seorang ajudan. Yang dilapori cuma tersenyum, "aah..kemalingan aja ko ribut. Biarin aja, kamu ga usah ikut-ikutan rempong" ujarnya, datar.
Beberapa menit kemudian, "Pa.. Gawat pa..! Malingnya ngegorok anak dan bapak yg punya rumah. Tuh lihat, ibunya nangis-nangis minta tolong..!" ucap ajudan lagi. Yang dilapori melihat sebentar lewat jendela, lalu berbalik dan tersenyum. "Ga apa-apa, itu urusan mereka. Wong tetangga sebelah rumahnya juga diem-diem aja toh? Sing penting rumah kita damai, aman, meski penghuni rumah kita ini beda-beda orangnya, tapi semua pada anut, adem ayem. Kita patut berbangga karenanya" ucapnya, masih datar.
Tak lama, "Pa..Gawat pa!! Gawat!! Ibu yg punya rumah mau dibunuh juga! Jilbabnya ditarik-tarik sama maling!" ucap sang ajudan, panik. Yang dilapori terlihat mulai kesal, lalu melempar piring hingga pecah. Masih sembari tersenyum ia berkata, "Kamu ini..jangan urusi mereka. Tuh ada urusan yang lebih penting, ada pecahan piring di lantai! Bahaya kalo sampe keinjek. Bereskan sana!" perintahnya. Ajudan mengernyit, tak mengerti. "ta..tapi..bukannya bapak sendiri yang....." ucapannya terhenti, melihat sang atasan mendelik. Ia pun beringsut membereskan pecahan piring.
Lima menit, ajudan mendekat lagi. Ragu-ragu hendak melapor. "Pppaak.. Ggawaat Pa.. Malingnya ngebakar si ibu hidup-hidup.. Terus..." ucapan ajudan langsung dipotong. "terus kenapa? Apa saya harus bilang wow gitu?" tanya atasannya, masih dengan raut wajah datar. "Eu.. Yg dibakar bukan cuma si ibu pa, tapi sama rumahnya juga.." kata ajudan. "Kamu ini.. Masih saja ngurusin org laen toh lek.. Biarin aja knapa. Sing penting rumah kita damai..aman.. Jangan bikin gaduh. Udah, pergi urusin ayam di belakang, sana!" kata sang atasan, sembari membuka handphone nya, ada sms baru masuk didalamnya. Isinya, 'salam, terima kasih pa, sasaran sudah saya habisi.Rumahnya saya bakar juga.Kita jadi bisnis pekan depan ok..'

Atasan tersenyum, membalas sms tersebut, 'Siap Bos!' balasnya. Sang atasan mengangkat wajah, tampak di depannya sosok yang tadi diperintah, ternyata masih berdiri disana, terlihat kikuk. "Lah.. Kamu masih disini toh? Ga denger apa tadi saya bilang? Urusin ayam di belakang, sana!" ulang sang atasan, sembari tersenyum, palsu. Ajudan menjawab tergagap, "eu..Pak.. Maaf pak.. Tapi ayamnya sudah.. Sudah ga ada pak. Digondol maling yg tadi.." ucapnya. Sang atasan tercengang tak percaya, tapi berusaha terlihat tenang. "Ooh.. Wis, ra po po. Biar aja. Kamu sekarang bangunin anak-anak saja, anter ke sekolah!" perintahnya. Ajudan menjawab lagi, "ta..tapi pak.. Anak-anak bapak sudah mati, digorok sama maling yang tadi juga" jawabnya. Sang atasan kembali tercengang. "Euh.. Euu.. Kalo gitu, mm.. Bersihkan rumah saja.. Sana!" perintahnya, asal, tergagap pula. Ajudan mulai kesal, "PAK!! Rumah Bapak sudah dilalap api. Api yg dinyalakan maling tadi sudah membesar, trus merembet ke rumah Bapak. Tuh lihat! Jari kaki bapak sudah terbakar juga!" ujarnya, setengah teriak. Sang atasan kalap, tak ada lagi senyum pura-puranya. Tak ada lagi tenang pura-puranya. Ia melompat-lompat, sendiri berusaha memadamkan api. "Toloong.. Toloong...!" teriaknya. Tak ada yg menanggapi, sang ajudan bahkan sudah berlari pergi, menyelamatkan diri sendiri.

Tiga Puteri dan Pulau Jawa

Kuda putih lincah meliuk di angkasa, melompat di atas awan, melayang diantara dedaunan, lalu meluncur turun ke bumi dengan gagahnya. Keempat kakinya berderap, begitu mantap menjejak, namun nyaris tanpa suara. Penunggangnya, seorang perempuan berjilbab ungu, tersenyum manis sembari berkata tiba-tiba, "kau sudah siap Nays?" tanyanya. Yg ditanya terperanjat kaget, menoleh ke belakang. Ia tak sadar dengan kemunculan putri Mumtaza. Tentu saja, makhluk sebesar dan seberat kuda pun, tak akan terdengar derapnya jika yg dijejak adalah udara.

"Hh.. Kak Mumtaz, kau mengagetkanku!" ucap putri Naysila, bersungut kesal. Padahal biasanya Ia yg gemar mengagetkan putri Mumtaza, bukan sebaliknya. Putri Mumtaza tertawa, pipinya memerah, semerah apel-apel didalam tas perbekalannya. Putri Naysila menghela nafas, pasrah. Lain kali akan kubalas, batinnya. Namun saat matanya menangkap tas perbekalan di punggung kuda putih, putri berjilbab hijau lembut itu mengernyit heran. "Kak Mumtaz mau kemana?" tanyanya, polos. Putri Mumtaza menepuk jidatnya, Naysila memang mahir melambatkan waktu, cerdas dalam ilmu bumi dan angkasa, namun terkadang ia lupa pada hal-hal tertentu, seperti sekarang ini.

"Kau lupa ya? Kita kan hendak berkunjung keluar kerajaan, ke negeri tersubur di dunia, Nays.. Namanya Negeri Indonesia. Putri Armida bahkan sudah berangkat lebih dulu kesana" papar putri Mumtaza. Putri Naysila tampak mengingat-ingat, sesaat kemudian.. "Oh iyaa!!! Aku baru ingat sekarang. Ke pulau jawa bagian tengah dan timur ya kak? Aku tidak lupa kok. Tenang saja Kak, aku bisa melambatkan putri Armida, biar nanti kita yg tiba duluan disana.." ucap Naysila, terkekeh. Dua tanduk tak kasat mata muncul di kepalanya. Putri Mumtaza menepuk jidatnya, lagi.

"Nays, ini kan bukan kompetisi. Jika Putri Armida sampai tahu Kau melambatkannya, bisa kuyup nanti Kau diguyur air hujannya" ucap Putri Mumtaza. Dalam hatinya Ia ingin tahu juga, bagaimana ekspresi sebal putri Armida jika tahu telah dilambatkan kedatangannya. Dua tanduk tak kasat mata yg serupa, menyembul pula dari kepalanya. Hehe..
Apapun itu, kedatangan tiga putri di pulau jawa bukanlah canda belaka. Tak percaya? Silahkan cek toko2 GRAMEDIA berikut, Insya Allah Tiga Puteri sudah berada disana.
  1. GRAMEDIA YOGYA MAL AMBARUKMO, Plaza Ambarukmo, unit Bookstore lantai 1, Jl. Laksda Adi Sucipto, YOGYAKARTA
  2. GRAMEDIA BALI GALERIA, Mal Bali Galeria lt.2 Blok D, Jl. Raya By Pass Ngurah Rai, BALI
  3. GRAMEDIA BALI DUTA PLASA, Duta Plaza lt Basement,Jl. Dewi Sartika,DENPASAR
  4. GRAMEDIA BALI NIKITA PLASA, Nikita Plaza, lantai 2,Jl. Gatot Subroto No. 22, DENPASAR
  5. GRAMEDIA CIPUTRA WORLD SURABAYA, MALL CIPUTRA WORLD LANTAI 2 UNIT 1,JL. MAYJEND SUNGKONO NO.89, SURABAYA
  6. GRAMEDIA Jogja City Mall, Jl Raya Magelang No.18 KM 6 Sinduadi Sleman, JOGJAKARTA
  7. GRAMEDIA MADIUN, JL PAHLAWAN 38-40, MADIUN 
  8. GRAMEDIA MALANG BASUKI RAHMAT, Jln. Basuki Rachmat No.3, MALANG
  9. GRAMEDIA MALANG TOWN SQUARE, Jl. Veteran No. 2, MALANG
  10. GRAMEDIA YOGYA MALIOBORO, Malioboro The Shopping Mal lower ground, Jl. Malioboro 52 - 58, YOGYAKARTA
  11. GRAMEDIA PAKUWON SURABAYA, Supermal Pakuwon lantai 1/02, SURABAYA 
  12. GRAMEDIA PEMUDA SEMARANG, Jl. Pemuda 138, SEMARANG
  13. GRAMEDIA PURWOKERTO, Tamara Plasa, lantai 2, Jl. Jend. Sudirman No. 447, PURWEKERTO
  14. GRAMEDIA Rita Supermall, Rita Supermall Tegal Upper Ground No 64, Jl. Kolonel Sugiono No. 155, TEGAL
  15. GRAMEDIA SEMARANG PANDANARAN, Jl. Pandanaran 122, SEMARANG
  16. GRAMEDIA SOLO SQUARE, Solo Square lantai 2, Jl. Slamet Riyadi No. 451 - 455, SOLO
  17. GRAMEDIA SURABAYA EXPO, Jl. Basuki Rahmat No. 93 - 105, SURABAYA
  18. GRAMEDIA SURABAYA ROYAL PLASA, Royal Plaza, lantai UG E6 / 26, Jl. Ahmad Yani 16 - 18, SURABAYA
  19. GRAMEDIA SURABAYA TUNJUNGAN PLASA, Plaza East, Tunjungan Plaza Lt. IV No. 411-412, Jl. Basuki Rachmat 8-12, SURABAYA
  20. GRAMEDIA SURAKARTA, Jl. Brigjen Slamet Riyadi No. 284, SOLO
  21. GRAMEDIA YOGYA SUDIRMAN, Jl. Jend. Sudirman 54-56, YOGYAKARTA
Monggo..

04/12/2016

Sepotong 212


"Hey, kau!" sebuah suara, terdengar menyapa ke arahku. Aku menoleh, berusaha mencari tahu. Sayang, selubung kain pelindung ini menghalangi lebar pandanganku. Aku yg hanya bisa mendengar suaranya saja, pun hanya bisa menjawab singkat, "eu.. Ya!! A..ada apa?" tanyaku, tergagap. Suara disana tertawa gembira, sepertinya senang karena aku telah menjawab panggilannya. "tidak ada apa2 kawan. Aku hanya salut padamu" katanya. Aku mengernyit heran, "salut atas apa? Aku tak mengerti" jawabku, masih tak bisa melihat sosok yg bertanya. "ah, kau ini suka merendah ternyata. Pastinya tak mudah juga bagimu untuk tiba di tempat ini bukan? Banyak penolakan, banyak dipersulit. Dan yang ku salut padamu adalah, kau bukan hanya bisa tetap sampai disini, tapi juga akan naik ke panggung sana, berjabat dengan ulama2, serta jendral pembuat tegak hukumnya. Kau memang hebat kawan" paparnya. Aku terdiam, sebagian diriku membenarkan perkataannya, ada rasa bangga menjadi satu yang terpilih untuk momen seindah ini. Akan tetapi sebagian perasaan yg lain menolaknya mentah2. "kenapa kawan? Apa ada ucapanku yg salah? " tanyanya. Aku tak langsung menjawab, terdiam beberapa saat.  "mm.. Entahlah. Aku ini hanya potongan kecil, tak ada mulya2nya sedikitpun. Namun satu ayat kalam Allah yg disandingkan denganku, membuat aku terbawa tinggi, ikut dihormati. Aku sebenarnya tak layak kau saluti.. " ucapku, tulus. Dia terdengar kembali tertawa, lalu berujar, "he.. Kau merendah lagi. Apapun, kau akan menjadi simbol perjuangan ini kawan. Menjadi pengingat bagi petinggi, untuk tak semena2 lagi menghina kalam Illahi. Kau patut berbangga. Kala mereka melihatmu, harusnya semakin kokoh keadilan yg kita perjuangkan selama ini" paparnya, terus menyanjungku. Aku hanya terdiam. Jika memang aku menjadi sepenting itu, aku akan sangat bersyukur.

Tak lama kemudian, aku dibawa ke atas panggung, dijabat oleh ulama2, bersua petinggi2 negeri. Jujur, aku senang.. Aku bangga. Setelah selubungku dibuka, aku diserahkan pada jenderal polisi, sebagai hadiah,  sekaligus pengingatnya pada inti yg diperjuangkan kami. Goresan indah kaligrafi Al Maidah ayat 51, terpampang jelas dibalik kaca bening. Aku yg semula hanya potongan kayu sisa bangunan, kini menjadi sesuatu yg sangat berharga. Bingkai kaligrafi salah satu ayat didalam kitab suci. Disini, diatas panggung ini, aku bisa melihat jutaan ummat memandang ke arahku, beedecak kagum. Aku..bangga. Di tengah gemuruh dan pekik takbir, aku mendengar sebuah teriakan, "kau hebat kawan!" suaranya samar terdengar dari depan panggung. Aku mengenali suaranya, ia yg bercakap denganku tadi. Aku mencari2, butuh waktu, hingga.. Tampaklah olehku sosoknya. Sepasang sandal lusuh berbaris diantara sandal2 lainnya. Tepat dihadapan shaf terdepan di tempat yg disediakan khusus bagi para pejuang dari ciamis. Aku langsung tergugu..membisu sejuta kelu. Ia yg lusuh, sejatinya lebih mulya dibanding diriku. Ia yg menjejak bumi selangkah demi selangkah demi tiba di tempat ini. Ia yg melindungi kaki mujahid berhati teguh itu dari duri dan kerikil tajam jalanan. Ia yg berhari2 menemani mereka, bahkan hingga diberi tempat istimewa di shaf terdepan ini. Ya Allah.. Aku tak patut berbangga. Peranku tak seberapa dibanding perjuangannya. Panggung tempatku dipuji ini tak ada apa2nya dibanding tinggi kemulyaannya. Dan ia masih tersenyum tulus sembari menyanjungku. Aku malu Ya Allah.. Sungguh.. Aku malu..

29/11/2016

Ziya vs Zahdan



Aku tahu.. Bahwa hanya masalah waktu. Dua karakter yang berbeda itu akan beradu. Ziya dengan introvertnya, dan Zahdan dengan ekstrovertnya. Sementara Aku.. Mati-matian berusaha berimbang menengahinya.
Hari itu adalah momen yang penting bagi Ziya, Lomba Mewarnai. Ziya diminta mewakili kelasnya untuk mengikuti Lomba Mewarnai di sebuah lembaga pelatihan Bahasa Inggris. Yang dilihat bukan hanya kemampuan mewarnainya, namun juga kemampuan bahasanya. Sepertinya, Ziya termasuk dalam kategori yang bisa mewadahi dua hal penilaian tersebut. Ziya terlihat bangga sekali mendengarnya, bercerita sana sini, berkata teknik itu ini. Sepertinya Ia tak kapok meski berpuluh kali tak jua menang di pentas lomba semacam itu.
Ketika diminta menjadi perwakilan kelas seminggu yang lalu, Ziya ngotot minta dibelikan Crayon baru. Sebabnya Crayon yang lama sudah banyak sekali yang patah. Itu juga katanya, Aku tak pernah tahu karena Crayon lama Ziya simpan di sekolahnya. Meski dompetku sudah kian menipis, Aku tak bisa menolak permintaan Ziya. Apalagi saat Ziya berkata membujukku, “ya abi ya? Please atuh, please..!!” ujarnya, dua bola mata bening menggemaskannya menatapku lekat penuh harap. Entah siapa yang mengajarinya demikian. Yang pasti, jurusnya itu sempurna membuatku mengangguk mengiyakan, sembari menghela nafas panjang, bimbang.. akankah isi dompet ini bertahan hingga tiba waktu gajian.
Jadilah Kami berangkat ke toko buku waktu itu. Bertiga tentunya, Aku, Ziya, dan Zahdan. Sayang, hanya sesaat sebelum Kami tiba di toko buku, Zahdan tertidur begitu saja di jok belakang. Jam tidur siangnya sudah terlewat setengah jam. Alhasil, Kepala Zahdan terantuk-antuk dinina bobokan oleh hembusan sepoi angin dari sela jendela yang sedikit terbuka. Dan hanya sesaat setelah kepalanya menyentuh bantal kecil yang sengaja kubawa, Zahdan terlelap hanya dalam hitungan jari sebelah tangan saja.
“Ziya, beli Crayonnya sendiri saja ya? Abi tunggu di depan toko. Kan Abi harus sambil liatin Zahdan, khawatir bangun, trus nangis karena ditinggal sendiri. Ziya berani?” tanyaku, sembari memarkir kendaraan tepat di depan toko buku. Ziya mengangguk mantap, tak ada ragu sedikitpun di wajahnya. Ia sudah belajar membeli keperluan sendiri. Bahkan sudah bisa diandalkan ketika diminta ke warung membelikan nasi kuning untuk sarapan, dan beberapa pampers untuk Zahdan yang sedang dimandikan. “Tunggu Ziya..!” panggilku. Ziya menoleh, aku langsung member selembar uang padanya, “ini uangnya. Memang Ziya mau beli Crayon pake apa? Pake daun?” candaku, terkekeh. Ziya menepuk jidatnya, “he.. iya..Ziya lupa. Mungkin Ziya kena Alzheimer kayak Abi..” jawabnya sembari tertawa. Tak lama setelah menerima uang dariku, Ia langsung berlari masuk ke toko buku dengan semangatnya. Hmph..Alzheimer. Itu kata yang sering Ziya lontarkan padaku saat Aku terlupa akan sesuatu. “Abi kena Alzheimer!!” katanya, sembari tertawa. Film Beautiful Rain yang kami tonton dulu itu ternyata melekat kuat dalam ingatannya.
Awan di langit berubah kelabu, rintik hujan membumi satu per satu, Aku menatapnya sendu.
“Ziya, cepetan! Udah mau hujan!” teriakku pada ziya di dalam toko buku. Ziya menyembul dari balik rak, berlari mendekat. “Abi, ini harganya segini!” ujar ziya, menunjukkan bandrol harga yang tertera diatas wadah Crayon di tangan kanannya. Aku mengerti, tanpa basa basi segera mengeluarkan uang tambahan. Ziya menerimanya, dan cepat berlari ke arah kasir. Hendak membayar Crayon pilihannya itu. Aku memasukan kembali dompet yang semakin tipis tersebut ke saku belakang celanaku, lalu kembali menghela nafas, lebih panjang.. lebih bimbang.
Tak lama, Ziya sudah berada di sampingku lagi. Kali ini sembari menenteng sebuah keresek di tangan kirinya. Wajahnya terlihat sumringah, senang setelah mendapat satu set Crayon baru. Aku menatapnya datar. “Apa?” tanya Ziya, heran. Aku masih diam, tak menjawab. Ziya mengernyit sesaat, lalu tertawa. “Oh iya.. Hehe.. Ini, kembaliannya ada didalem keresek” ujarnya, mengerti. Aku ikut terkekeh, lalu mengambil uang kembalian yang ada dalam keresek yang Ziya pegang. “Masih cukup” bisikku, sembari melirik ke arah kendaraan, Zahdan tampaknya masih terlelap disana. “Ziya, jagain dulu zahdan ya! Abi mau beliin dulu lego buat Zahdan. Nanti khawatir sedih lihat Ziya dibeliin sesuatu tapi Zahdan enggak” ucapku. Ziya mengangguk mengiyakan, lalu melangkah santai hendak menjagai adiknya itu. Ziya yang sekarang memang lebih bisa diandalkan. Sekilas, memang tak tampak ada masalah pada keduanya. Sampai pada hari Lomba itu tiba.
Ruangan lomba sudah lumayan penuh oleh anak-anak dan para orang tuanya. Ziya melihat kanan kiri, tak ada teman satu sekolahnya disana. Seharusnya ada perwakilan kelas lain dari sekolahnya yang ikut hadir meramaikan lomba. Yang ada adalah belasan anak lain yang tak satupun Ia kenal. Wajahnya mulai terlihat tegang. Tangan kecilnya memegang jariku erat, tak mau lepas, seolah ingin bersembunyi saja. Sebaliknya, Zahdan malah tampak girang. Berlari kesana kemari, tak acuh pada keramaian di sekelilingnya, tak peduli pada orang-orang yang memperhatikannya. Aku sampai harus memeganginya agar tak hilang ditelan hiruk pikuknya peserta lomba.
“Ziya !” panggilku, sesaat setelah mendudukannya di sebuah bangku kosong di tengah ruangan. Ziya tak sedikitpun menoleh, raut mukanya masih terlihat cemas, matanya melirik ke orang-orang di sekelilingnya, termasuk ke arah Zahdan yang tak bisa diam. “Maziya !” panggilku lagi, kali ini sembari menyentuh punggungnya. Ziya menoleh, menatap ke arahku tanpa menjawab. “Ziya tahu? Anak-anak yang ada di ruangan ini adalah anak-anak hebat semua. Anak-anak yang jadi perwakilan kelasnya masing-masing. Dan Ziya bisa duduk disini, artinya Ziya juga hebat. Ga usah peduli sama juara atau piala. Ziya mau ikutan lomba, itu tandanya Ziya udah jadi Juara. Kalopun Ziya ga dapet piala, nanti Insya Allah abi yang kasih Ziya hadiah. Sekarang mah mewarnai aja kayak Ziya biasa mewarnai di rumah. Cuma berusaha supaya lebih rapih. Dengerin apa kata bapa nanti tentang warna-warnanya, terus dibagian mana saja warnanya itu dikasih. Ngerti?” paparku, diakhiri dengan tanya. Ziya mengangguk pelan, ada ragu dibalik anggukannya.
“Ya sudah, Ziya mau minum dulu? Abi ambilkan botol minumnya sebentar ya” kataku, sembari melangkah ke belakang, hendak mengambilkan air minum di belakang kursi yang Ziya duduki. Saat itulah, Zahdan yang berputar kesana kemari ikut mendekat. Ia tertawa-tawa, seolah tak acuh dengan apa yang dirasakan oleh kakaknya. Ziya menoleh, tangannya dengan cepat terulur, menutup mulut Zahdan dengan kasar. Ia tak suka dengan sikap Zahdan yang mengundang perhatian, Ia tak mau orang-orang di sekitarnya ini menatap kearahnya dan Zahdan. Sayang, Zahdan tak mengerti, Ia tersentak kaget, wajahnya sedikit tersakiti oleh gerakan tangan Ziya yang kasar. Aku refleks memegang tangan Ziya, lalu mengibaskannya. “Ziya!! Ga boleh gitu! Zahdan mah masih kecil, belum ngerti”kataku, sehalus mungkin. Tak ingin orang-orang sekitar menyadari sikap Ziya barusan. Perasaanku sedikit kecewa melihat reaksi Ziya pada Zahdan. Ziya menatapku takut. Aku lalu memberinya botol air minum yang tutupnya sudah terbuka. “Nih, Ziya minum dulu!” ujarku. Ziya lalu meminumnya, hanya sedikit. Matanya masih melirik Zahdan sesekali. Aku menghela nafas, bimbang. Kali ini bukan karena isi dompet yang berkurang, melainkan karena keadaan. Benturan dua sifat anakku yang bertolak belakang. Zahdan yang suka sekali menjadi perhatian. Dan Ziya yang merasa nyaman dalam persembunyian.
Tak lama, dua orang anak berseragam yang sama dengan Ziya, datang masuk ke ruangan. Aku mengenalinya sebagai teman sekelas Ziya waktu kelas dua. “Tuh, temen  Ziya udah kesini. Abi sama Zahdan tunggu di luar ya?” kataku, Ziya tak menyahut. Aku lalu mengelus kepala Ziya lembut, “jangan lupa Bismillah dulu” kataku lagi, berusaha untuk tersenyum. Ziya menatapku, lalu mengangguk pelan.
Aku berbalik, menggamit tangan Zahdan, menuntunnya keluar ruangan lomba. “Ayo Zahdan, kita tunggunya diluar!” ajakku pada Zahdan. Zahdan menurut, terlihat bersemangat. “Abbiih.. Jadan mau beli apa coba? Mau beli To..?” ocehnya. Aku tertawa, anak ini pasti minta dibelikan lagi mainan kereta Thomas di mini market. “To.. Mmm.. Topi?” jawabku. Zahdan menggeleng keras, “Aduuuh.. bukan Abi! Tapi beli To…?” tanyanya lagi. Aku menjawab, “ooh.. Tongkat” candaku. Zahdan kembali menggeleng, kali ini sembari menepuk jidatnya, meniruku. “Aduuh.. Bukaaan!! Jadan mau beli To.. Tomas!! Itu. Ya? Abi Ya??” celoteh Zahdan, membujukku. Dua bola matanya menatapku penuh harap. Padahal rasanya baru kemarin-kemarin Zahdan dibelikan lego. Dan koleksi Thomasnya sudah menumpuk di rumah. Tapi demi melihat dua bola matanya yang bening, Aku mengangguk mengiyakan. Mengundang teriakan Zahdan yang kegirangan. “Yeeeiiy.. Asyiik.. Jadan belum punya yang Timoti.. Gordon juga belum ada. Trus Rineas, Oliver, sama Berty…” paparnya panjang lebar. Mendengarnya, Aku menghela nafas entah untuk yang keberapa kalinya. Kembali berharap keajaiban datang, siapa tahu hari gajian tiba-tiba saja mendadak dimajukan. Aamiin.. He..   

19/11/2016

Zahdan dan Spiderman



Hari mulai petang, anak-anak yang sedari siang tadi berada diluar, terlihat kumal dan bau keringat sehabis bermain kejar-kejaran. Satu persatu mereka dipanggil ibunya, diperintahkan mandi dan berganti pakaian. Sebagian diantaranya langsung menuruti tanpa bantahan. Sebagian lagi perlu dua tiga kali diperintahkan. Dan sisanya, harus dijewer terlebih dahulu, lengkap dengan puluhan wejangan.. ehem.. maksudku omelan. Khas ibu-ibu tentunya.

Zahdan kecil sudah mandi sejak sore tadi. Ia tak biasa-biasanya menurut saja saat bajunya akan diganti. Gembira malah. Baju Thomas yang sudah bau keringat itu zahdan buka dengan senang hati. Mandi pun tak lama-lama didalam jolang. Hanya sebentar bermain air bersama sikat gigi dan perahu mainan. Empat menit, Ia sudah keluar berselimutkan handuk sembari melompat riang.

“Abbiiih..!! Zadan mau pake baju sepaydemen. Yang ada topengnyaa!!” teriaknya, tak berhenti melompat. Aku tertawa, lalu menjawab “O Iya.. baju spiderman yang baru itu ya. Sini atuh cepetan, abi kasih minyak telon dulu spidermannya” panggilku. Tanpa menunggu dua kali, Zahdan sudah berlari menghampiriku. Aku pun segera mendandaninya. Untuk yang ini, perlu waktu lebih lama. Karena Zahdan tak bisa diam saat didandani. Ia melompat, Ia berjongkok, kedua tangannya sibuk sekali melancarkan jurus, yang sepertinya ia sendiri tak tahu jurus apa itu. Aku memegangi kepalanya, hendak memakaikannya baju spiderman. Berhasil, sayang kedua tangan zahdan masih belum berhenti juga melayangkan jurusnya DUK !! siku zahdan beradu tepat dengan jidatku. “Astaghfirullaah.. Zahdannya diem dulu atuh! Ni kan lagi dipakein baju!” ucapku, kesal. Zahdan hanya terkekeh, lalu berpura-pura menurut. Berpura-pura? Tentulah, karena setelah kepalanya masuk sempurna, Ia kembali ber Ciat-ciat tak jelas. Melihatnya, aku langsung saja mengangkat kembali baju spiderman yang baru masuk sebatas leher. Membuatnya menutupi seluruh wajah zahdan, lalu membiarkannya. Zahdan panik, lalu meminta tolong, “Abbiih.. ni jahdan gelap.. abbiih.. tolongin jahdaan..ni susah bajunya” ucapnya, merajuk, dengan tangan yang berusaha melepas baju tersebut. Giliran aku yang terkekeh puas berhasil mengerjainya.

Kesukaan Zahdan pada tokoh spiderman, memang semakin terlihat dari hari ke hari. Zahdan menggemari kelebihannya saat merayap di dinding, bergelantungan dari gedung ke gedung, serta menembakkan jarring laba-laba dari kedua tangannya. Mungkin Zahdan beranggapan bahwa hal itu terlihat keren. Anggapan inilah yang cepat atau lambat, harus diberi pemahamanberlebih padanya. Sama halnya ketika dahulu, kakaknya menggemari tokoh-tokoh princess.

“Zahdan” panggilku. Zahdan tak acuh mendengarku, Ia masih terlihat sibuk ber Ciat-ciat ria. “Zahdan, lihat sini! Abi punya buku spiderman!” panggilku kembali, kali ini sembari menunjukkan sebuah buku dari rak bukuku. Buku dengan gambar cover superhero manusia laba-laba tersebut, seketika merebut perhatian Zahdan. “Waaaah…!!” ucapnya, terkagum-kagum, langsung berlari mendekatiku. Sebenarnya, ini bukan buku komik, ataupun buku superhero biasa. Buku yang kupegang ini berisi analisa dibalik tokoh dan film spiderman, pesan-pesan yang ingin disampaikan, dan fakta mencengangkan tentangnya. 

“Sepaydemennya kaya baju Zahdan ya Abi?” ucap Zahdan, meminta persetujuanku. Aku mengangguk mengiyakan, lalu berkata “iya nak, sama kayak baju tidur zahdan. Tapi, ini mah spidermannya yang ga suka sholat. Beda sama zahdan, Zahdan mah suka sholat kan? Suka ikut abi sholat di rumah ato di mesjid kan?” kataku, balik bertanya. Zahdan mengernyit heran, tapi tak lama mengangguk juga membenarkan perkataanku. Aku tersenyum, “Nah, karena spiderman yang ini mah ga suka sholat, makanya spidermannya masuk ke neraka. Zahdan tau apa itu neraka?” tanyaku. Zahdan menggeleng, bulatan hitam matanya masih menatap memperhatikanku. “Neraka itu..” kataku, berhenti sejenak, hanya agar kalimat berikutnya semakin menarik di mata Zahdan. “Tempat yang penuh sama api. Apinya.. Panaaaas sekali. Bahkan bisa lebih panas dari matahari yang suka zahdan lihat waktu siang-siang diluar rumah” paparku. Zahdan bergidik, gurat kecewa tampak sedikit terlihat di wajahnya. Aku tersenyum lagi, “tapi, kalo spidermannya suka sholat kayak Zahdan, suka belajar alif ba ta tsa kayak Zahdan, trus juga suka berbagi mainan kayak Zahdan anak abi yang hebat ini, nanti masuknya bukan ke neraka, masuknya ke Surga. Zahdan tau ga surga teh kayak gimana?” tanyaku. Zahdan kembali menggeleng, bulat hitam matanya membesar, semakin penasaran dengan apa yang kupaparkan. “Surga itu…” kataku, yang lagi-lagi berhenti barang sesaat, “Tempat yang baguuus sekali, ada air mancur, ada sungai jernih, ada rumput hijau. Dan, disana ada mainan Thomas yang banyaaak” kataku. Demi mendengar kata mainan, mata Zahdan terbelalak tak percaya, ekspresi wajahnya tampak senang bukan kepalang. “Banyak sekali Abi?” tanyanya, memastikan. Aku mengangguk mengiyakan, “iya nak, bahkan lebih banyak dari mainan yang ada di planet mainan, toko mainan kesukaan Zahdan tea. Dan, Zahdan tahu? Di Surga bukan cuma  thomas saja, mainan yang lain juga banyak. Zahdan bisa pilih sesuka Zahdan. Itu hadiah buat anak yang suka sholat sama ngaji kayak Zahdan. Zahdan berdo’a saja habis sholat sama Allah, biar Zahdan bisa masuk ke Surga” paparku. Zahdan memekik senang, Ia bahkan melompat-lompat kegirangan. Senang sekali melihatnya gembira seperti ini. 

Malamnya, ternyata terbukti. Usai pengajian umum di mesjid, kami sholat Isya berjamaah. Zahdan berdiri disamping kiriku, berbaris rapih dalam shaf layaknya orang dewasa. Rakaat pertama, Zahdan mengikuti gerakan yang lain. Meski saat orang lain bersujud, Zahdan malah tengkurap. Bagiku tak masalah, asalkan Zahdan tetap berada dalam barisan shaf, tak lari-lari seperti halnya anak-anak lain seusianya yang suka sekali bermain-main saat sholat berjamaah. Rakaat kedua, keistiqomahan Zahdan mulai terganggu. Ia bersandar di kakiku, sembari menengok kanan kiri, serta melihat-lihat ke arah belakang. Rakaat ketiga, Zahdan mulai bergeser. Ia berdiri tepat didepanku saat aku hendak ruku. Aku langsung bergeser ke kiri, bertukar tempat dengan Zahdan. Dan Saat hendak sujud, Zahdan bergeser lagi kedepanku. Akupun kembali lagi beralih ke kanan, mengambil tempat yang ditinggalkan Zahdan, sembari menggerutu dalam hati tentunya. “Aduuh.. Zahdaan, abi kehalangin” bisikku. Awal Rokaat keempat, Zahdan sudah tak sabar, ingin cepat selesai. Ia mendahului yang lain sujud, tengkurap maksudku, lalu duduk, kemudian mengucapkan salam sembari menoleh ke kanan dan kiri dengan cepatnya. Tak lama Ia lalu mengangkat kedua tangannya, dan dengan lantangnya berdo’a “Ya Alloh, Jadan ga mau jadi sepaydemen yang ke neraka. Jadan ga mau kena api yang panas. Jadan pengennya masuk ke Surga Ya Alloh. Jadan pengen mainan Thomas yang baanyaaaak sekali..” ucapnya, yang lalu diakhiri dengan do’a untuk orang tua yang tak begitu jelas pelafalannya. Aku menggigit bibir, do’a polos Zahdan barusan terdengar jelas di dalam mesjid ini. “Aduh Zahdaaan…” ucapku dalam hati lagi. Muncul perasaan kompilasi dalam diri ini. Setengah karena khawatir mengganggu sholat jamaah lain, setengahnya yang lain adalah rasa ingin tertawa karena mendengar do’a polos yang dilantunkan Zahdan. 

Usai sholat, Zahdan langsung melapor padaku “Abbiih, tadi Jadan solat, tadi jadan do’a” ucapnya bangga. Aku mengangguk, lalu setengah berbisik aku berkata padanya, “Iya, Kau hebat Zahdan !!” pujiku sembari tersenyum. Yang dipuji semakin berbangga, terkekeh senang, lalu berlari ke belakang, kembali ber Ciat-ciat ria.

21/10/2016

Saputangan Biru

Saputangan biru, tergenggam erat di tangan kananku. Meski begitu kumal dan sedikit berbau, memori didalamnya sempurna tak bisa ditiru.
Kau ingat? Saputangan biru ini yg menghapus air matamu. Saat kau datang padaku, mencurahkan keluh kesahmu. Menangis tersedu, terluka karena cinta. Dia yang kau puja, ternyata tertangkap bermain mata. Cemburu, itu katamu.
Lidahku kelu, gagap aku menghiburmu. Meminjamkan saputangan ini, lalu berpura2 menjadi bijak, berkata satu dua kalimat penambah semangat.
Saputangan biru, kuletakkan diatas meja. Saat kau datang dengan pipi yang merona. Bola matamu bersinar dengan indahnya. Lalu kau berkata, "tolong sampaikan salamku padanya!" katamu, dengan pipi yg semakin memerah. Aku terpaku, diam..membisu. Demi menatap ayu nya wajahmu, kepalaku mengangguk, namun hatiku menggeleng. Ia yg menyakitimu, bagaimana mungkin kau masih juga memberikan hatimu padanya. Aku tak mau kau menangis lagi, aku tak mau kau terluka lagi, aku tak mau hatimu untuk yg lain lagi. Dan, salammu itupun.. kusampaikan. Kau begitu terharu, titik air mata diujung matamu, kau seka dengan saputangan biruku.
Saputangan biru, memudar berubah abu, kumasukkan kedalam saku. Sesaat setelah ku melihat kedatanganmu. Dengan mata yang sembap, dan masih terisak menahan sesak. Pedihnya luka kau katakan, rasa kecewa pun kau utarakan. Penghianatan, itu yg hendak kau jelaskan.
Aku tergugu, menatap pilu air mata yg mengalir di pipimu. Hatiku merana kala melihat kau terluka. Deras hujan diluar sana, tak lebih menyedihkan dibanding hujan dari sudut matamu.
Kau terdiam, heran dengan sebuah keganjilan. Bukankah biasanya aku selalu menyodorkan saputangan biru untuk menghapus airmatamu? Aku tertunduk. Cukup.. Tidak kali ini.
Saputanganku berubah abu, lebih kelabu warna hatiku. Aku orang yang diam2 menyukaimu. Terlalu menyukaimu malah. Merelakan separuh hatiku hancur berkali2. Membiarkan jiwaku koyak berulang2. Karenamu.. Ya, karenamu. Karena aku benar2 mencintaimu. Tidak, tak ada lagi kalimat pemberi semangat. Huruf2nya sudah teramat berkarat.
Saputangan, yg tak lagi biru, kusodorkan tepat kehadapanmu. Kepalaku tertunduk, lirih membisikan tiga kata padamu. Tiga kata yg tertancap jauh didalam kalbu. Tiga kata yang paling tak ingin kukatakan, terutama padamu.
"aku menyerah atasmu" lirihku.

Kisah Danu

Namanya danu, seorang remaja berseragam putih abu yang begitu pemalu. Sayang, virus merah jambu datang tak pandang bulu. Tak melihat pemberani atau bukan, virus itu menyerang siapa saja, termasuk danu. Ia datang hanya sesaat setelah pertemuan danu dengan ayu, adik kelasnya sendiri. Ayu berparas elok, sungguh senada dengan namanya, membuat danu selalu tersipu setiap kali berpapasan dengannya. Semburat merah di pipinya, ingin sekali mengungkapkan isi hatinya. Sekali lagi sangat disayangkan, danu yang pemalu, tak pernah mampu berterus terang pada ayu.
Seminggu dua minggu, danu masih mampu diam membisu. Sebulan dua bulan, danu terus bertahan sembunyikan perasaan. Hingga tiba purnama kelima, anggrek putih mekar dengan indahnya, danu tak lagi bisa memendam cintanya. Ia harus berkata.. Ia harus mengungkap rasa.. Setidaknya hendak memastikan, apa tangannya bertepuk sebelah saja.
Dan, kata2 itupun diutarakan. Dengan lutut yg gemetaran, dengan wajah yg kemerahan, dan dengan jantung yg berdegup begitu kencang. Danu berhasil membuat ayu tahu, bahwa dirinya dihadiahi separuh hati danu.
Sayang seribu sayang, ayu menolaknya. Tak ada tempat bagi danu di hati ayu.
Remuklah danu seketika, berat langkahnya, sedih hatinya. Danu..ditolak.
Lalu, apakah danu menyerah? Tidak ternyata.
Beberapa bulan setelah itu, danu kembali menyatakan cintanya. Dan ayu pun lagi2 menolaknya. Begitupun beberapa bulan sesudahnya, pernyataan cintanya ditolak lagi dan lagi. Danu selalu tersungkur, hatinya remuk berulang2. Harapannya kandas diambang batas. Lalu mengapa ia terus saja mengutarakan perasaannya? Karena ia adalah org yg bodoh. Dan mengapa ia tak memalingkan saja cintanya? Sekali lagi karena ia org yg bodoh.
Tapi lihatlah sekarang, kebodohannya membuatnya kini tengah bersanding di pelaminan bersama Ayu. Hati yang remuk itu secara ajaib utuh kembali. Memang butuh waktu lama bagi ayu untuk mengerti kesungguhan cinta danu. Tapi buah perjuangan danu terbayar sudah, di kali ke 7 ia menyatakan perasaannya, ayu ternyata mengangguk menerima danu menjadi suaminya. Jika saja di kali ke 3 danu berputus asa, tentulah tak akan seberuntung ini nasibnya.
Cinta memang perlu diperjuangkan.

Sayang, di dunia ini tak semua orang memiliki kisah seberuntung danu. Banyak diantara mereka yg melanjutkan hidup dengan hati yg tinggal separuh. Sungguh banyak diantara mereka yg melangkah dengan asa yang jeri merekah. Ah, urusan perasaan ini memang sulit sekali dijelaskan. Orang mampu bertahun2 memendam cinta, padahal yg dicinta sedikitpun tak peduli padanya. Dan adapula org yg terus menerus memasung setia padahal yg disetiai justru sudah melaju di pelaminan sana.
Aneh memang..
Ayu terlihat elok dengan busana pengantin berhiaskan. Untaian melati menjulur ke bawah menutupi wajah. Kedua mata basah, tak jelas untuk siapa ia bersimbah. Dan saat seorang pemuda tiba2 berdiri dihadapannya, kedua tangan terangkat mendoakannya. Saat itulah ayu begitu merona pipinya. Kenapa? Kenapa bukan dia yg menikah dengannya? Padahal ayu yg lugu, teramat lama memendam rindu, bahkan sejak mereka berbaju putih biru.
 

Zahdan dan Swalayan

"Selamat datang di ****mart, selamat berbelanja." ucap seorang pelayan toko, hanya sesaat setelah kami melangkah masuk. Aku mengangguk, berterima kasih atas ucapan ramahnya. Seorang anak kecil disampingku sudah melesat masuk, berlari mencari2 rak berisi mainan, rak kesukaannya. Sementara kakaknya, berjalan dengan santainya menuju rak berisi buku dan alat tulis. Keduanya sama2 tak acuh pada ucapan selamat datang dari penjaga toko. Membuatnya merasa menjadi patung belaka. Hei, jangan marah, setidaknya aku sudah mengangguk bukan?
Zahdan, anak kecil yg melesat ke rak berisi mainan, sudah ribut berteriak kepadaku. "Abiih.. Ferdinand nya ga ada. Cuma ada persi sama helold" ucapnya dengan antusias. Ferdinand adalah nama salah satu kereta mainan. Zahdan sudah mengoleksi beberapa diantaranya, dan ferdinand adalah satu yang ia belum miliki. Aku kembali mengangguk, "yaah..sayang ya. Ga apa2 lah, zahdan beli makanan aja ya?" tawarku. Zahdan kembali berbalik, menjelajah rak2 di toko tersebut.
Aku menuju ke rak berisi alat tulis, tampak ziya tengah khusyu melihat2 kertas binder, tempat pensil, juga stiker2 lucu. "Ziya, beli makanan aja ya?" saranku. Ziya tak menjawab.
Aku mengambil sebotol air minum, lalu berbalik mencari zahdan. Aneh, zahdan tak ada di rak jajanan. Aku mencarinya di rak mainan, tak ada juga. Zahdan seperti menghilang, suaranyapun tak terdengar. Aku langsung menuju rak alat tulis. Terlihat ziya masih khusyu disana. "ziya, lihat zahdan ngga?" tanyaku. Ziya masih juga tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua pundaknya, tak acuh. Matanya tak bergeming dari sebuah tempat pensil bergambar tokoh my little pony. Aku menghela nafas, lalu kembali menyusuri rak demi rak, satu persatu. Mencari bocah kecil yg biasanya berteriak2.
Tiba di rak terakhir, aku menangkap sebuah bayangan tengah mengendap2. Kepalanya melongok perlahan, mulutnya cekikikan. Aku melihatnya dari belakang, tersenyum . Rupanya ini alasan zahdan sulit ditemukan. Ia bersembunyi dariku, menganggap toko ini tempat yg ideal untuk bermain petak umpet.
"zahdan!" panggilku. Zahdan berteriak kaget, lalu tertawa2 sambil berlari kembali. Penjaga toko melihat kami tanpa ekspresi. Aku mulai merasa risih dengan tatapannya.
Aku mencoba mengejar zahdan, terlambat. Zahdan sudah menghilang kembali dibalik barisan rak. Aku menepuk jidat, "aduuh zahdaan.." gumamku.
"Abi, boleh beli ini?" tanya ziya, tiba2 saja ada di belakangku. Ia menunjukkan sebuah tempat pensil berwarna pink. Aku menghela nafas, lalu setengah berbisik aku menjawab, "abinya belum gajian nak... Beli makanan aja ya..?" ujarku. Ziya menghela nafas, kecewa, tapi kuyakin ia bisa mengerti. Bukan sekali dua kali aku memberi pengertian seperti ini padanya. Dan ziya selalu bisa memaklumi. Cara berfikirnya sudah lebih dewasa dibanding anak lain seusianya.
Ziya berlalu, mengembalikan tempat pensil tersebut ke tempatnya semula. Sesaat setelah ziya berbalik, aku melihat zahdan mengendap2 tak jauh dari rak alat tulis. Refleks aku menyambar tangan zahdan. Zahdan berteriak kaget, lalu tertawa2 riang.
"zahdan, beli makanan ya. Mau boboiboy atau chiki?" sergapku langsung. Zahdan masih terkekeh saat menjawab "boboiboy rasa coklat" jawabnya spontan. Aku mengangguk mengiyakan, lalu menuntunnya ke tempat rak makanan.
Belanjaan tengah dihitung kasir toko. Aku menghitung kasar angka2 yg tertera di layar monitor. Khawatir isi dompet tipis yang kubawa tak cukup untuk membayar total tagihan akhirnya.
"Alhamdulillaah.." bisikku, puas setelah melihat ternyata tagihannya tak sebesar yang kukhawatirkan. Akupun bergegas membayar, lalu berbalik hendak keluar toko tersebut. "ziya, zahdan, ayo!!" panggilku. Yang dipanggil tak menyahut. Aku menoleh, tak ada siapa2 dibelakangku. Hanya penjaga toko yang memandangiku tak mengerti, membuatku merasa risih untuk kedua kalinya.
Aku menyusuri rak, melihat ziya yang terduduk di lantai, menimang2 tempat pensil berwarna pink. "aduh ziya! Ayo!!" panggilku. Ziya tersentak kaget, mengangguk, lalu melangkah mendekat dengan santainya. "zahdan mana?" tanyaku. Ziya menggeleng, "ga tau, tadi mah ada disini" jawabnya. Aku bergegas ke rak mainan, tak ada. Ke rak makanan, tak ada juga. Zahdan pasti bersembunyi dariku, lagi. Menganggap toko ini tempat yg sempurna bermain petak umpet.
"Zahdaaan!!! Abi tinggal ya!!" teriakku, berusaha tak acuh pada penjaga toko yang masih memandangiku. Dan zahdan akhirnya menyeruak keluar sembari tertawa2, puas sudah mengerjaiku. Aku menggeleng2 kepala.
"terima kasih, ditunggu lagi kedatangannya" ucap penjaga toko, terdengar hambar. Karena Ziya dan zahdan sudah berlari keluar, tak acuh pada kata2 penjaga toko. Aku juga sudah berlalu tanpa sempat mengangguk, karena terpaksa harus berteriak lagi, "zahdaaan.. Jangan lari2, bisi ada motor!!! Ziya, tuntun zahdan! Tuntun zahdaan!!" teriakku.

Duhai

Duhai, lidah ini ringan sekali menyanyikan lagu kebaikan. Padahal kaki ini sedikitpun tak mampu menarikan iramanya.
Jangankan menari, untuk berdiri saja mereka gemetar begitu kuat. Jangankan berlari, untuk melangkah saja mereka tertancap kubangan lumpur yang teramat pekat.
Lihat, lihatlah kawan dan saudaraku. Mereka sudah terbang jauh ke langit sana. Sementara aku masih jua terbelenggu dalam kisah dan dongeng diatas tanah.
Wahai putri dan pangeran kecilku. Jika kelak kalian memasuki pintu syurga Jannah. Ingatlah, ingatlah pada alif ba ta tsa yang kuajarkan pada kalian dulu. Ingatlah pada ruku dan sujud yang kucontohkan dulu. Ingatlah pada nasihat kebaikan yang kubacakan sebelum kalian tidur dulu.
Jangan biarkan abi kalian ini terpanggang dalam api yang tak henti menyala-nyala.

03/10/2016

Roda Kereta dan Rambut Zahdan

Zahdan kecil tengah asyik bermain keretanya. Flynn, Emily, dan Hero bisa kembali melaju diatas rel dengan semangatnya. Tentu saja, dengan batu baterai yang baru diganti, mereka tak ragu lagi meski harus berulang kali berkelok mengelilingi jalur berbentuk angka 8 tersebut. Tak ada suara peluit kereta, yang ada malah teriakan zahdan. Ia tertawa-tawa saat melihat salah satu keretanya terguling saat berbelok. Beberapa kali aku menangkap basah ketika zahdan ternyata dengan sengaja mengganjal rel dengan potongan lego, membuat keretanya terguling dengan sengaja. Hmph..ada-ada saja.
Ulah zahdan ternyata tak berhenti sampai disitu saja. Bosan dengan lajur kereta yang searah, ia membuat satu keretanya berbalik berlawanan arah. Akibatnya kereta-kereta itu bertabrakan satu sama lain tepat di bumper depannya. Mereka tak melaju, masing-masing saling mendorong. Beberapa detik kemudian keduanya terguling. Mengundang tawa dan teriakan zahdan yang kegirangan melihatnya. Kasihan sekali kereta-kereta itu.. Sayang, mereka tak bisa berbuat apa-apa untuk membalas zahdan. Akupun memilih pergi ke kamar, mengistirahatkan mata yang terasa pedih, akibat kurang tidur semalam.
***
Zahdan menepuk-nepuk lenganku. "Abi..abi.. Bangun. Ini Flynnnya nempel.." ujar zahdan. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, sembari menggerutu kesal. "Aduh Zahdaan.. Abinya ngantuk nak, kan semalem kerja. Abi pengen tidur dulu barang seben..." ucapanku terpotong. Karena kesalku berubah 180 derajat menjadi tawa. "ini Flynnya.. Nempel terus.." ulang zahdan lagi. Aku tak kuasa menahan tawa "he..he... Astaghfirullaaah... Zahdan..zahdan. kenapa Flynnya bisa ada di kepala zahdan atuh?" tanyaku, sembari tetap terkekeh melihat sebagian rambut zahdan terbelit kedalam roda mainan kereta tersebut. Zahdan malah ikut tertawa, tak sedikitpun ada ekspresi kaget di wajahnya. Aku mematikan mesin kereta mainan, lalu berusaha mengurai rambut zahdan di roda mainan tersebut. Sebagian berhasil terlepas, namun sebagian lagi sulit bukan main. "Huft.. Zahdan, ini mah susah, gunting aja ya?" tanyaku. Zahdan tak menjawab, ia masih terlihat sumringah ada kereta menggantung di kepalanya, mungkin berasa tambah keren. He.. Dengan hati-hati, aku menggunting bagian rambut zahdan yang terbelit. "Nah, udah zahdan, keretanya udah lepas" kataku. Zahdan masih tak berkomentar, raut wajahnya berubah kecewa. Mungkin merasa kerennya berkurang. Mudah-mudahan, ia tak lantas sengaja menggantungkan lagi kereta-kereta mainan yang lain di kepalanya.

Membujuk Zahdan

Zahdan kecil menangis keras, berteriak-teriak begitu nyaringnya. "GA MAUUU !!!" ujarnya, sembari menghentak-hentakkan kakinya ke kursi, kesal. Aku menatapnya iba, jarang sekali zahdan bersikap seperti ini. Biasanya jika kesal pada orang lain, ia akan gunakan tangan atau kakinya. Pernah ketika seorang anak tetangga main ke rumah, ia lalu mengambil mainan kereta zahdan tanpa minta izin terlebih dahulu. Zahdan kesal, tanpa ba bi bu didoronglah anak tersebut hingga mundur beberapa langkah, nyaris jatuh terjengkang. "Ga Boleeh!!" tegasnya, sembari merebut mainannya cepat. Anak tetangga tersebut melongo heran, kaget bukan kepalang. Pun dengan anak-anak lain, zahdan tak segan-segan meluapkan kekesalannya. Jika tangannya ditahan, kakinya yang maju. Ck..ck..
Tapi tidak kali ini, sepertinya zahdan merasa segan untuk melawan, ia hanya bisa menangis menahan kesal. Pasalnya hanya satu, aku mengajaknya menjemput ziya kakaknya dari sekolah. Dan zahdan tak mau, ia menolak ajakanku. Jika difikir, wajar rasanya zahdan menolak, karena sedari pagi tadi zahdan sudah diajak kesana kemari, mengantar ziya ke sekolah, mengantar jemput umminya, dan itu bukan hari ini saja. Hampir setiap kali zahdan selalu dibawa, apalagi saat aku libur seperti hari ini, seharian penuh tugasku mengasuh dan menangani masalah transportasi. Sayang, tampaknya zahdan mulai merasa lelah. Tak mau menurutiku, ia menangis dan berteriak-teriak.
Jam menunjukkan pukul 10:30, ziya bubar sekolah setengah jam lagi. Sekolah ziya terbilang cukup jauh, seharusnya aku sudah berangkat dari sekarang. Dengan terburu2, aku membujuk zahdan dengan iming-iming permen dan jajan ke swalayan. Tak berhasil, zahdan tetap menolak. "zahdan, kasian kak ziya, ga ada yang jemput" ucapku. Zahdan tak terpengaruh, tetap menangis menolak dan bilang "ga mauuu!!!" teriaknya. Waduh, aku harus bagaimana, masa ditinggal di rumah sendirian, otakku berfikir keras.
"Zahdan mau kuding?" tanyaku, maksudnya puding buatan sendiri, berwarna orange.

Zahdan memang belum fasih menyebutnya puding, ia malah memanggilnya kuding. Kue "putu" ia sebut dengan kata "kutu", "toko" pun ia katakan "koto", he.. "Itu tuh, yang rasa mangga, kesukaan zahdan" ucapku lagi. Masih dengan menangis, zahdan berkata "mmauu..." lirihnya. "iya, abi ambilin. Tapi zahdan berhenti nangisnya ya.." kataku, lalu berbalik, mengambil puding dari kulkas.
Zahdan masih sesenggukan saat kusuapi puding tersebut. Ia begitu lahap memakannya. Berkali-kali aku memujinya, menyebut cara makannya hebat. Jam sudah menunjuk 10:37, aku kembali memutar otak.
"zahdan, kereta zahdan teh siapa aja? Emily, Hiro, mm..sama siapa ya?" tanyaku. Zahdan langsung menjawab "sama Flynn!!" jawabnya, tak terlalu jelas, mulutnya penuh dengan puding. "Oh iya, Flynn, abi lupa" ucapku. "Eh, sayang ya.. Flynn, Hiro, sama Emily nya ga bisa jalan. Batere nya udah abis ya nak?" lanjutku. Zahdan mengangguk, ia masih sesenggukan. "Batere nya harus diganti !" ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, tapi batere abi di laci udah abis, ga bisa ganti sekarang" kataku. Zahdan menatapku kecewa. Lalu, dengan hati-hati aku berkata padanya, "gimana kalau kita beli dulu di swalayan, sambil jemput kaka ziya. Kan kasian Flynn sama Hiro, ga bisa maju di rel" ajakku. Zahdan mengernyit, berfikir sejenak. Aku bertanya lagi, "gimana? Mau?" tanyaku. Zahdan menatapku, lalu menjawab "mauu!!" jawabnya. Aku menghela nafas lega. "Alhamdulillaah.." bisikku, sembari melirik ke arah jam dinding. Jam 10:45, aku harus bergegas..

"Ya Allaah...!!" ucapku, spontan. Kulihat antrian kendaraan dari kejauhan, begitu panjang, mengular hendak melintas di jembatan cimanuk. Heran, padahal tadi pagi saat aku mengantar ziya sekolah, jalannya lancar-lancar saja. Tak ada pilihan lain, aku bergegas memutar balik kendaraan. Mengambil jalur yang lebih jauh, tapi kemungkinan arusnya lebih lancar. Terpaksa, kelas ziya akan bubar jam 11:00 sebentar lagi, mudah-mudahan dengan sedikit mengebut aku bisa tiba tepat waktu, begitu fikirku. Sementara zahdan, terlihat tak peduli. Ia malah memintaku membukakan bungkus kacang telur kemasan, cemilan kesukaannya. Aku mengangguk, dan dengan mata tetap memperhatikan jalan, aku mengambil bungkus kacang itu dari tangan zahdan.
Orang bilang, laki-laki tak bisa mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Itu salah besar bung. Di balik kemudi ini, aku dituntut harus bisa mengerjakan hal lain. Membuka makanan zahdan, membuka minuman ziya, mengganti kaset film kesukaan zahdan, hingga menahan kepala zahdan gara-gara tertidur dengan sebelah tanganku. Dulu, kakaknya sering sekali tertidur diatas motor. Aku terpaksa harus memeganginya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan mengendalikan laju sepeda motor. Sampai di rumah, tangan kiriku sampai bergetar karena pegal.
"Ini nak.." kataku singkat, sembari menyerahkan kemasan cemilan yang sudah terbuka pada zahdan. "Abi masih susah.." ujar zahdan. Aku melirik, tampaknya zahdan masih kesulitan mengambil cemilannya. Lubang yang kubuat tak cukup besar. Aku segera mengambilnya kembali dengan tangan kiri, menggigitnya, lalu merobeknya lebih besar. "segini cukup?" tanyaku. Zahdan menjawab "iya" katanya singkat. Lalu ia pun khusyu menikmati cemilan tersebut.
Jalur yang kutempuh adalah jalan provinsi, beberapa kali aku tertahan truk besar dan bus yang berjalan lambat didepanku. "astaghfirullaah.." lirihku, sembari berusaha menyalip kendaraan besar tersebut.

Jam 11 tepat, aku masih di jalanan. "hmph.. Zahdan, kayaknya kita bakal telat jemput kak ziya, jam segini kita masih..." ucapku terhenti, karena kulihat Zahdan ternyata.. tidur, kepalanya manggut2 ke kanan dan kiri. Aku lekas menahan kepalanya dengan tangan kiri, khawatir ia terantuk pintu.
Pelan, aku menghentikan kendaraanku dulu. Memundurkan sandaran kursi zahdan, membaringkannya senyaman mungkin, memasanginya sabuk pengaman, dan mengamankan bungkusan cemilan yang masih berada dalam genggaman zahdan. Setelah dirasa ok, kendaraan pun melaju lagi. Kali ini dengan semua kaca jendela tertutup, karena khawatir suara bising diluar membangunkan zahdan kecil dari tidurnya. Dan dengan laju yang lebih cepat, secepat yang aku bisa, khawatir ziya menunggu terlalu lama di sekolahnya.

Gelisah masih membuatku resah, meski sudah tiba di sekolah. Bingung, bagaimana caranya menjemput ziya. Kelasnya yang berada didalam, membuatku harus masuk kesana, sementara zahdan..tak mungkin kubangunkan. Hmph..andai saja diri ini bisa dibagi dua. Keluar dari kendaraan, seorang ibu dari siswa teman ziya berkata padaku. "Pa, maziya sudah nunggu dari tadi" ujarnya. Aku bertambah bingung, "i..iya bu. Ini adiknya tidur di dalem" jawabku tak jelas, sembari menunjuk ke arah zahdan yang lelap di dalam kendaraan. Berharap ibu tersebut berinisiatif menjagai zahdan sementara aku menjemput kakaknya.
Sayang, ibu itu tampaknya terburu-buru pula. Ia pergi sembari menuntun anaknya menjauh. Aku melihat ke kanan kiri, ada tukang parkir disana. "Apa kutitipkan ke tukang parkir saja dulu?" bisikku didalam hati. "Tidak.. Tidak.. Ide yang buruk" jawabku sendiri. Arrghhh.. Bagaimana ini..
Akhirnya, aku membuka sedikit kaca jendela, agar zahdan tak merasa sesak didalam, lalu bergegas meloncat pergi. "Ya Allah, aku titip zahdan.." bisikku, sembari berlari menuju ke kelas ziya.
Di kelas, Ziya menggerutu sebal saat melihatku, "euh.. Abi meni lama sekali..!!" ucapnya. Aku tak menjawab, malah langsung memberi perintah, "ziya, cepet pake sepatu! Mana tasnya?" tegasku. Ziya mengernyit heran, namun bergegas berbalik mengambil tasnya. "Zahdan abi tinggal tidur di mobil. Makannya ziya harus cepet. Tadi jalannya macet panjang. Abi harus muter jalannya, lebih jauh lagi. Makannya telat jemput ziya" paparku, sembari memakaikan ziya sepatu di kakinya. Bukan karena ziya tak mampu sendiri, tapi ziya menurutku masih kurang cepat. Ziya tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil tanda mengerti.
Setengah berlari aku menarik tangan ziya. Bergegas kembali menuju zahdan. Ziya tergopoh-gopoh, sekuat tenaga berusaha mengejar kecepatanku.
 

Lalu lalang para orang tua yang hendak menjemput menghalangiku. Aku membetulkan tas ziya yang kutenteng di bahuku, lalu menarik kembali tangan ziya cepat. "Ziya, kita nyebrang!!" teriakku. Ziya tak sempat mengangguk, susah payah ia berlari mengikutiku, tangan kecilnya erat sekali menggenggam tanganku.
Sampai di kendaraan, kulihat zahdan masih tertidur nyenyak. Alhamdulillaah.. Bisikku. Ziya menatapku polos. Aku tersenyum, menghela nafas lega, lalu bertanya, "jadi ziya, ngisi ulangannya tadi bisa?" tanyaku. Ziya mengangguk sembari tersenyum pula. 

Kemarahan Cimanuk

Ambulan meraung-raung di tengah kemacetan. Berteriak hingga parau meminta diberi jalan. Sayang, sepagi ini bukan ia sajalah yang punya kepentingan. Karyawan kantoran, anak sekolahan, hingga ibu-ibu berburu belanjaan, semua berebut ingin didahulukan. Petugas menggeleng-gelengkan kepala tak berdaya. Ketika sebuah mobil mewah menolak untuk berhenti, tak mau memberi jalan bagi sang ambulan. Lamat-lamat, sirine ambulan memelan dan terdiam, pasrah pada keadaan. Mendekati area jembatan, macet kian parah saja. Dan jam masih menunjukkan pukul 7 lewat 20 menit. Bukan, bukan gara-gara air sungai yang meluap lagi. Bukan pula gara-gara endapan lumpur yang menutupi jalanan lagi. Tapi karena para pelancong yang berhenti begitu saja di jembatan. Memarkir kendaraan sembarang, lalu berfoto ria di depan bekas luapan sungai. Kurang ajar memang, tempat kejadian bencana, mereka anggap tempat berwisata. Mengambil gambar bergantian, sekedar untuk update instagram. Miris...
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menerobos kerumunan. Rambutnya kaku, bekas terkena lumpur yang mengering. Begitupun wajah, tangan, dan kaki anak tersebut. Berwarna coklat, tak beda dengan endapan lumpur yang tengah dibersihkan para relawan. Tiba di bibir jembatan, anak itu berteriak keras, "KAU.. KAAAU!! LIHAT APA YANG SUDAH KAU LAKUKAAAN!!!" teriaknya, menyayat hati. Semua orang memandang ke arahnya, heran. "Kau sudah menghanyutkan rumahku, kau menelan pula ayah dan ibuku. Kau merusak seluruh desa. Apa yang kau lakukan hah?" teriak anak itu lagi, kali ini dengan wajah berurai air mata, deras dari kedua ujung matanya. Tangan kanannya bergetar, menunjuk tegas ke arah sungai didepannya. "Sekolahku kau banjiri, adikku yang masih bayipun.. Kau membawanya pergi.. Hiks... A.. Apa yang kau lakukaan..." suaranya memelan, ia menangis sesenggukan. Berulang kali ia menghapus air mata dengan baju lusuhnya, percuma, air matanya selalu keluar lagi, dan lagi. Orang-orang yang berada di jembatan terenyuh, tergugu, tak mampu berkata apa2. Keadaan menjadi hening. Lirih, anak tesebut berkata lagi, "aku tak pernah berlaku buruk padamu. Hampir setiap pekan aku berenang, bermain di alirmu. Tapi mengapa justru akulah yang kau sisakan? Mengapa kau merebut semua keluargaku?" papar anak kecil itu. Seorang petugas penyelamat berjalan mendekat, hendak menenangkannya. Anak itu mengatupkan rahang, menggeram marah, lalu mengambil sebuah batu didekat kakinya. "Kau tahu, ayahku.. Ayahku selalu memuji keindahanmu, memuji ketenanganmu, memuji kesabaranmu. Ia membesarkanku dengan mengajarkan cara berteman denganmu. Dan lihat sekarang? Kau melibas orang yang begitu menghormatimu!! Kau.. KAU JAHAAAT!!" teriaknya. Dan dengan sekuat tenaga ia melemparkan batu itu jauh ke arah sungai. Tampak sekali kekecewaan dari wajah anak tersebut. Keadaan semakin hening. Semua orang masih terdiam, beberapa diantaranya malah ikut terisak pelan, menangis.
Petugas penyelamat berkata lembut, "sudahlah nak, ikhlaskan saja, ayo bapak antar ke posko bantuan" ajaknya. Sayang, anak tersebut tidak menurut, dengan wajah yang bersimbah air mata, ia mengambil batu kedua, lalu kembali melemparkannya ke arah sungai, lebih jauh dari lemparan pertamanya. "Kenapa sekarang kau diam saja hah? Jawab pertanyaanku. JAWAB PERTANYAANKU !!" teriaknya lagi. Petugas penyelamat tak mampu menahan air matanya, ia mendekat lagi, mencoba membujuknya. "Nak, sudahlah.. Ini adalah tak..." kata-katanya terhenti. Karena tiba-tiba, suara bergemuruh terdengar begitu kerasnya dari arah sungai. 
Orang-orang panik, berlarian menjauh dari jembatan. Semua ketakutan, terbayang air sungai akan meluap untuk yang kedua kalinya. Semua.. Kecuali anak kecil itu. Ia tetap berdiri tegap di bibir jembatan. Menatap sungai dengan mata yang tajam. Dengan santainya, ia mengambil kembali batu sebesar bola pingpong. Lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkannya kembali ke arah sungai. Lemparan ketiga, yang lebih jauh dari lemparan pertama dan kedua. Ajaib, bersamaan dengan menghilangnya batu tersebut ditelan arus sungai, suara gemuruh berhenti begitu saja. "Kau hendak membanjiri kami lagi hah?" tanya anak tersebut, penuh keberanian. Samar, terdengar suara jawaban. "Ma..maafkan aku nak.." terdengar tak begitu jelas, bercampur dengan suara angin yang bertiup. Namun semua orang di tempat itu, bisa menangkap suara tersebut dengan telinganya. Mereka terperangah, tak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri. Mereka menoleh ke arah anak kecil di bibir jembatan. Tampak anak itu sedang tersenyum. "Hmp..kau menjawab juga akhirnya" ujarnya. 
"Nak, selayaknya dirimu yang dibakar kemarahan, begitupun denganku. Aku yang beratus tahun menyaksikan dan merasakan sendiri prilaku manusia padaku. Mereka yang mengaku makhluk yang paling mulia. Mereka yang mengaku makhluk paling sempurna. Mereka yang diserahi peran menjadi khalifah atas bumi dan apa-apa yang ada diatasnya. Tapi lihat saja, berapa ton sampah yang mereka buang padaku setiap harinya. Berapa banyak limbah pabrik yang mereka alirkan padaku setiap waktunya. Dan tak cukup sampai disitu, mereka berbondong-bondong mendirikan bangunan, membangun perumahan, jauh didalam batas sungai alirku. Membuat lebar sungai ini semakin kecil dari waktu ke waktu. Belum lagi botol-botol khamr bekas mabuk mereka, pakaian-pakaian bekas zina mereka, pun amplop-amplop bekas suap mereka. Aku berteriak pada Tuhan, lenyapkan mereka Ya Allah.. Binasakan mereka Ya Robb. Tapi Dia berkata, jangan. Masih ada lisan-lisan penuh zikir saat melihat aliran sungaiku. Masih ada segelintir manusia yang teguh melarang perusakan alam. Hingga beberapa tahun terakhir ini, bukan hanya sampah yang mereka buang padaku. Tapi janin. Ya, janin. Janin hasil dari perbuatan zina para pemudi dan pemuda. Hotel dan penginapan yang berdiri di kota ini, menjadi tempat bermaksiat semata. Taman kota yang indah ditata, malah menjadi tempat menjajakan diri di malam hari. Hasilnya, aborsi, mereka buang buah dari perbuatan haram mereka, janin-janin yang tak berdaya itu, kedalam derasnya aliran sungaiku. Kau tahu nak, janin-janin itulah yang menjerit-jerit pada Tuhan, binasakan mereka Ya Allah, lenyapkan mereka Ya Robb.. Hingga akhirnya, Diapun mengizinkanku meluapkan kemarahan ini" Papar suara tersebut, panjang lebar. Semua orang yang hadir terdiam, tertunduk teramat dalam. Bukan hanya lumpur diatas jalanan yang harus dibenahi. Namun iman didalam hati, ia harus pula diberesi.