28/11/2013

Cinta..



Kata orang, cinta seperti mentari.
Hangat di kala pagi,
dan benderang di saat siang.
Maka janganlah heran.
Ketika cinta ia rasakan.
Hatinya bak fajar berkepanjangan.
Selalu penuh kehangatan..
Selalu penuh pengharapan..    

Orang bilang, cinta laksana bunga.
Ayu disaat kuncup,
dan indah kala merekah.
Maka tak usah kau tanya.
Ketika cinta tengah melanda.
Hatinya semerbak tak ada habisnya.
Terasa selalu berwarna..
Terasa selalu merona..

Sayangnya, itu kata mereka.
Cinta yang kurasa,
sungguh jauh berbeda.

Aku bilang, cinta seperti kaca jendela.
Yang diterpa hujan diluarnya.
Dingin..
Berembun..
Sekalipun kau coba mengelusnya, menjernihkannya..
Kau hanya akan membuatnya meleleh di kedua ujungnya,
lalu..kembali berembun..

Cinta bagiku ibarat ratusan belati.
Yang satu persatu dilempar kemari.
Maka janganlah heran.
Setiap cinta itu datang,
hatiku luka tak terbantahkan.
Setiap cinta mendekati,
hatiku hancur berkali-kali..

24/11/2013

"Kita pulang saja.."

Ziya terdiam. Berdiri mematung, memandangi saudara-saudara seusianya yang tengah bermain tak jauh darinya. Kejadian ini terjadi ketika ada pertemuan keluarga besar. Dimana disana berkumpul semua anggota keluarga, dari yang tua dan yang muda, dari yang jauh sampai yang dekat, semua berkumpul disana. Aku tak begitu tertarik dengan perkumpulan semacam itu. Toh karena basa-basi klasik yang muncul disana kebanyakan adalah lelucon2 yang merendahkan satu sama lain. Itu adalah kebiasaan yang memang sudah mengakar di komunitas suku ini, positifnya sih bisa menjadikan kami merasa semakin dekat. Negatifnya? jangan tanya. Lelucon2 yang dilontarkan seringkali tak terkendali sehingga mengarah pada kata2 yang semakin tajam, mengundang ketersinggungan beberapa orang.
Kembali kepada ziya. Ziya yang memiliki sifat introvert, membutuhkan energi besar untuk bersosialisasi dengan anak2 lain. Dan lingkungan yang mau menerima lah yang ia butuhkan. Karena ziya kecil memang kurang bisa agresif menggabungkan dirinya bersama lingkungan sekitarnya. Lalu jika lingkungannya enggan menerima? Inilah yang terjadi.
Seorang saudara ziya yang "dominan", dan tampaknya memiliki karakter ekstrovert yang kental, telah sukses memegang kendali perkumpulan anak2 seusianya di pertemuan keluarga ini. Ia berhasil menggiring anak2 lain ke mana saja yang ia suka. Dan jika ada yang tidak mau, alhasil ia akan didepak keluar dari perkumpulan, ditinggalkan.. seperti Ziya. Aku tahu, meski ziya masihlah kecil, tapi ia bukan anak yang mau begitu saja menurut pada orang lain. Jadinya, ya...seperti sekarang ini. Ziya ditinggalkan anak2 lain karena enggan menurut pada perintah "sang dominan". Sedih? tentu saja. Lihatlah, Ziya kecil hanya bisa memandangi mereka dengan mata yang berkaca2 menahan tangis. Aku? apa yang bisa kulakukan? memaksa mereka untuk menerima ziya? sementara mereka sendiri beranggapan bahwa ziya "berbeda"? "ga asyik diajak main"?
Ternyata, anak2 pun sudah pandai berpolitik. Membuat kubu yang kuat berdasarkan jumlah "massa" yang dikumpulkan. Dan dilihat dari segi manapun, tentu saja mereka yang memiliki massa lebih banyak pastilah "lebih keren" daripada yang massa nya sedikit, atau bahkan yang sendirian.
Tiba2 ziya menoleh padaku, dengan mata yang masih berkaca2. "abi..ziya sedih.." mungkin itu kata2 yang ingin ia ucapkan, tak bersuara..namun terbaca lewat pandangan mata. Aku hanya bisa membuka dua tanganku sembari memaksa diri untuk tersenyum menenangkan, menyembunyikan perasaan sedihku melihatnya "terasing". Dan Ziya pun langsung berlari ke arahku, memelukku erat.. menahan tangisnya yang terisak. Mungkin teringat kata2ku tentang "anak besar ga boleh nangis, ga boleh manja". Tidak nak, itu tak berlaku untuk saat ini, menangislah kau..kutahu itu bisa membuatmu merasa lebih baik.
Lama ziya memelukku, menyembunyikan wajahnya dibalik lenganku. Kutepuk halus punggungnya, dan berkata "ga apa2 nak.. ada abi disini.. ziya mainnya sama abi aja.." bisikku. Ziya mengangguk pelan, sembari tetap menyembunyikan wajahnya.
Beberapa saat lamanya, ziya pun tertidur begitu saja dalam gendonganku..
Giliranku yang terdiam. Memperhatikan saudara2 lain yang tengah bersenda gurau satu sama lain. Berkumpul, di deretan kursi yang lain. Sementara deretan kursi di kanan kiriku..kosong, tak ada yang berniat mendudukinya seorangpun. Tiba2 saja aku teringat dengan kata2 Ummi ziya, "ziya itu sifatnya mirip sama abi". Ummi, tampaknya kau memang benar, karakter ziya yang introvert adalah warisan dariku. Ya..tentu saja. Apa yang dulu kualami, kini dialami oleh ziya. Keterasinganku dulu kini menjadi keterasingan ziya. Maafkan nak, jika abimu ini telah mewarisi sifat yang membuatmu dijauhi, membuatmu merasa kesepian..

Hmph.. Aku lalu mengangkat ziya yang masih tertidur, menggendongnya.. dan beranjak dari kursi yang kududuki. "ayo nak.. kita pulang saja.." bisikku lirih. 
 

20/11/2013

Manusia



Bumi ini tlah semakin tua, kawan.
Berapa lama lagi kita kan membuatnya renta?
Pengrusakan yang kita lakukan,
keserakahan yg kita timpakan,
sungguh telah ciptakan bumi yg renta jauh sebelum tua nya.

Dan kita masih menyebut diri sebagai spesies tertinggi?

Batu itu semakin hitam, kawan.
Berapa banyak lagi kita kan membuatnya legam?
Kesalahan yang kita kumpulkan,
dosa yg kita acuhkan,
sungguh telah membuat legamnya bertambah, jauh dibalik hitamnya.

Dan kita masih merasa termulya di seantero dunia?

Wahai langit, lihatlah kami..
Menderas di pusat belanja, namun merintik di pusat pahala.
Membludak menonton hiburan, namun menjumput menghadiri pengajian.

Wahai langit, dengarlah kami.
Mengeluh saat kepanasan, dan mengutuk ketika kehujanan.

Kami memang tak pernah bersyukur.

Padahal, jika saja kau izinkan batu2 angkasamu menumbuk bumi,
kemanakah kami akan berlari?
Bukankah rumah suci saja tak lagi kami datangi?

Jika saja lahar dimuntahkan,
kemanakah kami akan diselamatkan?
Bukankah kening ini sajapun tak rutin lagi kami sujudkan?

Mungkin saja, tak perlulah lagi adanya hisab di akhirat sana.
Karena tampaknya, kami sudah memilih jalan ketika berada di dunia.
Tepat ketika panggilan2 surga dikumandangkan.
Kami memilih untuk mengacuhkan.
Dan tepat ketika panggilan2 neraka dipertontonkan,
Kami memilih untuk berbaris menjadi pelanggan..

Wahai Tuhan..
Inilah kami..
MakhlukMu yang bernama.. Manusia.

18/11/2013

Antara Handphone dan..

Anggaplah kau mempunyai sebuah handphone. Yang pertama, dan kau beli dari gaji pertama pula. Tak perlu ditanya.. susah payahlah kau untuk membelinya. Mungkin tak jauh beda dengan Cinta pada pandangan pertama. Bertahun-tahun kau memilikinya, berjuta kenangan kau bersamanya. Tertinggal di kantor, habis pulsa, batterai ngadat, sampai layar nge-hang.. Tak mengapa, semua tak jadi soal. Karena kau "membutuhkannya.."
Sayangnya, lambat laun semua berubah. Saat muncul Handphone keluaran terbaru. Yang canggih punya, fitur lengkap, dan desain yang bikin ngiler. Kau pun mulai tergoda. Melupakan kenanganmu bersama handphone pertama, dan mulai berusaha menggantinya dengan yang kedua. Wajarkah itu?
Tentu saja.. Itu hanya Handphone bukan? Lain lagi jika kau memberlakukan hal yang sama pada istrimu.
Berapa banyak dari mereka yang menjalani pacaran bertahun-tahun lamanya, tunangan dan resepsi pernikahan dengan teramat mewahnya, mas kawin yang membuat para tamu undangan berdecak begitu kagumnya, dan melempar kata-kata sayang picisan dengan begitu lebaynya.
Namun, ketika telah memiliki anak, ketika sang istri telah berubah gendut, dan ketika muncul perempuan "keluaran terbaru", mereka tergoda.. Terlupa dengan segala yang telah dilalui bersama..
Mereka....
Sungguh menyebalkan bukan?
Ya.. Sangat menyebalkan. Beralasan bahwa "sudah tidak cocok LAGI", berargumen bahwa "jodoh itu tidak bisa dipaksakan", dan segudang pembenaran atas apa yang mereka lakukan. Apalagi ketika berdalih dengan dasar "sayang pada anak". Anak yang tak mengerti, benar2 dibuat "tak mengerti". Menyebalkan..!
Hmph... ironisnya, yang "menyebalkan" itu benar2 ada. Sungguh benar2 ada..dan bahkan bertebaran di seantero penjuru dunia..

Omong Kosong !!



Kau ingat nak, ketika saudara sepupumu tengah mengalami kesulitan yang teramat berat. Padahal usianya barulah terbilang 3 tahun, 2 tahun lebih muda darimu. Ya, sebut saja namanya 'S'.. S adalah anak pertama dan satu2nya dari sepasang suami istri yang masih terbilang cukup muda, mereka hanya terpaut beberapa tahun di atas usia abimu ini.
Sayangnya, sekian tahun pernikahan berjalan, sudah muncul percik2 api yang membakar ikatan suci mereka. Isu perceraianpun muncul. Semua keluarga besar dari kedua belah pihak terus menerus membujuk mereka agar tetap mempertahankan pernikahan mereka tersebut. Mediasi pun dilakukan, berulang kali bahkan. Sampai berujung sidang di pengadilan yang tak kunjung usai.
Suatu ketika, kembali timbul masalah, sang suami dipergoki tengah berada di rumah seorang perempuan, kita namai saja ia 'X'. Keluarga pun diberitahu, sayangnya..sebagian besar dari mereka sudah enggan untuk ikut campur dalam masalah yang telah berlarut2 sekian tahun ini. Akhirnya, karena tak ada lagi yang mau turun tangan, abimu inilah dan seorang bibi dari pihak laki2 yang diharuskan mewakili pihak keluarga untuk mengadakan mediasi.
Singkat cerita, mediasi tak berjalan dengan baik, malah mengarah pada perceraian (lagi) dan pernikahan kedua bagi sang suami.
'Omong kosong!!' kataku tiba2. Semua yang hadir terdiam,menatapku heran. Mungkin mereka tak menyangka aku yang jarang sekali berbicara di muka umum, apalagi dengan kata2 yang cukup kasar seperti itu. 'Kau !! Apa kau memang berniat menikahi X? Ya atau tidak?' tanyaku sembari menunjuk sang suami. Yang ditunjuk terdiam cukup lama, lalu menjawab 'kalau istri saya masih...' jawabnya yang dengan cepat kupotong. 'pertanyaan saya bukan begitu, Ya atau Tidak, kau berniat menikahi X?' tanyaku tegas. Sang suami kembali terdiam lama, seluruh yang hadir menatap yang ditanya. Beberapa saat kemudian, ia menjawab 'iya' ujarnya. Aku lalu bertanya lagi 'lebih besar mana, sayangmu terhadap X, atau sayangmu terhadap S anakmu?' tanyaku. Ayah dari X yang ikut hadir disana hendak memotong, namun kularang dengan tegas 'bapak diam dulu, saya sedang bertanya!' ujarku. Tampak ia tersentak, terdiam mati kata. Aku lalu kembali menatap tajam sang suami. Cukup lama ia terdiam, lalu ia menjawab 'lebih besar sayang ke S' katanya lirih. Tak memberi kesempatan rehat, aku lalu memberondongnya kembali dengan pertanyaan menohok berikutnya, 'bisa tidak, demi sayangmu kepada S, kau jauhi X?' tanyaku. Ayahnya X kembali hendak memotong, 'sebentar a...' tak sempat ia menghabiskan kalimatnya, sudah kupotong kembali. 'tunggu pa, bapak tolong diam dulu, saya sedang bertanya !' kataku dengan nada sedikit lebih tinggi.
Sang suami kembali tertunduk, diam tak berkata. 'hubungan dengan anak itu ga bisa dipisahkan..' ujarnya, terbata. 'saya tahu, dan pertanyaan saya bukan itu, bisa tidak kau jauhi X demi sayangmu kepada S?' kataku lagi, sembari gemetar menahan marah.
Sayangnya, jawaban belum kudapatkan, sang bibi ikut berujar 'jawab saja..masalah nanti kau mau menikahi siapapun itu beda lagi.' katanya.
Suasana kembali hening, tak ada yang berkata. Aku kembali menumpahkan kekesalanku. 'kalian itu ya, sudah sering dihadapkan pada keadaan semacam ini. Dan alasannya klasik, kuno, itu2 saja, suami ga suka kelakuan istri, istri ga terima kelakuan suami. Dan yang saya ga suka, dua2nya bilang sayang sama S' kataku, menarik nafas sebentar, lalu kembali melanjutkan. 'suami ingin istrinya ngerti, istri juga sama minta suaminya paham, tapi apa kalian pernah tanya, apa keinginan S?' tanyaku sedikit membentak. ' S cuma ingin kasih sayang ibu sama ayahnya, titik. Bukan ibu tiri, bukan ayah tiri. Kalian tak pernah ngerti karena kalian sibuk dengan urusan masing2, sibuk liat kesalahan istri, dan sibuk mencari2 kesalahan suami. Sementara anak diombang ambing sendiri. Apa kalian ga ngerti juga?' paparku. Semua yang hadir terdiam.
Aku kembali menumpahkan kata2 pedas, 'kalau kalian masih juga sibuk dengan masalah2 ini, besok bereskan baju2 S, akan kubawa S ke panti asuhan, biar kalian bebas dengan urusan kalian. Toh di panti asuhan jelas2 ada yang bakal menyayangi S. Dan saya punya kenalan pengasuh panti asuhan, orangnya bisa dipercaya.' kataku panjang lebar. Tampak sang istri dan ibunya yang mendampinginya mulai menangis, terisak. 'ga mungkin..saya yang melahirkannya, mana mungkin saya tega masukin S Ke panti asuhan..' ujar sang istri terbata. 'lantas kau akan membiarkan S hidup dengan masa kecil seperti ini? Siapa yang bisa menjamin jika S hidup terus dengan keadaan ini ia nanti akan punya masa depan baik? Bisa saja ia jadi orang jahat, preman, baragajul.' ujarku.
Ibu sang istri pelan berkata 'iya, tapi anak saya juga pernah bilang, jika bukan karena S ia tak mungkin bertahan sejauh ini, tapi bagaimana bisa hidup serumah dengan suami yang berkelakuan seperti itu..' kata2nya langsung kupotong. 'Omong kosong..!! Omong kosong mereka berdalih sayang pada S, sementara sikapnya masih egois memikirkan urusan masing2. Apa yang kita bahas sekarang ini cuma akarnya, sedangkan intinya hanya satu, sayang pada S. Jika kalian punya sayang yang besar pada S, masalah sepelik apapun, tak akan bisa membuat kalian pecah !.' bentakku lagi. Hening..suasana hening kembali, semua yang hadir terdiam.
Akhirnya, Aku berdiri, setelah sebelumnya sang ayah dari X berkata bahwa ia juga tidak akan mengizinkan sang suami menikahi X jika masalahnya ternyata seperti ini. Antara percaya dan tidak pada kata2nya, aku tak peduli lagi. 'sudah.. Bubar saja, Saya mau jemput anak saya sekarang.' kataku acuh. Satu persatu yang hadirpun berdiri, bersalaman tanggung, lalu membubarkan diri.
Nak, entahlah.. Mungkin abimu ini berdosa tlah berani2nya membentak mereka yang usianya lebih tua. Tapi apa mau dikata, karena ternyata semua kata2 sayang mereka selama pacaran bertahun2, semua janji suci mereka diwaktu akad nikah, semua pesta pernikahan mereka yang terbilang mewah, semua ikrar sayang pada S sang anak, itu semua tidak bisa membendung keinginan untuk sebuah perceraian.. Omong kosong bukan?