21/01/2015

Nilai Jempol

"Abi nanti istirahat kesini ya?" ujar ziya. Permintaan sama yang kelima kalinya sejak tiba di sekolah setengah jam yang lalu. Aku tidak mengangguk, khawatir nanti aku tidak bisa memenuhi permintaannya tersebut. "Kita liat nanti aja ya nak" jawabku tak jelas.
Minggu lalu, saat ziya meminta hal yang sama, aku mengangguk mengiyakan. Namun pada jam yang telah ditentukan ternyata aku masih terlelap, terlampau lelah setelah kerja shift malam. Dan saat aku menjemputnya siang hari, ziya terlihat masam. Ia terlihat kecewa karena aku melanggar janjiku. Saat aku meminta maaf padanya karena tak bisa datang saat istirahatnya, ziya hanya mengangguk dingin. "abi ketiduran nak.." ucapku waktu itu. Ziya berkata tanpa senyum, "ga apa-apa abi" katanya. Karena masih merasa tak enak, aku lalu membawanya ke penjual ayam goreng tepung di dekat sekolahnya, yang halal tentunya. Itu adalah salah satu lauk favorit ziya, kedua setelah telur goreng. Saat ziya menenteng kantong ayam kesukaannya, aku kembali meminta maaf padanya, reaksi berbeda pun terlihat. "He.. Ga apa-apa abi.." jawabnya, kali ini dengan wajah ceria, dan tersenyum-senyum sendiri. Berulang-ulang Ia mengintip goreng ayam di dalam kantong kresek yang dibawanya.
Ini hari Senin, anak-anak sekolah berbondong-bondong menuju ke lapangan untuk upacara bendera. Dengan seragam putih merahnya, ramai mereka menyusuri gang menuju ke lapangan. Sekolah ziya ini memang terletak di tengah lokasi padat penduduk. Karenanya, lapang tempat upacara dan berolahraganyapun terpisah puluhan meter dari sekolah. Namun tak lantas semangat mereka surut karenanya, justru menjadi momen yang mengasyikan saat "bertualang" terlebih dahulu sebelum sampai di lapangan. Lihat saja, sebagian dari mereka memetiki bunga milik tetangga, sebagiannya lagi mampir dulu pada bunda-bundanya di taman kanak-kanak, dan beberapa diantaranya memilih jalan memutar untuk menuju lapangan, berlomba "dulu-duluan" siapa yang lebih cepat sampai.
Sayangnya, tidak demikian dengan ziya. Dari kerumunan anak-anak berseragam putih merah tersebut, ziya malah berjalan melawan arus, mendekat padaku dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. "Lho, ziya kenapa malah nangis?" tanyaku. Ziya merenggut, lalu berbisik padaku. "Ziya ditinggalin sama temen-temen" ujarnya. Aku lalu menggenggam tangan kanannya, lalu menuntunnya berjalan sambil berkata "ga usah nangis nak, ziya kejar aja temen-temennya, ayo abi anterin" ucapku sembari menarik tangannya agar berjalan lebih cepat. Ziya setengah berlari mengikutiku.
Memang, ziya tak terlalu unggul dalam kegiatan fisik. Ia seringkali tertinggal dibanding teman-temannya, langkahnya lebih ringkih, dan tenaganyapun lebih kecil. Beberapa kali aku melihatnya kehilangan keseimbangan setelah tersenggol di keramaian. Yah, meski demikian, aku yakin ziya memiliki keunggulan yang lain dibanding teman-temannya. Bukankah setiap anak memang memiliki kelebihannya masing-masing. Dan tugas kitalah selaku orang dewasa untuk menemukan kelebihannya itu.
Jam 09:45, Aku memacu motorku. Bergegas, 15 menit lagi waktu istirahat ziya. Tak ingin rasanya aku mengecewakannya lagi kali ini. Masih terbayang matanya yang berkaca-kaca pagi tadi. Setibanya di sekolah, ramai sudah anak-anak dipelataran. Sebagian bermain di teras kelas, sebagian besar lainnya tengah berkerumun di penjual mainan yang berjejer di trotoar. Mereka sibuk memilih mainan, berebut ingin dilayani pertama kali. Berulang kali berteriak "kalo yang ini berapa harganya mang?", "yah.. uangnya ga cukup mang, 500 aja ya?", tawar mereka. Lagaknya sudah seperti orang dewasa saja.
Kelas ziya belum istirahat. Ziya pun terlihat masih berada di bangkunya, menghabiskan jatah makanan yang disediakan pihak sekolah di mejanya. Ketika melihatku di luar kelas, ziya tersenyum senang, lalu melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tangannya. Sekarang giliran ziya yang bergegas, menyelesaikan makannya, dan keluar kelas berlari menghampiriku. Tampaknya ia sangat senang aku datang saat istirahatnya. "Ziya udah jajan belum?' tanyaku. Ziya menggeleng. "Jajan aja dulu, berani sendiri kan?" tanyaku lagi. Ziya mengangguk, lalu berjalan ke penjual mainan, yang masih penuh dikerumuni anak-anak. Aku memperhatikannya dari jauh. Menaruh keyakinan padanya, ia sudah bukan TK lagi, ia pasti sudah bisa sendiri. Pertama kali, ziya membeli teh gelas, lalu membeli mainan malam berwarna warni. Uang dua ribu yang ia pegang, bergegas ia berikan pada orang dewasa dibelakangnya. Orang itu malah menolak. Menolak? tentu saja.. Orang dewasa dibelakang ziya bukanlah penjualnya, ia orang tua murid juga yang tengah mendampingi anaknya. Tersenyum, lalu memberi isyarat dengan tangannya, menunjuk penjual asli yang baru kembali dari pedagang sebelahnya, tampaknya baru selesai menukar receh untuk kembalian. Usai memberi isyarat, orang dewasa itu menyentuh pipi kanan ziya sembari tersenyum. "Lucu" mungkin itu fikirnya. Memang, beberapa kali aku bertemu dengan orang dewasa yang kerap menatap ziya sembari tersenyum, gemas ingin mencubit pipinya. Dan seperti sekarang, ziya kecil tak acuh saja, mata bundarnya sibuk mencari-cari penjual asli, lalu cepat-cepat memberikan uang yang ia pegang, tak sabar ingin membuka mainan yang baru dibelinya.
Melihat kejadian tersebut, aku jadi teringat sewaktu ziya masih di TK dulu. Saat aku mengantar ziya membeli mainan di pelataran sekolah, lebih dari satu kali aku disangka penjual mainan oleh anak-anak, dan orang tuanya. "Ini berapa mang?" tanya sang ibu padaku. Aku tersenyum, lalu menjawab "ga tau bu, bukan saya yang jualnya" jawabku. Ibu itu melihatku, lalu kaget seketika. "Aduh.. maaf.. maaf, ibu kira.." kata sang ibu, menyadari bahwa ia salah kira. Ummi ziya yang saat itu ada disamping gerobak mainan, tertawa cekikikan melihat kejadian tersebut. Kasus yang sama terjadi ketika di toko buku. Saat sedang melihat-lihat buku, seorang perempuan muda pun bertanya pertanyaan serupa. "A, kalo buku jenis ini sebelah mana ya?" tanyanya. Aku menatap tak mengerti. Sedetik kemudian perempuan itu kaget, baru menyadari kesalahannya, meminta maaf, lalu bergegas berlalu karena malu. Meninggalkanku yang berfikir apakah aku memang terlihat seperti pelayan toko atau penjual mainan.
Waktu istirahat tinggal tersisa 10 menit lagi. Aku menemani ziya bermain mainan malamnya di kursi pelataran sekolah. Di dekat kami berjejer teh gelas dan teh kotak, teh gelas adalah yang dibeli ziya, dan teh kotak adalah bekalku. Sambil menemaninya aku bercerita. "Ziya, tahu ga.. tadi malam ada yang sepedanya dicuri" kataku. Mata ziya membelalak kaget. "siapa abi?" tanyanya. Aku melanjutkan "Itu nak, yang rumahnya deket bu enur. Pencurinya teh naek ngeloncatin benteng.." "Benteng teh apa?" ziya memotongku. "Euh.. itu, tembok yang tinggi. Nah, terus pencurinya teh ngeliat sepeda diluar rumah deket bu enur, trus diambil deh sepedanya" paparku. Ziya mengangguk, lalu bertanya "sepedanya besar ato kecil?". Aku menggeleng "ga tau yang gede ga tau yang kecil" jawabku. Ziya bertanya lagi "punya kakanya ato adiknya?" tanyanya. "Ga tau, abi ga tau itu mah" jawabku. Mungkin Ziya berfikir, kalo sepeda besar milik kakanya, kalo sepeda kecil milik adiknya. "Nah, makanya ziya kalo sore-sore habis main sepeda, masukin lagi sepedanya ke dalem rumah, biar ngga diambil sama pencuri. Sepeda zahdan juga, kalo abi lagi kerja malem, sama ziya masukin sepedanya ya" kataku. Ziya mengangguk "iya, wakti kemarin-kemarin juga sepeda ziya dimasukin ke rumah" ujar ziya. Aku mengiyakan. Bel tanda istirahat selesai nyaring berbunyi. Anak-anak berlarian masuk kedalam kelas. Pun ziya, bergegas membereskan mainannya, lalu berlari membawanya ke dalam kelas. "Ziya ini teh gelasnya ga dibawa?" teriakku. "Buat abi aja" jawab ziya, sambil berlalu meninggalkanku, tak ingin terlambat masuk ke kelas.
Siangnya, ketika aku menjemputnya, Ziya keluar kelas sambil tersenyum. Mendekatiku, lalu berkata pelan. "Abi, tadi denger ga kata Bunda Anik di kelas?" katanya. Aku menggeleng, "ngga, memang Bunda Anik bilang apa?" tanyaku. Ziya lalu menjawab "tadi di kelas, Bunda Anik bilang, Nilai Ziya jempol." ujarnya sembari tersenyum bangga. "Maksudnya nilai Ziya bagus ya?" tanyaku, yang langsung dijawab ziya dengan anggukan. "Waah.. hebat.. abi kasih jempol juga ya.." kataku, lalu mengangkat jempol kiriku didepan ziya. Ziya kembali tersenyum.