14/05/2014

Apa yang kau kejar..

Satu hari kembali menghampiri.
Setelah hari yang lalu telah menjauhi.
Duniapun ditapaki lagi.
Habiskan jatah usia hingga disudahi nanti.

Mentari kian meninggi, bermacam kesibukan pun diawali.
Demi sesuatu bernama materi.
Demi sebuah jabatan dan posisi yang tinggi.
Pun demi mendapati diri disanjung nan dipuji.

Apa yang sebenarnya kaukejar kawan?
Harta dan kesenangan dunia ibarat lautan.
Semakin kau telan, semakin haus kau rasakan.
Angkuh kau sematkan, sepi teramat yang berdatangan.

Apa yang kau kejar kawan?
Mahalnya baju berderetkan.
Hanya kafan yang kelak lama kau kenakan.
Rumah luas yang kau banggakan.
Hanya sepetak tanah saja yang menjadi hunian.

Lihat saja.. Orang-orang di sekeliling kita..
Satu persatu pergi ke alam sana.
Tinggalkan kita yang masih jua terlena.
Seolah kepergian mereka hanya canda belaka.

Apa lagi yang kan kau kejar kawan?
Sementara kakekmu.. Nenekmu.. Ayahmu..
Bahkan Rasulmu..
Tengah menanti perjumpaan denganmu.
Mereka rindu ingin bertemu.
Menantimu bercerita tentang ibadah yang tak pernah kaulewatkan.
Menunggumu bertutur tentang sunnah-sunnah yang kau jalankan.
Pun kisah tentang wakaf dan sedekah yang senantiasa kaukeluarkan.

Apa yang akan mereka katakan kawan?
Jika ceritamu nanti, adalah tentang dosa-dosa yang melulukau buati.
Jika kisahmu nanti, adalah perihal maksiat-maksiat yangselalu dan selalu kau lakoni.

Hmph..
Bukankah bagi seorang hamba, dunia adalah penjara?
Dan kampung akhirat itu tempat sebenar-benarnya?

Apa yang kan kau kejar, kawan?

01/05/2014

Asma Ziya

Suara mendengung mesin memenuhi seluruh penjuru ruangan. Memantul-mantul dari satu dinding putih, ke dinding-dinding putih lainnya di ruangan tersebut. Begitu terus, berulang-ulang.. Seorang anak kecil yang terbaring di tengah ruangan, berdiam tanpa kata sedikitpun. Pasrah membiarkan mesin itu bekerja. Pasrah pula membiarkan asap dari mesin itu masuk ke dalam saluran pernafasannya.
*****
Hari itu, beberapa menit usai kumandang adzan zhuhur, sebuah pesan masuk ke dalam handphone. Ternyata berasal dari guru ziya di sekolah. Ia menanyakan perihal alasan ziya tidak masuk sekolah, sekaligus memberitahukan bahwa besok seluruh siswa TK B akan mengikuti karnaval di alun-alun kota, memakai baju adat dan daerah, dalam rangka memperingati hari kartini. "Eh, maaf bun, lupa belum sempat minta izin. Baju daerahnya dari sekolah atau masing-masing?" tanyaku kala itu. "masing-masing, abi" balas sang Bunda.

Aku merenung sejenak. Ziya kecilku memang batal sekolah tadi pagi. Padahal ia telah memakai baju seragam lengkap. Namun zahdan adiknya yang masih panas sedari kemarin, menuntut perhatian ekstra. Kamipun sepakat untuk segera mencarikannya dokter. Alhasil, tak jadi sekolah membuat ziya senang bukan main, meski ia terlihat berusaha menyembunyikan senyumnya, dan beranjak semalas mungkin untuk berganti baju seragam, namun setelah berada di kamar, ia meloncat-loncat di kasur sembari tertawa-tawa. "Asiik.." pasti kata itu yang ada didalam benaknya.

Tambahan informasi dari Bunda ziya, ternyata baju daerah untuk karnaval tidak disediakan di sekolah. Dan siswa tidak diwajibkan mengikuti acara tersebut, tidak masalah. Hmph.. Otakku langsung melamun, darimana bisa mendapat pinjaman baju daerah untuk ziya. Mungkin saja ada tetangga yang punya. Jika tidak, sepertinya ziya akan libur lagi besok. "Huft.." aku menghela nafas panjang, lalu melihat ke arah kamar ziya. Tampak ziya cepat-cepat berhenti melompat, menyadari aku sedang memperhatikannya. Ziya lantas kembali bergerak "malas", membuka lemari pakaiannya.
 
Singkat cerita, setelah bertanya pada tetangga kanan kiri, pedagang sayur dan pedagang bakso yang lewat di depan rumah, didapatlah alamat seorang kenalan yang diperkirakan memiliki baju daerah berukuran kecil untuk bisa ziya pinjam. "Ziya, kata bunda besok ada karnaval. Ziya mau ikutan?" tanyaku. Ziya yang saat itu tengah asyik menggambar, menatap ke arahku, sepertinya istilah karnavalpun baru ia dengar sekarang. Namun, ternyata bukan definisi karnaval yang ia tanyakan, melainkan "Kalo temen-temen ziya, ikut ngga?" ujarnya. "Mmm... kayaknya temen-temen sekolah ziya ikutan" jawabku. "Ziya juga ah, mau ikutan" jawabnya mantap. "bener?" tanyaku lagi. "Iya Abi" jawab ziya lagi. "Ya udah, Insya Allah nanti maghrib kita cari bajunya, soalnya kata bunda harus pake baju daerah. Ziya nanti cobain dulu bajunya, cukup ato ngga. Kalo cukup, kita pinjem buat karnaval besok" kataku. Ziya menjawabnya dengan sebuah anggukan tanda mengerti, lalu kembali tenggelam dengan kertas dan crayon dihadapannya.

Sorenya, ziya ikut mengantar zahdan ke dokter, ikut pula berlari-lari kecil, berusaha menghindari rintik hujan yang tengah turun.

Usai maghrib, aku membonceng ziya keluar area perumahan, berjalan memasuki gang, mencari tempat sesuai alamat yang diberitahukan. Saat itu hujan sudah reda, menyisakan genangan-genangan air di jalan setapak yang kami lalui. Penerangan jalan yang minim membuat kami berulang kali tak sengaja menginjak genangan air tersebut. Menyuntikkan rasa dingin yang menusuk di sela-sela sandal yang kami kenakan.

Singkatnya, didapatlah satu set baju kebaya berwarna merah. Yang mpunya meminta ziya mencobainya terlebih dahulu, akan tetapi ziya menolak. "malu" begitu bisiknya padaku. Betapapun aku berusaha membujuknya, ziya kecil tetap saja menggeleng. Alhasil setelah dicoba di rumah ternyata baju yang didapat berukuran sedikit lebih kecil dari ukuran badan ziya. Dan ziya harus menarik nafas terlebih dahulu agar kancing bajunya bisa tersematkan. Meski begitu, ziya tampaknya senang bukan kepalang, berlenggak lenggok di depan kaca lemari, mematut-matut diri, sambil tersenyum-senyum sendiri. "Abi, bajunya bagus ya.. Ziya jadi cantik" ujarnya. "Iyaaa.." jawabku singkat.

Karnaval pun dimulai, lapangan dipenuhi dengan anak-anak dari berbagai sekolah. Mereka memakai baju daerah yang bermacam-macam. Tak hanya baju daerah, baju seragam polisi, baju pesta, bahkan ada diantaranya yang memaki baju princess. Ramai sekali suasananya. Ditambah ramai lagi dengan banyaknya para pedagang mainan yang menjajakan dagangannya. Sungguh ramai sekali. Membuat Guru harus ekstra hati-hati mengawasi murid-muridnya, khawatir ada diantaranya yang hilang karena ditelan keramaian. Sebuah tali pun dibentangkan membentuk persegi panjang, anak-anak diwajibkan tidak keluar dari tali tersebut. Sebagian menurut patuh, sebagian lagi malah menganggapnya sebagai permainan tarik tali. Ck..ck..ck... He..

Matahari mulai meninggi, cuaca semakin panas. Sayangnya, area lapang tidak ditutupi dengan tenda besar. Sehingga guru dan orang tua beramai-ramai mengembangkan payung yang ia bawa. Lha yang bawa payung, yang ga bawa? Guru-guru sekolah ziya sudah mengantisipasinya dengan membawa sebuah kain besar, dibentangkan diatas kepala anak-anak, dengan setiap sisinya dipegangi oleh para guru. Brillian..

Acara pun dimulai, Setiap sekolah bergantian mulai berjalan ke arah jalan raya, melakukan pawai setertib mungkin. Polisi sibuk mengatur lalu lintas, menghentikan laju kendaraan saat anak-anak hendak memasuki jalanan. Beberapa sekolah mengawali pawainya dengan kelompok marching band. Membuat suasana semakin meriah saja.

Ziya kecil berjalan dengan tersendat. Wajahnya sudah lusuh diterpa panas, mulutnya yang sebelumnya tersenyum sumringah, kini cemberut disengat matahari. Sepertinya bukan arti "karnaval" seperti yang ia inginkan.

Separuh jalan, ziya mulai menangis kelelahan. Air matanya meleleh bercampur dengan keringat. Tak tersisa lagi ekspresi tersenyum saat bercermin di rumah semalam. Mendekati akhir perjalanan, ziya minta digendong. "Abii.. ziya capee..." ujarnya. Akupun lalu menggendongnya, lalu bergegas membawanya mendahului barisan anak-anak sekolah lain didepannya. "Bunda mah jalannya malah milih yang jauh, ziya kan jadi cape" keluh ziya ketika berada dalam gendongan. Aku tersenyum, "he.. iya nak. Jalannya jauh ya.. Ga apa-apa, biar ziya tambah kuat" aku berusaha menghiburnya. "Kita duluan aja sampe sana, nanti ziya ikut baris lagi sama temen-temen ziya yang lain ya.." kataku. Ziya mengangguk lemas.

Selesai acara, ziya ternyata kembali bersemangat. Ia menarik-narik tanganku ke arah pedagang buku mewarnai, lalu kembali menarik bajuku ke arah pedagang boneka barbie. Dan langsung menunjuk sebuah boneka berambut merah muda. "yang itu cantik ya abi.." bisiknya. "Iyaa..." jawabku, sembari berfikir, berapa sisa uang yang ada didalam sakuku saat itu.
***********

"Assalamu'alaikum" sapaku sepulang kerja. Ziya kecil berlari menyambutku, tangannya memegang sesuatu yang ia sembunyikan dibelakang punggungnya. "Uhuk..uhuk... A..bi.. me.. merem. uhuk..uhuk... merem du.. lu... Uhuk.." ujar ziya sambil terbatuk-batuk. Kalimatnya terputus-putus, seperti membutuhkan energi yang banyak untuk menyelesaikan satu baris kalimat saja. Aku memperhatikannya, lalu berpura-pura menutup mata. "Taraa...!! uhuk.. i..ni.. hadi..ah, uhuk..uhuk.. buat a..bi" Kata ziya sembari menunjukkan sesuatu yang semula ia sembunyikan di punggungnya. Sebuah kertas yang dilipat tak berbentuk, dilem pula. Mungkin ia hendak membuatkan bentuk kado dari selembar kertas. Beberapa kali ziya memang seringkali membuat prakarya sendiri, atas imajinasi sendiri. Baik itu lukisan keluarga, istana, atau lipatan-lipatan kertas seperti ini. "Waah.. ma kasih ya nak.." ujarku. Ziya tersenyum dan mengangguk. Durasi nafasnya terdengar memburu, bergerak lebih cepat dari biasanya. Ia kembali terbatuk-batuk. Aku lalu merapatkan telingaku di punggung ziya, terdengar suara "ngik..ngik.." seiring waktu bernafasnya. Semakin lama, suaranya semakin jelas terdengar keluar. Aku menoleh pada Umminya, "Mi, ziya harus dibawa ke dokter.." kataku.  

************
Dan, disinilah ziya sekarang berada. Di sebuah ruangan berdinding putih, ruangan tindakan sebuah klinik kesehatan. Apa yang dulu kukhawatirkan, ternyata benar-benar terjadi. Ziya divonis mengidap asma, sama seperti Umminya. Sebuah penyakit yang timbul ketika penderita mengalami kelelahan, atau tak bisa menghindari pemicu alergi yang dipunyai. Inilah ziya, terbaring lemah, di tengah suara mendengung mesin nebulizer yang dijalankan.

Dengan masker bening yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Dimana disela-selanya keluar asap obat untuk dihirupnya. Ziya menatapku, matanya mengerjap-ngerjap. "Gimana nak, nafasnya sekarang udah lebih enakan?" tanyaku. Ziya menjawab dengan anggukan kecil. Zahdan tiba-tiba saja meronta dari gendongan, berusaha meraih masker yang tengah dipakai sang kakak. "Ha.. ni zahdan pengen juga katanya kak.. padahal zahdan kan masih kecil ya..?" kataku. Ziya mengangguk pelan lagi. "Ni katanya kakak ziya hebat, kayak punya kekuatan, bisa keluar asap segala.. Hebat.." ujarku, berusaha menghiburnya. Ziya tampak tersenyum senang. Kata "kekuatan" memang kerap akrab di telinganya. Beberapa kali ia mengungkapkan keinginannya itu "abi, ziya pengen punya kekuatan kayak di film flojen (maksudnya frozen)" ujarnya. Aku tersenyum "Ooh.. ziya udah punya kekuatan kok. Kekuatan ziya itu, baik hati, suka nolong orang lain. Trus ziya juga sabar, kalo pengen mainan, tapi abinya belum gajian, ziya ga suka marah-marah minta dibeliin. Ziya sabar sambil tetep senyum. Itu kekuatan ziya.." paparku. Mendengarnya, ziya tersenyum lebar. Entah mengerti..entah tidak..
Hmph.. Cepatlah sembuh nak.. Dunia membutuhkan kekuatanmu. ^_^