14/03/2018

Senandung Hujan

Gerimis menghujani bumi sedari sore tadi. Semakin malam, butiran-butirannya semakin deras berjatuhan. Serona langit tengah dirundung sedih yang berkepanjangan, entah karena merasa kesepian, entah pula lantaran kehilangan. Dua hal itu memang selalu saja melangitkan sendu, mengundang awan-awan kecemasan, serta mengkotak-kotakan kesendirian.

Sesiapa saja yang tengah merasakan, segenap jiwanya akan berubah dingin memilukan, segumpal hatinya akan membeku begitu kaku, dan ingatannya tak pernah berhenti mengadu ke masa lalu. Sesuatu yang kebanyakan orang tak pernah paham akan hal itu.
***

Zhira kecil terbangun karena popoknya basah. Ia memanggil dan memberi tahu, dengan bahasa bayi yang untuk memahaminya membutuhkan waktu.

“Kenapa Nak?” tanyaku.

“Aku merasa dingin Abi” jawabnya.

“Baiklah, Abi selimuti ya. Mau yang warna pink atau warna biru?” tanyaku lagi.

Zhira menggeleng.

“Pakai kain pernel?” ucapku.

Zhira menggeleng lagi.

“Em.. Mau dihangatkan dengan lampu sorot?” ucapku lagi.

“Bukan Abi, Aku merasa dingin karena hal yang lain” kata Zhira.

“Ooh.. popokmu basah ya? Kalau begitu tunggu sebentar, Abi ganti dengan yang kering ya..” kataku.

“Hehe.. Iya, terima kasih ya Abi” jawab Zhira.

Aku mengangguk, berbalik menuju lemari pakaian Zhira, kemudian bergegas kembali dengan membawa sebuah popok dan celana panjang kecil, yang baru juga kusetrika sejam yang lalu.
***

Waktu sudah menunjuk angka sepuluh lewat lima, tapi hujan tak memelan barang sebentar saja. Ia kian memberondong bumi dengan irama yang sama. Sekali dua diiringi suara guntur di kejauhan sana.

Zhira menatap wajahku dengan tatapan sayu. Kedua matanya mengerjap-ngerjap seolah menunggu sesuatu. Aku balas menatapnya, lalu tersenyum mengerti.

“Senandung hujan lagi Nak?” tanyaku.

Zhira mengangguk sembari tersenyum kecil. Itu adalah lagu yang selalu kusenandungkan setiap kali Zhira hendak terlelap. Sembari mengayun-ayunkannya lembut dalam gendongan, serta diiringi irama tetesan hujan diluar rumah, Aku bercerita banyak hal melalui senandung hujan.

Aku membukanya dengan sebuah kisah tentang tulip yang dikunjungi hujan berulang-ulang. Melulu didatangi hujan setiap hari. Namun ternyata, dalam setahun kelopaknya berkembang hanyalah sekali.
Sungguh, jika hujan memiliki hati, sedalam apakah rasa yang Ia miliki.

Aku berkisah pula perihal bintang. Sebuah cerita yang tak seindah gemerlap kerlipnya di waktu malam. Ia harus membakar dirinya sendiri agar bisa bersinar terang, dan melewatkan masa puluhan jam agar langit sudi membiarkannya terperlihatkan.

Sayang, saat waktu itu datang, manusia-manusia ternyata lebih memilih untuk terpejam. Tak tahu betapa bintang sangat menanti secuil tanggapan. Secuil saja, itu akan sangat berarti baginya.

Namun lantaran tak pernah ada, perlahan bintangpun memudar dan menghilang.. kemudian tak lama turunlah hujan.

Mata Zhira mengerjap-ngerjap, alisnya berkerut. Aku menggeleng sambil tersenyum.

“Tidak Nak.. Hujan di waktu malam bukanlah air mata kesedihan sang bintang. Sejatinya bintang tak pernah sekalipun menangis. Ia hanya berusaha bertahan dalam kesepian. Mati-matian bertahan dalam kesendirian. Itu saja..” terangku pada Zhira, kutahu Ia hendak menyanggah, ingin menanyakan arti gerimis di luar sana.

Cerita berlanjut pada drama bulan yang disandera. Langit menyembunyikan keberadaannya dibelakang bayangan bulat menghitam. Orang bilang gerhana, namun kubilang langit hanya tak terima, Ia tak mau bulan melulu menyakiti sang pungguk dalam kerinduan. Dan langit juga tak ingin cahayanya melenakan para pekerja siang ketika nanti membanting tulang.

Ia tak sadar, jika bulan disembunyikan, maka laut tak akan pernah tinggal diam. Laut akan sedemikian rupa berontak, marah bergulung-gulung menghajar karang. Menyanyikan sebuah lagu seram yang terbilang jarang sekali diperdengarkan.

Laut teramat tahu, bahwa pungguk justru akan lebih tersakiti jika harus menghabiskan malam tanpa cahaya rembulan.

Laut begitu paham, bahwa pekerja siang tak akan pernah punya impian, jika harus terlelap justru dalam pekatnya malam.

Zhira lagi-lagi hendak menyanggah, menanyakan keterkaitan dengan senandung hujan. Aku tersenyum, lalu tak lama memberi jawaban..

“Justru itu Nak, salah satu yang bisa menenangkan amarah laut, adalah.. Senandung Hujan. Memberi bayangan kawan dalam kesepian, pun memberi harapan tatkala tengah kehilangan. Mungkin saat ini Kau belum bisa mengerti, namun kelak.. Ketika Kau sedikit lebih dewasa dari sekarang. Saat Kau mulai mengalami nyeri dan pedihnya cobaan kehidupan. Saat Kau mulai mendapati sakitnya sebuah kehilangan. Maka saat itulah Kau akan menemukan irama Senandung Hujan”

Zhira kecil mengangguk takjub, lalu kedua matanya terpejam, beranjak terlelap dalam dunia lain bernama impian.

06/03/2018

Sekolah Buat Zahdan

“Zahdan mau sekolah?” tanyaku, suatu kali.
“Mauuu!!!” teriak Zahdan, spontan.
Zahdan memang sudah seringkali melihat anak-anak seusianya bergerombol dengan memakai baju seragam berwarna cerah, dan masing-masing dari mereka membawa tas kecil lucu di punggungnya. Ia tahu pasti bahwa di tas itu ada banyak benda-benda keren. Katakan saja buku-buku, pensil, crayon warna-warni, bekal makanan, susu kotak, serta beberapa mainan. Tak heran jika Zahdan, kian terbersit untuk bisa bersekolah juga seperti mereka.
Usia Zahdan tahun ini adalah Lima, waktu yang lumayan tepat untuk masuk TK A. Dengan prediksi TK A di usia 6 tahun, dan kelak bisa masuk SD Kelas 1 di usia 7 tahun. Kami tak ingin membiarkan Zahdan masuk SD di usia 6 tahun seperti kakaknya, karena ada kekhawatiran setelah selang beberapa tahun Ia akan merasa jenuh terus menerus bersekolah, lantaran merasa tak puas bermain di masa kecilnya.
Alhasil kami sibuk mencari-cari sekolah yang cocok untuk Zahdan, bertanya kesana kemari, searching di google mengenai sekolah-sekolah TK yang ada di kota ini. Berharap satu diantaranya adalah tempat terbaik bagi Zahdan dalam mengenal dunia sekolah.
“Zahdan, sehabis antar ka Ziya, Insya Allah kita jalan-jalan sambil cari sekolah buat Zahdan. Nanti, dipilih ya, Zahdan maunya sekolah di sekolah yang mana!” kataku.
“Asyiiik.. Siap Pa Abi!!” jawab Zahdan, terlihat begitu senang.
Selang beberapa lama, Kami tiba di sekolah TK yang pertama. Areanya luas dan bersih, taman bermainnya lebih berupa playground, lengkap. Muridnya banyak, teramat banyak malah. TK A nya saja ada lima kelas, dengan masing-masing kelas berjumlah maksimal 25 siswa, didampingi oleh dua orang guru. Disana, Zahdan berlari-lari di taman bermain. Ia senang memanjat tangga, bermain seluncur, serta masuk ke terowongan kecil.
“Abiii, sekolahnya luas ya? Tempat mainnya banyak. Zahdan mah mau disini ah!” kata Zahdan.
Aku hanya tersenyum, menimbang-nimbang kelebihan dan kekurangan yang kurasa di sekolah tersebut.
Kekurangan? Tentu saja. Tak bijak rasanya jika menilai sebuah sekolah hanya dari kelebihannya, atau hanya dari fasilitasnya saja. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan seorang anak saat bersekolah. Contohnya, di sekolah ini ada sesuatu yang kurasa janggal. Yang kulihat pertama kali, sebelum anak-anak masuk kelas, mereka harus duduk berbaris. Menuruti “komando” dari gurunya. ‘Diam’ artinya para siswa tak bersuara, memangku kedua tangannya seolah ada meja. Raut wajah mereka datar, tak ada sedikitpun riang-riangnya, seperti raut wajah orang dewasa saja. Ngeri sekali melihatnya
Kedua, sejak masuk gerbang sekolah tersebut, tak ada satu guru pun yang mendekat dan menyapa Zahdan.  Mereka seperti orang dewasa yang tak terlalu suka dengan anak-anak. Padahal di sekolah Ziya dulu, para gurunya ramah sekali kepada anak-anak, tak pernah sungkan menyapa anak, meski anak yang tak dikenal sekalipun. Hal tersebut tentu akan membuat anak merasa nyaman berada dekat dengan mereka.
“Abi, Zahdan sekolah sekarang?” tanya Zahdan.
“He.. ya nggak atuh Zahdan. Kita kan mau lihat dulu sekolah yang kedua” jawabku.
Zahdan terperangah, mungkin dalam benaknya bertanya-tanya, memangnya ada berapa banyak sekolah buat Zahdan. Namun anak kecil berponi itu mengangguk juga, dari ekspresinya Ia terlihat sudah sangat ingin bersekolah. Entah, mungkin supaya sepulang ke rumah nanti Zahdan bisa bercerita pada teman tetangganya, bahwa Ia sudah sekolah. Hm.. Tampaknya bersekolah adalah hal yang sangat keren dalam fikirannya.
***
TK kedua, sebuah sekolah yang berjarak cukup dekat dari rumah. Areanya jauh lebih kecil dibanding TK yang pertama. Taman bermainnya hanya dua ayunan dan sebuah seluncuran saja. Muridnya? Jangan tanya, satu kelasnya tak lebih dari 8 atau 10 orang. Sedikit sekali memang, hingga membuatku sempat khawatir tipe ekstrovert seperti Zahdan tak akan kerasan. Namun, Gurunya tiba-tiba datang menyambut, mengajak Zahdan bermain bersama siswa-siswa yang lain. Zahdan bebas berlari kesana kemari mengeksplorasi setiap sudut sekolah tersebut. Bahkan Zahdan dibuatkan pula mainan pesawat terbang dari bahan stick es krim. Anak berponi itu senang bukan kepalang, Ia berulang kali menunjukkan pesawat itu padaku.
“Abii.. lihat!! Zahdan dibikinin pesawat! Bagus ya Abi?” katanya.
Aku mengangguk mengiyakan. Sementara Umminya masih asyik mengobrol dengan seorang guru, berbicara masalah beban-beban yang didapati anak-anak seusia Zahdan di sekolah. Ada sekolah yang menuntut para siswanya untuk lekas bisa membaca, bisa melafalkan kata-kata dalam Bahasa inggris, dan patuh layaknya robot. Kasihan sekali.. Padahal Anak seusia Zahdan masih memiliki kebutuhan untuk bermain, serta kebutuhan untuk bersama orang tuanya. Jika Ia tak mendapatkan kebutuhan itu di masa kecil, maka nanti setelah besar Ia akan menuntut balik pada kedua orang tuanya. Tak jua dipenuhi, tantrumlah Ia.
“Abi besok kesini lagi?” tanya Zahdan, sesaat setelah diajak pulang ke rumah.
“Ya engga atuh Zahdan, besok mah kan hari Sabtu, sekolahnya juga tutup” kataku, sambil tertawa.
Zahdan ikut tertawa, lalu mengangguk mengerti.
***
TK ketiga, sekolah yang berkisar 300 meter dari TK kedua. Disana area sekolahnya sedikit lebih luas. Taman bermainnya lebih bagus, muridnya juga lumayan banyak. Tak heran, sekolah itu adalah sekolah negeri, biaya masuknya pasti lebih murah dibanding yang lain. Sayang, TK tersebut lebih mengkhususkan diri untuk umum, kurikulum seputar hafalan surat dan do’a-do’a tak terlalu dikedepankan. Padahal bagi seorang anak muslim, hal tersebut sangatlah penting.
TK keempat, sedikit lebih jauh dari sekolah yang ketiga. Dan karena hari sudahlah siang, kami kesana hanya sebentar saja.
***
Besoknya, Aku masih menyempatkan diri mengunjungi TK kelima. Sebuah sekolah yang berada di pinggir jalan raya. Tempatnya lumayan luas, ada area taman, gazebo, kolam, juga jembatan kecil yang indah. Sekelilingnyapun terlihat bersih dan rapi, sepertinya yang punya sekolah sangat teliti dalam memperhatikan hal ini.
Kami kesana tak lama, hanya berniat meminta brosur dan sedikit melihat-lihat saja. Lagipula, waktunya bersamaan dengan gerbang sekolah akan ditutup. Beruntung seorang Guru berbaik hati masih menerima kami. Guru tersebut diikuti oleh anaknya, aktif sekali anak itu. Berlari-lari, tak peduli meski Ibunya sedang kedatangan tamu.
Saat menjelaskan keadaan sekolah, tiba-tiba.. “SYUUUUTT” sebuah sandal melayang hanya berjarak satu meter didepan wajahku. Pelakunya, siapa lagi jika bukan anak aktif tersebut. Ibunya terlihat berang, langsung memelototinya marah.
Aku tak peduli, namanya juga anak-anak. Zahdan juga sering melepas sandalnya dengan cara dilempar. Hingga besoknya Ia kebingungan sendiri saat mencari-cari sandal tersebut, dan barulah kuberi tahu, itu akibatnya jika doyan melempar-lempar sandal.
Aku pura-pura berpaling memperhatikan hal yang lain, padahal melirik pada mereka, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Guru tersebut. Ternyata Ia langsung mendekati anaknya, lalu mencubit anaknya di bagian belakang, sembari tetap memasang raut wajah ramah padaku. Hmph.. Aku seketika merasa kasihan pada anak yang dicubit. Lebih merasa kasihan lagi pada Ibu guru yang mencubit. Mungkin ini sinyal bahwa sekolah ini tak cocok bagi Zahdan. Kami pun lekas memohon pamit dan bergegas pergi.
***
Di rumah, waktunya evaluasi. Aku bertanya pada Zahdan.
“Zahdan, jadi Zahdan teh mau sekolahnya di yang mana? Kesatu, kedua, ketiga, keempat atau kelima?” tanyaku.
Yang ditanya mengernyit sesaat, lalu langsung menjawab.
“Zahdan mah mau di yang kedua aja ah. Disana mah Ibu gurunya baik, udah bikinin pesawat buat Zahdan” jawabnya.
Aku tersenyum, Zahdan sudah bisa memutuskan mana yang Ia sukai. Ia tak melihat sesuatu dari kemewahan belaka, ada faktor berbeda yang bisa Ia temukan dalam sesuatu yang sederhana. Yang pasti, di usia hampir lima tahun ini, Zahdan mendapat pengalaman berarti, yakni belajar menganalisa sendiri. Ia mengumpulkan opsi-opsi, lalu memutuskan mana yang ingin Ia jalani.
Zahdan, dimanapun sekolahmu, berusaha saja yang terbaik dalam menimba ilmu. Tak penting berapa tinggi target dalam kurikulum itu, tak penting pula angka dan nilai dalam raportmu. Yang penting bagiku hanyalah, apakah Kau pulang sekolah dengan riang di raut wajah, atau Kau pulang dengan kentaranya rasa penat dan lelah. Dua hal itu sudah cukup dalam menilai keren tidaknya sebuah sekolah.
Yang jelas, tak sabar rasanya ingin melihat Zahdan memakai seragam sekolah. Kau pasti akan terlihat keren Nak, berkali lipat terlihat keren. ^_^