19/12/2020

Surat Cinta Untuk Rasulullah

Naskah yang diikutkan dalam lomba Menulis Surat Cinta Untuk Rasulullah SAW, yg diselenggarakan oleh Tigaraksa.

Dibacakan dengan hati oleh Kang Nugie. Indah sekali..

Linknya ada di https://youtu.be/sv8kO3z0RrQ tepatnya di durasi 5:13 menit.

Ah, biarkan gemuruh rasa ini kuhadiahkan untuk si kecil Zahdan. Karena anak itulah yang menjadi sumber ide dalam menulis surat ini.

Iya.. Zahdan yang mengidolakan Zubair bin Awwam, kerap berlari-lari ke mesjid untuk mengumandangkan adzan. Tak peduli panas maupun hujan, kaki kecilmu tetap saja riang kau langkahkan.

Tetaplah demikian, nak! Jadilah Zubair jaman sekarang.




 

11/12/2020

Ganbatte!

Maziya.. Anak itulah yang dulu membuat jemari ini nekat merangkai aksara. Menulis beberapa, kemudian lebih nekat lagi membukukannya. 
 
Tak muluk-muluk. Hanya hendak berharap suatu hari nanti, si anak pertama akan memahami, pahit manis episode yang pernah dilalui.
 
Mulai dari buku Ragam Cerita Bersama Ziya, dilanjut dengan menjadikannya sebagai seorang Putri bernama Mumtaza. 
 
Waktu terus berlalu, dan sifat Ziya tak pernah banyak berubah. Ia masih sering menyendiri, mengambil waktu seorang diri. 
 
Asyik sendiri menggambar manga, atau khusyu mengetik cerita.
 
Ziya tak pernah banyak bicara, apalagi jika tak ditanya. Sikap khas seorang anak introvert.
 
Orang lain menilainya 'dingin'. Aku menyebutnya, 'bijak dalam berkata'. 
 
Orang memvonisnya 'ga seru'. Aku justru menemukan keseruan itu dalam cerita buatannya.
 
Aku yakin, kelak Ia akan bisa lantang membagi rasa. 
 
Bukan dalam ucapan kata, melainkan dalam rentetan karya. 
 
Ganbatte Ziya chan!

22/11/2020

Gunung

Menenangkan ya, nak?

Tatkala menjauh dari keramaian kota, maka hiruk pikuknya tiada terbawa serta.
 
Bising klakson kendaraan mewah, adu pasar harga rupiah, atau tinggi lantai hunian megah. 
 
Disini, kesemuanya hanya atap-atap kecil yang terhampar pasrah.
 
Yang kala mereka digulung, harta-harta dunia itu tak pernah mampu menjadi pelindung.
 
***
 
Menenangkan ya, nak?
 
Ketika menyepi ke puncak bukit dan gunung, jeruji penat tiada lagi mengungkung.
 
Urusan kerja yang melelahkan, urusan seteru yang tak berkesudahan, semuanya tertinggal jauh di lembah itu.
 
Sayangnya, tidak berlaku dalam urusan rindu. 
 
Ke gunung manapun kau berlalu, Ia akan melulu mengikutimu.
 

 

14/11/2020

Bukan Sajak - Bukan Puisi, Hanya Sehimpun Jejak Aksara Hati

Telah terbit buku baru di LeutikaPrio!!!
 
Judul: Bukan Sajak - Bukan Puisi, Hanya Sehimpun Jejak Aksara Hati
 
Penulis: Adi Wahyudin
Harga: Rp 70.500
ISBN: 978-602-371-870-2
 
Blurb: 
 
Buku ke sepuluh, di penghujung tahun duaribu duapuluh.
 
Di dalamnya terbubuh candramawa sebanyak tujuh, tersimpul judul sejumlah limapuluh, senandika keluh semasa dasawarsa ditempuh. Ditambah sapta petua pada si anak kedua, menggenapkan sepadi urna perihal rasa.
 
Bukan! Bukan hendak bersilang lengan merasa jumawa. Bukan pula hendak meninggi diri merengkuh bangga. Angka ini hanya sebagai penanda, atas usia yang kian menua. Angka yang menggerogoti raga, pada jiwa yang tertawan senja.
 
Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via :
- SMS/WA/Telegram ke 0819 0422 1928
- Inbox FB dengan subjek PESAN BUKU
- Email ke leutikaprio@hotmail.com
 

 


Mentari

 

Mustahil, Nak!

Mentari itu mustahil kau kurung, 
terlebih hanya dengan gelembung berbahan sabun.
 
Namun hati yang mendung, boleh jadi kan melulu terkurung. 
Terus merenung, tertatih terkatung-katung.
 
Ihwal apalagi jika bukan lantaran bertepuk tangan sebelah? 
Bertahun-tahun menaruh hati pada orang yang salah.
 
Dan pertanyaan nan panjang itu terjawabkan, hanya dengan secarik kartu undangan.
 
Ya, Aku tahu!
Patah hatinya memang sekali.
...
 
Tapi pedihnya berkali-kali.
 

 

23/10/2020

Sungai

Nak, itu namanya sungai,
bukan air mata yang berderai.
 
Kendati bagi insan-insan pengandai, 
keduanya sama-sama menghantam layaknya badai.
 
Cantik tutur perangai itu..
 
halus sapa seringai itu..
 
Beradu lambaian pilu dari karamnya sebuah perahu.
 
Habis semua! 
 
Lenyap segala!
 
Yang tersisa hanyalah bongkahan rindu,
erat tersangkut di gemericik waktu.
 

 

13/10/2020

Ikutilah!

Bukan, Nak! Pembebas Yordania bukanlah kapten Amerika, penakluk konstantinopel bukanlah si manusia laba-laba. 

Mesir, Yaman, tak ada sejarahnya ditaklukan oleh batman maupun ironman. 

Pun yang sudah gagah berani melawan ratusan ribu pasukan Persia, ternyata bukan superman si manusia baja. Nama-nama itu tak lebih dari imajinasi belaka. 

Bacalah sebenar-benarnya sejarah! Kau akan terkagum-kagum sekaligus terperangah.

...

Iya, Nak! Pembebas Yordania adalah Syurahbil bin hasanah, penakluk konstantinopel adalah Muhammad al Fatih. 

Mesir dibebaskan oleh Amr bin Ash. 

Dan, Khalid bin Walid sang pedang Allah, gagah membelah ratusan ribu pasukan Persia. 

Belum lagi Bilal bin Rabbah, satu-satunya pelantun Azan termerdu dan terindah. 

Serta Thalhah bin Ubaidillah, satu-satunya syahid yang tegak berjalan di atas tanah. 

Bacalah juga Sa’ad bin abi Waqash, Zaid bin Tsabit, nama yang tak hanya dalam sejarah bumi mereka tercatat, melainkan begitu terkenal di kalangan malaikat.

...

Tidak, Nak! Mereka tak memerlukan topeng untuk menjadi pahlawan. 

Mereka tak perlu kekuatan super untuk menegakkan kebenaran. 

Namun hanya dengan iman yang dikokohkan, serta dengan takbir yang dilangitkan, 

maka berbondong-bondonglah makhluk cahaya melesat menjadi pasukan.

Ikutilah jejak mereka, Nak! 

Ikutilah jejak mereka!    



 

08/10/2020

Hari Senin

Jika Jum’at adalah rajanya hari, maka Senin adalah hari yang ingin dihindari.
 
Betapa tidak? Jum’at mendekatkan kami pada libur dan berleha-leha. Sedangkan Senin, justru memutus santai dan memberangusnya, menjauhkan keadaan itu sejauh-jauhnya.
 
Mulai dari bangun tidur yang lebih pagi, jengah disiram air dingin dari bak mandi. Lanjut ribut karena baju seragam belum disetrika, ditambah panik karena PR yang terlupa. Tak cukup, kian kalang kabut ketika kaos kaki cuma ketemu sebelah, kemudian tergopoh-gopoh pergi ke sekolah.
 
Keluar rumah, jalanan becek menyambut. Kaki terbirit-birit berlari, tangan melambai-lambai menyetop angkutan. Harus cepat, lantaran rebutan dengan buruh dan karyawan. Manusia dijejal-jejal pak sopir seperti karung sayuran. Betapun sudah terbilang sesak di dalam, sang sopir tetap saja teriak-teriak “ayo, masih kosong! Masih kosong!”.
 
Sungguh sebuah pembodohan publik yang dilegalkan.
 
Aku pun menggerutu, bukan hanya karena dijejal-jejal, melainkan lantaran macet yang bikin tersengal. Raut kesal terpampang jelas di semua wajah penumpang. Seolah yang kesal pada hari Senin bukan hanya kami, melainkan seantero jagat raya bumi.
 
Belum lagi harus berlama-lama berdiri mengikuti upacara, terkena razia, pidato ini, wejangan itu, bla bla bla. Ah! Hari Senin sungguhlah melelahkan. Padahal, lihat! Waktu baru menunjuk jam delapan kurang!
...
 
Upacara belumlah selesai, namun matahari sudah terasa menyengat dan menyilaukan. Topi yang kami pakai, sudah tentu tak akan mampu melawan matahari sebesar itu. Disusul gerah yang melanda, dan keringat sebesar bulir jagung menyeruak begitu kentara. Menjadikan seragam yang baru dicuci berubah terkontaminasi. Keringat tersebut nampak jelas di area punggung, ketiak, serta leher baju. Beradu bau dengan aroma pewangi yang disemprotkan kala menyetrika.
 
Ah, jika pagi hari sudah sepanas ini, seratus kali semprot pun tak akan berarti melawan bau keringat yang membanjiri.
...
 
Bendera telah berkibar di pucuk tertinggi, giliran inspektur upacara yang berbicara. Wajah-wajah siswa terlihat lelah, kian membuncah perasaan pegal dan gerah. Momen pidato dalam upacara memang selalu menjadi yang terlama. Rasa bosan dan jengah akan hinggap dengan mudahnya.
 
Para siswa menghela nafas pasrah. Merasa bahwa upacara ini akan terjadi ‘selamanya’. Satu dua dari mereka mulai berpikir untuk pura-pura pingsan saja. Mengadu pada petugas PMR yang berjaga, biar bisa nyaman merebahkan badan di ruang UKS sana.
 
Tak lama, seorang bapak berpeci hitam melangkah ke arah podium. Penampilannya sederhana, setelan rapih baju safari berwarna abu, dengan empat saku di bajunya. Terlihat jelas, Beliau berusia lebih tua dibanding bapak kepala sekolah. Meski demikian, sosoknya tak kalah gagah, garis wajahnya bijaksana, seakan seluruh tantangan dunia telah sukses dihadapinya.
 
“Duh, masih lama gak ya?” bisik seorang kawan, wajahnya sudah memerah, berkeringat dan kepanasan.
 
Aku menggeleng, dalam hati menanyakan hal yang sama.
 
Tanpa disangka, Bapak berpeci hitam ternyata tak berpidato di atas podium yang teduh. Beliau menyambar tiang microphon, kemudian membawanya turun ke lapangan rumput.
Iya, lapangan yang sama tempat kami berpanas-panasan!
 
“Ha?” lirih kawan disamping, menatap tak percaya. Pun semua siswa, melihat tindakan Bapak berpeci hitam dengan hati yang tersentuh dan bangga. 
 
Rasa-rasanya, baru kali ini inspektur upacara memilih kepanasan bersama peserta. Di upacara yang selevel negara saja, inspektur justru duduk nyaman di kursi yang empuk. Jauh berbeda dengan para peserta yang rapih berbaris, nyaris tanpa bergerak.
 
Di sini, dibawah sengatan panasnya sang surya, Bapak tersebut memulai pidatonya dengan suara yang bersahaja. Kami semua terdiam, takjub, khusyuk mendengarkan wejangan-wejangan dari beliau. Perihal Skill, Knowledge, yang harus disupport dengan Attitude. Beliau menyampaikan segalanya dengan jelas, sedikit guyonan bahasa sunda, ditambah beberapa kalimat bahasa inggris yang diucapkan dengan fasih. Kesemuanya itu langsung membuat kami kian berdecak kagum pada sosoknya.
 
Lupakan perihal panas yang mendera, abaikan tentang pegal yang terasa. Motivasi yang dilantangkan Bapak berpeci hitam seolah membakar semangat hingga membara. Wejangan yang dihembuskan Beliau seperti angin sepoi yang menghanyutkan jiwa.
 
Siapa? Siapa beliau sebenarnya?
 
Selidik punya selidik, Bapak berpeci hitam ternyata dulunya adalah seorang Marinir. Yang pada suatu waktu tiba-tiba memutuskan menjadi guru. Melepas seragam dan senapan, menggantinya dengan baju safari dan buku-buku. Ya, sebutir peluru mungkin mampu menembus sebuah kepala. Namun sebuah ilmu, sangat mungkin menembus ribuan kepala.
...
 
Jika Jum’at adalah rajanya hari, maka Senin adalah hari yang memiliki memori. Karena di Senin itulah hari pertamaku bertemu dengan Bapak berpeci hitam. Pertemuan yang penuh kesan, sosok yang sulit untuk dilupakan. Wejangan-wejangannya akan selalu terkenang, betapapun kini beliau sudah berbeda alam.
 

 

Hari Jum'at

Bagi kami, Jum’at bukan hanya rajanya hari, melainkan hari untuk berlari. 
 
Ya, berlari! Kami wajib bersiap sedari pagi, mengenakan kaus seragam, berbaris rapi, kemudian mulai berlari secara beriringan.
 
Berlari-lari, seakan tengah menyongsong masa depan yang gemilang. Berlari-lari, seolah tengah dikejar petugas ketertiban. Berlari-lari, bagai tulang kaki berbahan besi. Terus berlari, sambil kompak melantunkan nyanyian.
 
Sesekali, kami meneriakkan pula yel-yel penambah semangat. Semakin bersemangat ketika berhasil menyalip rombongan jurusan yang lain. Bertambah semangat tatkala ada adik-adik kelas yang melihat. Apalagi jika ada siswi di angkot yang memperhatikan, mendadak lari kami menjadi gagah dan berlagak tegap.
 
Berkeringat? Tentu saja, jarak yang harus ditempuh memang tak kurang dari lima kilo jauhnya. Rutenya keluar dari sekolah, melewati pabrik, mendaki jembatan layang, menyeberangi arah pintu gerbang tol, menembus keramaian pasar, hingga akhirnya kembali memasuki gerbang sekolah.
 
‘Tidaaak, kembali pulaaang! Sebelum, kita yang menaaang!’ teriak kami, kompak dan lantang.
 
Ya, perihal kekompakan, memang tak hanya sekedar lirik dalam nyanyian. Andaikata ada salah seorang kawan yang melambat dan kepayahan, lari kami otomatis akan ikut memelan, menurunkan kecepatan. Kami berupaya menjaganya agar tetap berada dalam kawanan.
 
Tak beda dengan burung-burung yang bermigrasi, barisan kami berketetapan saling melindungi. Yang kuat berada di kanan dan kiri, yang badannya lemah berada di tengah. Sedangkan yang cepat, terus berpindah depan-belakang-depan, mengamankan kawanan dari bahaya kendaraan yang berlalu lalang. Sungguh formasi cerdas yang terstruktur, rapi, gagah dan elegan.
 
Termasuk ketika ada mobil angkutan yang kebetulan tidak berpenumpang. Formasi kami akan menyerbu dalam senyap, menduduki hamparan joknya dengan sigap, teramat cerdas memangkas jarak. Untuk selanjutnya, di 300 meter dari sekolah, barulah kami berhenti, turun dengan waspada dan rapi, kemudian kembali berlari dengan hati-hati.
 
Maka tak butuh waktu lama, barisan kami gagah memasuki gerbang sekolah. Di urutan pertama pastinya. Dan dengan elegan tentunya.
 
Elegan berpura-pura tersengal kecapaian. Elegan mengusap jidat yang tak berkeringat. Pun elegan duduk di taman, menjulurkan kedua kaki ke depan, ditambah napas yang seolah ngos-ngosan.
 
Lihat! Betapapun kami berangkat paling belakang, formasi kami terbukti berhasil tiba paling pertama. Sungguh sebuah kemenangan yang layak dirayakan.
 
Yang kuat, tersenyum bangga. Yang lemah, begitu bahagia. Sedang yang cepat, mengacungkan jempol tertawa-tawa. Tak sadar, seorang guru olahraga mendekat sembari menggeleng-gelengkan kepala.
 
Setelah itu, kami kembali membentuk formasi. Rapi berjejer di tengah lapangan. Bukan! Bukan hendak menerima hadiah atau piala. Melainkan dihukum melakukan Push-up puluhan kali, diceramahi tak henti-henti. Lalu berpanas-panas ria menghormat bendera. Duh..
 
Catatan:
Cerita ini hanyalah fiksi, janganlah diambil hati. Segala bentuk kesamaan adalah murni kebetulan.
Foto yang dilampirkan sedikitpun tak berkaitan. Hanya tengah terkenang masa-masa yang silam. Pada tempat, kejadian, maupun para sahabat dan kawan.
 

 

19/09/2020

Ketika

Ketika raga digerus usia, sehat selalu adalah niscaya.
Kala raga digerogoti usia, langkah yang lima berubah dua.
Lihat! Penglihatanmu mulai memburam, kan?
Dengar! Pendengaranmu mulai berkurang, bukan?
Belum lagi dengan ingatan yang tak lagi tajam,
Membuatmu kerap terlupa dengan banyak sekali kejadian.
Termasuk pada hal-hal indah yang seharusnya kau kenang.
...
 
Ketika raga digerus usia, sehat selalu adalah niscaya.
Kala raga digerogoti usia, obat nyeri itu seolah biasa.
Ingat! Bukankah dulu sebutir itu untuk satu minggu?
Namun sekarang setiap hari pun dirasa perlu.
Meski tertohok rasanya ulu-mu.
Walau berdebar rasanya jantungmu.
Kau harus melulu bertahan demi nafkah keluargamu.
...
 
Ketika raga digerus usia, sehat selalu adalah niscaya.
Kala raga digerogoti usia, pilek biasa pun serasa berat adanya.
Betapa tidak? Jika ingusmu jelas-jelas bercampur darah.
Membuatmu selalu menyembunyikan tisyu dari sesiapa saja.
Ah, mungkin ini hanya pertanda bahwa kau tengah lelah.
Atau pengingat bahwa kau akan kembali ke tanah.

11/09/2020

Jemu

Kokok ayam sudah berlalu sedari tadi. Bulatan mentari sudah tertampak memulai hari. Sinarnya bahkan sudah tiba di celah jendela serta kisi. Seharusnya, para anak adam juga sudah berkegiatan dengan rutinitasnya masing-masing. Mencuci, membersihkan rumah, pun memasak untuk sarapan pagi. Demikian juga dengan anak-anak sekolah, setidaknya sudah bersiap dengan pelajaran di hari ini. Mengecek ponsel, memeriksa pemberitahuan dari guru lewat grup WA resmi.

Sayangnya, Zahdan kecil malah memilih kembali meringkuk di balik selimut. Usai sholat shubuh tadi, anak itu tak lantas bermain robot seperti biasanya. Pun tak lantas mandi dan mengenakan seragamnya. Alih-alih berseka, Zahdan malah menguap, lalu merebahkan kepalanya di bantal bergambar bintang. Kedua matanya rapat dipejamkan. 

“Lho, Zahdan. Kenapa malah tidur lagi? Kan hari ini ada zoom meeting. Zahdan gak siap-siap mandi terus pakai seragam?” tanyaku, sembari sibuk menyiapkan perangkat modem andalan. Jika modem ini tidak siap, anak-anak nanti akan kesulitan belajar daring.

Zahdan tak menjawab, kedua matanya melamun menatap langit-langit kamar, lalu kembali terpejam. 

Aneh, biasanya Zahdan selalu bersemangat setiap bangun pagi. Rasanya tadi malam pun jam delapan sudah tidur. Durasi istirahatnya tidak bisa dikatakan kurang.

Merasa ada sesuatu yang janggal, aku menghampirinya. Yang dihampiri malah membenamkan kepalanya sendiri ke bawah bantal. 

“Euh.. malah ngumpet. Nanti bu gurunya nungguin geura! Nanyain, kemana ya Zahdan? Apa masih tidur ya?” kataku.

Zahdan tak bereaksi. 

“Em, terus, kalo Zahdan nya gak ada, gak ngerjain tugas, nanti Zahdan gak akan dapet bintang dari bu guru atuh” lanjutku.

Zahdan pelan mengeluarkan kepalanya, kedua matanya mengerjap-ngerjap malas. 

“Kenapa? Zahdan sakit?” tanyaku, sembari meraba keningnya yang tak panas.

Zahdan menggeleng.

“Nafasnya sesek?” tanyaku lagi.

Zahdan kembali menggeleng. 

“Mimpi ketemu monster?”

“Mimpi dikejar Zombie?” 

“Atau mimpi ketemu sama alien?” godaku.

Zahdan makin menggeleng kencang.

“Nggak, Abii! Zahdan tadi malem mah nggak mimpi!” Zahdan akhirnya membuka suara. 

“Ooh! Terus kenapa atuh?” Aku menyelidik.

Zahdan terdiam sejenak, lalu bertanya balik.

“Abi, hari ini Zahdan sekolahnya zum miting lagi?” tanyanya.

Aku mengangguk. 

“Iya, Zahdan. Kemaren kan bu guru sudah ngasih tahu lewat WA. Kemaren juga Zahdan sudah dapet bintang sama jempol, katanya Zahdan hebat sudah ngejawab pertanyaan-pertanyaan dari bu guru” paparku.

Zahdan kembali terdiam. Ini adalah kejanggalan kedua, karena dulu, Zahdan biasanya kerap bertanya sudah berapa bintang yang ia dapat. Berapa jempol yang diberi bu guru. Jumlahnya kemudian dibandingkan dengan total bintang yang diraih oleh teman-temannya.

Tapi akhir-akhir ini, Zahdan tampak tak terlalu peduli dengan perolehan bintang. Malahan, semangatnya terlihat berkurang kala mengikuti pembelajaran. Harus duduk, menatap layar gadget selama satu jam. Betapapun kata ‘hebat’ disematkan, -mungkin karena terlalu sering didengar-, maknanya kian hambar dirasakan. 

Usut punya usut, Zahdan ternyata tengah merasa jemu. Iya, jemu! Jemu serupa seperti yang kita semua rasakan. Jemu terhadap dibatasinya interaksi, jemu lantaran tiadanya kerumunan. Pandemi ini memang sungguh telah membatasi banyak sekali ruang. Dan semua pihak telah berusaha keras untuk terus beradaptasi dalam menjalankan peran. Guru, murid, pedagang, karyawan, sebisa mungkin terus berimprovisasi menunaikan fungsi.

Bagi anak ekstrovert semacam Zahdan, sudah tentu hal ini memunculkan kendala. Karena baginya, keramaian adalah bahan penggerak utama. Komunikasi dengan orang banyak, adalah penumbuh semangat dan sumber bahagia. 

Berbeda dengan Ziya, yang tampaknya enjoy-enjoy saja belajar daring. Duduk sendirian di pojok belajar, berkata satu dua melalui headset yang dipakai, banyak-banyak mencatat serta menggambar. Bagi anak introvert, ini mmang dunianya. Lihat, Ziya bahkan jarang sekali bertanya, jadwal belajarnya sudah Ia pampangkan jelas di dinding kamar.

Ah, jemu bisa melanda siapa saja. Termasuk Zahdan dan karakter cerianya. Orang tua mau tidak mau harus terus memunculkan hal yang baru.

... 

“Zahdaan.. iih, lihat ini kutunya meni banyak!” ujar Umminya, ketika tengah menyisiri rambut Zahdan.

Yang disisiri hanya terkekeh, rambutnya memang sudah cukup panjang menutupi mata, tak heran jika kutu doyan sekali beranak pinak disana.

“Ambil kutunya satu Zahdan, kita lihat pakai mikroskop kertas!” ajakku.

Zahdan langsung terperangah, segala sesuatu yang baru memang kerap membuat antusiasnya membuncah. 

“Mi..kroskop kertaas? Iya Abi, siap! Zahdan ambilin kutu yang paling gede ya!” katanya, penuh semangat.

Singkat cerita, sample kutu sudah disisipkan di foldscope (mikroskop kertas). Bagian depannya disambungkan pada lampu flash dari ponsel, membuat tampilan sample menjadi terpampang besar di dinding. Zahdan menatap hampir tak berkedip, Ia berdecak sekaligus bergidik. 

“Abi, itu teh kutu Zahdan?”

“Itu kakinya ada enam, Abi!”

“Ha? Itu yang bergerak-gerak apa? Ja.. jantungnya? Iya, ya? Itu teh jantungnya kutu Zahdan ya? Hiii....”

Aku mengangguk mengiyakan. Menggeser-geser posisi sample agar bagian jantungnya makin terlihat lebih jelas oleh Zahdan. 

“Zahdan mah janji mau rajin mandi sama pakai shampo ah, gak mau ada kutu lagi di kepala Zahdan!” tegasnya.

Mudah-mudahan, tema jantung kutu ini bisa menghapus jemu Zahdan selama beberapa hari ke depan.


 

26/08/2020

Katakan!

Wahai, katakan padaku!

 

Apakah nama Allah yang membuat hatimu bergetar,

Ataukah irama kencang yang membuat jantungmu berdebar?

 

Apakah ayat-ayat indah Al Qur’an yang membuat imanmu bertambah,

Ataukah senam berjamaah yang membuat nafsumu membuncah?

 

Katakanlah padaku!

Dimana akan kau letakkan mutiara berharga yang tinggi derajatnya?

 

Mulia bertahta dalam kokohnya cangkang tiram,

Atau terbuka tergolek di jalan-jalan?

 

Begitu terjaga dalam singgasana istana,

Atau berjingkrak berguling-guling di atas kubangan?

 

Hingga menghitam berlumur debu dan kotoran.

Vulgar diterawang mata-mata binatang jalang.

 

Katakan padaku!

 

Apa yang lebih berharga dari Ia, yang di telapak kakinya dipercayakan syurga?

Ia yang kata Baginda harus berkali lebih dihormat hingga tiga banyaknya.

Ia yang mempertaruhkan nyawa, demi melahirkan jundi-jundi pejuang agama.

 

Katakan! Dengan cara apa kau akan memuliakannya?

 

Teramat kejam jika kau malah mempertontonkannya di panggung terbuka,

Terlena dalam hingar bingar suara pekak.

Tenggelam dalam ikhtilat yang begitu merusak.

 

Ingat!

Semuanya tak pernah luput dari malaikat yang mencatat.

Setiap jengkal tanah dan panggung itu akan menjadi saksi atas apa yang kau perbuat.

 

Wahai!

Bukankah keberkahan akan berlimpah hanya jika bertakwa penduduknya?

Dan pada perbuatan mendustakan, maka siksa pun akan dikenakan?

 

Ah, kau yang berilmu pastilah teramat tahu hal itu.

Pengajian setiap minggu berulang kali menukil perihal itu.

 

Jadi, apa yang sesungguhnya kau ingin Allah turunkan?