06/06/2017

Asma Zahdan

Gulita di langit tinggal setengah, tapi mentari belum juga muncul menayangkan wajah. Entah.. Padahal cahaya kuning pertanda fajar sudah berubah merah, remang menerangi hulu hamparan tanah, lalu merayap mengikuti kontur bumi tanpa enggan maupun jengah.

Jalanan masihlah sepi, kebanyakan orang lebih memilih kembali tidur usai sembahyang shubuh tadi. Merasa waktu istirahat malam yang semula 8 jam, telah dipenggal dengan acara makan sahur. Sehingga tidur kembali adalah saat-saat yang terbaik untuk mendengkur. Lagi-lagi entah.. Bukankah Rasulullah tidak menyukai tidur di waktu pagi? Dan bukankah pagi adalah waktu dimana keberkahan dan kebaikan banyak bertebaran di muka bumi? Hmph.. 

Halaman IGD klinik itu lengang, dua pintunya rapat tertutup, seolah tak ada satu kehidupanpun dibaliknya. Aku memarkir kendaraan dengan perasaan cemas, khawatir klinik tersebut benar-benar tutup, meski nyata terpampang jelas tulisan di depannya adalah buka 24 jam.
 
"Zahdan, sebentar ya? Abi lihat dulu kedalam. Mudah-mudahan ada orang atau dokter yang jaga" ucapku, sembari menatap Zahdan yang terbaring di jok belakang. Zahdan tak menjawab, kedua matanya sayu melihatiku. Nafasnya turun naik dengan cepat, keringat dingin membanjiri kening dan dahinya. Ia tampak kepayahan untuk bernafas, batuk yang diderita membuat penyakit asmanya kambuh lagi. Semalaman Ia kesulitan bernafas, rasa sesak sempurna menghimpit paru-parunya. Dan sesak yang berbeda, pun sempurna menghimpit sakit perasaanku.
 
Singkat cerita, Zahdan sudah dibaringkan di ruang IGD, terapi nebulizer langsung dilakukan. Selang dan masker yang dipasangkan ke hidung dan mulutnya mengeluarkan asap obat. Suara mesinnya berdengung halus memantul-mantul dinding ruangan. Sungguh tak beda dengan Ziya waktu kecil dulu.  
 
"Waah..Zahdan jadi mirip sama Thomas, ada asapnya" kataku, berusaha menghiburnya. Yang dihibur hanya terdiam, terkulai lemas sembari menatapku datar, miris melihatnya. Zahdan yang biasanya ceria, berlari kesana kemari, berceloteh tiada henti, bertanya itu ini, ibarat di punggungnya selalu terpasang baterai yang baru, zahdan sering terlihat antusias. Tapi kini Ia hanya bisa terdiam, tergolek lemas tak berdaya, sambil berulang kali terbatuk-batuk. Badan Zahdan ditegakkan, punggung kecilnya lalu ditepuk-tepuk halus oleh seorang petugas, Zahdan terus terbatuk.

"Zahdan, tahu ga? Astronot juga kalau pergi ke luar angkasa harus pakai masker kayak itu, soalnya disana mah ga ada oksigen. Zahdan  tinggal pake baju astronot, trus naik roket, terbang deh.." kataku lagi. Kali ini Zahdan sedikit tersenyum, Ia memang bercita-cita menjadi astronot. Ia suka terlihat terpana dengan hal-hal berbau planet, tata surya, benda angkasa, dan galaksi. Berulang-ulang Ia sering bertanya padaku, "Abi di Jupiter teh ada apa? Abi kalo di Saturnus ada apa? Abi Zahdan mah ga mau ke Neptunus ah, takut jadi es!" itu celotehnya. Aku kikuk mencari jawaban yang memuaskan baginya.

Setengah jam, sesi terapi Nebu berakhir. Zahdan terlihat sedikit lebih segar. Keringat di dahinya sudah tak muncul lagi. Ia sedikit lebih leluasa menarik oksigen kedalam paru-parunya. Meskipun tampak durasi nafasnya masih pendek dan cepat. Membuat Dokter kembali memeriksa Zahdan dengan stetoskop. Bunyi nafasnya didengarkan dengan seksama.  Zahdan hanya terdiam, pasrah.

Tak lama, di ruangan yg berbeda, Sang Dokter memberi arahan. "Pa, sayang sekali zahdan tak bisa diterapi hanya sekali,  Ia harus diterapi setiap 8 jam sekali. Nanti saya kasih obatnya, di rumah ada alatnya kan?" tanyanya. Aku mengangguk mengiyakan. Dokter melanjutkan, "jangan dulu dikasih yang manis-manis, batuknya itu yang jadi pemicu alergi. Ini saya kasih juga obat serbuk, rasanya pahit, zahdan tak akan suka, jadi boleh dicampur saja dengan obat sirup. Kalau masih sesak juga, bawa lagi kesini" ucapnya. Lagi-lagi Aku hanya mengangguk. 

Di ruangan IGD, Zahdan masih dibantu selang oksigen. Sementara Ziya asyik memainkan Stetoskop milik Dokter yang tertinggal disana. Ziya menyentuhkannya ke badan Zahdan, meniru Dokter barusan. 
"Ziya, jangan nak.. Itu punya Dokter,  Ziya kan belum minta izin dulu" kataku. Ziya menoleh, lalu terkekeh. "Memangnya Ziya mau jadi Dokter ya?" tanyaku. Ziya menggelengkan kepalanya mantap. "Ga atuh Abi, Ziya mah kan mau jadi Penulis" jawabnya. Aku tersenyum mendengarnya. 
 
"Jadan...mah.. Uhuk.. Uhuk.. Ja.. Jadan mah mau jadi astonot Abi.. Uhuk.. Uhuk..!" ucap Zahdan, tak mau kalah. Aku langsung mengusap kepala Zahdan, "Iya.. Iya astronot Zahdan. Tapi astronotnya harus sembuh dulu sebelum naik roket, di Jupiter ga ada obat soalnya. Dokter juga ga ada. Jadi, zahdan nanti harus mau makan yang banyak, minum obat, setelah sembuh baru jadi astronot. Ya..?" bujukku. Kali ini yang dibujuk mantap mengangguk, lalu berkata, "iya astronot Abi. He.. " jawabnya. 

Kami bertiga berlalu dari pintu klinik yang terbuka, melewati jam dinding yang menunjuk pukul 6 lewat 5. Ziya sedikit kecewa, Ia berharap bisa izin tak sekolah jika di kliniknya lama. Zahdan terbatuk dalam gendongan, dibungkus selimut bergambar thomas, kereta kesukaan. Aku.. Malah sibuk bertanya pada awan. Apakah ini sepadan? Hmph...