14/12/2018

Perihal Nurla, Antara Fiksi dan Kisah Nyata

Aku tak tahu,
Apakah novel ini mengangkat pesan kebaikan, atau justru mengungkit-ungkit kesalahan.
Karena ibarat dua sisi mata uang, dua hal itu serona tak dapat dipisahkan.
Yang kuingat dulu, sang tokoh bercerita sembari berurai air mata. Menuturkan luka, menyuarakan jeri yang dirasainya. Lalu saat kutanya apa Ia masih menaruh dendam pada mereka, berulang kali pula Ia menjawab sudah memaafkan semuanya.
Lagi-lagi Aku tak tahu,
Apakah jauh di ujung hatinya luka itu masih menganga.. Atau jawaban itu hanya pura-pura belaka.
Karena ibarat kayu yang ditancapi paku, lubang bekasnya akan terus ada meski paku sudah dicerabut semua.
Tapi yang kulihat sekarang, sang tokoh tetap saja mengasihi mereka. Berbaik sangka seperti tak pernah tersakiti sedikitpun juga.
Ah,
Mungkin Aku saja yang selalu gemas setiap mendengar kata maaf. Rasanya ingin jeri itu terbalas sebelum masalah dianggap tuntas.
Jauh berbeda dengan para tokoh yang memilih untuk bersikap ikhlas. Sesuatu yang langka, yang sudah sulit ditemukan di hiruk pikuknya dunia.
Maka,
Tak salah jika kuputuskan untuk mengangkat kisahnya kedalam cerita.
Perihal pedihnya luka yang terus menerus mendera,
Perihal sakitnya rasa yang menumpah ruahkan air mata,
serta Perihal Nurla.. Antara Fiksi dan Kisah Nyata.
http://www.leutikaprio.com/main/media/sample/Perihal%20Nurla,%20Antara%20Fiksi%20dan%20Kisah%20Nyata_SD.pdf


26/10/2018

Fachri

Namaku Fachri, seorang santri.
Bukan kawan.. Aku bukanlah Fahri tokohnya Habiburahman el Shirazy. Fahri yang telah dipertemukan dengan bidadari bernama Aisha, lalu mengukir cerita dalam ayat-ayat cinta. Fahri yang berbuat kebaikan dengan segala apa yang dimilikinya. Ilmu, maupun harta. Semuanya Ia kerahkan untuk kebaikan semata.

Sedang Aku? Aku hanyalah seorang remaja biasa, sama selayaknya remaja-remaja pada umumnya. Bedanya, Aku tak tinggal tinggal di rumah dan bermanja-manja. Aku tak bisa menghabiskan waktu dengan nge-game seharian. Apalagi nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan balapan. Masa mudaku hanya sekali, sayang rasanya jika dihabiskan hanya untuk hal-hal seperti itu.

 Sejak setahun ke belakang, Aku didaftarkan ibu untuk tinggal di pesantren.. mondok. Mempelajari ilmu-ilmu agama, menghafal ayat demi ayat Al-Qur’an di luar kepala, untuk kemudian belajar menyelami setiap isi kandungan dan maknanya. Siapa tahu kelak, Aku bisa memakaikan mahkota bagi kedua orang tua tercinta. Sebuah prestasi tertinggi dari kejuaraan apapun di muka bumi.

Hari itu, adalah hari santri. Kami berkumpul bersama kawan santri dari pesantren-pesantren yang lain. Bahagia rasanya, menyaksikan kumpulan remaja para penuntut ilmu agama. Aku bahkan berkenalan dengan satu dua diantaranya. Teduh menyelimuti setiap pandangan mata mereka. Cerah menghias setiap inci dari wajah mereka. Wajah-wajah yang bercahaya karena senantiasa dibasuh air wudhu. Kening-kening surga yang tak pernah melewatkan sujud di sepertiga malam terakhir. Kalimat-kalimat dzikir meluncur takzim dari setiap percakapan kami.

ALLAHU AKBAR!!
Takbir menggelora, bergemuruh didalam dada. Disambut seluruh santri dengan teriakan semangat yang tak kalah membahana. Kesemuanya membuat sengatan matahari siang seolah tak ada apa-apanya. Gegap gempita merasuk kedalam relung setiap jiwa.

Seorang santri bahkan sampai mengibarkan panji Rasulullah SAW, saking semangatnya. Lupa bahwa panitia sempat memberi berita, bahwa yang boleh dikibarkan hanya bendera negara.

Alhasil panitia terpaksa menegurnya. Dengan sebuah senyuman sembari bersalaman, santri tersebut diberitahu dengan baik-baik. Yang diberitahu ikut tersenyum, kemudian mengangguk tanda mengerti.
Sayang, beberapa orang berseragam tiba-tiba datang mendekat. Mereka menyita panji tersebut, untuk kemudian dibawa begitu saja. Membuat sebagian besar panitia hanya melongo tanpa bisa melawan.

Di bagian lain lapangan, orang-orang berseragam itu berkumpul dan menyalakan api, hendak membakar panji tersebut. Beberapa lainnya bahkan terdengar semangat bernyanyi.
Dari kejauhan Aku terhenyak, memandangi mereka dengan tatapan tak percaya.

Tidakkah mereka bisa membaca, kalimat Lailahaillallah yang tersemat diatasnya? Kalimat suci yang memposisikan secara tegas iman seseorang. Kalimat yang dipertahankan kita selaku muslim, bahkan melebihi dari nyawa kita sendiri. Kalimat yang para sahabat Rasul mati-matian menjaganya agar tak sampai jatuh ke atas tanah, bahkan hingga putus kedua tangannya, serta syahid menjemputnya.

Lalu kenapa orang-orang berseragam itu malah hendak membakarnya? Apa yang mereka fikirkan sebenarnya? Bukankah mereka.. muslim juga?

Api mulai berhasil membakar ujung panji, Aku menatapnya dengan teramat jeri.

Sesenti..

Dua senti..

Hatiku tak tahan lagi.
Aku langsung berlari sekencang-kencangnya, kemudian melompat menyambar panji itu dari tangan mereka. Gantian, giliran mereka yang terhenyak. Tak percaya dengan apa yang kulakukan.

BUKK..
Aku terjatuh sembari memeluk panji tersebut. Nyala apinya kupadamkan dengan kedua tanganku sendiri.

Panas memang, rasa pedih seketika mendera kulit telapak tanganku.

Sshh..

Biar..

Biar saja tangan ini melepuh. Dan biar saja sekalipun tubuh ini terbakar. Asalkan kalimat suci dalam panji tak sampai ternodai. Aku tak akan rela.. Sedikitpun tak rela orang-orang itu menghinakannya.
Beruntung, tanganku ternyata baik-baik saja. Tak nampak ada luka walau sucuil saja. Dan yang lebih penting, panji itu tak jadi terbakar. Hanya menghanguskan ujung dan sedikit bagian tulisan didalamnya. Aku membisikkan Hamdallah pelan.

Aku tak sadar, jika perbuatanku barusan membuat orang-orang dibelakangku menjadi geram. Kesal karena tindakannya tadi berhasil digagalkan. Maka tak ayal, seorang yang semula memegang korek api, menjulurkan tangan kekarnya ke arah leherku, hendak mencekik dan menyeretku. Sedang tangan lainnya berusaha merebut panji itu dari tanganku.

Aku tak membiarkannya. Panji itu tetap kupeluk erat-erat. Aku tahu badanku kecil, tenagaku pun berbeda jauh dengan mereka yang fisiknya terlatih. Tapi Aku tak akan menyerah.

Biar..

Lagi-lagi biar..
 
Biar badanku remuk sekalipun, tulang-tulangku patah sekalipun, Aku tak akan melepaskan panji ini. Jika mereka “keukeuh” ingin membakarnya, bakar saja bersama ragaku.

Cengkraman tangan besar itu semakin kuat. Membuat leherku terasa sakit, Aku mulai kesulitan bernafas.
EKH.. A..Allah… bisikku, memohon pertolonganNya.

Hanya sedetik setelah itu, tiba-tiba saja cengkeraman tangan itu menjadi longgar. Aku cepat-cepat meloncat dan berbalik.

Tampak olehku, orang berseragam yang semula mencekikku, berdiri terpaku dengan mulut terperangah.

“A..A… Apa..i..ini?” ucapnya, tergagap.
Ia menatap dengan lengannya sendiri dengan kedua mata nanar. Karena dalam waktu sepersekian detik, dua buah lubang seukuran bola pingpong, tiba-tiba saja terlihat menganga disana. Satu dekat pergelangan tangan, dan satu lagi berjarak dua senti dari sendi siku.
 
Yang tak kalah aneh, sekeliling lubang lukanya tampak menghitam hangus, seolah telah ditembus sesuatu yang teramat panas. Daging dan ototnya terkoyak, bak dedaunan yang dimakan ulat.

“AAAAAKKH….!!” Jerit orang berseragam, merasakan sakit.
Disusul jeritan sama dari orang berseragam yang lain, dengan luka menganga yang serupa. Membuat kawan-kawannya yang tak terluka sontak berlarian mencari perban dan kotak P3K, sedangkan sebagian lagi kikuk menelfon ambulan. Tak ada satupun dari mereka yang terlihat peduli lagi pada panji yang kupeluk.

Saat itulah, di tengah lapangan, beberapa santri menunjuk ke atas langit, sepintas mereka merasa melihat sekelompok burung terbang dengan membawa batu menyala di kakinya.

(Ini adalah cerita fiksi. Jika ada kesamaan tokoh, waktu maupun kejadian, itu hanyalah kebetulan semata)

15/08/2018

Silahkan

Diam..
Adalah satu-satunya yang bisa dilakukan.
Mau bagaimana lagi?
Karena memahamkan pengertian, tentu tak semudah membalikan telapak tangan.
Dan menghilangkan kebencian, ibarat mencari sebatang jarum kecil di tengah padang.

Begitu sulit.
Begitu pelik.

Membisu..
Adalah satu-satunya yang bisa dikerjakan.
Mau bagaimana lagi?
Sedang irama huruf saja sedikitpun tak lagi ada artinya.
Dan deretan cerita, serona menantang norma yang menjulur tinggi hingga ke angkasa.
Mengundang bala.
Mengundang petaka.

Wahai,
Aku tak pernah tahu lagu yang Kau dendangkan di loteng rumah itu..
Aku pun tak pernah tahu tulisan yang Kau goreskan di buku harian itu.
Aku bahkan tak benar-benar tahu, sedalam apa rasa yang Kau miliki itu.
Rasa yang memaksa jemarimu untuk mengukir kisah dan namaku, tepat di terujungnya batinmu.
Tapi Aku sedikit tahu tentang mimpi yang Kau utarakan itu.
Aku pun setengah tahu tentang masa depan yang Kau harapkan itu.
Dan Aku bahkan begitu tahu, seluas apa kebaikan dalam hatimu itu.
Sesuatu yang memaksa kakimu untuk pergi dan berlalu, membiarkan bahagia menghampiriku.
Tentunya Kau kecewa,
teramat kecewa malah.
Karena takdir nyata-nyata tak pernah sejalan dengan imajinasi,
Ia tiada searah dengan rekaan literasi.
Jauh kata dari definisi royalti, true story itu tak pernah sedetikpun terjadi.
Maka silahkan.
Lempar saja caci dalam gelembung-gelembung puisi itu kemari.
Tikamkan saja benci dalam petikan-petikan monolog itu kesini.
Hantamkan seluruh kecewa yang ada, sampai serpihannya kemari dan melukai.
Hingga kepingannya menjadi duri yang tertancap erat di kaki.
Membuatku menangis jeri dan tersakiti.
Tak apa..
Aku akan menerimanya dengan senang hati,
menelannya dengan berlapang diri.
Silahkan..
Karena kuyakin setelah benci itu pergi,
yang tersisa setelahnya hanyalah semangat untuk berkarya,
sekeranjang ide untuk cerita,
serta warta bahagia di penutupnya drama.

Wahai,
Diam dan membisu hanya berlaku bagi masa lalu.
Sedang ikhlas dan bahagia adalah opsi di masa depan.
Maka mari sambut kedatangannya dengan sikap terbaik yang bisa dilakukan.
Kisah sentosa yang bisa diperlihatkan.
Pun karya terindah yang bisa diwariskan.

Penulis Kecil

Bubaran sekolah, Ziya berjalan menghampiriku sambil menjinjing sepatunya.
“Ziya, nih ada paket dari Indiva” kataku.
Alis Ziya mengernyit, namun tak urung Ia langsung menerima dan membuka paketnya.
Ternyata isinya adalah buku. Dan demi melihat sebuah nama di barisan penulisnya, pun memandang salah satu foto di cover belakangnya, kedua mata Ziya berkaca seketika. Hampir-hampir saja Ia menangis lantarannya.
Ya, didalam buku itu ada satu cerpen hasil karyanya sendiri. Tulisan yang Ia buat hampir setahun ke belakang. Salah satu upaya Ziya untuk mengejar mimpinya menjadi seorang Penulis.
Ziya tersenyum lebar, lalu memeluk erat buku tersebut. Tak cukup, Ia menciuminya berulang-ulang. Hatinya senang bukan kepalang. Hampir saja Ia berlari dan melompat karena kegirangan, tapi lalu teringat bahwa kami tengah berada di sekolahan.
“Al..ham..du..lillaaaah…” bisik Ziya, pelan. Bulir kaca sedikit menyeruak di ujung matanya.
Menahan haru, Aku mengusap kepalanya sambil berkata,
“Selamat ya, …Penulis!” ucapku.
Ziya menoleh, dan langsung terkekeh, raut wajahnya semakin terlihat riang.



17/07/2018

Bukan Sabina

Sabina, Nenek itu benar. Betapapun Kau mendeklarasikan diri sebagai Sabina, hatimu tetaplah Aisha.
Betapapun Kau menyembunyikan diri sebagai Sabina, masa lalumu tetaplah Aisha.

Maafkanlah Fahri yang telah goyah dan membukakan hati bagi seorang Hulya. Meskipun jauh di lubuknya, Kau adalah satu-satunya Ratu yang senantiasa teristimewa.
Terlalu istimewa sehingga rindunya padamu melebihi tingginya angkasa raya.
Terlampau istimewa sampai-sampai namamu selalu mendominasi barisan do’a di akhir shalatnya.
Dan sedemikian istimewa hingga mimpi perihalmu selalu hadir..
melulu hadir..
bahkan di setiap Ia baru memejamkan kedua matanya.

Ia tahu, mengizinkanmu ke Gaza adalah kesalahan kedua terberatnya. Dan tak mampu melindungi keselamatanmu adalah kesalahan beratnya yang paling utama.
Membuat alunan nada merdu biola yang seringkali Kau mainkan, berubah menajam dan melesat menikam.
Menjadi sebuah sembilu yang membuat pilu seluruh sendi-sendi rindu.

Sabina, Ia tulus mencintai hatimu, bukan raut wajahmu.
Ia dalam menyayangi jiwamu, bukan fisikmu.
Mendatanginya dalam wujud yang berbeda tak akan sedikitpun melunturkan perasaan cintanya. Namun mendatanginya dalam nama yang lain hanya akan membuatmu tersiksa dalam jubah pura-pura.

Baginya, Kau tetaplah Aisha seperti saat bertemu dalam metro di kali pertama. Saat ketika Ia berbincang padamu dengan kalimat Jerman alakadarnya. Namun kalimat sempurna yang mempertautkan dua hati dengan indahnya.

Ya, itu adalah sebuah Ingatan yang tak akan pernah terlupa. Meski Kau kini kerap menggeleng dan mengakui diri sebagai Sabina.

Sabina, tolong katakanlah sekali lagi..

Tolong ucapkanlah sekali lagi..

“Mein name ist,

Aisha..”


Lantai yang Dingin

“Lantainya dingin” itu komentar mereka di kali pertama, hanya sesaat setelah melepas sandal dan menjejakkan kaki di lantai tiga. Tak lama, hingga disusul oleh kalimat-kalimat berikutnya.
 
“Kalo loker Abi yang mana?”
 
“Waah.. Komputernya gede sekali Abi..”
 
“Ari tombol-tombol ini teh buat apa aja Abi?”
 
Dan rentetan kalimat-kalimat lain yang meluncur sedemikian deras. Terang saja, mereka baru sekarang ini bisa berkunjung kemari. Datang untuk melihat ruangan tempatku bekerja. Meski hari semakin senja, dan udara dingin kian lama kian menajamkan rasa, hal itu tak lantas membuat gerak kaki-kaki kecil mereka memelan. Tetap bersemangat mengikuti langkahku, tetap nyaring berceloteh ini itu.
 
Zahdan bahkan sudah mengusap ingusnya berkali-kali. Udara dingin telah berhasil membuat hidungnya meleleh. Sementara Bika kecil, berlari-lari tanpa peduli. Naik turun kursi tiada henti. Aku sampai harus erat memegangi tangannya, khawatir Ia menyenggol tuas atau tombol, salah-salah bisa panjang nanti urusannya.
 
Usai berkeliling, mereka masing-masing duduk nyaman di kursi besar, memperhatikan televisi yang tengah memutar film superhero. Zahdan yang paling antusias, pupil matanya membesar melihat iron man yang menembakkan laser dari kedua tangannya.
 
Duh, kau bisa lebih hebat dari superhero itu nak. Aksi Iron man itu tak ada apa-apanya dibanding saat tempo hari Kau pulang dari mesjid. Ketika itu Kau melihat ada sampah plastik di jalanan, lalu tanpa disuruh Kau tiba-tiba saja memungutnya, kemudian membuangnya ke tempat sampah terdekat. Aksi Itu adalah aksi yang lebih heroik ketimbang laser iron man, beratus kali lebih nyata kebaikannya.
 
Sedangkan Ziya, langsung terduduk dengan tenangnya. Tepat disamping Armida yang tak lepas menggigiti jarinya. Ziya sudah tahu, di tempat inilah Aku melahirkan cerita-cerita putri jelmaan darinya. Tiga Putri.. Empat Putri.. Dan entah berapa Putri lagi yang kan terlahir disini. Meski kutahu keberadaannya seringkali dihantam kenyataan yang menduri. Menarik dan merantainya kembali ke kandang imajinasi.
 
Apapun, kunjungan ini bak menyeret waktu kembali ke masa lalu. Kala Aku pertama kali menginjakkan kaki di lantai dingin ini. Menatap kelam angkasa malam, lewat jendela kaca yang setengah terbuka. Melihat hamparan lembah dan kota, dengan nyala lampu yang lebih ramai dibanding bintang diatasnya. Merasakan hembusan angin yang datang menusuk, menggigilkan kulit jauh hingga ke rusuk.
 
Tapi lihatlah.. Aku disini nyaris sendiri. Jauh dari keramaian yang selalu kubenci. Tiada wajah-wajah tawa yang bertopengkan duka, tak ada obrolan-obrolan palsu penuh bumbu, dan tak ada pula sangkaan-sangkaan yang menyakitkan. Ini selayaknya dunia mimpi dimana Aku melulu bersembunyi.
 
Disini Aku bisa bercerita entah pada siapa, dan Aku bisa berkisah entah untuk siapa. Lantai dingin yang kuinjak, membuatku membeku dalam dunia baru. Tak hendak beranjak, pun tak mau berlalu. Sebuah dunia yang kuyakin teramat sedikit yang bisa mengerti hal itu.
 
“Bika mau jajan?” tanyaku. Yang ditanya langsung mantap mengangguk.
 
“Jajan.. Bika mau jajan..” celotehnya, menggemaskan siapapun yang mendengarnya. Lebih menggemaskan lagi ketika melihatnya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putih mungil miliknya yang berbaris begitu rapihnya.
 
“Jahdan juga mau jajan, Abi!!” kata Zahdan, tak mau kalah. Dalam beberapa keadaan, anak ini memang terkadang menganggap Bika adalah rivalnya.
 
Aku tersenyum, Zahdan ikut terkekeh. Sebuah lesung pipit tersemat manis di sebelah pipinya.
 
“Kalo gitu, Ayo..!” kataku, sembari bangkit dan melangkah pergi.
 
Anak-anak itu ikut melompat bangkit, lalu berlari mengikutiku dengan sigap. Kaki-kaki kecil mereka menjejak lantai yang dingin sambil sesekali bergidik.
 
“Hiii….Dingiiin!!” ucap mereka, hampir bersamaan.
WhatsApp Image 2018-05-24 at 21.16.01

Mimpi Abadi

Sekian hari tanpa menulis, sekian masa tanpa berkarya. Serona telah bercerai dengan pena, dicampakkan oleh tinta, dan ditinggal pergi ide-ide cerita. Aku mati, merasa abadi tak lebih dari sekedar mimpi.
Bukan tanpa alasan, selain karena Aku disibukkan oleh seorang bayi kecil yang bernama Zhira, fikiran ini disibukkan pula mencari jawaban atas sebuah evaluasi.
“Untuk apa Aku menulis? Apa yang kuhasilkan dari menulis? Apa yang kan kukejar dari menulis?”

Tak kunjung menemukan jawaban, maka Aku membuka file-file memori didalam folder history.
***
Satu memori ketika berhasil memunculkan karya, setelah berbulan-bulan lamanya menghabiskan malam hanya untuk  melahirkan beberapa lembar tulisan. Bersusah-susah, berpayah-payah, namun tetap bersuka cita menyodorkan karya tersebut ke berbagai penerbit.
Apakah diterima?
Tidak. Karyaku tak sesuai dengan minat pasar, itu jawaban mereka.
Aku mencoba berlapang dada, mencoba lagi penerbit-penerbit yang tersisa. Hingga terpaksa mencetak bukuku sendiri, dengan uang tabungan sendiri.
***
Dua memori dihadirkan, ketika mempromosikan buku hasil karyaku kepada semua kawan yang kukenal. Beberapa grup di WhatsApp, berisi semua kawan-kawan sekolahku dulu, pun kedalam grup teman-teman kerja. Dengan kembali bersuka cita Aku menawari mereka.
Apakah diterima?
Lagi-lagi tidak. Hanya sesaat setelah postinganku muncul, grup mendadak sepi. Hanya satu dua kawan yang memberi simbol jempol, tanpa diterusi ke arah maksud untuk membeli. Aku harus menerima kenyataan bahwa karyaku sepi peminatnya, tak ada yang bersedia membelinya. Namun setelah kutambahi kata GRATIS, barulah berbondong-bondong mereka meminta. Aku hanya bisa bertanya dalam hati, serendah itukah nilai karya ini?
***
Tiga memori didatangkan. Waktu mencoba bekerjasama dengan pelapak buku musiman. Beberapa eksemplar kuberikan, dengan persetujuan atas laba besar yang Ia minta. Tak apa, meskipun Aku jelas merugi, tapi yang penting ada rasa bangga bukuku terpajang di raknya. Tak sedikitpun menyangka, jika lapak tersebut tiba-tiba tutup tanpa ada konfirmasi. Dan bukuku pun hilang dibawa pergi.
Bertahun-tahun kemudian baru kutemukan lagi di tempat yang lain, dan penjual sama yang malu-malu menyembunyikan diri. Ingin sekali marah, tapi untuk apa. Itu hanya akan mempermalukannya dihadapan umum. Akupun pergi, sibuk menanyai diri sendiri, apa bukuku memang bernilai rendah? Sungguh, apakah semua tulisanku itu tak ada artinya??
***
Empat memori mendobrak pintu, hanya sesaat setelah sang norma bertandang di ruang tamuku. Aku.. harus.. menyendiri.
***
Dan kini, kembali Aku diberondongi pertanyaan sama yang dipenuhi duri.
“Menulis, untuk apa?”
“Jangan hamburkan pohon dan kertas untuk karya-karya tak bernilai!”
“Cih.. EYD saja masih tak becus, diksi saja masih berantakan, kenapa memaksakan diri membuat buku?”
Padahal rasanya, setiap buku yang kutulis bertujuan untuk melihat kebaikan, mengajak pada kebaikan, dan kembali pada kebaikan. Sementara diluar sana, begitu viral puisi yang melecehkan adzan, beredar banyak tulisan yang merendahkan Tuhan, terpajang di rak karya-karya perihal kebebasan. Apakah mungkin itulah yang dimaksud minat pasar?

Cukup!!
File-file memori ditutup kembali. Sepertinya tak ada gunanya lagi Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tak ada manfaatnya kucari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Karena Aku sudah mati, menjadi abadi tak lebih dari sekedar mimpi.

14/03/2018

Senandung Hujan

Gerimis menghujani bumi sedari sore tadi. Semakin malam, butiran-butirannya semakin deras berjatuhan. Serona langit tengah dirundung sedih yang berkepanjangan, entah karena merasa kesepian, entah pula lantaran kehilangan. Dua hal itu memang selalu saja melangitkan sendu, mengundang awan-awan kecemasan, serta mengkotak-kotakan kesendirian.

Sesiapa saja yang tengah merasakan, segenap jiwanya akan berubah dingin memilukan, segumpal hatinya akan membeku begitu kaku, dan ingatannya tak pernah berhenti mengadu ke masa lalu. Sesuatu yang kebanyakan orang tak pernah paham akan hal itu.
***

Zhira kecil terbangun karena popoknya basah. Ia memanggil dan memberi tahu, dengan bahasa bayi yang untuk memahaminya membutuhkan waktu.

“Kenapa Nak?” tanyaku.

“Aku merasa dingin Abi” jawabnya.

“Baiklah, Abi selimuti ya. Mau yang warna pink atau warna biru?” tanyaku lagi.

Zhira menggeleng.

“Pakai kain pernel?” ucapku.

Zhira menggeleng lagi.

“Em.. Mau dihangatkan dengan lampu sorot?” ucapku lagi.

“Bukan Abi, Aku merasa dingin karena hal yang lain” kata Zhira.

“Ooh.. popokmu basah ya? Kalau begitu tunggu sebentar, Abi ganti dengan yang kering ya..” kataku.

“Hehe.. Iya, terima kasih ya Abi” jawab Zhira.

Aku mengangguk, berbalik menuju lemari pakaian Zhira, kemudian bergegas kembali dengan membawa sebuah popok dan celana panjang kecil, yang baru juga kusetrika sejam yang lalu.
***

Waktu sudah menunjuk angka sepuluh lewat lima, tapi hujan tak memelan barang sebentar saja. Ia kian memberondong bumi dengan irama yang sama. Sekali dua diiringi suara guntur di kejauhan sana.

Zhira menatap wajahku dengan tatapan sayu. Kedua matanya mengerjap-ngerjap seolah menunggu sesuatu. Aku balas menatapnya, lalu tersenyum mengerti.

“Senandung hujan lagi Nak?” tanyaku.

Zhira mengangguk sembari tersenyum kecil. Itu adalah lagu yang selalu kusenandungkan setiap kali Zhira hendak terlelap. Sembari mengayun-ayunkannya lembut dalam gendongan, serta diiringi irama tetesan hujan diluar rumah, Aku bercerita banyak hal melalui senandung hujan.

Aku membukanya dengan sebuah kisah tentang tulip yang dikunjungi hujan berulang-ulang. Melulu didatangi hujan setiap hari. Namun ternyata, dalam setahun kelopaknya berkembang hanyalah sekali.
Sungguh, jika hujan memiliki hati, sedalam apakah rasa yang Ia miliki.

Aku berkisah pula perihal bintang. Sebuah cerita yang tak seindah gemerlap kerlipnya di waktu malam. Ia harus membakar dirinya sendiri agar bisa bersinar terang, dan melewatkan masa puluhan jam agar langit sudi membiarkannya terperlihatkan.

Sayang, saat waktu itu datang, manusia-manusia ternyata lebih memilih untuk terpejam. Tak tahu betapa bintang sangat menanti secuil tanggapan. Secuil saja, itu akan sangat berarti baginya.

Namun lantaran tak pernah ada, perlahan bintangpun memudar dan menghilang.. kemudian tak lama turunlah hujan.

Mata Zhira mengerjap-ngerjap, alisnya berkerut. Aku menggeleng sambil tersenyum.

“Tidak Nak.. Hujan di waktu malam bukanlah air mata kesedihan sang bintang. Sejatinya bintang tak pernah sekalipun menangis. Ia hanya berusaha bertahan dalam kesepian. Mati-matian bertahan dalam kesendirian. Itu saja..” terangku pada Zhira, kutahu Ia hendak menyanggah, ingin menanyakan arti gerimis di luar sana.

Cerita berlanjut pada drama bulan yang disandera. Langit menyembunyikan keberadaannya dibelakang bayangan bulat menghitam. Orang bilang gerhana, namun kubilang langit hanya tak terima, Ia tak mau bulan melulu menyakiti sang pungguk dalam kerinduan. Dan langit juga tak ingin cahayanya melenakan para pekerja siang ketika nanti membanting tulang.

Ia tak sadar, jika bulan disembunyikan, maka laut tak akan pernah tinggal diam. Laut akan sedemikian rupa berontak, marah bergulung-gulung menghajar karang. Menyanyikan sebuah lagu seram yang terbilang jarang sekali diperdengarkan.

Laut teramat tahu, bahwa pungguk justru akan lebih tersakiti jika harus menghabiskan malam tanpa cahaya rembulan.

Laut begitu paham, bahwa pekerja siang tak akan pernah punya impian, jika harus terlelap justru dalam pekatnya malam.

Zhira lagi-lagi hendak menyanggah, menanyakan keterkaitan dengan senandung hujan. Aku tersenyum, lalu tak lama memberi jawaban..

“Justru itu Nak, salah satu yang bisa menenangkan amarah laut, adalah.. Senandung Hujan. Memberi bayangan kawan dalam kesepian, pun memberi harapan tatkala tengah kehilangan. Mungkin saat ini Kau belum bisa mengerti, namun kelak.. Ketika Kau sedikit lebih dewasa dari sekarang. Saat Kau mulai mengalami nyeri dan pedihnya cobaan kehidupan. Saat Kau mulai mendapati sakitnya sebuah kehilangan. Maka saat itulah Kau akan menemukan irama Senandung Hujan”

Zhira kecil mengangguk takjub, lalu kedua matanya terpejam, beranjak terlelap dalam dunia lain bernama impian.

06/03/2018

Sekolah Buat Zahdan

“Zahdan mau sekolah?” tanyaku, suatu kali.
“Mauuu!!!” teriak Zahdan, spontan.
Zahdan memang sudah seringkali melihat anak-anak seusianya bergerombol dengan memakai baju seragam berwarna cerah, dan masing-masing dari mereka membawa tas kecil lucu di punggungnya. Ia tahu pasti bahwa di tas itu ada banyak benda-benda keren. Katakan saja buku-buku, pensil, crayon warna-warni, bekal makanan, susu kotak, serta beberapa mainan. Tak heran jika Zahdan, kian terbersit untuk bisa bersekolah juga seperti mereka.
Usia Zahdan tahun ini adalah Lima, waktu yang lumayan tepat untuk masuk TK A. Dengan prediksi TK A di usia 6 tahun, dan kelak bisa masuk SD Kelas 1 di usia 7 tahun. Kami tak ingin membiarkan Zahdan masuk SD di usia 6 tahun seperti kakaknya, karena ada kekhawatiran setelah selang beberapa tahun Ia akan merasa jenuh terus menerus bersekolah, lantaran merasa tak puas bermain di masa kecilnya.
Alhasil kami sibuk mencari-cari sekolah yang cocok untuk Zahdan, bertanya kesana kemari, searching di google mengenai sekolah-sekolah TK yang ada di kota ini. Berharap satu diantaranya adalah tempat terbaik bagi Zahdan dalam mengenal dunia sekolah.
“Zahdan, sehabis antar ka Ziya, Insya Allah kita jalan-jalan sambil cari sekolah buat Zahdan. Nanti, dipilih ya, Zahdan maunya sekolah di sekolah yang mana!” kataku.
“Asyiiik.. Siap Pa Abi!!” jawab Zahdan, terlihat begitu senang.
Selang beberapa lama, Kami tiba di sekolah TK yang pertama. Areanya luas dan bersih, taman bermainnya lebih berupa playground, lengkap. Muridnya banyak, teramat banyak malah. TK A nya saja ada lima kelas, dengan masing-masing kelas berjumlah maksimal 25 siswa, didampingi oleh dua orang guru. Disana, Zahdan berlari-lari di taman bermain. Ia senang memanjat tangga, bermain seluncur, serta masuk ke terowongan kecil.
“Abiii, sekolahnya luas ya? Tempat mainnya banyak. Zahdan mah mau disini ah!” kata Zahdan.
Aku hanya tersenyum, menimbang-nimbang kelebihan dan kekurangan yang kurasa di sekolah tersebut.
Kekurangan? Tentu saja. Tak bijak rasanya jika menilai sebuah sekolah hanya dari kelebihannya, atau hanya dari fasilitasnya saja. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan seorang anak saat bersekolah. Contohnya, di sekolah ini ada sesuatu yang kurasa janggal. Yang kulihat pertama kali, sebelum anak-anak masuk kelas, mereka harus duduk berbaris. Menuruti “komando” dari gurunya. ‘Diam’ artinya para siswa tak bersuara, memangku kedua tangannya seolah ada meja. Raut wajah mereka datar, tak ada sedikitpun riang-riangnya, seperti raut wajah orang dewasa saja. Ngeri sekali melihatnya
Kedua, sejak masuk gerbang sekolah tersebut, tak ada satu guru pun yang mendekat dan menyapa Zahdan.  Mereka seperti orang dewasa yang tak terlalu suka dengan anak-anak. Padahal di sekolah Ziya dulu, para gurunya ramah sekali kepada anak-anak, tak pernah sungkan menyapa anak, meski anak yang tak dikenal sekalipun. Hal tersebut tentu akan membuat anak merasa nyaman berada dekat dengan mereka.
“Abi, Zahdan sekolah sekarang?” tanya Zahdan.
“He.. ya nggak atuh Zahdan. Kita kan mau lihat dulu sekolah yang kedua” jawabku.
Zahdan terperangah, mungkin dalam benaknya bertanya-tanya, memangnya ada berapa banyak sekolah buat Zahdan. Namun anak kecil berponi itu mengangguk juga, dari ekspresinya Ia terlihat sudah sangat ingin bersekolah. Entah, mungkin supaya sepulang ke rumah nanti Zahdan bisa bercerita pada teman tetangganya, bahwa Ia sudah sekolah. Hm.. Tampaknya bersekolah adalah hal yang sangat keren dalam fikirannya.
***
TK kedua, sebuah sekolah yang berjarak cukup dekat dari rumah. Areanya jauh lebih kecil dibanding TK yang pertama. Taman bermainnya hanya dua ayunan dan sebuah seluncuran saja. Muridnya? Jangan tanya, satu kelasnya tak lebih dari 8 atau 10 orang. Sedikit sekali memang, hingga membuatku sempat khawatir tipe ekstrovert seperti Zahdan tak akan kerasan. Namun, Gurunya tiba-tiba datang menyambut, mengajak Zahdan bermain bersama siswa-siswa yang lain. Zahdan bebas berlari kesana kemari mengeksplorasi setiap sudut sekolah tersebut. Bahkan Zahdan dibuatkan pula mainan pesawat terbang dari bahan stick es krim. Anak berponi itu senang bukan kepalang, Ia berulang kali menunjukkan pesawat itu padaku.
“Abii.. lihat!! Zahdan dibikinin pesawat! Bagus ya Abi?” katanya.
Aku mengangguk mengiyakan. Sementara Umminya masih asyik mengobrol dengan seorang guru, berbicara masalah beban-beban yang didapati anak-anak seusia Zahdan di sekolah. Ada sekolah yang menuntut para siswanya untuk lekas bisa membaca, bisa melafalkan kata-kata dalam Bahasa inggris, dan patuh layaknya robot. Kasihan sekali.. Padahal Anak seusia Zahdan masih memiliki kebutuhan untuk bermain, serta kebutuhan untuk bersama orang tuanya. Jika Ia tak mendapatkan kebutuhan itu di masa kecil, maka nanti setelah besar Ia akan menuntut balik pada kedua orang tuanya. Tak jua dipenuhi, tantrumlah Ia.
“Abi besok kesini lagi?” tanya Zahdan, sesaat setelah diajak pulang ke rumah.
“Ya engga atuh Zahdan, besok mah kan hari Sabtu, sekolahnya juga tutup” kataku, sambil tertawa.
Zahdan ikut tertawa, lalu mengangguk mengerti.
***
TK ketiga, sekolah yang berkisar 300 meter dari TK kedua. Disana area sekolahnya sedikit lebih luas. Taman bermainnya lebih bagus, muridnya juga lumayan banyak. Tak heran, sekolah itu adalah sekolah negeri, biaya masuknya pasti lebih murah dibanding yang lain. Sayang, TK tersebut lebih mengkhususkan diri untuk umum, kurikulum seputar hafalan surat dan do’a-do’a tak terlalu dikedepankan. Padahal bagi seorang anak muslim, hal tersebut sangatlah penting.
TK keempat, sedikit lebih jauh dari sekolah yang ketiga. Dan karena hari sudahlah siang, kami kesana hanya sebentar saja.
***
Besoknya, Aku masih menyempatkan diri mengunjungi TK kelima. Sebuah sekolah yang berada di pinggir jalan raya. Tempatnya lumayan luas, ada area taman, gazebo, kolam, juga jembatan kecil yang indah. Sekelilingnyapun terlihat bersih dan rapi, sepertinya yang punya sekolah sangat teliti dalam memperhatikan hal ini.
Kami kesana tak lama, hanya berniat meminta brosur dan sedikit melihat-lihat saja. Lagipula, waktunya bersamaan dengan gerbang sekolah akan ditutup. Beruntung seorang Guru berbaik hati masih menerima kami. Guru tersebut diikuti oleh anaknya, aktif sekali anak itu. Berlari-lari, tak peduli meski Ibunya sedang kedatangan tamu.
Saat menjelaskan keadaan sekolah, tiba-tiba.. “SYUUUUTT” sebuah sandal melayang hanya berjarak satu meter didepan wajahku. Pelakunya, siapa lagi jika bukan anak aktif tersebut. Ibunya terlihat berang, langsung memelototinya marah.
Aku tak peduli, namanya juga anak-anak. Zahdan juga sering melepas sandalnya dengan cara dilempar. Hingga besoknya Ia kebingungan sendiri saat mencari-cari sandal tersebut, dan barulah kuberi tahu, itu akibatnya jika doyan melempar-lempar sandal.
Aku pura-pura berpaling memperhatikan hal yang lain, padahal melirik pada mereka, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Guru tersebut. Ternyata Ia langsung mendekati anaknya, lalu mencubit anaknya di bagian belakang, sembari tetap memasang raut wajah ramah padaku. Hmph.. Aku seketika merasa kasihan pada anak yang dicubit. Lebih merasa kasihan lagi pada Ibu guru yang mencubit. Mungkin ini sinyal bahwa sekolah ini tak cocok bagi Zahdan. Kami pun lekas memohon pamit dan bergegas pergi.
***
Di rumah, waktunya evaluasi. Aku bertanya pada Zahdan.
“Zahdan, jadi Zahdan teh mau sekolahnya di yang mana? Kesatu, kedua, ketiga, keempat atau kelima?” tanyaku.
Yang ditanya mengernyit sesaat, lalu langsung menjawab.
“Zahdan mah mau di yang kedua aja ah. Disana mah Ibu gurunya baik, udah bikinin pesawat buat Zahdan” jawabnya.
Aku tersenyum, Zahdan sudah bisa memutuskan mana yang Ia sukai. Ia tak melihat sesuatu dari kemewahan belaka, ada faktor berbeda yang bisa Ia temukan dalam sesuatu yang sederhana. Yang pasti, di usia hampir lima tahun ini, Zahdan mendapat pengalaman berarti, yakni belajar menganalisa sendiri. Ia mengumpulkan opsi-opsi, lalu memutuskan mana yang ingin Ia jalani.
Zahdan, dimanapun sekolahmu, berusaha saja yang terbaik dalam menimba ilmu. Tak penting berapa tinggi target dalam kurikulum itu, tak penting pula angka dan nilai dalam raportmu. Yang penting bagiku hanyalah, apakah Kau pulang sekolah dengan riang di raut wajah, atau Kau pulang dengan kentaranya rasa penat dan lelah. Dua hal itu sudah cukup dalam menilai keren tidaknya sebuah sekolah.
Yang jelas, tak sabar rasanya ingin melihat Zahdan memakai seragam sekolah. Kau pasti akan terlihat keren Nak, berkali lipat terlihat keren. ^_^

11/02/2018

Bantuin Abi

Malam kian larut, menelan semua kesibukan siang dalam sebuah hening yang akut. Lihat saja, pintu rumah-rumah disini sudah rapat tertutup, para penghuninya telah lelap tertidur dibawah tebalnya selimut. Satu dua malah ditambahi kerasnya dengkuran. Dimana antara satu dan lainnya melantunkan irama yang berlainan. Tak apa, sepanjang siang sudah mereka gunakan untuk bermacam kesibukan. Wajar rasanya jika di malam ini merasakan kelelahan. Dan bukankah waktu malam memang sudah sepatutnya digunakan untuk mengistirahatkan badan. Iya kah?
Tidak juga.
Selepas Isya tadi, ada seorang tamu yang datang. Ia hendak menyelesaikan sebuah urusan. Lumayan panjang, dua setengah jam baru selesai dan pulang. Alhasil pekerjaan menyetrikaku jadi tertunda beberapa lama. Baru bisa memanaskan setrika di jam setengah sepuluh kurang lima. Eh, lupa belum makan malam pula. Hmph.. tak apa, perihal yang itu biarlah nanti saja.
Tumpukan pernel dan popok Zhira sudah menanti diatas karpet. Aku memilahnya sebagian untuk dijadikan alas setrika. Setelah setrika dirasa cukup panas, Aku mulai menggarap pekerjaan itu satu per satu. Popok Zhira tak pernah bisa ditunda hingga esok hari, khawatir malam ini Zhira mengompol dan membutuhkan ganti.
“Abi..” panggil sebuah suara, tiba-tiba.
Aku menengok ke samping, tampak Zahdan kecil tengah berdiri di pintu kamarnya. Kedua tangannya masih mengucek-ucek matanya.
“Lho.. Zahdan kenapa bangun? Masih malem Nak, tidur lagi saja!” ucapku.
“Jadan ga bisa tidur..” jawabnya, sembari melangkah mendekat padaku. Kepalanya direbahkan dipangkuanku, manja.
Tentu saja Ia tak bisa tidur, sedari sore tadi Zahdan telelap nyenyak. Kecapaian sehabis bermain di luar bersama teman-temannya. Apalagi siangnya Ia keasyikan bermain pula, jam tidur siangnya terlewat begitu saja. Tak heran jika Ia terbangun di jam segini.
“Abi lagi nyetrika punya de Jira ya?” tanyanya, memperhatikanku.
Aku mengangguk, “iyaa.. Zahdan mau bantuin Abi?” tanyaku.
Zahdan sontak bangkit, langsung balas mengangguk dengan antusiasnya. Kedua matanya yang hampir tertutup poni itu berubah segar.
“Ya sudah, Zahdan tolong pisahin popok de Zhira satu-satu ya? Terus tolong kasih ke Abi, bisa?” tanyaku.
“Siap Pa Abi!!” jawabnya, sembari tertawa. Aku balas tersenyum.
Tak lama kedua tangan kecilnya segera memilah-milah popok Zhira, menyodorkan satu demi satu untuk kusetrika. Untuk urusan-urusan seperti ini, Zahdan memang lumayan bisa diandalkan. Ia kerap bersemangat ketika diajak melakukan pekerjaan rumah. Membersihkan kaca jendela, menyiram tanaman, sampai mencuci kendaraan, Zahdan tak mau ketinggalan ikut membantu. Meski seringnya Ia lakukan sembari bermain-main air. Girang bukan kepalang bukan karena selesainya pekerjaan, namun justru ketika bajunya sudah kuyup tersiram.
Pun ketika Umminya baru pulang. Zahdan kecil Ia minta mengambilkan air minum di dapur. “Zahdan, tolong ambilkan air minum buat Ummi bisa?” katanya. Yang langsung disambut Zahdan dengan jawaban mantap, “siap, bu Ummi..!!” katanya.
Dan tak sampai semenit, Zahdan sudah kembali sembari membawa gelas plastik berisi air minum. Hati-hati Ia membawa gelas tersebut dengan kedua tangannya. Kami tersenyum bangga melihat kesigapannya itu.
Serupa dengan malam ini, Zahdan berusaha telaten memilah-milah popok Zhira. Sekali dua kali sambil berceloteh, ‘eh..yang ini mah beda, ga ada gambarnya’, ‘Abi, ini teh disetrikanya semua?’, ‘Abi, ko de Jira mah pake popok?’, celotehnya polos.
Tak terasa, setrikaan sudah beres sebagian besarnya, tinggal sedikit lagi.
“Zahdan, sedikit lagi ya?” tanyaku.
Yang ditanya langsung menatap apa yang ada dihadapannya, bibirnya komat kamit sebentar, seolah sedang menghitung. Tak lama langsung menjawab, “iya Abi, tinggal sedikit lagi!” jawabnya. Aku tertawa melihatnya.
“Oh iya, Zahdan tadi pas tidur mimpi apa?” tanyaku lagi.
Alis Zahdan sontak mengernyit, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.
“Em.. Jadan mimpi jadi astronot!! Terbang pake roket ke bulan sama planet!” ujarnya.
“Oya? Asyiik.. Abi diajak ngga Zahdan? Abi juga kan pengen maen ke bulan” kataku.
Zahdan mengangguk mantap, “iya, diajak” jawabnya.
“Kalo Ummi?” tanyaku.
“Iya, diajak juga” jawabnya lagi.
“Ka Ziya?”
“Diajak”
“De Zhira?”
“Iya diajak”
“De Mikel temennya Zahdan?”
“Diajak atuh!”
“Mm.. Teh Jasmin temennya Zahdan tea?”
“Iyaa..diajaaak!”
“Kalo Nenek? Kakek? Ateu? Om Amay? Bi Neneng?”
“Euh.. Diajak Abiii.. semuanya Jadan ajak naik roket! Biar semuanya bisa main di bulan!” jawabnya.
“Memang roketnya muat?” tanyaku, sambil terkekeh.
Zahdan tertegun sebentar. “em.. kan roketnya yang segede truk, kayaknya bakalan muat. Ya kan Abi?” tuturnya, balik bertanya. Aku langsung mengangguk mengiyakan.
Setelah menyetrika selesai, Zahdan bersikukuh ikut membantu juga memasukannya ke lemari Zhira. Dua tangan kecilnya mengangkat beberapa pernel. Raut wajahnya seolah menandakan berat, Aku hanya tersenyum, tahu bahwa itu hanya pura-pura semata.
“Zahdan, ma kasih ya udah bantuin Abi. Zahdan memang anak Abi yang hebat!” kataku. Yang dikatai terkekeh senang, matanya sayu, mulai mengantuk.
“Nah, biar lebih hebat lagi, Zahdannya sekarang tidur dulu. Anak kecil kan ga boleh kurang tidur. Tidur itu, bisa bikin Zahdan jadi lebih kuat dan tinggi” kataku.
“Oh, lebih tinggi dari Abi?” tanyanya.
Aku mengernyit, lalu cepat mengangguk, “iyaa.. Zahdan nanti juga bisa lebih tinggi dari Abi. Asal makannya yang banyak, tidur siang jangan kelewat, sholat sama ngaji ga boleh ketinggalan, banyak-banyak bantuin Abi sama Ummi, ga lupa tolongin juga temen-temen Zahdan yang butuh bantuan, Insya Allah Zahdan bakal jadi tinggi dan lebih hebat lagi!” paparku, sungguh-sungguh.
Zahdan mengangguk mantap, “siap pa Abi!! Tapi Zahdan mau diceritain dulu..” ucapnya.
Giliran Aku yang mengangguk, melangkah hendak mengambil buku di rak. Namun urung, lantaran lampu kamar Zahdan harus dimatikan, artinya acara membacakan buku harus didukung dengan senter kecil milikku, dan senter tersebut sudah habis baterainya. Lagipula, ada Ziya yang sudah pulas di kasur sebelahnya, Ia mungkin akan terganggu jika Aku menyalakan lampu.
Akupun beralih mengambil handphone, menggeser-geser telunjuk untuk membuka blog pribadi, ada banyak cerita yang pernah kuupload disana. Biasanya Zahdan menyukai cerita yang kutulis tentangnya sendiri, terkadang pula meminta dibacakan cerita tentang Ziya kakaknya.
Aku bergegas masuk ke kamar, “Zahdan, mau dibacain cerita tentang kak Ziya lagi?” tanyaku.
Yang ditanya tak menjawab sedikitpun, lantaran matanya sudah terpejam rapat, seluruh badannya seolah menempel dengan kasur, Ia telah tertidur dengan pulasnya, hanya dalam hitungan jari sebelah tangan saja. Akupun tersenyum, mengambilkan selimut bergambar Thomas, lalu menyelimuti Zahdan perlahan.
“Terima kasih anak hebat!” bisikku.

20/01/2018

Mazhira




Adalah Mazhira, seorang bayi mungil nan lucu yang lahir di hari Rabu, pada tanggal 17 Januari yang lalu. Ya, hanya lima belas menit menjelang Adzan Isya, Alhamdulillah bayi itu beralih ke alam dunia, alam dimana kita semua sekarang berada. Aku melihat sendiri saat ditarik kepala dan tubuh kuyupnya, pun mendengar sendiri waktu Ia melantunkan tangis pertama kalinya. Tentu saja, tangisnya bukanlah tangisan yang keras menggema, yang menggetarkan dinding dan jagat raya. Melainkan sebuah tangisan malu yang begitu syahdu, menenangkan hati hingga ke ulu, serona sepoi yang bertiup di hutan bambu.
Mazhira sangatlah ringan, beratnya tak lebih dari 2,17 kilogram saja. Paling ringan dibanding dengan kakak-kakaknya. Tak heran jika sang dokter mewanti-wanti agar lebih telaten dalam mengurusnya. Aku mengangguk tanda akan berusaha. Memang, dulu Ziya dilahirkan dengan berat badan 2,7 kilo, sedangkan Zahdan lahir di angka 2,4 kilo. Ternyata, Zhira lebih mungil lagi berat badannya, mengalahkan dua kakaknya, buah dari pola makan yang terjaga lantaran khawatir akan sulit persalinannya.
“Tak apa, yang penting Kau sehat dan selamat Nak..” bisikku, haru.
***
Ada yang berbeda di kelahiran Zhira, yakni Kami bertigalah yang menungguinya. Aku, Ziya, dan Zahdan, datang bersama ke klinik persalinan. Aku mendampingi Umminya, sedang Ziya dan Zahdan menunggu berdua di kamar. Ziya malah terkadang ‘nyelonong’ masuk ke ruang tindakan, membawa sebungkus chiki sekedar minta dibukakan. (He..) Alhasil Aku sampai ditegur perawat yang bertugas, anak kecil tak boleh masuk kesana. Aku mengangguk patuh, memberi wejangan Ziya sebuah kalimat sederhana. Padahal dalam hati Aku tahu, Ziya hanya tak sabar ingin melihat adiknya yang baru.
Sedangkan Zahdan, begitu khusyu dengan HP dalam genggaman, apalagi jika bukan tengah main game balapan. Aku terpaksa memberinya handphone, karena beberapa kali Zahdan masuk juga ke ruang tindakan, mengusap perut Umminya sembari memanggil-manggil Zhira.
“De Jhiraa.. Ini Kaka Jahdan. Cepet keluar ya, nanti kita maen game bareng-bareng. Uhuk..uhuk..” ucapnya.
“Zahdan do’ain dulu atuh” kataku.
“Eh iya..” ucap Zahdan, lalu bergegas mengangkat kedua tangannya. Alisnya mengernyit serius, matanya mendelik ke atas, serta bibirnya berkomat-kamit tak jelas, entah do’a apa yang tengah dilafalkannya.
“Udah!!” ucapnya tiba-tiba, hanya berselang tiga detik setelah mengangkat tangan barusan.
Aku menggelengkan kepala merasa takjub, tadi itu do’a tercepat yang pernah kusaksikan sepanjang hidup. Tak lama, Aku menuntun Zahdan kembali ke kamar, ada Ziya yang sudah berganti baju seragam disana. Sepulang sekolah tadi Ziya memang langsung menuju klinik, tak ke rumah dulu. Baju gantinya sudah kubawakan dalam tas.
Setelah meminjamkan handphone pada Zahdan, Aku memberi perintah sebentar. “Zahdan, sekarang Zahdan tunggu di kamar sama Ka Ziya ya. Ga boleh keluar, maennya didalem aja. Ziya boleh maen laptop, tapi tolong jagain juga Zahdan, sambil diasuh, Ziya kan kakaknya. Do’ain juga Ummi sama de Zhira, minta sama Allah biar proses ngelahirinnya lancar. Iya?” kataku. Ziya mengangguk mengiyakan. Sementara Zahdan sudah tenggelam dalam permainan, sembari terbatuk-batuk. Pilek menyerangnya sedari kemarin.
Aku bergegas kembali ke ruang tindakan, menemani Umminya anak-anak yang sedang berjuang.
***
“A..bi.. Hhk. Napas.. Napas Jahdan ga enakeun.. Ehk..” ucap Zahdan, dengan nafas yang memburu cepat.
Aku beristighfar dalam hati, merasa bingung. Di satu sisi Aku harus diruang tindakan menemani Umminya, tapi di sisi lain, Zahdan yang sedang sesak seperti ini tak bisa kutinggalkan. Aku meraih HP, mencari nomor kontak seseorang yang bisa dimintai bantuan, hendak memintanya membawakan nebulizer di rumah.
Singkat cerita, nebulizer sudah ditangan, segera saja kupasangkan pada Zahdan. Asap obat mengepul memenuhi rongga pernafasannya. Kedua mata Zahdan sayu, menatap lemas film Upin dan Ipin yang tengah tayang di layar TV. Sembari menunggu, Aku baru bisa mendirikan shalat maghrib, padahal jarum sudah menunjukkan jam setengah tujuh lewat. Apa daya, sepanjang waktu Aku berjaga di ruang tindakan. Menemaninya merasakan mulas yang bertambah lama kian bertambah sering. Terakhir kali kutinggalkan, sudah 3 menit sekali.
Usai shalat, usai pula Zahdan diterapi uap. Meski tak tuntas, sepertinya bisa melegakan nafasnya selama beberapa jam ke depan. Terpaksa, ada hal lain yang harus dikerjakan.
Kembali ke ruang tindakan, sudah ada dokter disana. Ia sempat bertanya Aku darimana, dan langsung mengerti setelah kujelaskan. Tak lama, sang Dokter berkata bahwa ini saatnya bayi dilahirkan. Jantungku berdegup kencang, ratusan do’a dipanjatkan, bersiap atas segala kemungkinan.
“Ya Robb, lancarkanlah.. selamatkanlah..” bisikku.
***
Setengah jam setelah lahiran..
“Ziya, Zahdan, mau lihat de Zhira?” tanyaku.
Ziya dan Zahdan langsung melompat, menyerangku dengan berbagai pertanyaan.
“Bayinya udah lahir Abi?? Dimana? Ziya pengen lihat. Dimana Abi?” kata Ziya.
“Jahdan juga Abi.. Uhuk.. Jadan juga mau liat de Jira..!!” susul Zahdan, setengah terbatuk.
“Iyaa, ayo sini. Ikutin Abi!” ucapku.
Tanpa perlu diberi komando dua kali, Ziya dan Zahdan antusias mengikuti langkahku. Kaki-kaki kecilnya setengah berlari, tak sabar ingin melihat adik baru mereka.
“Ziya, tuh lihat, de Zhira lagi tidur di kotak kaca. Sama kaya Ziya waktu dulu” kataku, sambil menunjuk dari balik kaca besar di depan ruang bayi. Ziya langsung terperangah, hendak mengetuk kaca tersebut, namun tak jadi lantaran kucegah.
“Mana de Jhira Abi? Jadan juga mau lihat!!” kata Zahdan, kakinya berusaha berjinjit, namun masih tak cukup tinggi untuk melihat kedalam. Aku lekas membantu mengangkat Zahdan, mendudukannya dalam gendongan.
Yang digendong tak kalah terperangah. Melihat seorang bayi mungil dalam kotak kaca, tengah disinari lampu untuk menghangatkannya.
“I..itu de Jhira?? Adiknya Jahdan ya Abi?” ucapnya. Aku kembali mengangguk mengiyakan.
“Aku mah mau kasih de Jhira hadiah ah Abi. Terus ajakin de Jhira main mobil hot wil yang keren. Yang buka pintunya ke atas. Kan itu keren ya Abi? Kata Abi mah yang keren teh yang bambel bi ya? Yang warna kuning trus bisa jadi robot tea?” paparnya panjang lebar, lalu diakhiri dengan pertanyaan. Aku tersenyum mendengarkannya.
“Zahdan, de Zhira mah kan perempuan. Mainnya bukan mobil atau robot. Tapi Zahdan boleh ajak main de Zhira ko, kalo udah aga gede, sekarang mah kan masih bayi” jawabku.
“Oh..” jawab Zahdan singkat.
Meski demikian, Zahdan tampaknya tetap berusaha mengajak main adiknya. Terbukti saat Zhira digendong, Zahdan tak segan-segan mendekat. Ia lalu menutup wajahnya sendiri dengan dua telapak tangannya. Mencandai Zhira dengan permainan Ci luk ba. Kami tersenyum melihat tingkah lakunya.
***
Besoknya, di rumah. Zahdan benar-benar memberi Mazhira hadiah. Sebuah bungkusan dari beberapa kertas yang ditempeli, plus digambari dengan spidol diluarnya. Menempelinya menggunakan isolasi besar, Zahdan memang kerap ikut nimbrung tiap kali Aku membungkus paket.
“Ummi, ini hadiah buat de Jhira..!!” katanya, tulus.
Hadiah itu Ia letakkan tepat disamping busa tempat Mazhira berbaring di kamar. Lalu lantaran adiknya itu tengah tertidur, Zahdan pun berbalik pergi ke ruang tengah, kembali bermain.
Penasaran dengan isi hadiah dari Zahdan, Aku membuka sedikit bungkus kertasnya.
Benar saja, bukan mobil bukan pula robot mainan yang dihadiahkan Zahdan pada Zhira. Tapi.. Kereta mainan, belasan kereta mainan banyaknya. Thomas, Percy, Luke, dan Toby, adalah empat diantaranya. Mainan yang dulu sangat disukainya sebelum berpindah melirik hot wheel. Sepertinya Ia tak terlalu peduli meski adiknya itu seorang perempuan. Ia hanya ingin memberi hadiah yang berharga menurutnya.
He.. Kau hebat Zahdan! ^_^