02/12/2017

Corat Coret Pasukan Oranye


Izinkan Aku menceritakan sebuah malam.. Malam dimana tak banyak orang yang tahu. Hanya Tuhan, Aku, dan pasukan oranye kawan-kawanku.
Hanya lima belas menit menjelang pukul Sembilan malam, Aku sudah bersiap dengan baju kebesaran. Tidak, baju seragam ini tak benar-benar kebesaran. Ini kukatakan demikian, lantaran baju ini adalah identitas yang bertahun-tahun tak pernah kulepaskan. Banyak orang mencibir, menyamakannya dengan petugas-petugas parkir. Tak apa, sungguh tak apa. Yang penting profesi Kami dan mereka, tak pernah sedikitpun menggerogoti uang negara. Sangat berbeda dengan mereka yang berdasi, berpenampilan trendi, namun sikapnya tak terpuji.
Jam Sembilan kurang tiga belas, Aku menelisik cipratan tampias. Berharap langit reda sejenak dari menurunkan butiran hujannya. Tak perlu tiada sama sekali, gerimis kecil saja sudah cukup untuk membahagiakan hati. Karena dengan demikian, Aku tak harus susah-susah memakai jas hujan. Memang tak rumit, hanya saja jas hujanku ini sudah tak sepenuh hati lagi melindungi, beberapa jahitan longgarnya kerap meloloskan air hujan menembus pakaian.
Beruntung, malam ini hujan sudah berhenti. Menyisakan genangan-genangan di atas aspal jalanan. Jika keberuntungan memang bisa diwadahi, sudah pasti Aku akan mengantonginya banyak sekali. Karena Kau tahu? Di jam kerja malam seperti sekarang ini, Aku memang membutuhkan keberuntungan, sangat membutuhkannya bahkan.
Sepuluh menit berlalu, kuhabiskan diatas sepeda motor yang dipacu. Melawan udara dingin yang seolah menusuk-nusuk tulang, betapapun tebal baju dan jaket yang kukenakan. Biarkan, Aku sudah terbiasa dengan dingin seperti ini. Di tempat kerja Kami disana, suhu udara luar bisa mencapai 11 derajat banyaknya. Membuat Kami sering menggigil kedinginan, bersin-bersin berkesinambungan.
Tiba di tujuan, Sopir yang piket tengah menungguku. Kepalanya terantuk-antuk menahan kantuk. Entah sudah berapa gelas kopi yang dihabiskannya, hanya demi membuat sepasang matanya itu bisa tetap terjaga. Wajar saja, sedari siang Ia pasti sudah bolak-balik mengantar-jemput pekerja. 45 menit waktu antarnya, 45 menit waktu jemputnya. Tiga kali balikan setiap harinya. Belum lagi jika terjebak macet saat melewati pasar, atau ketika ada truk yang terjungkal kedalam jurang. Waktu tempuh itu bisa berkali lipat lebih lama dari biasanya. Jika Kau berkata itu hal yang biasa, sungguh TERLALU namanya.
Singkat cerita, semua pasukan oranye sudah berada didalam mobil. Dengan keadaan yang tak berbeda dengan sopir saat menunggu tadi. Kepala mereka terantuk-antuk menahan kantuk. Setelah malam sebelumnya diharuskan untuk tetap terjaga, dan sesiangnya mengabdikan dirinya mengurus keluarga. Waktu istirahat bagi mereka tak lebih dari beberapa jam saja. Sebuah pengorbanan besar selaku kepala rumah tangga.
Jalanan bekas hujan tampak mengkilap diterpa lampu mobil yang bergerak. Maklum, rute menuju tempat yang dituju memang berkelak-kelok, menanjak dan menurun tiada ampun. Sang Sopir sudah lebih dari ahli mengendalikan laju mobil yang dikendarai. Kedua matanya tak boleh lalai barang sedikit saja, sejumlah nyawa menjadi taruhannya.
Pegunungan didekati, Sopir semakin berhati-hati. Disini bukan jarang lagi, banyak kendaraan yang hilang kendali. Mulai dari terperosok ke jurang, hingga tak sengaja membentur tiang. Beruntung, longsor yang berkali terjadi juga disini, tak pernah sampai hati menyapu kendaraan yang tengah melaju. Ia hanya sebatas membuat jalur menjadi terhalang, tak bisa dilewati motor yang menyebrang.
Semakin jauh dari waktu berangkat, selimut kabut semakin pekat terlihat, lebih pekat berkali lipat. Jarak pandang mobil dan keadaan didepan, tak lebih dari 2 meter berbilang. Sang sopir sampai memajukan kepalanya ke dekat kaca, memicingkan matanya sepicing-picingnya, mencoba menangkap satu dua benda yang bisa menjadi petunjuk batas kiri dan kanannya. Pepohonan, semak belukar, rumput, atau apalah saja, yang pasti harus menjauhkan mobil itu dari curamnya jurang didekatnya.
Apalah daya, di musim kemarau saja selimut kabut kerap menghalangi pandangan, apalagi di musim penghujan seperti sekarang. Mereka tak tanggung-tanggung datang bergerombolan, pekatnya kebanyakan.. mainnya keroyokan. Curang, he..
Alhasil, dua-lima meter, enam-delapan meter, STOP..! Mobil berhenti di sebuah tanjakan.
Aku melihat kanan kiri jendela, tak tampak apapun disana. Hanya warna putih saja yang terselubung diluarnya. Seolah Kami tengah dikungkung gelombang awan, lalu diserbu lautan debu. Mobil tak berani beranjak maju, ragu.
Pasukan oranye terjaga, kantuknya hilang entah kemana. Menatap sekitar dengan hati yang berdebar. Satu dan lain saling mengingatkan, membaca dzikir-dzikir untuk kemudahan perjalanan. Pun Sang Sopir, Ia menarik tuas rem tangan, berusaha terlihat tenang. Pelan, Ia menoleh pada para penumpang. “Gimana ni Pak? Jalannya sama sekali ga keliatan, Kita terus atau putar balik saja?” tanyanya.
Wajah-wajah cemas saling berpandangan, bingung untuk mengambil pilihan. Bukan apa-apa, jika terus maju, maka resiko terperosok ke jurang kian menjadi kemungkinan. Jikapun mundur, penampakan jalan dibelakang sudah sama-sama kabur, bersama selimut kabut mereka berbaur. Tak terbayang rasanya jika mobil ini benar-benar masuk ke jurang, lalu apa yang bisa Kami lakukan?
Semua orang terdiam, cukup lama terdiam, didera bermacam bayangan yang datang bergantian. Mulai dari bayangan mobil yang berguling kedalam jurang, evakuasi yang penuh keterlambatan, sampai pada bayangan keluarga yang kehilangan. Semua bercampur aduk, membuat gentar hati yang diliputi rasa takut.
Tiba-tiba.. “Kita jalan terus” ucap seseorang. Yang lain hendak menyanggah, namun kalimatnya terhenti saat di lidah. “Hidup mati adalah takdir, dan bekerja itu adalah ibadah. Jikapun Kita mati saat hendak bekerja, bukankah itu adalah cara mati yang mulia?” ucapnya lagi. Seorang lain mengangguk membenarkan, lalu menanggapi “Dia benar, Kita bekerja adalah demi keluarga, ini adalah resiko yang harus ditanggung sebagai kepala keluarga, ini adalah resiko yang harus Kita tempuh sebagai pekerja” ujarnya. Beberapa orang masih terdiam, merasa cemas pada apa yang ada di hadapan. Orang tadi berkata lagi, “Lagipula..Kita memang tak ada pilihan lainnya. Kawan, lihatlah di belakang, pekatnya bukan kepalang. Kita kembalipun sama saja akan menghadapi resiko yang tak berbeda” katanya lagi. Satu dua pasukan oranye menengok ke kaca belakang, lalu terdiam membenarkan.
Akhirnya, semua penumpang bersepakat, tetap berangkat menembus kabut yang pekat. Saling memberi tahu sopir atas benda apapun yang dilihat. Mobilpun melaju dengan perlahan, meraba-raba batasan jalan yang ada di hadapan. Semua lisan yang ada berdzikir dan berdo’a mengharap kelancaran. Memohon Sang Pencipta mengurai kabut hingga pandangan terjernihkan.
Akupun demikian. Jika saja keberuntungan itu memang bisa dikantongi, maka Aku akan mengeluarkan seluruhnya yang kukantongi. Karena malam ini Kami memerlukannya, sangat memerlukannya bahkan.
Kawan, ini hanyalah curahan hati. Perihal satu dari sekian malam yang harus Kami lewati, untuk bisa sampai di lokasi mengabdi. Ini hanyalah satu dari sekian malam, dimana Kami mati-matian menembus penghalang. Meski acapkali dicaci, tapi Kami tak peduli. Semua demi berkontribusi menerangi negeri, memenuhi kebutuhan listrik di seantero bumi.
Kawan, ini hanyalah curhat semata. Perihal perjuangan yang Kami lakukan di banyak malam. Perjuangan dimana orang kebanyakan tengah dibuai kantuk, nyaman meringkuk di kasur empuk. Perjuangan dimana orang kebanyakan tengah kegirangan menonton pertandingan, begadang demi menyaksikan tim kesayangan. Perjuangan dimana orang kebanyakan tengah belajar di larut malam, demi keberhasilan besok saat ujian.
Mereka tak menyadari, jika dipegunungan terpencil ini, ada pasukan oranye yang tengah terjaga untuk melayani negeri.
Mereka tak tahu, karena memang tak banyak orang yang tahu. Hanya Tuhan, Aku, dan pasukan oranye kawan-kawanku.