19/09/2020

Ketika

Ketika raga digerus usia, sehat selalu adalah niscaya.
Kala raga digerogoti usia, langkah yang lima berubah dua.
Lihat! Penglihatanmu mulai memburam, kan?
Dengar! Pendengaranmu mulai berkurang, bukan?
Belum lagi dengan ingatan yang tak lagi tajam,
Membuatmu kerap terlupa dengan banyak sekali kejadian.
Termasuk pada hal-hal indah yang seharusnya kau kenang.
...
 
Ketika raga digerus usia, sehat selalu adalah niscaya.
Kala raga digerogoti usia, obat nyeri itu seolah biasa.
Ingat! Bukankah dulu sebutir itu untuk satu minggu?
Namun sekarang setiap hari pun dirasa perlu.
Meski tertohok rasanya ulu-mu.
Walau berdebar rasanya jantungmu.
Kau harus melulu bertahan demi nafkah keluargamu.
...
 
Ketika raga digerus usia, sehat selalu adalah niscaya.
Kala raga digerogoti usia, pilek biasa pun serasa berat adanya.
Betapa tidak? Jika ingusmu jelas-jelas bercampur darah.
Membuatmu selalu menyembunyikan tisyu dari sesiapa saja.
Ah, mungkin ini hanya pertanda bahwa kau tengah lelah.
Atau pengingat bahwa kau akan kembali ke tanah.

11/09/2020

Jemu

Kokok ayam sudah berlalu sedari tadi. Bulatan mentari sudah tertampak memulai hari. Sinarnya bahkan sudah tiba di celah jendela serta kisi. Seharusnya, para anak adam juga sudah berkegiatan dengan rutinitasnya masing-masing. Mencuci, membersihkan rumah, pun memasak untuk sarapan pagi. Demikian juga dengan anak-anak sekolah, setidaknya sudah bersiap dengan pelajaran di hari ini. Mengecek ponsel, memeriksa pemberitahuan dari guru lewat grup WA resmi.

Sayangnya, Zahdan kecil malah memilih kembali meringkuk di balik selimut. Usai sholat shubuh tadi, anak itu tak lantas bermain robot seperti biasanya. Pun tak lantas mandi dan mengenakan seragamnya. Alih-alih berseka, Zahdan malah menguap, lalu merebahkan kepalanya di bantal bergambar bintang. Kedua matanya rapat dipejamkan. 

“Lho, Zahdan. Kenapa malah tidur lagi? Kan hari ini ada zoom meeting. Zahdan gak siap-siap mandi terus pakai seragam?” tanyaku, sembari sibuk menyiapkan perangkat modem andalan. Jika modem ini tidak siap, anak-anak nanti akan kesulitan belajar daring.

Zahdan tak menjawab, kedua matanya melamun menatap langit-langit kamar, lalu kembali terpejam. 

Aneh, biasanya Zahdan selalu bersemangat setiap bangun pagi. Rasanya tadi malam pun jam delapan sudah tidur. Durasi istirahatnya tidak bisa dikatakan kurang.

Merasa ada sesuatu yang janggal, aku menghampirinya. Yang dihampiri malah membenamkan kepalanya sendiri ke bawah bantal. 

“Euh.. malah ngumpet. Nanti bu gurunya nungguin geura! Nanyain, kemana ya Zahdan? Apa masih tidur ya?” kataku.

Zahdan tak bereaksi. 

“Em, terus, kalo Zahdan nya gak ada, gak ngerjain tugas, nanti Zahdan gak akan dapet bintang dari bu guru atuh” lanjutku.

Zahdan pelan mengeluarkan kepalanya, kedua matanya mengerjap-ngerjap malas. 

“Kenapa? Zahdan sakit?” tanyaku, sembari meraba keningnya yang tak panas.

Zahdan menggeleng.

“Nafasnya sesek?” tanyaku lagi.

Zahdan kembali menggeleng. 

“Mimpi ketemu monster?”

“Mimpi dikejar Zombie?” 

“Atau mimpi ketemu sama alien?” godaku.

Zahdan makin menggeleng kencang.

“Nggak, Abii! Zahdan tadi malem mah nggak mimpi!” Zahdan akhirnya membuka suara. 

“Ooh! Terus kenapa atuh?” Aku menyelidik.

Zahdan terdiam sejenak, lalu bertanya balik.

“Abi, hari ini Zahdan sekolahnya zum miting lagi?” tanyanya.

Aku mengangguk. 

“Iya, Zahdan. Kemaren kan bu guru sudah ngasih tahu lewat WA. Kemaren juga Zahdan sudah dapet bintang sama jempol, katanya Zahdan hebat sudah ngejawab pertanyaan-pertanyaan dari bu guru” paparku.

Zahdan kembali terdiam. Ini adalah kejanggalan kedua, karena dulu, Zahdan biasanya kerap bertanya sudah berapa bintang yang ia dapat. Berapa jempol yang diberi bu guru. Jumlahnya kemudian dibandingkan dengan total bintang yang diraih oleh teman-temannya.

Tapi akhir-akhir ini, Zahdan tampak tak terlalu peduli dengan perolehan bintang. Malahan, semangatnya terlihat berkurang kala mengikuti pembelajaran. Harus duduk, menatap layar gadget selama satu jam. Betapapun kata ‘hebat’ disematkan, -mungkin karena terlalu sering didengar-, maknanya kian hambar dirasakan. 

Usut punya usut, Zahdan ternyata tengah merasa jemu. Iya, jemu! Jemu serupa seperti yang kita semua rasakan. Jemu terhadap dibatasinya interaksi, jemu lantaran tiadanya kerumunan. Pandemi ini memang sungguh telah membatasi banyak sekali ruang. Dan semua pihak telah berusaha keras untuk terus beradaptasi dalam menjalankan peran. Guru, murid, pedagang, karyawan, sebisa mungkin terus berimprovisasi menunaikan fungsi.

Bagi anak ekstrovert semacam Zahdan, sudah tentu hal ini memunculkan kendala. Karena baginya, keramaian adalah bahan penggerak utama. Komunikasi dengan orang banyak, adalah penumbuh semangat dan sumber bahagia. 

Berbeda dengan Ziya, yang tampaknya enjoy-enjoy saja belajar daring. Duduk sendirian di pojok belajar, berkata satu dua melalui headset yang dipakai, banyak-banyak mencatat serta menggambar. Bagi anak introvert, ini mmang dunianya. Lihat, Ziya bahkan jarang sekali bertanya, jadwal belajarnya sudah Ia pampangkan jelas di dinding kamar.

Ah, jemu bisa melanda siapa saja. Termasuk Zahdan dan karakter cerianya. Orang tua mau tidak mau harus terus memunculkan hal yang baru.

... 

“Zahdaan.. iih, lihat ini kutunya meni banyak!” ujar Umminya, ketika tengah menyisiri rambut Zahdan.

Yang disisiri hanya terkekeh, rambutnya memang sudah cukup panjang menutupi mata, tak heran jika kutu doyan sekali beranak pinak disana.

“Ambil kutunya satu Zahdan, kita lihat pakai mikroskop kertas!” ajakku.

Zahdan langsung terperangah, segala sesuatu yang baru memang kerap membuat antusiasnya membuncah. 

“Mi..kroskop kertaas? Iya Abi, siap! Zahdan ambilin kutu yang paling gede ya!” katanya, penuh semangat.

Singkat cerita, sample kutu sudah disisipkan di foldscope (mikroskop kertas). Bagian depannya disambungkan pada lampu flash dari ponsel, membuat tampilan sample menjadi terpampang besar di dinding. Zahdan menatap hampir tak berkedip, Ia berdecak sekaligus bergidik. 

“Abi, itu teh kutu Zahdan?”

“Itu kakinya ada enam, Abi!”

“Ha? Itu yang bergerak-gerak apa? Ja.. jantungnya? Iya, ya? Itu teh jantungnya kutu Zahdan ya? Hiii....”

Aku mengangguk mengiyakan. Menggeser-geser posisi sample agar bagian jantungnya makin terlihat lebih jelas oleh Zahdan. 

“Zahdan mah janji mau rajin mandi sama pakai shampo ah, gak mau ada kutu lagi di kepala Zahdan!” tegasnya.

Mudah-mudahan, tema jantung kutu ini bisa menghapus jemu Zahdan selama beberapa hari ke depan.