24/12/2019

Lomba Pildacil


Aku tersentak kaget, karena ketika tengah terlelap, Zahdan tiba-tiba saja menyerudukkan kepalanya kepadaku.

“Duh, Zahdan..! Abi kan masih ngantuk ini teh, mainnya nanti lagi saja ya..” larangku, setengah tak sadar.

Yang dilarang cepat menyanggah.

“Bukan, Zahdan mah cuma mau peluk Abi. Mau bilang ma kasih karena udah bikinin Zahdan kostum sama ketapel nabi Daud!” jawab Zahdan.

Tanpa menungguku duduk terlebih dahulu, Zahdan langsung memelukku, tulus membisikkan ucapan terima kasih, lalu dua detik kemudian, anak kecil itu pergi kembali sambil bernyanyi-nyanyi riang.

Meninggalkanku yang menyembunyikan wajah terharu di bawah bantal.
***

Sore kemarin, sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam ponsel. Ternyata dari gurunya Zahdan, beliau memberitahukan bahwa siswa yang bernama Muhammad Muzahdan masuk final dalam lomba pildacil di sekolah.

Kaget? Tentu saja. Setahuku Zahdan masih perlu latihan dalam merangkai kata menjadi paparan cerita. Dia terkadang masih tertukar antara kata ‘sebuah’, dengan ‘seorang’, serta kata ‘Bahasa’ menjadi ‘basaha’. Meski untuk ukuran anak seusianya, hal tersebut bisa dikatakan masih wajar saja.

Namun yang pasti, Zahdan sepertinya suka sekali berada di atas panggung. Dia suka sekali bercerita dan bergaya, tak canggung meski disaksikan semua kawan dan gurunya.

“Zahdan, besok di final mau cerita nabi lagi? Mau nabi yang mana? Nabi Yunus? Atau nabi Daud?” tanyaku.

Zahdan langsung mantap berkata, “Nabi Yunuus!!” katanya.

Dulu anak itu memang sudah beberapa kali menonton filmnya, menyanyikan lagunya, dan memainkan boneka berbentuk ikan paus. Zahdan sepertinya akan lebih lancar memaparkan kisah nabi Yunus. Sekarang ini mungkin tinggal diingatkan ulang perihalnya.

“Ya sudah, nanti abi cari dulu filmnya ya!” kataku.

Zahdan mengangguk mengiyakan.

Setengah jam lebih aku mencari film nabi Yunus kesana kemari. Membongkar kotak mainan, mengeluarkan isi peti dan kardus. Sayangnya, aku tak menemukan vcd yang kucari.

“Duh, Zahdan.. Filmnya ternyata gak ada. Ada juga film nabi Ibrahim, pasukan Gajah, sama film nabi Daud. Zahdan mau yang mana?” tanyaku lagi.

Zahdan mengernyit sesaat. Sebelum akhirnya memutuskan untuk memilih cerita nabi Daud. Giliran aku yang mengangguk mengiyakan.

Tak menunda, aku segera memutar filmnya. Lalu membiarkan Zahdan menonton film tersebut dengan khusyu. Aku sendiri pergi ke taman baca di sebelah rumah, mencari buku tentang kisah nabi Daud, untuk menambah referensi bahan cerita Zahdan.

Singkat cerita, Zahdan sudah berlatih memaparkan cerita nabi Daud berkali-kali. Beberapa kali pula aku membetulkan dan mengoreksi.

“Bukan sebuah Raja, Zahdan! Tapi ‘seorang Raja!” koreksiku.

Yang dikoreksi hanya terkekeh dan menepuk jidatnya.

Tak mudah sepertinya, beberapa bagian bahkan terpaksa dipotong dan dipersingkat, karena Zahdan terlihat lupa pada beberapa kata pokoknya.

“Terkena dahinya, Zahdan! Dahi!” aku mengingatkan.

Yang diingatkan lagi-lagi langsung terkekeh, menepuk jidatnya kembali.

Kendati demikian, ekspresi Zahdan begitu menggebu-gebu saat bercerita. Dia bahkan berinisiatif menyelipkan sendiri gaya-gaya lucu buatannya.

“Jangan panggil aku anak kecil, Raja! Panggil aku, Daud! Aku, Daud!” kata Zahdan, meniru kata-kata dalam film Shiva.

Melihat antusiasnya tersebut, aku tergerak untuk membuatkan Zahdan kostum nabi Daud. Hanya berbahan kardus bekas, dengan dilapis dengan kertas berwarna yang mengkilat. Anak itu pasti akan lebih bersemangat tampil mengikuti lomba.

Alhasil aku begadang. Begadang yang semula hanya untuk mencetak raport murid-murid Umminya Zahdan, malam itu ditambahi pula dengan membuat kostum berwarna hijau. Dan kesemuanya itu baru kutinggalkan setelah jam dua malam.

Bangun pagi, aku tak berhenti. Tanganku menjinjing sebuah golok untuk memangkas dahan pohon mangga. Aku jelas membutuhkannya untuk membuat ketapel. Zahdan akan lebih bisa mendalami isi cerita dengan ketapel tersebut. Selain itu, Zahdan kecil pastilah akan terlihat lebih bergaya. Dan keren tentunya! He..
***

Beberapa hari kemudian, waktu pembagian raport. Guru Zahdan meminta maaf karena video penampilan finalis lomba pildacil belum bisa di upload. Beliau pun bercerita panjang lebar tentang penampilan Zahdan dengan kostum tersebut.

Tentang ekspresinya, tentang antusiasnya. Pun tentang celoteh-celoteh lucunya. Zahdan juga mengakhiri penampilannya dengan sebuah kuis. Penonton yang bisa menjawab pertanyaan, mendapat hadiah sebungkus permen.

Aku menyimak kata per kata itu dengan hati bergemuruh. Rasa haru membuncah di dalam kalbu. Termasuk ketika sang guru akhirnya menyodorkan selembar piagam penghargaan, dan sebuah kata ‘Juara pertama’ sempurna membuat kedua mataku semakin berkaca.

Anak kecil itu telah nyata membuatku bangga. Sungguh, dia benar-benar membuatku bangga tak terkira.

Eh, jangan panggil dia dengan sebutan anak kecil! Panggil dia, Zahdan! Dia, Zahdan!

Selamat ya Nak! Kau memang hebat seperti nabi Daud! 😁😁😁
     

14/12/2019

Alkisah Putri Armida

Alhamdulillah, syukur tak terhingga atas terlahirnya novel biru ini. Setelah tahun lalu diawali oleh 'Alkisah Putri Mumtaza', kali ini giliran Putri Armida yang beraksi. Kisahnya tertutur seru dalam buku 'Alkisah Putri Armida'.

Blurb:
Armida, seorang Putri kerajaan Mahardika. Putri semata wayang yang tampak seperti anak kebanyakan. Ia begitu lucu, riang, dan menggemaskan. Gemar menyelinap kabur dari Istana, pergi ke pasar, hanya untuk bermain beberapa wahana. Ia pun senang dengan permainan sirkus didalam tenda, menyaksikan laku badut gendut yang kocak dan memancing tawa. Ya, Putri Armida terlihat seperti Putri biasa pada umumnya. Sampai suatu ketika, sebuah dendam datang menghantam. Membentur jiwa Armida mengundang celaka.

Laut yang semula tenang, ibarat bergejolak ditatap purnama. Menyulut pasang yang tak mampu dihenti, mencetus ombak yang bergulung teramat tinggi. Itulah kala dimana kedua mata Armida berubah menyala. Lebih terang menyala, dibanding pantulan Surya dimuka Samudera. Itulah kali pertama Putri melepaskan kekuatan airnya. Sebuah kekuatan legenda dari seorang penerus Mahardika.

Kisah ini bertambah seru dengan kemunculan empat Bajak Laut yang berbeda. Kapten Zahdan alias Si Kait Tajam, Afkar alias Si Mata Elang, Byaz Si Ahli Kalkulasi, serta Jamil Si Kaki Gesit. Bahu membahu mereka menyerang lawan, hendak menyelamatkan Putri Armida dari mara bahaya. Berhasilkah misi yang diemban mereka? Yuk, Kita ikuti cerita selengkapnya!

Penerbit : LeutikaPrio
ISBN: 978-602-371-784-2
Terbit: Desember 2019
Halaman : 276, BW : 270, Warna : 6

06/12/2019

Belajar Berenang


“Zahdan mah ngga akan ikutan, ah!” tegas Zahdan, raut wajahnya terlihat cemas.

“Lho, kenapa?” tanyaku.

Bukannya menjawab, Zahdan terus memandang ke arah kolam. Memperhatikan setiap peserta lomba yang bergantian meloncat gagah kedalam air, lalu menggerakkan tangan dan kakinya cepat-cepat, hingga sekian detik kemudian sudah tiba di tepi.

“Oh, gak usah takut, Nak! Itu mah kan anak-anak gede. Zahdan kan masih kecil, baru belajar, pasti nanti dibantuin sama Bapak pelatihnya,” hiburku.

Zahdan lagi-lagi tak menjawab, masih terus memandang ke arah kolam.

Ya, baru sebulan ini anak kecil itu diikutkan les renang. Dalam seminggu, seharusnya ikut tiga kali pertemuan. Namun karena aku tak bisa selalu mengantar, alhasil Zahdan hanya ikut satu atau dua kali setiap minggu.

Awalnya, Zahdan takut-takut masuk ke air. Banyak beralasan ‘nanti dulu lah’, ‘sedang batuk lah’, dll. Kendati akhirnya sang Pelatih berhasil meyakinkan Zahdan untuk ‘nyebur’ dan menggerakkan kaki kecilnya.

Hanya beberapa waktu, Zahdan mulai merasa seru. Apalagi ada Afkar dan Bika yang tergabung di kelas yang sama. Ateu Mida dan Kaka Ziya pun, ikut belajar serta. Membuat Zahdan semakin bersemangat untuk terus berlatih.

“Abi, lihat aku bisa menyelam!” katanya, di sela-sela latihan. Itu Zahdan ucapkan sesaat sebelum menahan nafas dan menenggelamkan kepalanya di bawah permukaan kolam. Hingga empat detik kemudian muncul kembali dengan wajah yang girang. Aku tersenyum memperhatikannya.

Dari awal kami hanya berharap, semoga dengan berlatih renang ini asma Zahdan akan tersembuhkan. Nafasnya lebih lega, paru-parunya lebih lapang. Minimal tak sering kambuh di hampir setiap malam. Itu saja. 

Tatkala diberitahu perihal lomba pun, aku sebenarnya ragu untuk mendaftarkan. Lah, anak itu kan baru belajar. Seorang saudara meyakinkan bahwa lomba ini untuk memotivasi, menumbuhkan keberanian anak. Mereka yang belum bisa akan dibantu oleh pelatih di sepanjang lintasan. Zahdan sendiri pun terlihat begitu bersemangat, jika yang lain ikutan, dia pun tak mau ketinggalan.

Sebulan belajar. Maka wajar rasanya jika kali ini Zahdan merasa khawatir. Apalagi kolam yang ini airnya lebih dingin, ditambah dasarnya yang juga lebih dalam.

“Kolamnya dalem banget Abi, kaki Zahdan gak nyampe!” katanya.

Aku mengangguk membenarkan.

“Iya, gak apa-apa ... tenang! Yang penting, pas denger suara peluit, Zahdan nyebur aja! Pegang pelampungnya yang erat, gerakkan kakinya kuat-kuat! Jangan pikirin yang lain!” nasihatku.
Zahdan tidak mengangguk, tidak pula menggeleng.

“Err ... Kau pasti bisa, Kapten Zahdan!” lanjutku, menyinggung tokoh Kapten Bajak Laut di cerita Alkisah Putri Armida.

Zahdan menoleh. Dia tentu tahu benar cerita itu, lantaran hampir setiap malam aku membacakan bab per babnya. Dia tahu keberanian dan kebaikan tokoh tersebut, sampai terkadang bangkit dan melompat di atas kasur, sembari mengayunkan tangan kiri yang seolah berubah kait.

Pun sekarang, mendengar kata-kata barusan, Zahdan langsung tersenyum padaku.  

“Aye-aye, Abi!” jawabnya, dengan sorot mata yang berubah seperti bajak laut sejati.
***

Usai lomba, Zahdan diberi kalung sebuah medali. Berwarna perunggu, dengan angka tiga yang terukir begitu jelasnya. Afkar mendapat mendapat medali berwarna perak, meraih juara dua.

“Abi! Aku dapet medali!! Ada angka tiga, aku juara tiga!” ucap Zahdan, girang sekali wajahnya.

Aku terkekeh, mengusap kepalanya sembari mengucapkan selamat. Ya, juara ketiga dari tiga orang anak, dan semuanya mendapatkan medali, sungguh langkah yang sangat bijak dari para penyelenggara. Dengan begitu anak-anak akan tetap bersemangat untuk terus berlatih. Termasuk Zahdan yang baru belajar sebulan.

“Abi, ini pake medalinya sama abi!” kata Zahdan, bersikeras hendak mengalungkan medali itu padaku.

“Aduh, gak usah Nak! Ini kan medali Zahdan, nanti saja abi tempelin di kamar. Ya?” kataku.

Zahdan mengangguk mengiyakan.

“Oya, mau difoto dulu? Bareng sama Afkar sama Bika?” tawarku.

Zahdan lagi-lagi mengangguk, lalu bergaya dengan pose merayakan kemenangan. Wajahnya yang ini teramat berbeda dengan wajah cemas sebelum lomba.

He..