29/11/2016

Ziya vs Zahdan



Aku tahu.. Bahwa hanya masalah waktu. Dua karakter yang berbeda itu akan beradu. Ziya dengan introvertnya, dan Zahdan dengan ekstrovertnya. Sementara Aku.. Mati-matian berusaha berimbang menengahinya.
Hari itu adalah momen yang penting bagi Ziya, Lomba Mewarnai. Ziya diminta mewakili kelasnya untuk mengikuti Lomba Mewarnai di sebuah lembaga pelatihan Bahasa Inggris. Yang dilihat bukan hanya kemampuan mewarnainya, namun juga kemampuan bahasanya. Sepertinya, Ziya termasuk dalam kategori yang bisa mewadahi dua hal penilaian tersebut. Ziya terlihat bangga sekali mendengarnya, bercerita sana sini, berkata teknik itu ini. Sepertinya Ia tak kapok meski berpuluh kali tak jua menang di pentas lomba semacam itu.
Ketika diminta menjadi perwakilan kelas seminggu yang lalu, Ziya ngotot minta dibelikan Crayon baru. Sebabnya Crayon yang lama sudah banyak sekali yang patah. Itu juga katanya, Aku tak pernah tahu karena Crayon lama Ziya simpan di sekolahnya. Meski dompetku sudah kian menipis, Aku tak bisa menolak permintaan Ziya. Apalagi saat Ziya berkata membujukku, “ya abi ya? Please atuh, please..!!” ujarnya, dua bola mata bening menggemaskannya menatapku lekat penuh harap. Entah siapa yang mengajarinya demikian. Yang pasti, jurusnya itu sempurna membuatku mengangguk mengiyakan, sembari menghela nafas panjang, bimbang.. akankah isi dompet ini bertahan hingga tiba waktu gajian.
Jadilah Kami berangkat ke toko buku waktu itu. Bertiga tentunya, Aku, Ziya, dan Zahdan. Sayang, hanya sesaat sebelum Kami tiba di toko buku, Zahdan tertidur begitu saja di jok belakang. Jam tidur siangnya sudah terlewat setengah jam. Alhasil, Kepala Zahdan terantuk-antuk dinina bobokan oleh hembusan sepoi angin dari sela jendela yang sedikit terbuka. Dan hanya sesaat setelah kepalanya menyentuh bantal kecil yang sengaja kubawa, Zahdan terlelap hanya dalam hitungan jari sebelah tangan saja.
“Ziya, beli Crayonnya sendiri saja ya? Abi tunggu di depan toko. Kan Abi harus sambil liatin Zahdan, khawatir bangun, trus nangis karena ditinggal sendiri. Ziya berani?” tanyaku, sembari memarkir kendaraan tepat di depan toko buku. Ziya mengangguk mantap, tak ada ragu sedikitpun di wajahnya. Ia sudah belajar membeli keperluan sendiri. Bahkan sudah bisa diandalkan ketika diminta ke warung membelikan nasi kuning untuk sarapan, dan beberapa pampers untuk Zahdan yang sedang dimandikan. “Tunggu Ziya..!” panggilku. Ziya menoleh, aku langsung member selembar uang padanya, “ini uangnya. Memang Ziya mau beli Crayon pake apa? Pake daun?” candaku, terkekeh. Ziya menepuk jidatnya, “he.. iya..Ziya lupa. Mungkin Ziya kena Alzheimer kayak Abi..” jawabnya sembari tertawa. Tak lama setelah menerima uang dariku, Ia langsung berlari masuk ke toko buku dengan semangatnya. Hmph..Alzheimer. Itu kata yang sering Ziya lontarkan padaku saat Aku terlupa akan sesuatu. “Abi kena Alzheimer!!” katanya, sembari tertawa. Film Beautiful Rain yang kami tonton dulu itu ternyata melekat kuat dalam ingatannya.
Awan di langit berubah kelabu, rintik hujan membumi satu per satu, Aku menatapnya sendu.
“Ziya, cepetan! Udah mau hujan!” teriakku pada ziya di dalam toko buku. Ziya menyembul dari balik rak, berlari mendekat. “Abi, ini harganya segini!” ujar ziya, menunjukkan bandrol harga yang tertera diatas wadah Crayon di tangan kanannya. Aku mengerti, tanpa basa basi segera mengeluarkan uang tambahan. Ziya menerimanya, dan cepat berlari ke arah kasir. Hendak membayar Crayon pilihannya itu. Aku memasukan kembali dompet yang semakin tipis tersebut ke saku belakang celanaku, lalu kembali menghela nafas, lebih panjang.. lebih bimbang.
Tak lama, Ziya sudah berada di sampingku lagi. Kali ini sembari menenteng sebuah keresek di tangan kirinya. Wajahnya terlihat sumringah, senang setelah mendapat satu set Crayon baru. Aku menatapnya datar. “Apa?” tanya Ziya, heran. Aku masih diam, tak menjawab. Ziya mengernyit sesaat, lalu tertawa. “Oh iya.. Hehe.. Ini, kembaliannya ada didalem keresek” ujarnya, mengerti. Aku ikut terkekeh, lalu mengambil uang kembalian yang ada dalam keresek yang Ziya pegang. “Masih cukup” bisikku, sembari melirik ke arah kendaraan, Zahdan tampaknya masih terlelap disana. “Ziya, jagain dulu zahdan ya! Abi mau beliin dulu lego buat Zahdan. Nanti khawatir sedih lihat Ziya dibeliin sesuatu tapi Zahdan enggak” ucapku. Ziya mengangguk mengiyakan, lalu melangkah santai hendak menjagai adiknya itu. Ziya yang sekarang memang lebih bisa diandalkan. Sekilas, memang tak tampak ada masalah pada keduanya. Sampai pada hari Lomba itu tiba.
Ruangan lomba sudah lumayan penuh oleh anak-anak dan para orang tuanya. Ziya melihat kanan kiri, tak ada teman satu sekolahnya disana. Seharusnya ada perwakilan kelas lain dari sekolahnya yang ikut hadir meramaikan lomba. Yang ada adalah belasan anak lain yang tak satupun Ia kenal. Wajahnya mulai terlihat tegang. Tangan kecilnya memegang jariku erat, tak mau lepas, seolah ingin bersembunyi saja. Sebaliknya, Zahdan malah tampak girang. Berlari kesana kemari, tak acuh pada keramaian di sekelilingnya, tak peduli pada orang-orang yang memperhatikannya. Aku sampai harus memeganginya agar tak hilang ditelan hiruk pikuknya peserta lomba.
“Ziya !” panggilku, sesaat setelah mendudukannya di sebuah bangku kosong di tengah ruangan. Ziya tak sedikitpun menoleh, raut mukanya masih terlihat cemas, matanya melirik ke orang-orang di sekelilingnya, termasuk ke arah Zahdan yang tak bisa diam. “Maziya !” panggilku lagi, kali ini sembari menyentuh punggungnya. Ziya menoleh, menatap ke arahku tanpa menjawab. “Ziya tahu? Anak-anak yang ada di ruangan ini adalah anak-anak hebat semua. Anak-anak yang jadi perwakilan kelasnya masing-masing. Dan Ziya bisa duduk disini, artinya Ziya juga hebat. Ga usah peduli sama juara atau piala. Ziya mau ikutan lomba, itu tandanya Ziya udah jadi Juara. Kalopun Ziya ga dapet piala, nanti Insya Allah abi yang kasih Ziya hadiah. Sekarang mah mewarnai aja kayak Ziya biasa mewarnai di rumah. Cuma berusaha supaya lebih rapih. Dengerin apa kata bapa nanti tentang warna-warnanya, terus dibagian mana saja warnanya itu dikasih. Ngerti?” paparku, diakhiri dengan tanya. Ziya mengangguk pelan, ada ragu dibalik anggukannya.
“Ya sudah, Ziya mau minum dulu? Abi ambilkan botol minumnya sebentar ya” kataku, sembari melangkah ke belakang, hendak mengambilkan air minum di belakang kursi yang Ziya duduki. Saat itulah, Zahdan yang berputar kesana kemari ikut mendekat. Ia tertawa-tawa, seolah tak acuh dengan apa yang dirasakan oleh kakaknya. Ziya menoleh, tangannya dengan cepat terulur, menutup mulut Zahdan dengan kasar. Ia tak suka dengan sikap Zahdan yang mengundang perhatian, Ia tak mau orang-orang di sekitarnya ini menatap kearahnya dan Zahdan. Sayang, Zahdan tak mengerti, Ia tersentak kaget, wajahnya sedikit tersakiti oleh gerakan tangan Ziya yang kasar. Aku refleks memegang tangan Ziya, lalu mengibaskannya. “Ziya!! Ga boleh gitu! Zahdan mah masih kecil, belum ngerti”kataku, sehalus mungkin. Tak ingin orang-orang sekitar menyadari sikap Ziya barusan. Perasaanku sedikit kecewa melihat reaksi Ziya pada Zahdan. Ziya menatapku takut. Aku lalu memberinya botol air minum yang tutupnya sudah terbuka. “Nih, Ziya minum dulu!” ujarku. Ziya lalu meminumnya, hanya sedikit. Matanya masih melirik Zahdan sesekali. Aku menghela nafas, bimbang. Kali ini bukan karena isi dompet yang berkurang, melainkan karena keadaan. Benturan dua sifat anakku yang bertolak belakang. Zahdan yang suka sekali menjadi perhatian. Dan Ziya yang merasa nyaman dalam persembunyian.
Tak lama, dua orang anak berseragam yang sama dengan Ziya, datang masuk ke ruangan. Aku mengenalinya sebagai teman sekelas Ziya waktu kelas dua. “Tuh, temen  Ziya udah kesini. Abi sama Zahdan tunggu di luar ya?” kataku, Ziya tak menyahut. Aku lalu mengelus kepala Ziya lembut, “jangan lupa Bismillah dulu” kataku lagi, berusaha untuk tersenyum. Ziya menatapku, lalu mengangguk pelan.
Aku berbalik, menggamit tangan Zahdan, menuntunnya keluar ruangan lomba. “Ayo Zahdan, kita tunggunya diluar!” ajakku pada Zahdan. Zahdan menurut, terlihat bersemangat. “Abbiih.. Jadan mau beli apa coba? Mau beli To..?” ocehnya. Aku tertawa, anak ini pasti minta dibelikan lagi mainan kereta Thomas di mini market. “To.. Mmm.. Topi?” jawabku. Zahdan menggeleng keras, “Aduuuh.. bukan Abi! Tapi beli To…?” tanyanya lagi. Aku menjawab, “ooh.. Tongkat” candaku. Zahdan kembali menggeleng, kali ini sembari menepuk jidatnya, meniruku. “Aduuh.. Bukaaan!! Jadan mau beli To.. Tomas!! Itu. Ya? Abi Ya??” celoteh Zahdan, membujukku. Dua bola matanya menatapku penuh harap. Padahal rasanya baru kemarin-kemarin Zahdan dibelikan lego. Dan koleksi Thomasnya sudah menumpuk di rumah. Tapi demi melihat dua bola matanya yang bening, Aku mengangguk mengiyakan. Mengundang teriakan Zahdan yang kegirangan. “Yeeeiiy.. Asyiik.. Jadan belum punya yang Timoti.. Gordon juga belum ada. Trus Rineas, Oliver, sama Berty…” paparnya panjang lebar. Mendengarnya, Aku menghela nafas entah untuk yang keberapa kalinya. Kembali berharap keajaiban datang, siapa tahu hari gajian tiba-tiba saja mendadak dimajukan. Aamiin.. He..   

19/11/2016

Zahdan dan Spiderman



Hari mulai petang, anak-anak yang sedari siang tadi berada diluar, terlihat kumal dan bau keringat sehabis bermain kejar-kejaran. Satu persatu mereka dipanggil ibunya, diperintahkan mandi dan berganti pakaian. Sebagian diantaranya langsung menuruti tanpa bantahan. Sebagian lagi perlu dua tiga kali diperintahkan. Dan sisanya, harus dijewer terlebih dahulu, lengkap dengan puluhan wejangan.. ehem.. maksudku omelan. Khas ibu-ibu tentunya.

Zahdan kecil sudah mandi sejak sore tadi. Ia tak biasa-biasanya menurut saja saat bajunya akan diganti. Gembira malah. Baju Thomas yang sudah bau keringat itu zahdan buka dengan senang hati. Mandi pun tak lama-lama didalam jolang. Hanya sebentar bermain air bersama sikat gigi dan perahu mainan. Empat menit, Ia sudah keluar berselimutkan handuk sembari melompat riang.

“Abbiiih..!! Zadan mau pake baju sepaydemen. Yang ada topengnyaa!!” teriaknya, tak berhenti melompat. Aku tertawa, lalu menjawab “O Iya.. baju spiderman yang baru itu ya. Sini atuh cepetan, abi kasih minyak telon dulu spidermannya” panggilku. Tanpa menunggu dua kali, Zahdan sudah berlari menghampiriku. Aku pun segera mendandaninya. Untuk yang ini, perlu waktu lebih lama. Karena Zahdan tak bisa diam saat didandani. Ia melompat, Ia berjongkok, kedua tangannya sibuk sekali melancarkan jurus, yang sepertinya ia sendiri tak tahu jurus apa itu. Aku memegangi kepalanya, hendak memakaikannya baju spiderman. Berhasil, sayang kedua tangan zahdan masih belum berhenti juga melayangkan jurusnya DUK !! siku zahdan beradu tepat dengan jidatku. “Astaghfirullaah.. Zahdannya diem dulu atuh! Ni kan lagi dipakein baju!” ucapku, kesal. Zahdan hanya terkekeh, lalu berpura-pura menurut. Berpura-pura? Tentulah, karena setelah kepalanya masuk sempurna, Ia kembali ber Ciat-ciat tak jelas. Melihatnya, aku langsung saja mengangkat kembali baju spiderman yang baru masuk sebatas leher. Membuatnya menutupi seluruh wajah zahdan, lalu membiarkannya. Zahdan panik, lalu meminta tolong, “Abbiih.. ni jahdan gelap.. abbiih.. tolongin jahdaan..ni susah bajunya” ucapnya, merajuk, dengan tangan yang berusaha melepas baju tersebut. Giliran aku yang terkekeh puas berhasil mengerjainya.

Kesukaan Zahdan pada tokoh spiderman, memang semakin terlihat dari hari ke hari. Zahdan menggemari kelebihannya saat merayap di dinding, bergelantungan dari gedung ke gedung, serta menembakkan jarring laba-laba dari kedua tangannya. Mungkin Zahdan beranggapan bahwa hal itu terlihat keren. Anggapan inilah yang cepat atau lambat, harus diberi pemahamanberlebih padanya. Sama halnya ketika dahulu, kakaknya menggemari tokoh-tokoh princess.

“Zahdan” panggilku. Zahdan tak acuh mendengarku, Ia masih terlihat sibuk ber Ciat-ciat ria. “Zahdan, lihat sini! Abi punya buku spiderman!” panggilku kembali, kali ini sembari menunjukkan sebuah buku dari rak bukuku. Buku dengan gambar cover superhero manusia laba-laba tersebut, seketika merebut perhatian Zahdan. “Waaaah…!!” ucapnya, terkagum-kagum, langsung berlari mendekatiku. Sebenarnya, ini bukan buku komik, ataupun buku superhero biasa. Buku yang kupegang ini berisi analisa dibalik tokoh dan film spiderman, pesan-pesan yang ingin disampaikan, dan fakta mencengangkan tentangnya. 

“Sepaydemennya kaya baju Zahdan ya Abi?” ucap Zahdan, meminta persetujuanku. Aku mengangguk mengiyakan, lalu berkata “iya nak, sama kayak baju tidur zahdan. Tapi, ini mah spidermannya yang ga suka sholat. Beda sama zahdan, Zahdan mah suka sholat kan? Suka ikut abi sholat di rumah ato di mesjid kan?” kataku, balik bertanya. Zahdan mengernyit heran, tapi tak lama mengangguk juga membenarkan perkataanku. Aku tersenyum, “Nah, karena spiderman yang ini mah ga suka sholat, makanya spidermannya masuk ke neraka. Zahdan tau apa itu neraka?” tanyaku. Zahdan menggeleng, bulatan hitam matanya masih menatap memperhatikanku. “Neraka itu..” kataku, berhenti sejenak, hanya agar kalimat berikutnya semakin menarik di mata Zahdan. “Tempat yang penuh sama api. Apinya.. Panaaaas sekali. Bahkan bisa lebih panas dari matahari yang suka zahdan lihat waktu siang-siang diluar rumah” paparku. Zahdan bergidik, gurat kecewa tampak sedikit terlihat di wajahnya. Aku tersenyum lagi, “tapi, kalo spidermannya suka sholat kayak Zahdan, suka belajar alif ba ta tsa kayak Zahdan, trus juga suka berbagi mainan kayak Zahdan anak abi yang hebat ini, nanti masuknya bukan ke neraka, masuknya ke Surga. Zahdan tau ga surga teh kayak gimana?” tanyaku. Zahdan kembali menggeleng, bulat hitam matanya membesar, semakin penasaran dengan apa yang kupaparkan. “Surga itu…” kataku, yang lagi-lagi berhenti barang sesaat, “Tempat yang baguuus sekali, ada air mancur, ada sungai jernih, ada rumput hijau. Dan, disana ada mainan Thomas yang banyaaak” kataku. Demi mendengar kata mainan, mata Zahdan terbelalak tak percaya, ekspresi wajahnya tampak senang bukan kepalang. “Banyak sekali Abi?” tanyanya, memastikan. Aku mengangguk mengiyakan, “iya nak, bahkan lebih banyak dari mainan yang ada di planet mainan, toko mainan kesukaan Zahdan tea. Dan, Zahdan tahu? Di Surga bukan cuma  thomas saja, mainan yang lain juga banyak. Zahdan bisa pilih sesuka Zahdan. Itu hadiah buat anak yang suka sholat sama ngaji kayak Zahdan. Zahdan berdo’a saja habis sholat sama Allah, biar Zahdan bisa masuk ke Surga” paparku. Zahdan memekik senang, Ia bahkan melompat-lompat kegirangan. Senang sekali melihatnya gembira seperti ini. 

Malamnya, ternyata terbukti. Usai pengajian umum di mesjid, kami sholat Isya berjamaah. Zahdan berdiri disamping kiriku, berbaris rapih dalam shaf layaknya orang dewasa. Rakaat pertama, Zahdan mengikuti gerakan yang lain. Meski saat orang lain bersujud, Zahdan malah tengkurap. Bagiku tak masalah, asalkan Zahdan tetap berada dalam barisan shaf, tak lari-lari seperti halnya anak-anak lain seusianya yang suka sekali bermain-main saat sholat berjamaah. Rakaat kedua, keistiqomahan Zahdan mulai terganggu. Ia bersandar di kakiku, sembari menengok kanan kiri, serta melihat-lihat ke arah belakang. Rakaat ketiga, Zahdan mulai bergeser. Ia berdiri tepat didepanku saat aku hendak ruku. Aku langsung bergeser ke kiri, bertukar tempat dengan Zahdan. Dan Saat hendak sujud, Zahdan bergeser lagi kedepanku. Akupun kembali lagi beralih ke kanan, mengambil tempat yang ditinggalkan Zahdan, sembari menggerutu dalam hati tentunya. “Aduuh.. Zahdaan, abi kehalangin” bisikku. Awal Rokaat keempat, Zahdan sudah tak sabar, ingin cepat selesai. Ia mendahului yang lain sujud, tengkurap maksudku, lalu duduk, kemudian mengucapkan salam sembari menoleh ke kanan dan kiri dengan cepatnya. Tak lama Ia lalu mengangkat kedua tangannya, dan dengan lantangnya berdo’a “Ya Alloh, Jadan ga mau jadi sepaydemen yang ke neraka. Jadan ga mau kena api yang panas. Jadan pengennya masuk ke Surga Ya Alloh. Jadan pengen mainan Thomas yang baanyaaaak sekali..” ucapnya, yang lalu diakhiri dengan do’a untuk orang tua yang tak begitu jelas pelafalannya. Aku menggigit bibir, do’a polos Zahdan barusan terdengar jelas di dalam mesjid ini. “Aduh Zahdaaan…” ucapku dalam hati lagi. Muncul perasaan kompilasi dalam diri ini. Setengah karena khawatir mengganggu sholat jamaah lain, setengahnya yang lain adalah rasa ingin tertawa karena mendengar do’a polos yang dilantunkan Zahdan. 

Usai sholat, Zahdan langsung melapor padaku “Abbiih, tadi Jadan solat, tadi jadan do’a” ucapnya bangga. Aku mengangguk, lalu setengah berbisik aku berkata padanya, “Iya, Kau hebat Zahdan !!” pujiku sembari tersenyum. Yang dipuji semakin berbangga, terkekeh senang, lalu berlari ke belakang, kembali ber Ciat-ciat ria.