15/08/2018

Silahkan

Diam..
Adalah satu-satunya yang bisa dilakukan.
Mau bagaimana lagi?
Karena memahamkan pengertian, tentu tak semudah membalikan telapak tangan.
Dan menghilangkan kebencian, ibarat mencari sebatang jarum kecil di tengah padang.

Begitu sulit.
Begitu pelik.

Membisu..
Adalah satu-satunya yang bisa dikerjakan.
Mau bagaimana lagi?
Sedang irama huruf saja sedikitpun tak lagi ada artinya.
Dan deretan cerita, serona menantang norma yang menjulur tinggi hingga ke angkasa.
Mengundang bala.
Mengundang petaka.

Wahai,
Aku tak pernah tahu lagu yang Kau dendangkan di loteng rumah itu..
Aku pun tak pernah tahu tulisan yang Kau goreskan di buku harian itu.
Aku bahkan tak benar-benar tahu, sedalam apa rasa yang Kau miliki itu.
Rasa yang memaksa jemarimu untuk mengukir kisah dan namaku, tepat di terujungnya batinmu.
Tapi Aku sedikit tahu tentang mimpi yang Kau utarakan itu.
Aku pun setengah tahu tentang masa depan yang Kau harapkan itu.
Dan Aku bahkan begitu tahu, seluas apa kebaikan dalam hatimu itu.
Sesuatu yang memaksa kakimu untuk pergi dan berlalu, membiarkan bahagia menghampiriku.
Tentunya Kau kecewa,
teramat kecewa malah.
Karena takdir nyata-nyata tak pernah sejalan dengan imajinasi,
Ia tiada searah dengan rekaan literasi.
Jauh kata dari definisi royalti, true story itu tak pernah sedetikpun terjadi.
Maka silahkan.
Lempar saja caci dalam gelembung-gelembung puisi itu kemari.
Tikamkan saja benci dalam petikan-petikan monolog itu kesini.
Hantamkan seluruh kecewa yang ada, sampai serpihannya kemari dan melukai.
Hingga kepingannya menjadi duri yang tertancap erat di kaki.
Membuatku menangis jeri dan tersakiti.
Tak apa..
Aku akan menerimanya dengan senang hati,
menelannya dengan berlapang diri.
Silahkan..
Karena kuyakin setelah benci itu pergi,
yang tersisa setelahnya hanyalah semangat untuk berkarya,
sekeranjang ide untuk cerita,
serta warta bahagia di penutupnya drama.

Wahai,
Diam dan membisu hanya berlaku bagi masa lalu.
Sedang ikhlas dan bahagia adalah opsi di masa depan.
Maka mari sambut kedatangannya dengan sikap terbaik yang bisa dilakukan.
Kisah sentosa yang bisa diperlihatkan.
Pun karya terindah yang bisa diwariskan.

Penulis Kecil

Bubaran sekolah, Ziya berjalan menghampiriku sambil menjinjing sepatunya.
“Ziya, nih ada paket dari Indiva” kataku.
Alis Ziya mengernyit, namun tak urung Ia langsung menerima dan membuka paketnya.
Ternyata isinya adalah buku. Dan demi melihat sebuah nama di barisan penulisnya, pun memandang salah satu foto di cover belakangnya, kedua mata Ziya berkaca seketika. Hampir-hampir saja Ia menangis lantarannya.
Ya, didalam buku itu ada satu cerpen hasil karyanya sendiri. Tulisan yang Ia buat hampir setahun ke belakang. Salah satu upaya Ziya untuk mengejar mimpinya menjadi seorang Penulis.
Ziya tersenyum lebar, lalu memeluk erat buku tersebut. Tak cukup, Ia menciuminya berulang-ulang. Hatinya senang bukan kepalang. Hampir saja Ia berlari dan melompat karena kegirangan, tapi lalu teringat bahwa kami tengah berada di sekolahan.
“Al..ham..du..lillaaaah…” bisik Ziya, pelan. Bulir kaca sedikit menyeruak di ujung matanya.
Menahan haru, Aku mengusap kepalanya sambil berkata,
“Selamat ya, …Penulis!” ucapku.
Ziya menoleh, dan langsung terkekeh, raut wajahnya semakin terlihat riang.