20/01/2018

Mazhira




Adalah Mazhira, seorang bayi mungil nan lucu yang lahir di hari Rabu, pada tanggal 17 Januari yang lalu. Ya, hanya lima belas menit menjelang Adzan Isya, Alhamdulillah bayi itu beralih ke alam dunia, alam dimana kita semua sekarang berada. Aku melihat sendiri saat ditarik kepala dan tubuh kuyupnya, pun mendengar sendiri waktu Ia melantunkan tangis pertama kalinya. Tentu saja, tangisnya bukanlah tangisan yang keras menggema, yang menggetarkan dinding dan jagat raya. Melainkan sebuah tangisan malu yang begitu syahdu, menenangkan hati hingga ke ulu, serona sepoi yang bertiup di hutan bambu.
Mazhira sangatlah ringan, beratnya tak lebih dari 2,17 kilogram saja. Paling ringan dibanding dengan kakak-kakaknya. Tak heran jika sang dokter mewanti-wanti agar lebih telaten dalam mengurusnya. Aku mengangguk tanda akan berusaha. Memang, dulu Ziya dilahirkan dengan berat badan 2,7 kilo, sedangkan Zahdan lahir di angka 2,4 kilo. Ternyata, Zhira lebih mungil lagi berat badannya, mengalahkan dua kakaknya, buah dari pola makan yang terjaga lantaran khawatir akan sulit persalinannya.
“Tak apa, yang penting Kau sehat dan selamat Nak..” bisikku, haru.
***
Ada yang berbeda di kelahiran Zhira, yakni Kami bertigalah yang menungguinya. Aku, Ziya, dan Zahdan, datang bersama ke klinik persalinan. Aku mendampingi Umminya, sedang Ziya dan Zahdan menunggu berdua di kamar. Ziya malah terkadang ‘nyelonong’ masuk ke ruang tindakan, membawa sebungkus chiki sekedar minta dibukakan. (He..) Alhasil Aku sampai ditegur perawat yang bertugas, anak kecil tak boleh masuk kesana. Aku mengangguk patuh, memberi wejangan Ziya sebuah kalimat sederhana. Padahal dalam hati Aku tahu, Ziya hanya tak sabar ingin melihat adiknya yang baru.
Sedangkan Zahdan, begitu khusyu dengan HP dalam genggaman, apalagi jika bukan tengah main game balapan. Aku terpaksa memberinya handphone, karena beberapa kali Zahdan masuk juga ke ruang tindakan, mengusap perut Umminya sembari memanggil-manggil Zhira.
“De Jhiraa.. Ini Kaka Jahdan. Cepet keluar ya, nanti kita maen game bareng-bareng. Uhuk..uhuk..” ucapnya.
“Zahdan do’ain dulu atuh” kataku.
“Eh iya..” ucap Zahdan, lalu bergegas mengangkat kedua tangannya. Alisnya mengernyit serius, matanya mendelik ke atas, serta bibirnya berkomat-kamit tak jelas, entah do’a apa yang tengah dilafalkannya.
“Udah!!” ucapnya tiba-tiba, hanya berselang tiga detik setelah mengangkat tangan barusan.
Aku menggelengkan kepala merasa takjub, tadi itu do’a tercepat yang pernah kusaksikan sepanjang hidup. Tak lama, Aku menuntun Zahdan kembali ke kamar, ada Ziya yang sudah berganti baju seragam disana. Sepulang sekolah tadi Ziya memang langsung menuju klinik, tak ke rumah dulu. Baju gantinya sudah kubawakan dalam tas.
Setelah meminjamkan handphone pada Zahdan, Aku memberi perintah sebentar. “Zahdan, sekarang Zahdan tunggu di kamar sama Ka Ziya ya. Ga boleh keluar, maennya didalem aja. Ziya boleh maen laptop, tapi tolong jagain juga Zahdan, sambil diasuh, Ziya kan kakaknya. Do’ain juga Ummi sama de Zhira, minta sama Allah biar proses ngelahirinnya lancar. Iya?” kataku. Ziya mengangguk mengiyakan. Sementara Zahdan sudah tenggelam dalam permainan, sembari terbatuk-batuk. Pilek menyerangnya sedari kemarin.
Aku bergegas kembali ke ruang tindakan, menemani Umminya anak-anak yang sedang berjuang.
***
“A..bi.. Hhk. Napas.. Napas Jahdan ga enakeun.. Ehk..” ucap Zahdan, dengan nafas yang memburu cepat.
Aku beristighfar dalam hati, merasa bingung. Di satu sisi Aku harus diruang tindakan menemani Umminya, tapi di sisi lain, Zahdan yang sedang sesak seperti ini tak bisa kutinggalkan. Aku meraih HP, mencari nomor kontak seseorang yang bisa dimintai bantuan, hendak memintanya membawakan nebulizer di rumah.
Singkat cerita, nebulizer sudah ditangan, segera saja kupasangkan pada Zahdan. Asap obat mengepul memenuhi rongga pernafasannya. Kedua mata Zahdan sayu, menatap lemas film Upin dan Ipin yang tengah tayang di layar TV. Sembari menunggu, Aku baru bisa mendirikan shalat maghrib, padahal jarum sudah menunjukkan jam setengah tujuh lewat. Apa daya, sepanjang waktu Aku berjaga di ruang tindakan. Menemaninya merasakan mulas yang bertambah lama kian bertambah sering. Terakhir kali kutinggalkan, sudah 3 menit sekali.
Usai shalat, usai pula Zahdan diterapi uap. Meski tak tuntas, sepertinya bisa melegakan nafasnya selama beberapa jam ke depan. Terpaksa, ada hal lain yang harus dikerjakan.
Kembali ke ruang tindakan, sudah ada dokter disana. Ia sempat bertanya Aku darimana, dan langsung mengerti setelah kujelaskan. Tak lama, sang Dokter berkata bahwa ini saatnya bayi dilahirkan. Jantungku berdegup kencang, ratusan do’a dipanjatkan, bersiap atas segala kemungkinan.
“Ya Robb, lancarkanlah.. selamatkanlah..” bisikku.
***
Setengah jam setelah lahiran..
“Ziya, Zahdan, mau lihat de Zhira?” tanyaku.
Ziya dan Zahdan langsung melompat, menyerangku dengan berbagai pertanyaan.
“Bayinya udah lahir Abi?? Dimana? Ziya pengen lihat. Dimana Abi?” kata Ziya.
“Jahdan juga Abi.. Uhuk.. Jadan juga mau liat de Jira..!!” susul Zahdan, setengah terbatuk.
“Iyaa, ayo sini. Ikutin Abi!” ucapku.
Tanpa perlu diberi komando dua kali, Ziya dan Zahdan antusias mengikuti langkahku. Kaki-kaki kecilnya setengah berlari, tak sabar ingin melihat adik baru mereka.
“Ziya, tuh lihat, de Zhira lagi tidur di kotak kaca. Sama kaya Ziya waktu dulu” kataku, sambil menunjuk dari balik kaca besar di depan ruang bayi. Ziya langsung terperangah, hendak mengetuk kaca tersebut, namun tak jadi lantaran kucegah.
“Mana de Jhira Abi? Jadan juga mau lihat!!” kata Zahdan, kakinya berusaha berjinjit, namun masih tak cukup tinggi untuk melihat kedalam. Aku lekas membantu mengangkat Zahdan, mendudukannya dalam gendongan.
Yang digendong tak kalah terperangah. Melihat seorang bayi mungil dalam kotak kaca, tengah disinari lampu untuk menghangatkannya.
“I..itu de Jhira?? Adiknya Jahdan ya Abi?” ucapnya. Aku kembali mengangguk mengiyakan.
“Aku mah mau kasih de Jhira hadiah ah Abi. Terus ajakin de Jhira main mobil hot wil yang keren. Yang buka pintunya ke atas. Kan itu keren ya Abi? Kata Abi mah yang keren teh yang bambel bi ya? Yang warna kuning trus bisa jadi robot tea?” paparnya panjang lebar, lalu diakhiri dengan pertanyaan. Aku tersenyum mendengarkannya.
“Zahdan, de Zhira mah kan perempuan. Mainnya bukan mobil atau robot. Tapi Zahdan boleh ajak main de Zhira ko, kalo udah aga gede, sekarang mah kan masih bayi” jawabku.
“Oh..” jawab Zahdan singkat.
Meski demikian, Zahdan tampaknya tetap berusaha mengajak main adiknya. Terbukti saat Zhira digendong, Zahdan tak segan-segan mendekat. Ia lalu menutup wajahnya sendiri dengan dua telapak tangannya. Mencandai Zhira dengan permainan Ci luk ba. Kami tersenyum melihat tingkah lakunya.
***
Besoknya, di rumah. Zahdan benar-benar memberi Mazhira hadiah. Sebuah bungkusan dari beberapa kertas yang ditempeli, plus digambari dengan spidol diluarnya. Menempelinya menggunakan isolasi besar, Zahdan memang kerap ikut nimbrung tiap kali Aku membungkus paket.
“Ummi, ini hadiah buat de Jhira..!!” katanya, tulus.
Hadiah itu Ia letakkan tepat disamping busa tempat Mazhira berbaring di kamar. Lalu lantaran adiknya itu tengah tertidur, Zahdan pun berbalik pergi ke ruang tengah, kembali bermain.
Penasaran dengan isi hadiah dari Zahdan, Aku membuka sedikit bungkus kertasnya.
Benar saja, bukan mobil bukan pula robot mainan yang dihadiahkan Zahdan pada Zhira. Tapi.. Kereta mainan, belasan kereta mainan banyaknya. Thomas, Percy, Luke, dan Toby, adalah empat diantaranya. Mainan yang dulu sangat disukainya sebelum berpindah melirik hot wheel. Sepertinya Ia tak terlalu peduli meski adiknya itu seorang perempuan. Ia hanya ingin memberi hadiah yang berharga menurutnya.
He.. Kau hebat Zahdan! ^_^

14/01/2018

Tokoh Empat Putri: Putri Balqis





Tidak, Putri Balqis bukanlah berasal dari masa kerajaan, Ia justru berasal dari masa sekarang, masa dimana tak ada lagi kerajaan tersisa. Tak heran jika Ia merasa canggung dipanggil Putri oleh Putri Mumtaza. Meski Putri Mumtaza sudah meyakinkannya berkali-kali, bahwa Balqis memiliki jiwa seorang Putri, lebih dari layak disebut sebagai Putri. Disamping itu, Ia adalah generasi ke-18 dari garis keturunan keluarga Putri Naysila, darah kerajaan mengalir kuat dalam dirinya.

Serupa dengan Putri Naysila, Putri Balqis termasuk keturunan yang memiliki kekuatan berkaitan dengan waktu. Bedanya, kekuatannya lebih kepada kemampuan berpindah tempat, berteleportasi, serta mengadakan perjalanan waktu. Tentunya dengan bantuan kalung jam pasir ajaib yang Ia dapat saat berkunjung ke museum tua.

Karena prestasinya, Putri Balqis dilibatkan dalam sebuah proyek pembuatan alat medis yang canggih. Bersama seorang mahasiswa tingkat akhir bernama Satria, Ia teguh menekuni proyek tersebut, demi kakeknya yang tengah menderita penyakit yang sama. Sayang, keterlibatannya dalam proyek tersebut justru menyeretnya dalam masalah besar, masalah yang mengancam nenek moyangnya sendiri, Putri Naysila.

12/01/2018

Afkar

Afkar namaku, tujuh tahun usiaku. Aku tinggal di perbatasan kota, sebuah wilayah yang tak jelas milik siapa. Kata Ibu, dulu daerah ini adalah tempat keramaian bangsa Palestina, tempat kami biasa berkumpul dan berniaga. Namun sekarang, bangsa Israel telah menduduki sebagian besar wilayah kami. Mereka menjadi penghuni rumah di kanan maupun kiri. Tentara militer, ataupun penduduk Israel biasa, datang dan tinggal di wilayah kami begitu saja. Semakin hari semakin banyak saja jumlahnya. Membuat penduduk asli disini terpaksa pindah lantaran diusir dengan bermacam cara.
Pun dengan keluargaku. Aku dan Ibu adalah dua dari 10 orang Palestin yang tersisa. Kami berada di tengah puluhan keluarga Israel yang sembarangan berkata bahwa ini adalah kota mereka. Membuat kami seringkali diintimidasi oleh mereka setiap hari. Diludahi, dilempari sampah dan kotoran, itu sudah biasa kami dapatkan. Mereka terus berusaha membuat kami agar tak betah, inginkan kami pindah dan pergi. Tapi kami terus bertahan.

Tak apa, setidaknya disini kami tahu mana bangsa yang menjadi lawan. Di ujung timur sana, kudengar ada sebuah negeri yang tak jelas mana kawan dan mana lawan. Mereka harus menghadapi bangsa sendiri yang tindakannya sungguh bertentangan dengan Al Qur’an. Di sebuah sidang pengadilannya saja diputuskan bahwa menyukai sesama jenis tak bisa dipidanakan. Aneh.. teramat aneh. Padahal kata Ayah, kaum nabi Luth dibinasakan oleh Allah karena melegalkan hal-hal semacam itu. Dan hakim-hakim itu malah sengaja mengundang azab Allah untuk ditimpakan kepada rakyat mereka sendiri. Pengadilan yang aneh.

Ayah memang sering bercerita banyak kisah. Kisah para nabi, perjuangan para sahabat, serta cerita-cerita binatang yang tercantum dalam Al Qur’an. Tapi satu yang paling kusukai, adalah cerita perihal sahabat nabi yang bernama Bilal bin Rabah. Bukan tanpa alasan, selain mengharukan, kisah Bilal adalah cerita terakhir yang sempat dibacakan Ayah kepadaku.

Ya, Ayah sudah syahid kala Aku berusia 5 tahun. Ia melawan saat tantara Israel hendak menyita satu-satunya kitab suci Al Qur’an yang ada di rumah kami. Ayah berkata tegas bahwa tangan kotor tentara-tentara itu tak berhak menyentuhnya. Alhasil Ayah ditodong dengan belasan senapan, mereka menyuruh Ayah keluar sendirian. Sembari melindungi Al Qur’an di dada, Ayah melangkah keluar rumah. Disana sudah ada banyak tentara Israel dengan senapan yang mengarah kepadanya. Aku menangis bersama Ibu dari balik jendela.

Dengan berteriak kasar, seorang tentara menyuruh Ayah menjatuhkan Al Qur’an yang didekapnya. Ayah tak bergeming, tangannya makin erat memegang kitab yang kesemua isinya sudah Ia hafal itu. Sebuah gas air mata ditembakkan kearahnya. Asapnya mengepul di sekitar kedua kakinya. Ayah tetap berdiri tegap, Aku tahu mustahil baginya melepas apa yang dicintainya.

Tanpa ada komando, puluhan gas air mata ditembakkan kearah Ayah. Dan sekejap, asap pekat menyelubungi kaki, badan, hingga kepalanya. Beberapa prajurit mundur beberapa langkah, menghindari efek gas air mata yang mulai terasa olehnya. Tapi tidak dengan ayah, seinci pun Ia tidak menggerakkan kakinya. Ia tetap tegap berdiri, menatap tajam para prajurit di sekelilingnya. Kedua tangannya teguh mendekap kitab suci, bibirnya lirih membaca tasbih dan tahlil. Seolah pekatnya gas air mata itu tak ada pengaruh apapun baginya. Beberapa tentara Israel mulai goyah, beringsut takut ditatap Ayah.

DOR!! Sebutir peluru melubangi kening Ayah. Badannya roboh beradu tanah, tapi tidak dengan kitab suci yang didekapnya. Serona dengannya, Akupun roboh tak sadarkan diri.

***

Afkar namaku, tujuh tahun usiaku. Aku tinggal di perbatasan kota, sebuah wilayah yang tak jelas milik siapa. Sudah dua tahun ini Aku bersekolah di sebuah sekolah darurat yang didirikan oleh relawan Indonesia. Jaraknya tak kurang dari 45 menit berjalan kaki. Tak masalah, kedua kakiku sudah terbiasa menempuhnya. Temanku bahkan harus berjalan selama 3 jam untuk bisa sampai di sekolah. Ia pun terlihat biasa saja, malah terlihat bersemangat menempa kaki kecilnya. Supaya nanti bisa menjadi seorang mujahid yang tangguh, itu katanya. Yang jadi masalah adalah justru ketika berpapasan dengan serdadu Yahudi. Mereka selalu saja gatal ingin mengerjai kami.

Sebuah bis sekolah bergambar bintang daud terparkir di pinggir jalan. Bis itu yang menjemput anak-anak Israel berangkat ke sekolah. Aku sudah sering melihatnya terparkir disana, yang berbeda adalah, hari ini bis itu dikawal belasan tentara. Kejadian kepala negara adidaya yang menyatakan bahwa Yerusalem sebagai ibukota Israel tempo hari, sempurna membuat mereka ketakutan sendiri. Mereka khawatir akan lebih banyak lagi serangan yang Kami lancarkan. Tanah ini adalah memang bumi para nabi, dan syahid untuk mempertahankannya adalah cita-cita Kami.

“Hey, Kamu! Kemarilah tikus kecil!” seorang tentara memanggilku. Aku tahu, mereka pasti hendak mengerjaiku lagi. Tanpa sedikitpun rasa takut, Aku berjalan mendekat. “Wahai manusia yang dilaknat Allah, Aku bukan tikus, Aku seorang muslim!” tegasku.

Tentara tersebut tampak terhenyak, Ia lalu menoleh ke arah kawan-kawannya. Yang ditoleh hanya tertawa, menertawakan dirinya. Tentara itu kemudian memandang kembali ke arahku. “Baiklah muslim.. em.. tikus muslim. Kau hendak ke sekolah bukan? Kau mau kami antar dengan bis ini?” tanyanya.  Aku menggeleng tegas, Aku tahu mereka hanya sedang mempermainkanku.

“Ayolah bocah.. dengan bis ini Kau akan bisa duduk dengan nyaman, kakimu tak akan melepuh seperti itu, dan Kaupun akan terlindung dari panas matahari” ucapnya, sembari tertawa meledek. Aku menatap tentara itu dengan pandangan tajam. “Tapi bis ini tak bisa melindungi kalian dari serangan bom kami bukan?” balasku. Tentara tersebut kembali terhenyak, gurat wajah takut sekilas tergambar jelas di wajahnya. Lidahnya tercekat, tak mampu membalas kata-kataku barusan.

“Ka..Kau!!” ucapnya, tergagap. Wajahnya memerah, antara malu dan lantaran marah. Tak lama, tangan kirinya menjambak rambutku, menyeretku masuk kedalam bis. “Berani sekali Kau bocah. Kau sekarang juga masuk bis ini, bersihkan lantainya dengan wajah palestinamu itu!” teriaknya. Aku sebenarnya kesakitan, tapi sedikitpun Aku tak boleh menampakkannya. Hal itu hanya akan membuat mereka bertambah senang.

“Lepaskan tanganmu wahai pembunuh para nabi!!” balasku. Mendengarnya, tentara itu semakin berang. Ia menyeretku semakin kasar, lalu membanting kepalaku ke lantai bis dengan keras. Satu dua bangsa Israel didalam bis menoleh tak acuh, yang lainnya malah tersenyum kecil mengejekku.
Menahan sakit, Aku lekas kembali bangkit, hendak melawan tentara tersebut dengan tenaga kecilku. Seperti yang kuduga, tentara sepertinya tak pernah membedakan anak-anak atau dewasa, laki-laki maupun perempuan, mereka tetap bersikap bengis dan kejam. Seperti sekarang, melawan Aku yang masih kecil ini, tentara tersebut bak melawan lelaki dewasa saja. Ia menghantamkan kepalaku ke lantai bis berulang kali. Aku mati-matian mencakar dan menggigit tangannya.  Sayang, cakaran itu hanya membuat tentara tersebut makin marah saja. Tubuhku Ia banting ke lantai, tangan besarnya mencengkram wajahku dengan kuatnya, dan lututnya Ia gunakan untuk menekan dadaku, membuatku merasakan sesak yang teramat berat.

“A..Allah.. Allaah…” lirihku, megap-megap mencari udara. Tentara itu terus membekap mulut sekaligus wajahku, tak membiarkan sedikit oksigenpun masuk kedalam paru-paruku. Hmbph.. A..Allaaah…!!

Di fikiranku langsung terngiang kembali, saat ayah berkisah tentang Bilal, sahabat Rasul yang begitu istimewa. Dulu Bilalpun pernah dihimpit dengan sebuah batu yang begitu besar, diserang dengan sengatan panas matahari siang, diatas tanah kering yang sangat menyakitkan. Ia dipaksa untuk beralih kembali mengakui Lata dan Uzza sebagai Tuhannya. Tapi Bilal tak bergeming, Ia tetap lirih berkata “Ahad.. Ahad.. Allahu Ahad..” ucapnya.

Tangan besar tentara kian keras mencengkramku, tangan satunya lagi Ia gunakan untuk mencekik leherku. Aku tahu, Ia memang jelas berusaha membunuhku.

Tak apa, sungguh tak apa. Menjadi syuhada memang cita-cita kami semua. Berapapun banyaknya muslim yang mereka bunuh, akan muncul ribuan muslim lagi yang bangkit dan melawan. Akan datang saatnya dimana semua muslim di dunia ini bersatu, membuat pasukan yahudi kocar-kacir ketakutan dan bersembunyi. Hingga seluruh alampun berbicara memberitahu tempat dimana mereka sembunyi.

Degup jantungku memelan, kesadaranku perlahan menghilang.  

Dengan tangan bergetar, Aku mengangkatnya ke atas. Bukan.. bukan utuk mencakar lagi, bukan pula untuk melawan lagi. Namun Aku mengangkat jari telunjukku di tengah-tengah Yahudi, memberi mereka sebuah pesan dengan lantang. “AHAD.. ALLAHU AHAD!!! LAAILAHAILLALLAAH, MUHAMMADU RASULULLAAH!!”

Langit terbelah, malaikat-malaikat bersayap turun berbondong-bondong, mereka berebut menjemputku. Sebuah sosok tak ingin kalah, Ia bersegera menggamit tangan kananku. Wajahnya begitu bersinar, menoleh ke arahku dengan penuh rasa sayang. Aku terperanjat bercampur haru. “Ayah..?” bisikku. Sosok tersebut menoleh, menatapku teduh, lalu tersenyum. “Iya Nak. Ayo, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu” ucapnya.

Aku langsung bertanya, “si..siapa Ayah?” tanyaku. 

Ayah menjawab, “siapa lagi? Ia sahabat Rasulullah tercinta, namanya Bilal bin Rabah..”

Mendengarnya, wajahku berubah sumringah. 
***