03/10/2019

Kami Baik-baik Saja, Bu.

Handphone itu tergeletak sembarang. Setelah 10 menit yang lalu Aku menutup panggilan. Sebuah panggilan rutin dari Ibuku, orang yang melahirkanku.

Seperti biasa, Ia bertanya tentang kesehatan. Bagaimana kabar anak-anak, pekerjaan, berkata ini itu, bercerita tentang masa lalu, dan sejenisnya, dan semacamnya.

Dan seperti biasa pula, Aku menjawab.. ‘Kami baik-baik saja, Bu. Sungguh, Kami baik-baik saja’.
Kalimat yang sama yang kuucap ketika hendak menutup panggilan. Pun kalimat yang terus terbayang setelah puluhan menit waktu berdentang.

Ya, bukankah diluar percakapan itu, roda ekonomi terus saja berputar? Menggilas setiap insan dengan keras dan teramat kejam? Tagihan Listrik yang naik, Iuran BPJS yang bertambah, PDAM, iuran sekolah, ditambah dengan cicilan rumah, semua menjadi beban yang harus dipikul setiap bulan.

Harus..

Mau tak mau.

Mampu tak mampu.

Semua berkolaborasi dengan kebutuhan untuk makan sehari-hari. Harga beras, telur, minyak goreng, serta bawang, merangkak naik tanpa sempat Kita berkelit.

Terutama obat untuk anak kala mereka sakit.

Lihat saja, anakku masih megap-megap lantaran terkena batuk. Beragam obat dan vitamin terpaksa harus kubeli. Ventolin, Combiphen, Seretide, serta vitamin-vitamin yang harganya lumayan itu, menyeretku untuk mencari pinjaman kesana kemari. Kepada saudara, kawan, atau rekan di tempat kerja. Kepada siapapun itu..

Tapi tidak kepada Ibu.

Aku tahu, Ibu pasti akan memberi. Tapi meminjam pada Ibu bukan hanya akan mendapatkan bantuan, melainkan terguratnya sebuah kecemasan. Dan Aku tak ingin kekhawatiran itu terukir lagi di keriput wajahnya.

Tidak setelah sekian banyak hantaman kepahitan, berat pedih ujian, yang memutihkan helai demi helai rambutnya.

Tak mungkin rasanya Aku kembali mengadu, meski uang di saku sebenarnya tinggallah lima ribu.

Tidak..

Sekali lagi, tidak..!

Dirinya sudah sangat direpotkan tatkala Aku kecil dulu. Puluhan tahun direpotkan hanya untuk mengurusiku.

Aku teramat tahu bahwa Aku belum bisa membalas kebaikan-kebaikannya. Alih-alih membalas, Aku bahkan tak becus memberinya bahagia.

 Maka, biarlah kini Aku selalu berkata padanya..

“Kami baik-baik saja Bu. Sungguh, Kami baik-baik saja”