27/12/2021

Keberkahan

Tanda -tanda keberkahan, adalah bertumbuh dan berkembang.

Setiap batangnya menumbuhkan ranting, setiap pucuknya memekarkan kembang.
 
Tak selalu, memang..
 
Karena ada keberkahan yang tak menumbuhkan seincipun dahan.
 
Tiada pula memunculkan sehelaipun daun.
 
Melainkan justru menghujamkan akar.
 
Iya, akar..
 
Keberkahan dari Allah, dianugerahkan dalam bentuk mengakarnya Iman.
 
Itulah yang sesungguhnya menahan sang pohon dari badai cobaan.
...
 
Keberkahan lainnya diberikan dalam bentuk ketenangan hidup. 
 
Rasa nyaman di keluarga, rasa tenang dalam bertetangga.
 
Karena bagi orang-orang bijak, hal itu sungguh sudah teramat cukup.
 
Keberkahan juga tak selalu berarti mekarnya kembang.
 
Karena ada keberkahan, yang justru menumbuhkan tunas.
 
Iya, tunas..
 
Tunas-tunas murni yang jauh lebih baik dari pohon asalnya.
 
Yang ibadahnya lebih penuh kekhusyuan, 
 
bisik do'anya lebih menggetarkan, 
 
serta pada penduduk langit namanya lebih Allah bangga-banggakan.
 
Tunas-tunas yang setiap hari bolak balik pergi ke mesjid untuk sholat dan mengaji. 
 
Tunas-tunas yang senantiasa ada hafalan Qur'an di setiap kepalanya. 
 
Tunas-tunas terbaik yang siap menyempurnakan amal orang tuanya.
 
Demikian. Selamat menjemput keberkahan.

Harta Karun di SMK 1

Blurb:
 
Gapura biru, kokoh berdiri seraya membisu. Menyandang makna, seperti sebuah gawang besar yang tanpa penjaga.
 
Tidak..! Gapura itu tak pernah beringsut, walau angin keras sesekali bertiup. Dia melulu berdiam, seolah menyimpan misteri jauh di kedalaman.
 
Tak jauh darinya, seorang siswa menatap gapura dengan mata yang menyala. Serona melihat harta melimpah teronggok di belakangnya. Harta legenda yang teramat dia yakini sungguh berada disana.
 
“Ayah.. aku akan memburunya! Aku berjanji akan memburu harta legenda di SMK itu!” bisiknya, sungguh-sungguh.
 
Ah, betulkah ada harta legenda yang tersembunyi disana?
 
Ataukah itu semua hanya bualan semata? Sekedar dongeng fiksi yang mempermainkan siapapun yang mempercayainya?
 
 


 

29/11/2021

Jangan Pongah

Kau benar, nak. Sebanyak apapun bukumu, setinggi apapun ilmumu, dan sekuat apapun dirimu, adalah mustahil tanpa Allah sebagai penolongmu.

Maka jangan pernah kau angkat tinggi dagumu, nak.
Hatimu, apalagi.

Jangan kau anggap rendah mereka yang terlihat lemah!

Karena boleh jadi, bisik lisan mereka berkali lebih diijabah ketimbang jerit do'a kita.
Setetes keringat mereka bisa lebih mulia dibanding setampuk sedekah kita.
...

Kau betul, nak..
Setinggi apapun jabatanmu, semewah apapun kendaraanmu, semegah apapun rumah tinggalmu, adalah hina tanpa berkah Allah dalam hidupmu.

Maka jangan pernah kau surutkan taatmu, nak.
Sholatmu, apalagi.

Tak elok rasanya jika kau berlama-lama dalam mengejar dunia, namun kerap terburu-buru ketika tengah menghadapNya.

Ingin berlekas pergi, ingin beranjak kaki, ingin bersenang-senang lagi.

Ingat, nak..

Kita ini begitu rendah, sedangkan Allah Maha Tinggi.

Kita ini begitu kotor, sedangkan Allah Maha Suci.

Kita ini begitu bodoh, sedangkan Allah Maha Mengetahui.

Mengendalikan usia saja kita tak pernah bisa, lalu apa gunanya berpongah ria?
 

 

24/10/2021

Jalan Hidup

Ada masa, ketika kita dimudahkan didalam ujian.

Walau tertatih dan terseok, terbuang dan terbengkalai, 
kita tetap bisa melewatinya, bukan?
 
Sungguh, Allah tak pernah membiarkan kita berjalan sendirian.
...
 
Kemudian masa berganti, 
ketika dalam kemudahan kita diuji.
 
Apa dengannya dagu jadi terangkat tinggi? 
Apa jumawa jadi leluasa menguasai hati?
 
Sungguh, Allah tak pernah menyukai adanya kesombongan.
...
 
Lalu masa berganti..
 
Dimudahkan lagi..
 
Diuji lagi..
 
Dimudahkan berulang kali..
 
Segala kondisi tak akan lantas berubah menjadi abadi.
 
Ah, bukankah dunia ini sejatinya memang merupakan ujian?
 
Tempat fana dimana kita berusaha keras mencari bahagia. 
 
Tempat dimana sebagian manusia mengejar-ngejarnya dengan jalan kesenangan. 
Uang, harta, jabatan, segala yang sifatnya melalaikan dan melenakan.
 
Padahal, sebagian manusia lagi berhasil meraih bahagia, justru dengan jalan ketenangan.

19/10/2021

Berhenti

Berhenti!

Berhentilah ayah/bunda!

Kumohon, berhentilah terus memarahi dan menyalahkan ananda!
 
Anak-anak kita yang malas ketika disuruh shalat, 
 
atau mereka yang enggan ketika diminta berhijab.
 
Berhenti menyalahkan mereka!
 
Berhentilah sejenak, berdiam diri barang sesaat.
...
 
Ayah, Bunda.. Sesungguhnya anak-anak adalah peniru ulung, bukan? 
Mereka adalah cermin atas apa yang sehari-hari kita lakukan. 
Mereka belajar cepat dari lingkungan sekitar.
 
Baik atau buruk, bagus atau jelek, layak atau tidak layak, 
selalu ada dorongan besar untuk ikut-ikut meniru. 
Mereka sungguh butuh arahan dari orang dewasa, 
orang tua terutama.
 
Dan orang tua mereka adalah anda, para ayah, para bunda!
 
Orang tua mereka bukanlah google atau youtube, 
bukan pula instagram atau facebook. 
Orang tua mereka bukan tiktok, mobile legend, atau game-game online lainnya.
 
Menyerahkan peran orang tua pada dunia maya, 
ibarat meleburkan diri menjadi tak kasat mata. 
Wujud kita bak lenyap di mata mereka.
 
Maka, jangan heran ketika mereka tak menyahut lagi kala dipanggil. 
Tak menurut lagi ketika diminta.
 
Pun dengarlah redaksi kalimat yang meluncur dari mulut mereka, 
yakni, 'kata google juga...', 'kata facebook juga'. 
Yang mereka ucapkan dengan wajah yang bangga.
 
Bukan lagi 'kata ayah aku..'. 
Atau tak ada lagi.. 'kata ibu aku..'.
 
Lebih jauh, pantas saja jika mereka marah ketika gadgetnya disita. 
Mengamuk, berontak, 
karena kita seolah-olah tengah merampas orang tua mereka.
 
Padahal ketika kita yang pergi, mereka terlihat santai-santai saja.
 
Gembira malah..
...
 
Ayah, bunda, mari sejenak berhenti dan berintrospeksi. 
Perilaku buruk mereka, boleh jadi sebenarnya gegara kita.
 
Iya, gegara kelakuan kita. 
 
Kita yang menyebut diri sebagai orang tua.
 
Boleh jadi, semua karena doa kita yang sering sekali tergesa-gesa.
 
Lantaran istighfar kita yang kering dan tanpa rasa.
 
Karena taubat kita yang tanpa nasuha.
 
Atau karena ibadah kita yang masih saja terselip riya.
 
Astaghfirullaah...

22/09/2021

Pura-pura

Wahai, Ayah Bunda yang gemar berpura-pura.
 
Ayah bilang tiada lelah diluar sana.
Bekerja seadanya, seolah tak perlu memeras tenaga.
 
Padahal, lihatlah!
Keringatmu jelas-jelas deras bersimbah.
Sekujur badanmu bergetar tanda melemah.
 
Kau selaksa kayu yang menjadi jembatan.
Dari luar berat menopang, dari dalam renta menyerang.
 
Tetapi anehnya, ketika pulang, kau selalu saja terlihat girang. 
Mengangkat kami sambil tertawa.
Menawari kami, mau dibelikan mainan apa.
 
Seakan seluruh letih-lelah usahamu,
sepenuh pedih-payah tenagamu,
 
kau korbankan hanya bagi kami, anak-anakmu.
...
 
Wahai, Ayah Bunda yang gemar berpura-pura.
 
Bunda bilang perutmu sudah kenyang,
membujuk kami makan tak bosan-bosan.
 
Padahal, dengarlah!
Kosong perutmu nyata-nyata menjerit.
Lapar menjadikan lambungmu tercabik-cabik.
 
Kau selaksa pelita yang melulu menyala.
Ke luar, ikhlas memberi cahaya. Ke dalam, sakit menahan bara.
 
Tetapi anehnya, kau selalu saja tersenyum menampilkan tenang.
Memasak lezatnya hidangan, yang kau sendiri bahkan jarang sekali kebagian.
 
Seakan seluruh penat-pekat penderitaanmu,
sepenuh resah-risau kekhawatiranmu.
 
Tak boleh sampai diketahui kami, anak-anakmu.
...
 
Wahai Ayah,
 
Wahai Bunda.
 
Terima kasih telah menganggap kami bukan hanya sebagai anugerah, 
melainkan juga sebagai amanah.
Amanah yang dijaga sebaik-baiknya, 
pun amanah yang dituntun selurus-lurusnya.
 
Izinkan kami, menjadi saksi kebaikan kalian, 
kelak nanti di hari penghisaban.
...
 
Wahai Ayah,
 
Wahai Bunda.
 
Terima kasih..
Sungguh, terima kasih atas kepura-puraan kalian.
 
Izinkan kami sekarang, membalasnya dengan "pura-pura" yang sama.
 
Kami akan "pura-pura" meletakkan dahi di lantai mesjid,
padahal tengah memohonkan ampunan Allah bagi kalian.
 
Kami akan "pura-pura" mengangkat tangan di akhir sholat berjamaah,
padahal sedang meminta balasan kebaikan dari Allah untuk kalian.
 
Kami pun akan "pura-pura" menghafal ayat suci Al Qur'an.
Padahal kami sedang mempersiapkan sepasang mahkota cahaya.
 
Mahkota yang lebih indah...
jauh lebih indah dibanding dunia dan seisinya.
 
Mahkota yang khusus kami persembahkan, hanya bagi kalian..
 
Bagi Ayah..
Dan bagi Bunda yang kami sayang.
 

 

09/09/2021

Pohon

 

Ah, iya! Pohon ini.. Kau ingat?
 
Hampir setiap kali kemari, kau selalu menyempatkan diri untuk memanjatnya.
Meski di awal, seringkali kau meminta bantuanku lantaran takut terjatuh.
 
Namun ketika sudah berhasil duduk di dahannya, kau akan betah berlama-lama disana.
 
Terduduk..
 
Sendiri..
 
Menatap takzim arak-arakan awan dari sela rimbunnya dedaunan.
Terlarut damai menikmati hembusan angin yang sepoi dan menenangkan.
 
Tentu saja, kau memang anak abi.
Dulu, sewaktu kecil, akupun memang kerap memanjat pohon mangga di depan rumah.
 
Duduk, sendiri..
 
Tak peduli, meski orang rumah tengah mencari-cari. Tak acuh walau ada kawan yang memanggil-manggil namaku.
 
Pun ketika harus pergi ke tanah rantau. Aku kerap memanjat pohon di depan kamar kost. Melamunkan rumah, membisik rindu pada angin yang berlalu.
...
 
Nak, kudengar kelasmu di lantai dua, bukan?
Dan perpustakaanmu di lantai tiga. Iya, kan?
 
Kau tak perlu lagi memanjat pohon untuk bisa berbincang bersama angin.
Tinggal buka lebar jendela,
 
Kemudian katakan saja..
 
Titipkan rindumu itu bersama sepoinya.

Anak Abi

Iya. Dulu, anak ini yang kerap bersembunyi di belakang kaki. Dia yang selalu ingin ikut kemanapun aku pergi. Dia yang selalu saja ingin aku temani.

Termasuk ketika awal-awal masuk sekolah, dia bersikeras ingin selalu didampingi.

Bahkan, anak ini pula lah yang sejak awal mendorongku ke pusaran tulisan.

Membersamai beragam kisah keseharian, kemudian mengikatnya kedalam cerita sederhana.

Iya.. Dia ini yang selalu ingin disebut sebagai anak abi. Dia pula yang selalu ingin dikatakan mirip abi. Pun dia yang acapkali ingin membantu, setiap aku mengerjakan sesuatu.

Maka, membaca novelnya yang berjudul #seratuskalisayanguntukabi, tentu saja memberi haru tersendiri.

Embun di kedua mata ini mencair entah karena apa. Entah lantaran alur ceritanya yang sungguh menyedihkan, atau gegara bangga pada dia yang menuliskan.

Maziya, tetaplah berjuang, nak! Tekuni apa yang kau sukai, tebar kebermanfaatan di seantero bumi.


 

01/09/2021

PO Novel Ziya

Sebuah proses yang sungguh melahap durasi. 
Bertahun-tahun kau jalani dengan emosi yang berfluktuasi.
 
Sedih dan pedih, luka dan duka, menyeret paksa butiran embun di ujung kedua mata.
Sesal dan kecewa, kecil hati dan putus asa, memunculkan pilu yang kian membuatmu tersedu.
 
Bahkan, hampir-hampir saja kau ingin menyerah, hendak menukar cita-citamu dengan yang lebih mudah.
 
Tapi lihat sekarang, nak!
Lihatlah sekarang!
 
Karyamu itu betulan jadi buku, bukan?
 
Dan namamu terpampang jelas di bagian depan. 
Iya, kan?

24/08/2021

Pasti Bisa!

Tak usah cemas, nak.
Jarak hanyalah secuil jeda pada peta.
 

Lihat..
Kita masih terduduk di atas bumi yang sama.
Kita pun masih termenung menatap langit yang sama.
 

Tangis rindumu setiap hari disana,
sama derasnya dengan tangis kami setiap waktu disini.

Bersabarlah.
Sungguh, bersabarlah..

Insya Allah,
isak-sesakmu sekarang,
kan berubah tawa dan lapang di masa depan.
 

Susah-lelahmu sekarang,
kan berbayar senang dan bangga ketika dewasa.

Maka berjuanglah, nak.
Kau pasti bisa melewati semuanya.

Kau pasti bisa.


 

Gerbang

 

Ingatkah kau, nak?

Tempat ini adalah sekolahmu ketika TK. Memang, pintu gerbang itu terlihat berbeda. Dulu, pintunya berwarna jingga, desainnya pun lebih tertutup penuh. Dan hanya menyisakan sebuah lubang berbentuk kotak, untuk membuka kunci pintu dari luar.
 
Kau ingat? Dari lubang itulah kau sering mengintip keluar. Berkali-kali melongokan kepala, berulang-ulang melihat ke halaman. Hanya untuk memastikan bahwa aku tetap berada disana, tetap menungguimu hingga tiba waktu pulang.
 
Seringkali aku harus terduduk sambil menahan kantuk. Gegara kerja dan begadang semalaman. Namun ketika melihatmu keluar gerbang dengan raut yang girang, kantukku lenyap begitu saja. Entah kenapa..
 
Terlebih tatkala kau bercerita riang tentang kejadian di sekolah. Tentang kawan sekelas, tentang guru yang kau panggil bunda, tentang yanda, pun tentang segala macam. 
 
Kau menceritakan itu sambil duduk berpegangan di atas motor, mengenakan helm hello kitty berwarna putih, serta terikat sabuk bonceng untuk pengaman.
 
Katakan padaku, apa kau masih mengingat semua itu?
 

 

Piala

Kau ingat, nak?
 
Piala ini, piala tahun 2016 ini, adalah hasil kerja kerasmu bertahun-tahun lamanya. Kau terus mengikuti kompetisi mewarnai, berulang kali. 
 
Habis kompetisi yang satu.. gagal.. menangis. Lalu kau ikut lagi kompetisi yang lain. Gagal lagi, menangis lagi, namun kau tetap bersikeras ikut ketika ada lomba di lain waktu.
 
"Ziya pengen dapet piala, abi!" bisikmu, sambil menatap barisan piala yang dipajang di atas meja panitia.
 
Aku mengangguk, mengelus kepalamu lembut sembari berkata, "Insya Allah. Yang penting sekarang, ziya berusaha dulu saja. Berusaha sebaik-baiknya".
 
Sayang seribu sayang, serona pengulangan, lomba kembali berakhir dengan sedih yang dirasakan.
Tak terhitung berapa kali aku harus menghiburmu, menghapus isak dan air mata di kedua pipimu. Berkata bahwa berani mengikuti lomba, maka sejatinya kau sudah menjadi juara.
 
Ah, kau memang teguh, nak.
 
Terbukti, tatkala piala ini akhirnya kau dapatkan. Kau melulu tersenyum bukan buatan. Sebuah piala yang memang terlihat sederhana, namun raut banggamu tertampak luar biasa.
 
Hari-hari berkesan itu masih kucatat dalam ingatan. Bahkan meski waktu telah jauh berlalu, dan jarak kian renggang memisahkan. Aku masih selalu ingat keteguhanmu itu.
 
Sungguh, kau memang anak yang teguh.
 

 

13/08/2021

Rendah

Dulu, kukira hanya aku yang paling merana, pedih sengsara menanggung luka. 

Batin ini terlampau hampa, mendapat keras berat ujian dunia.

Rahangku menelan geram, hingga hampir-hampir saja membenturkan kepala.

Padahal..
Orang lain memiliki sembilu yang ratusan kali lebih pilu.
Orang lain ditempa ujian yang ribuan kali lebih menikam.
Orang lain didera luka yang melulu menganga,
bahkan hingga seumur hidupnya.

Tapi anehnya..
Mereka masih bisa berdiri tegar tanpa tergoyah.
Tiada kata cerca, walau air mata deras melimpah.

Perasaan rindu yang menggebu..
Perasaan sayang yang menjulang..
Tercurah indah tanpa sumpah serapah.

Dan setelah sekian masa berlalu,
Mereka lantas tenang tersenyum,
seolah segalanya telah baik-baik saja.

Sungguh aneh..

Tidak!
Sungguh rendah..

Rendah sekali diriku,
yang masih melulu dibelenggu hawa nafsu.
Terlena pada dunia yang sekejap mata.
Sehingga kerap abai pada Yang Menciptanya.
 
Rendah sekali diriku..
Sedih membenarkan lidahku untuk meracau.
Sakit membolehkan hatiku untuk mendendam.
Padahal sesungguhnya, jiwakulah yang terlalu lemah.

Sungguh.. Imankulah yang terlalu payah.
Tak mampu menelan pahit walau sedikit.
Tak mau mendapat sakit walau secubit.
 
Rendah sekali diriku.

27/07/2021

Tentang Kehilangan

Luka itu bukan pada dia yang pergi.
Melainkan bagi kita yang masih tinggal.
 
Sedih itu bukan milik dia yang berpulang.
Melainkan untuk kita yang menunggu giliran.
 
Maka biarkan..
Sungguh, biarkanlah!
 
Biarkan tangis itu mencair,
pertanda rindu yang terus mengalir.
 
Biarkan kisah itu tertutur,
perlambang cinta yang tak akan pernah luntur.
 
Biarkan kami memetik pelajaran yang sangat berharga, meniru akhlak terbaik dari seorang pemuda sederhana.
 
Kawan, kau pasti tengah berbahagia,
dikelilingi makhluk cahaya yang tampan rupa.
 
Kau pun pasti tengah berseri-seri,
ditemani para bidadari bermata jeli.
 
Taman-taman syurga seluruhnya terbuka, menyambutmu dengan sewangi-wangi aroma.
 
Ah, aku iri.
 
Sungguh, aku iri padamu, kawan!
 
Pada kehidupanmu yang sangat sederhana, 
pada hatimu yang tiada cela,
dan pada kebaikan tulusmu kepada sesama.
 
Jauh denganku yang melulu dikuasai dunia, 
serta gemar memelihara angkara.
 
Aku iri padamu.
 
Masihkah ada tempat untukku disana, kawan?

18/07/2021

Bahu

Ayah, bahu kepala keluarga harus tetap kokoh, bukan?

Betapapun corona kian ganas merajalela, bahu kita tak boleh kalah, bukan?
 
Meskipun PPKM menutup lahan untuk bekerja, perusahaan-perusahaan ramai merumahkan karyawannya, dan usaha-usaha gulung tikar dengan terpaksa. 
 
Pundak kita harus tetaplah tegak. 
 
Dan bahu kita harus tetap tabah kan, ayah?
...
 
Ayah, kau yang mengajarkanku. Untuk mengedepankan keperluan anak-anak dan biaya sekolah. 
 
Kendati kita harus makin berhemat dan melahap remah.
 
Biarkan saja.
 
Kaupun yang memberi teladan padaku. Untuk selalu memprioritaskan gizi dan kesehatan anak-anak. 
 
Walaupun kita harus menahan sakit serta erat memeras keringat.
 
Lagi-lagi, biarkan saja.
 
Karena kita adalah kepala keluarga.
 
Ya, kita adalah kepala keluarga!
 
Tanggungjawab itu melekat erat di atas pundak. 
 
Apapun kesulitannya, kita jua lah yang harus menghadapinya.
 
Apapun kesusahannya, hanya kita lah yang harus menanggungnya.
 
Karena bahu kita adalah bahu kokoh kepala keluarga. 
 
Benar kan, ayah?

25/06/2021

13 tahun Ziya

16 Juni, 13 tahun ke belakang.
Lahir seorang bayi yang begitu berharga. Permata yang ditunggu-tunggu sekian lama.
 
Gelak tawanya, sedih tangisnya, jatuh bangunnya, pun ramai ocehnya, menjadi warna tersendiri dalam hidup yang dijalani.
 
Maziya.. Kehadirannyalah yang menggerakkan jemari ini untuk berkarya, mengabadikan tingkah menggemaskannya menjadi sederet cerita.
 
Siapa sangka, kini anak itu telah berubah menjadi remaja. Bersiap menjalani hari, menorehkan cerita serunya sendiri.
 
Selamat bertambah usia, kak Ziya! Selamat belajar menjadi dewasa. Zahdan kecil tengah melihatmu sebagai idola.

13/06/2021

Musuh Serial Putri

 

Dalam menulis cerita, hadirnya musuh-musuh akan mempertajam konflik yang dituturkan. Sosok mereka yang kejam, menjadi perwakilan dari sisi kejahatan. Adapun tokoh utama, karakter-karakter mulianya, merupakan perwujudan dari sisi kebaikan.

Kedua sisi itu kemudian beradu, saling berperang memperebutkan kemenangan. Mereka saling mengadu tujuan, mempertarungkan perangai. Sesuatu yang dalam dunia nyata, kejadiannya kerap lebih kompleks dan ambigu. Namun dalam serial Putri, selalu diajarkan bahwa kebaikanlah yang selalu menang.

Berikut ini kita sedikit ulasan perihal beberapa tokoh jahat yang pernah dihadirkan.
 
1. Raja Berwajah Garang. 
 
Ketika kecil, diberi julukan ‘Si Pembuat Onar’, yang merupakan kawan sekelas Putri Mumtaza dan Putri Na’isylla. Seperti julukannya, dia memang kerap berbuat usil, sok berkuasa, menggunakan segala cara untuk mengintimidasi yang lain. 
 
Setelah dewasa dan menjadi Raja, karakternya tak berubah. Dia membakar hutan Tipuan, mengancam kerajaan-kerajaan tetangga, bahkan hendak melenyapkan nyawa pangeran Za’isylla dengan kekuatannya sendiri. Jahat sekali!
 
2. Satria alias Rahwana. 
 
Seorang pemuda yang cerdas, pintar, dan teramat sopan. Sesiapapun yang bicara dengannya pastilah akan merasa kagum, memuji kesopanan yang ditunjukkan. Padahal, dia sesungguhnya hanya hendak memanfaatkan orang lain dengan licik. 
 
Dan ketika memakai topeng merah Rahwana, muncullah karakter aslinya. Selimut sopan yang kerap dia tampilkan sesungguhnya adalah kebohongan. Terbukti, Satria tega menculik Putri Na’isylla dari masa lalu, serta keji menghabisi bapak-bapak berdasi.
 
3. Dark. 
 
Seorang kakek penyihir yang begitu terobsesi mendapatkan kekuatan legenda. Apapun dia lakukan, termasuk membuat celaka Putri, anak pertama Raja dan Ratu Suryatama. 
 
Upaya Dark dimuluskan oleh penghianat kerajaan. Seseorang yang dulu sebenarnya pernah diselamatkan sang Raja, ditolong, diangkat sebagai saudara, namun akhirnya tega berkhianat karena mengincar tahta.
 
 
Ironisnya, karakter-karakter jahat di atas bukan hanya dalam cerita, namun betulan ada di dunia nyata. Serius, betulan ada! 
 
Maka cermatilah baik-baik, berhati-hati, karena boleh jadi satu dua diantaranya ada di sekitar kita.
Pun tetap pastikan, bahwa kita tak akan termasuk ke dalam golongan mereka.
 

 
#TigaPutri
#EmpatPutri
#AlkisahPutriMumtaza
#AlkisahPutriArmida
#AlkisahPutriNa'isylla

09/06/2021

Kepada

Pada sepuluh jemari penggenggam nyeri.
 
Pada sepasang pundak pemikul penat.
 
Pada sehimpun uban penanggung beban.
 
Pun pada segaris wajah pendulang lelah.
 
Bersabarlah.
 
Sungguh, bersabarlah.
 
Roda kehidupan akan terus berputar sebagaimana mestinya.
 
Dan durasi dunia tidaklah berjalan selama-lamanya.
..
 
 
Pada embun kaca di pelupuk mata.
 
Pada bisik getir di helaan bibir.
 
Pada serpih pilu di jeritan kalbu.
 
Pun pada kaki yang jengah untuk melangkah.
 
Jangan!
 
Sungguh, jangan!
 
Janganlah bertekuk lutut pada singgasana putus asa.
 
Dan jangan pernah menunduk takluk pada cengkeraman duka.
..

Ujian

Aku bermimpi, bertemu orang yg tak pernah kutemui. Bertanya kabar keluarga, serta hari-hari sulit yang mendera.
 
Kau bercerita panjang padaku tentang jalanan berduri, dan akupun bercerita padanya perihal mimpi.
 
"Kawan, mimpiku sudah kugantungkan di langit-langit angkasa" kataku.
 
"Lah, tidakkah itu hanya akan membuat harapanmu terlampau terbang. Terlalu tinggi untuk kau kejar sendiri?" katamu.
 
Aku menggeleng.
 
"Justru.. Dengan begitu, aku bisa meletakkan satu persatu anak tangga menuju kesana" jawabku.
 
Kau diam, namun rautmu tak menandakan persetujuan. Tentu, kalimatku terdengar tak berdasar, lebih seperti khayalan yang mustahil terwujudkan.
 
"Aku tahu, memang mustahil. Tetapi Aku sudah terlalu jemu menaruh mimpi di hamparan dunia. Semuanya selalu terpatahkan oleh pahitnya kenyataan"
 
"Harapan akan kedamaian, jerit pedih kesedihan.. Kau lihat sendiri, bukan? Kebaikan selalu saja kalah dan terpinggirkan. Sedang kejahatan, begitu pongah melenggang, memberangus sesiapapun yang dianggap menjadi penghalang"
 
"Lalu, kepada siapa lagi melabuhkan harap? Kala kebanyakan manusia tak pernah lagi beri peduli. Mereka terlalu sibuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri"
 
"Kau tahu, bukan? Aturan terus berubah-ubah, bersesuaian dengan peluang meraup pundi. Kebijakan terus berulah, tak lagi ditulis menggunakan logika dan hati" cerocosku, dengan suara yang sesak.
 
Sesak yang sama menjalar padamu, melukis raut berat dan kesedihan. Beberapa saat lamanya kau hanya terdiam, merenungkan pemikiran yang begitu dalam.
 
Terang saja, beringas cobaan memang telah menghantam banyak sekali orang. Saudara, kawan, semua berusaha untuk bertahan. Keluarga, tetangga, semua keras berupaya, hanya demi bisa menjawab.. 'kami baik-baik saja'.
...
 
"Aku setuju" jawabmu, tiba-tiba.
 
"Setuju atas apa?" tanyaku.
 
"Aku setuju atas keputus asaanmu. Walau sesungguhnya, kau punya pilihan sikap yang lebih baik. Kau tahu, kawan? Ujian itu serona terik sang surya. Panas terasa, menyengat sesiapa saja. Namun mari kita lihat dari sisi yang berbeda. Ia hadir ke dunia, tentunya dengan beragam karunia"
 
"Maka janganlah kita hanya berfokus pada teriknya. Namun lebih berfokuslah pada karuniaNya" lanjutmu, sambil tersenyum.
 
Aku ikut tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan.

23/05/2021

Zahdan! Astronot, Bajak Laut, atau Prajurit?

Kesemuanya bernama.. Zahdan.
 
Bedanya, yang satu adalah kapten bajak laut, satunya lagi adalah prajurit kerajaan Campaka. Yang satu menolong Putri Armida, satunya lagi membantu Putri Na'isylla.
 
Di buku Alkisah Putri Mumtaza, sebenarnya zahdan hadir juga, yakni sebagai seorang Astronot yg terdampar ke masa lalu. Tak sadar, putri Mumtaza kecil yang dia bantu, tak lain dan tak bukan adalah kakak kandungnya sendiri.
 
Memang selalu menarik menghadirkan zahdan dalam cerita. Karakternya melekat erat, risetnya tak perlu jauh-jauh. Imajinasinya melayang tanpa terhalang. Celotehnya tentang banyak hal begitu panjang. Teramat panjang, bahkan.
 
"Abi, zahdan pengen jadi kayak gini, terus bisa gini, terus juga punya senjata.. Bla bla bla... Nanti pas ngelawan musuh tuh, bla bla bla.. Terus.. Terus..." kata zahdan, tak berhenti.
 
Zahdan tak tahu, beberapa celotehnya telah menjadi sumber inspirasi. 
 
Beberapa saja, karena kalau semua celoteh itu dituliskan, butuh berjilid-jilid ia tertuang.