28/06/2020

Kostum


Hari itu, kami kedatangan Si Mata Elang dan Si Ahli Kalkulasi. Keduanya langsung disambut Kapten Zahdan dengan mata yang girang.

Tak sampai setengah menit, mereka bertiga sudah bermain dengan serunya. Berlari-lari mengangkat senjata, serta berteriak-teriak dengan helm di kepala.

Tak cukup, mereka bahkan menggunakan beberapa properti layaknya superhero sejati. Melempar-lempar shuriken kertas ala ninja. Atau beramai-ramai menaiki kardus bak kapal di tengah samudera.

Hm! Sepertinya itu mengingatkanku pada ilustrasi buatan Azhar Shulh Hilmi. Itu, empat tokoh bajak laut keren dalam novel Alkisah Putri Armida.

Tanpa ba bi bu, mereka langsung kudandani sedemikian rupa. Jaket, sabuk, semua direka-reka seadanya. Zahdan malah tertawa-tawa memakai jaket besarku. 'Agak bau' katanya.

Sedangkan Afkar, seperti biasa hanya menurut dan diam, namun sembari menyembunyikan senyumnya. Duh, jika ketahuan Umminya, sudah pasti Ia akan mengeleng-gelengkan kepala. Anaknya yang cool ini mendadak didandani tak karuan. He..

Beruntung bagi Byaz, Si Ahli Kalkulasi itu terlanjur dipanggil ayahnya pulang. Hingga 'selamat' tak ikut serta. Pun Jamil, sudah cukup lama kami tak pernah melihatnya.

Bagaimanapun kapten, sejatinya bukanlah kostum yang menjadikan kalian pahlawan. Bukan senjata yang menjadikan kalian berjaya. Melainkan azam.

Selama terus berazam untuk berbuat kebaikan demi kebaikan, kalian dengan sendirinya sudah menjadi pahlawan. Superhero terhebat yang pernah tercatat. Insya Allah..

"Abi, jaketnya boleh dibuka ya? Bau, soalnya!" kata Zahdan, polos.

"Iyaa, Zahdaaan!!" jawabku, setengah kesal.

Besoknya, Byaz sudah muncul sedari pagi. Ingin didandani pula, katanya. 
 


 

18/06/2020

TK Kreospora - Sebuah Puisi Sederhana


TK Kreospora..
Sungguh nama yang janggal dan asing di telinga.
Sekolah lain, menyalin pahlawan bangsa untuk dijadikan nama.
Sekolah lain, melabeli diri dengan nama-nama pemiliknya.
Sekolah lain, menukil kata-kata yang lumrah dan teramat biasa.
Namun Kreospora, justru malah mengutip istilah flora yang istimewa.

Iya, Flora!
Yang mengakarkan harapan.
Yang menguncupkan azam.
Yang merimbunkan kebaikan.   

TK Kreospora..
Sungguh bangunan yang ganjil tertangkap mata.
Sekolah lain, berbentuk gedung tinggi bertingkat-tingkat.
Sekolah lain, berlantai keramik mewah mengkilap-kilap.  
Sekolah lain, dihias gambar warna-warni bunga berbahan cat.
Namun Kreospora, justru seperti rumah tinggal yang sejuk bersahaja.

Iya, rumah!
Yang beralas lembutnya tanah,
Yang berdinding rindangnya daun,
Yang berpagar mekarnya kembang.

TK Kreospora..
Sungguh memiliki pengajar-pengajar berperangai langka.
Sekolah lain, berkata guru laksana surya.
Sekolah lain, berucap guru seperti air.
Sekolah lain, bertutur guru ibarat salju.
Namun di Kreospora, sosok guru itu justru layaknya seorang ibu.

Iya, Ibu!
Yang mengangkat hebatnya bakat.
Yang membimbing mulianya akhlak.
Yang mendorong anak-anak melesat,
bersinar gemilang penuh maslahat.

Aneh, memang.
Sekolah ini tertampak sederhana.
Tapi riang muridnya begitu kentara.
Tertawa-tawa menggenggam tanah, sembari mengenal unsur hara-nya.
Bergidik-gidik memegang ulat, sekaligus mempelajari metamorfosisnya.
Berjinjit-jinjit mengumpulkan sampah, seraya seru mendaur ulangnya.

Ah,
Mungkin itu sebabnya Zahdan merasa betah.
Anak kecil itu bercerita banyak setiap pulang dari sekolah.

TK Kreospora..
Sungguh teristimewa para guru-gurunya.
Manusia-manusia luar biasa yang telah berjuang sekuat tenaga.
Dua rentang ke belakang, adalah masa berkesan yang terpaut dalam ingatan.
Maka izinkan kali ini, kami tulus menghaturkan.

Terima kasih banyak atas segala pengorbanan.
Terima kasih banyak atas segala perhatian.
Terima kasih banyak atas segala kebaikan.
Semoga malaikat-malaikat senantiasa mencatat,
Dan semoga Allah membalasnya ribuan kali lipat.

Aamiin..


10/06/2020

Rumah Berlantai Tiga

Gunung yang tinggi menjulang. Kokoh berdiri tanpa kesombongan. Ikhlas disengat siang, sabar dihembus malam. Terkadang, Ia biarkan dirinya lenyap terhalang awan. Terkadang pula Ia biarkan dirinya dipugar menjadi bongkahan. Kemudian menghilang.

Sangat menyakitkan..

Lihat, pepohonannya bahkan habis-habisan ditebang! Pasir-pasirnya terus dikeruk bukan buatan! Anehnya, sang gunung tetap berdzikir dengan tenang. Diam.. Hanya Allah lah yang Ia agungkan.

Berbeda dengan makhluk fana bernama manusia. Melantangkan angkuh atas hunian mewahnya. Berkoar congkak hanya karena semen dan bata. Lalu ketika rumahnya ditinggikan berlantai tiga, hati si penghuni semakin jumawa. Serasa Raja.

Sangat menyebalkan..

Lihat, catnya saja dilarang tergores meski Kau tak sengaja! Pagarnya saja haram disentuh walau Kau tetangga sebelahnya! Jika tidak, bersiaplah kau dimarahi si penghuni. Kasar dimaki-maki seenak hati. Seolah tak cukup, rumah sederhanamu pun bahkan dilempari.

Sungguh aneh.. Bukankah Rasul melarang keras menyakiti tetangga?

Sangat aneh.. Bukankah rumah yg Ia sombongkan, dibanding gunung yang tinggi itu tidak ada apa-apanya? Separuh saja, tidak.

Seharusnya, sang gunung lah yang lebih berhak jumawa. Toh bukan hal yang sulit bagi gunung tuk luapkan amarahnya.

Semburkan saja lava yang teramat panas itu!

Luncurkan saja longsor yang menenggelamkan itu!

Atau, longgarkan sedikit saja pasak itu! Biar bumi porak poranda karena gempa. Hancur semuanya, termasuk hunian mewah berlantai tiga.

Ingatlah ketika dulu, kala hendak dijadikan pimpinan, gunung seketika lebur, hancur, tak mampu menanggung beban. Lain halnya dengan manusia, yang langsung mengangguk saja mengiyakan.

Ah, mungkin manusia tak pernah tahu. Atau malah tak mau tahu?

Tentang tibanya nanti hari pembalasan. Dimana setiap jabatan akan dipertanggungjawabkan. Dimana setiap dusta akan dipertanyakan. Pun dimana setiap jumawa akan dipatah-tenggelamkan.

Rumah berlantai tiga, ternyata tak lebih berharga dari sebelah sayap serangga.