12/02/2014

Aisha.

Sore ini bumi banjarbaru diguyur hujan dengan lebatnya. Bagaimana dengan rumah kita disana, Aisha? Mungkinkah hujan mengguyurnya pula?

Jarak kita memang terbentang ribuan langkah. Waktu kita memang bak masa yang terpilah. Namun Aisha, kita masih berada di atas bumi yang sama. Menatap hujan dari langit yang sama. Pun merasa hangat dari mentari yang sama. Akan tetapi, apakah kita memendam rindu yang sama pula?

Disini, di tanah baru aku mengadu. Padaku tersimpan separuh hatimu. Sementara separuh hatiku berada padamu. Apa jadinya jika mereka berada jauh satu dan lainnya.. Bilakah serpihan debu berkenan menerbangkan bisikan rindu ini padamu? Sudikah butiran air laut menyampaikan kata-kata cinta ini padamu? Sehingga kau tahu, betapa diriku teramat merinduimu..

Bagaimana ziya kita Aisha? Masih seringkah ia meminta kertas untuk digambarinya? Lantas melipatnya tak sempurna, meminta kita menutup mata,lalu memberikannya pada kita sebagai tanda rasa sayangnya.. Bagaimana Aisha? Hari ini berapa lembar kertas yang ia minta?

Pun dengan zahdan. Kepada siapa lagi ia memberikan senyuman? Memanggil orang lain, menatap memperhatikan, lalu tersenyum menggemaskan. Membuat orang yang melihat, greget ingin membawanya dalam gendongan. Aisha sayang, hari ini berapa orang yang ia perhatikan?   

Menjalani kesibukan seorang diri, tentunya tak mudah untukkau jalani. Semoga salam rindu dari separuh hati, menjadi penawar tersendiri bagi sang bidadari.. ^_^

Ayah

Ayah, kini ku tahu..
Mengapa dulu kau sering berdiam sejuta kelu.
Duduk termenung di ruang tamu.
Tepat ketika anak-anakmu,
Tertidur dengan lelapnya dikamar yang kau buatkan.
Hanya kau saja yang tak jua terpejam.
Menghabiskan rokok berbatang-batang,
sendirian…

Waktu itu aku masih muda berbilang.
Tak faham dengan apa yang kaulakukan.
Malah sebuah cibiran yang kufikirkan.
Aneh.. Kenapa tak tidur.. Mengundang penyakit saja..
Dan fikiran itulah yang kelak teramat sangat kusesalkan.

Ayah, kau tahu..
Malam ini akupun berada di ruang tamu.
Berdiam sejuta kelu.
Anak-anak telah lelap di kamar yang kusiapkan.
Sepertimu dulu, aku tak jua terpejam.
Meski tanpa rokok berbatang-batang,
namun kini aku mewarisi kebiasaan yang kaulakukan.
Dan akhirnya akupun tahu apa yang dulu sendirian kaufikirkan.

Ayah..
Anak-anak harus tetap sekolah bukan?
Dan biaya untuk sekolah kian hari kian bertambah tinggi.
Anak-anak harus tetap mendapat makan bukan?
Dan harga-harga di pasar kian waktu kian mahal ia melaju.
Sementara gaji,
tak jua bertambah tinggi.
Minimal mengimbangi apa yang anak-anak butuhi.
Dan yang pasti,
hanya seorang yang berkewajiban menanggung beban ini..

Ayah,
Entahlah..
Perjuanganku belumlah separuhnya perjuanganmu.
Keberhasilanku belum lagi setengah keberhasilanmu.

Menantang Tuhan

Dalam hujan, mereka tertunduk dalam. Biarkan derasnya mengguyur kepala yang kedinginan. Tak apa... Mungkin memang inilah yang mereka butuhkan. Setelah sebelumnya kepala-kepala itu membesar dengan pongahnya. Merasa pintar akan pemikiran-pemikirannya. Setelah sebelumnya kepala-kepala itu mendongak langit dengan angkuhnya. Merasa bisa mencipta langit yang lebih indah dibanding karya Tuhannya. Dengan kembang apinya, dengan mercon-merconnya. Tepat pada perayaan bagi janus berhala dengan dua wajahnya. Sebuah tantangan kurang ajar pada Tuhan dari makhluk yang disayangiNya. Hingga dua tanduk tak tampak, tumbuh di atas kepala dengan suburnya. Membahagiakan mereka para makhluk penggoda. Yang dulupun menantang Tuhan dengan cara yang hampir sama. Menolak bersujud pada manusia pertama, merasa diri lebih mulia diatas yang lainnya. Maka.. Biarkanlah hujan yang ini mendera kepala-kepalanya. Semoga karenanya, tanduk diatasnya terkikis tak bersisa.

Dalam air yang menggenangi, ramai mereka menangisi. Biarkan luapan kali menyelimuti kaki-kaki. Tak apa.. mungkin inilah yang mereka perlui. Setelah sebelumnya, kaki-kaki itu angkuh menginjaki bumi. Tak peduli dengan hutan yang mereka tebangi. Pun dengan sungai-sungai yang mereka rusaki. Setelah sebelumnya, kaki-kaki itu enggan lagi melangkah ke rumah suci. Malah menolak pergi, justru ketika tempat prostitusi akan disudahi. Ditambahi dengan korupsi yang tak pernah berhenti, dan acara-acara tivi yang tak mengedukasi. Setumpuk tantangan pada Tuhan, dari makhluk yang Ia sayangi. Ironi.. Sungguh ironi.. Tak cukup disitu mereka berhenti, ketika air mulai menggenangi kaki, kata "bencana alam" dan "takdir" yang mereka namai. Seolah hendak menyalahkan Tuhan atas apa yang telah terjadi. Maka.. biarkanlah air yang ini menggenangi kaki-kaki. Semoga setelah ini, rumah suci akan kembali dipadati kaki-kaki. Gunung-gunung tak lagi digunduli. Pun sungai-sungai, tak lagi bersampah ia menjadi. Biarkanlah air ini mendingini kaki-kaki. Semoga karena ini, panasnya neraka urung untuk menjilati. Dan semoga lantaran ini, pintu-pintu surgawi yang mereka masuki nanti.

Hentikan kawan.. Hentikan prilaku kita menantang Tuhan. Bukankah olehNyalah kita diciptakan? Dan kepadaNya jua lah kita kan dikembalikan? Maka, mari kita hentikan.. Sebelum alam kian parah kita rusakkan. Sebelum murka Tuhan kita dapatkan. Dan sebelum ajal datang, tak terbantahkan. 

Hujan yang ada..

Hujan yang ada, deraspun tidak.
Namun rintiknya, keras menghujam..
Menusuk-nusuk lubuk hati yang paling dalam.
Dimana disana tersembunyi sebuah harapan.
Dimana disana teronggok sebuah kerinduan.

Harap akan secuil tatap.
Rindu akan setitik temu.

Manusia memang aneh kawan,
Ia berbulan menanti pertemuan.
Namun ketika datang, begitu saja ia lewatkan.
Acuh tak peduli, seolah semuanya tak berarti.
Mengingkari hati, mendustai diri sendiri.

Lagi-lagi, aku harus mempertanyakan,
kebenaran atas hukum kebalikan.
Mengapa jauh dan jauh tak lantas menjadi dekat?
Kenapa acuh dan acuh tak lantas menjadi cakap?
Pun kenapa, masa sepelemparan batu, begitu saja ia berlalu?

Hmph.. Hujan yang ada, telah pergi entah kemana.
Sisakan genangan, di atas lubang yang tersamarkan.
Dan tinggalkan tetesan, di ujung dedaunan yang tak terperhatikan.

Kesholehan itu..

Banyak manusia..
Memandang dirinya tinggi tak terkira.
Menganggap dirinya sungguh teramat mulya.

Berbagai alasan yang menjadi dasar kesombongan.
Entah itu tingginya jabatan,
Entah itu hebatnya pekerjaan,
Entah itu tumpukan uang milyaran.
dan entah itu wajah cantik atau tampan.

Apapun alasan yang mereka miliki, aku tak peduli.

Beberapa manusia..
Memandang dirinya tinggi tak terkira.
Menganggap dirinya sungguh teramat mulya.

Karena ilmu agama yang dimilikinya.
Karena Ibadah yang dilakukannya.
Karena dakwah yang dilakoninya.
Dan karena predikat sholeh yang disandangnya.

Menyebalkan..

Facebookmu dipenuhi dengan ayat suci.
Namun ketika kutemui, dagumu terangkat tinggi sekali.
Lisanmu menyuarakan hadits nabi.
Namun ketika kudekati, sikapmu angkuh setengah mati.

Aku heran bukan kepalang.
Orang bilang kau penuh dengan kesholehan.
Orang bilang kau penuh dengan kebaikan.
Tapi mengapa pada diri yang miskin ilmu ini, kau menjaga jarak jauh sekali?
Sementara pada mereka, kau bercakap akrab sekali?
Apa diri ini terlalu hitam untuk kau temui?
Apa diri ini terlampau rendah untuk sekedar kau sapai?
Inikah yang dicontohkan Rasulmu?
Inikah yang diperintahkan Tuhanmu?

Entahlah,
Mungkin termasuk dosa, ketika orang sholeh bergaul dengan orang biasa.

Wahai Tuhan, apakah  kesholehan memang sudah digariskan?
Sehingga apapun yang kuusahakan, tak pernah bisa aku duduk bersama putihnya awan.
Setiap kali mencoba terbang mendekati, mereka isolir aku kembali ke bumi.

Apa sebuah kesholehan, memang sungguh sudah digariskan?

Rumus

Sebuah kebaikan.. tanpa dibarengi keikhlasan, katanya takkan dihitung sebagai suatu amalan. Namun kejahatan.. dengan atau tanpa ikhlas ia dilakukan, akan tetap dihitung sebagai keburukan. Aneh memang, karena jika demikian, maka catatan keburukan akan lebih banyak dibanding kebaikan yang kita lakukan.
Sedekah kita, ketika ia dinodai sedikit saja riya, terhapus sudah kebaikannya. Sementara bohong kita, tatkala dilakukan dengan terpaksa, tetap saja berat timbangannya.

Lantas dimana letak keadilan..jika rumus itu benar-benar dilaksanakan..

Kawan, tanpa harus bersusah ria, ternyata keadilan berada pada rumus berikutnya.

Sebuah kebaikan.. meski belumlah ia dilakukan, dan meski barulah secuil niatan. Telah menjadi satu kebaikan dalam catatan. Jika ia dilakukan, maka bertambahlah menjadi dua kebaikan untuk diperhitungkan. Namun kejahatan.. sebelum ia dilakukan, tak akan ia dicatat dalam buku catatan. Ia baru akan diperhitungkan, tatkala kejahatan itu benar-benar dilakukan.
Aneh? Tidak kawan, itulah bukti kebesaran Tuhan. Bukti bahwa kita teramat disayang..

Kita yang bebal ini..
Kita yang terlalu cinta dunia ini..
Kita yang selalu menganggap remeh dosa yang dilakui.
Dan kita yang sering berpura tuli, ketika panggilan suci dikumandangi.
Ternyata kita ini..
Masih jua Ia sayangi...
Sesuatu yang jarang kita sadari..

Mungkin.. Kita baru tersadarkan. Ketika kaki kita yang hanya sepasang, dibelenggu rantai panas yang menyakitkan. Lalu diseret kasar ke arah pintu neraka jahanam. Sementara kedua tangan mengais-ngais mencoba melawan. Dan mata menangis menatap pintu surga yang penuh keindahan.
Semakin mencoba melawan..
Semakin nerakalah yang terdekatkan..
Dan pintu surga kian terjauhkan..

Puzzle

Sejatinya, manusia tak berbeda dengan puzzle raksasa. Dimana setiap keping yang melekat padanya, berasal dari masa yang telah dilewatinya. Tak heran, ketika banyak orang mengatakan. Gambaran kita yang sekarang, adalah hasil dari perbuatan kita di masa kebelakang. Dan kita di masa depan, adalah hasil dari perbuatan kita di masa sekarang.
Jika demikian, sungguh kita bisa memperkirakan, seperti apa masa depan yang akan datang, berkaca dari perilaku kita di masa sekarang. Sungguh kita bisa menduga-duga, pintu mana yang akan dimasuki kita, apakah surga..ataukah pintu neraka. Jika kita gemar korupsi, hobi ke tempat prostitusi, dan tak pernah sekalipun memasuki rumah suci. Tak perlu diramali untuk bisa mengetahui, malaikat mana yang akan kita temui.
Sayangnya, puzzle kita ternyata bisa diwariskan. Mau atau tidak mau, senang ataupun tidak senang. Karena puzzle yang kita amalkan, akan menjadi beberapa kepingan, yang melekat erat pada anak kita sebagai penyusun gambaran. Karenanya, banyak anak yang tak mau shalat, sebab ayahnyapun enggan untuk taat. Banyak anak yang menjadi pencuri, karena orang tuanyapun suka korupsi.
Apapun itu, puzzle kita tak pernah selesai. Selalu saja ada kepingan yang kita temukan, untuk merubah keseluruhan gambaran. Setidaknya sampai jantung berhenti, kepingan-kepingannya akan selalu kita temui. Dan di yaumil akhir nanti, sungguh akan kita dapati, .. sungguh akan kita dapati.. gambaran utuh puzzle diri sendiri.

Kenangan

Tak bisa dipungkiri..
Secuil kenangan yang tak pernah pergi.
Dan sepotong bayangan yang selalu saja menghampiri.
Adalah dua sarapan rutinku di pagi hari..

Bukanlah kebohongan..
Sebuah senyuman manis yang melulu datang.
Dan suara sapaan yang kerap terngiang-ngiang.
Adalah dua hantu yang mengiringiku di kala siang..

Entahlah..
Apa jadinya aku nanti, jika sepanjang hari kuhabiskan dengan rutinitas ini.

Duhai malam, lekaslah datang..
Hapuslah ingatan yang tak berizinkan.
Tentang kenangan..
Tentang senyuman..
Tentang sapaan..

Duhai mimpi, lekaslah pergi..
Pudarkan bayangan yang tak berbolehkan.
Tentang seorang..
Tentang seorang..

Dan selalu tentang ia seorang..