10/02/2022

Mimpi Besar vs Kenyataan Pahit

Mimpi besar, dan kenyataan pahit. Keduanya acapkali terhubung laksana jungkat jungkit. Adakalanya, mimpi itu meninggi menggapai-gapai langit. Seolah hendak terbang menyentuh bintang gemintang. Mimpi itu membuai hati, menyemangati diri sendiri.
 
Namun adakalanya juga, justru pahitnya kenyataanlah yang meninggi memperjelas situasi. Kasar menghempaskan ke bumi, bak hendak membenamkannya lebih dalam lagi. Kenyataan itu memberangus harapan, menghilangkan semua keinginan.
 
Mimpi besar, dan kenyataan pahit. Aku tak tahu, mana yang dalam hidupku lebih mendominasi. Karena bertahun sudah aku melangitkan mimpi, menyibukkan diriku dengan imajinasi. Andai saja beginilah, kalau saja begitulah.
 
Akan tetapi aku melulu dihadapkan pada fakta bahwa mimpi sebesar apapun, tetaplah sebuah mimpi. Mimpi semanis apapun, sungguh hanya sebatas mimpi. Bunga tidur yang langsung melebur tatkala kita membuka mata.
 
Entahlah..
 
Dulu, aku pernah mengenal seseorang. Dia dan keluarganya mengontrak sepetak bedeng di dekat sekolahan. Sepetak yang hanya memiliki satu pintu dan satu jendela kusam. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lain di sebuah gang kecil yang padat bukan kepalang.
 
Abaikan masalah layak dan tidak. Abaikan perihal sehat dan tidak. Karena depan rumahnya saja, sudah seperti gua. Teramat sempit dan seringkali gulita. Rasa-rasanya, sinar matahari pagi jarang-jarang bisa menerobos kesana. Terhalang dengan bangunan tinggi di kanan dan kiri.
 
Kendati demikian, aku tak pernah mendengarnya mengeluh. Alih-alih mengeluh, dia malah seringnya tersenyum menunjukan bahagia. Seolah pahit masalah rumah, itu tak ada apa-apanya.
 
Hampir setiap hari, ibunya berjualan kue dan cemilan di depan gerbang sebuah sekolah dasar. Cemilan yang teramat sederhana, ditata diatas alas kecil yang juga sederhana. Kue pastel berisi abon sapi contohnya.
 
Aku ingat, dulu aku sempat beradu argumen dengannya. Aku mempertanyakan pinggiran kue pastelnya yang runcing-runcing seperti duri. Bentuk yang tak biasa untuk ukuran kue pastel. Aku bahkan pernah memberinya contoh melipat pinggirannya, berpilin-pilin seperti seharusnya. He.. Namun anehnya, dia menolak sambil tersenyum, dan tetap memilih cara yang diajarkan ibunya. Sungguh anak yang baik dan berbudi luhur.
 
Boleh jadi, kala itu dia tak pernah sekalipun bermimpi besar. Dia hanya terus berusaha, meneguhkan diri sendiri, menjalani kenyataan yang pahit dengan banyak-banyak bersabar.
 
Mungkin dia tak pernah tersibukan dengan mimpi-mimpi, berpikir andai begini, terbayang kalaulah begitu. Sungguh tak ada waktu untuk merangkai mimpi-mimpi semacam itu.
Waktu melesat cepat, berganti masa tanpa terhalang jeda.
 
Dia yang dulu, kini menjelma menjadi seorang pengusaha sukses. Pemilik sebuah perusahaan cemilan berskala besar. Dia mempekerjakan banyak sekali karyawan, rutin memperjalankan mereka dalam liburan. Dia menjadi jembatan rezeki, menghujamkan kebahagiaan di berbagai hati.
 
Ah.. Sungguh. Orang baik hanya akan dipertemukan dengan orang yang baik. Orang baik memang hanya akan disuguhi dengan takdir yang baik. Dia menjalani kenyataan pahit dengan ikhlas dan sabar, dan dengan sendirinya, dia tengah merangkai sebuah mimpi teramat besar, tanpa perlu berandai-andai.