26/08/2020

Katakan!

Wahai, katakan padaku!

 

Apakah nama Allah yang membuat hatimu bergetar,

Ataukah irama kencang yang membuat jantungmu berdebar?

 

Apakah ayat-ayat indah Al Qur’an yang membuat imanmu bertambah,

Ataukah senam berjamaah yang membuat nafsumu membuncah?

 

Katakanlah padaku!

Dimana akan kau letakkan mutiara berharga yang tinggi derajatnya?

 

Mulia bertahta dalam kokohnya cangkang tiram,

Atau terbuka tergolek di jalan-jalan?

 

Begitu terjaga dalam singgasana istana,

Atau berjingkrak berguling-guling di atas kubangan?

 

Hingga menghitam berlumur debu dan kotoran.

Vulgar diterawang mata-mata binatang jalang.

 

Katakan padaku!

 

Apa yang lebih berharga dari Ia, yang di telapak kakinya dipercayakan syurga?

Ia yang kata Baginda harus berkali lebih dihormat hingga tiga banyaknya.

Ia yang mempertaruhkan nyawa, demi melahirkan jundi-jundi pejuang agama.

 

Katakan! Dengan cara apa kau akan memuliakannya?

 

Teramat kejam jika kau malah mempertontonkannya di panggung terbuka,

Terlena dalam hingar bingar suara pekak.

Tenggelam dalam ikhtilat yang begitu merusak.

 

Ingat!

Semuanya tak pernah luput dari malaikat yang mencatat.

Setiap jengkal tanah dan panggung itu akan menjadi saksi atas apa yang kau perbuat.

 

Wahai!

Bukankah keberkahan akan berlimpah hanya jika bertakwa penduduknya?

Dan pada perbuatan mendustakan, maka siksa pun akan dikenakan?

 

Ah, kau yang berilmu pastilah teramat tahu hal itu.

Pengajian setiap minggu berulang kali menukil perihal itu.

 

Jadi, apa yang sesungguhnya kau ingin Allah turunkan?   

18/08/2020

Ulah Zahdan (2)

Sholat Isya sudah selesai dikerjakan, barisan makmumnya mencapai lima shaf ke belakang. Sedikit lebih banyak daripada sebelum wabah menyerang. Padahal dulu, paling banyak hanyalah dua barisan. Ditambah anak-anak yang kerap mengobrol dan berlarian, betapapun mereka sudah diperingatkan.

Lima shaf ini, mungkin salah satu hikmah dari pandemi. Kendati harus memakai masker dan membawa sajadah sendiri-sendiri, tak menyurutkan langkah mereka untuk hadir memenuhi panggilan Illahi.

Lima shaf ini, memang tak ada apa-apanya dibanding jumlah keseluruhan warga. Separuhnya saja, tidak! Sebagian besarnya nyaman berlindung didalam rumah yang hangat. Dinding-dinding rumah mereka seolah tak berpintu, mencegah mereka keluar, memblokade keturunan adam dari sholat yang lima waktu.

Maka sungguhlah pantas jika virus ini enggan berlalu. Angka-angka terpapar selalu bertambah sekian ribu. Jumlahnya terus meningkat seiring waktu. Mungkin gegara terlalu banyak yang abai. Bukan, maksudku bukan abai pada protokol-protokol itu. Namun menganggap kumandang tak lebih dari hembusan angin lalu.

...

Zahdan sudah beranjak menghilang, lebih kurang setengah menit setelah salam. Sajadah bergambar roketnya Ia tinggalkan terlipat di sampingku. Tahu, setelah ini ada sholat rawatib dulu. Dan Zahdan mungkin lebih memilih berada diluar untuk menunggu.

Atau mungkin juga Ia bertemu kawan sepermainannya. Byaz si ahli kalkulasi, serta Jamil si kaki gesit. Ditambah Nabil dan Al, mereka memang seolah tak henti-henti bermain bersama. Teramat riang menikmati dunia kanak-kanaknya.

Dua menit berlalu, ternyata dugaanku salah!

Ketika hendak melangkah keluar masjid, mataku menangkap sesuatu yang janggal. Sandal jepit yang sebelumnya kupakai, sudah berpindah dari tempatnya yang semula. Bukan! Bukan tercerai berai akibat tak sengaja ditendang orang. Namun justru tersedia rapi ,tepat di pintu keluar. Membuatku teramat mudah untuk melangkah dan memakainya.

Kondisinya pun terlihat basah dan mengkilap, seperti yang baru saja dibersihkan.  

Jangan-jangan.. Zahdan?

Sejurus kemudian, sebuah bayangan terlihat bersembunyi di belakang dinding. Dari warna bajunya, aku tahu bahwa itu pastilah Zahdan. Dia hendak mengagetkanku dari tempat itu.

“BAAA!” teriaknya, sembari tertawa.

Alih-alih terkejut, aku malah mendekat ke kepalanya, kemudian langsung berbisik menanyainya.

“Zahdan, ini barusan sandal Abi disiapin sama siapa?” tanyaku.

“Sama Zahdan!” jawabnya.

“Beneran sama Zahdan?” ulangku.

Zahdan lagi-lagi mengangguk.

“Iya, bener! Udah Zahdan bersiin juga di tempat wudhu! Makanya Zahdan tadi keluar duluan. Biar Abi ga susah-susah cari sama pakai sendal!” paparnya, polos.

Giliran Aku yang mengangguk. Ada haru dan bangga mengetahui apa yang Zahdan lakukan barusan. Sebuah bentuk perhatian yang kuyakin tidaklah muncul secara instan. Sebuah sikap yang muncul dari rentetan proses yang panjang.

“O, begitu! Pantesan atuh.. Ma kasih ya Zahdan!” jawabku, mengelus kepalanya, menyembunyikan mata yang sedikit berkaca.

Yang dielus terkekeh senang, menggamit tanganku melangkah pulang.

Tak mau kalah, aku langsung berjongkok memunggunginya.

“Kenapa, abi?” tanya Zahdan, heran.

“Sini, naik ke punggung, Abi gendong sampe rumah. Kan tadi Zahdan sudah nyiapin sendal abi, jadi hadiahnya abi gendong Zahdan” jawabku.

Zahdan tertawa.

“Sudah kuduga..” katanya.

Tak lama Zahdan langsung melompat, erat berpegangan pada pundak. Aku lalu menggendongnya. Sepanjang perjalanan, anak itu berceloteh tentang bintang dan planet. Tentang supermoon, tentang gambar kelinci di bulan. Mulutnya tak henti-henti bercerita dan bertanya. Kepalanya ikut mendongak memperhatikan langit malam.

Setiba di rumah, Zahdan turun dengan raut yang girang.

“Abi, ma kasih ya!” katanya.

Aku tersenyum mengiyakan.

Di mataku, Zahdan memang istimewa, Ia tak pernah sungkan menunjukkan ekspresinya. Berbagai kebaikan, Ia lakukan tanpa berpikir panjang. Menolong teman, menawarkan mainan, semua begitu saja dilakukan. Serona refleks. Termasuk perihal menyiapkan sandal, entah darimana Zahdan mendapat ide seperti itu. Aku, ataupun Umminya, rasa-rasanya tak pernah meminta Zahdan berbuat demikian.

***

Kejutan kedua, muncul beberapa hari kemudian.

“Abi, Zahdan mau adzan di mesjid ya?” pintanya, tiba-tiba.

“Lho, memang Zahdan sudah bisa?” Aku balik bertanya.

Zahdan mengangguk mantap. Akhir-akhir ini Ia memang kerap menonton serial animasi Islami Rico, termasuk adzan khas anak-anaknya.

“Udah latihan?” tanyaku lagi, sedikit meragu.

“Sudah, sama Ummi!” jawabnya, yakin.

“Beneran hafal? Yang namanya adzan itu gak boleh main-main lho, harus serius!” kataku.

Bukannya mundur, Zahdan malah terlihat semakin bersemangat mengangguk.

“Iya, tapi nanti temenin dulu sama Abi ya? Jadi kalau lupa, ada Abi yang kasih tahu” jawabnya.

Hm, masuk akal juga!

Kendati sebetulnya masih ragu, Aku terpaksa mengangguk.

...

Dan besok siangnya, ketika aku masih terlampau khusyu mengecat dinding, terdengar sayup adzan dari mesjid di kejauhan. Zahdan langsung meloncat girang, setengah berlari menuju ke mesjid.

“Abi ayo cepet! Zahdan mau adzan!” teriaknya.

“Eh.. iya.. iya! Sebentar!”

Aku meletakkan kuas sembarang, lalu tergopoh-gopoh menyusul Zahdan. Tak sempat cuci tangan dan wudhu. Malahan masih memakai kaos dan celana berlumuran cat.

“Aduh, Zahdan lupa bawa sajadahnya!” ucap Zahdan, di tengah jalan.

“Gak apa-apa, nanti abi bawain! Kita ke mesjid saja dulu!” kataku.

Dan benar saja, dengan microphone yang kupegangi di depan mulutnya, Zahdan langsung mengumandangkan adzan tanpa tertahan. Tak tertawa, terlihat serius seperti yang pernah kuperingatkan. Urutannya tepat seperti kala latihan. Hanya sekali dia melirikku, sedikit lupa dengan kalimat berikutnya. Aku segera membisikinya pelan.

“Laa ilaha illallah..” pungkasnya.

Aku tersenyum, mematikan micropohone. Lalu seperti biasa mengelus kepalanya, sembari menyembunyikan mata yang sedikit berkaca.

“Zahdan tunggu disini ya, Abi pulang mau cuci tangan sama ganti baju dulu. Nanti sajadah Zahdan abi bawain sekalian” kataku.

...

Singkat cerita,

“Ayo naik!” ucapku, selesai sholat. Menyuruhnya naik ke punggung untuk digendong.

“He.. pasti karena tadi Zahdan sudah adzan ya Abi?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Sudah kuduga” jawab Zahdan, sambil terkekeh sesaat. Tak lama, Ia langsung melompat. Berpegang erat ke atas pundak. Dan sepanjang perjalanan pulang, anak itu lagi-lagi bercerita banyak.  

***

Kejutan ketiga, tertutur tepat di hari kemerdekaan Republik Indonesia. Yakni ketika Zahdan antusias mengikuti berbagai lomba. 

"Abi, Zahdan mah mau ikutan lomba balap kelereng, masukin paku ke botol, sama lomba tarik sarung!" katanya.

"Iya, boleh!" jawabku.

"Do'ain ya, biar Zahdan menang" kata Zahdan lagi.

Aku tersenyum.

"Zahdan, yang penting mah berjuang aja dulu sekuat tenaga. Gak usah pikirin menang atau kalah. Jangan lupa baca Bismillah dulu, jadi biarpun gak menang, di catatan malaikat mah Zahdan sebenarnya udah menang, jadi ibadah, jadi pahala. Hadiah dari Allah mah, jauh lebih bagus dan hebat dibanding hadiah lomba" paparku.

Zahdan mengangguk mengerti, tapi sesaat kemudian langsung tertegun.

"Kenapa? Zahdan pengen banget menang ya?" tanyaku.

Zahdan mengiyakan, menoleh padaku, lalu berkata dengan polosnya.

"Soalnya tadi Zahdan liat hadiahnya. Nah, hadiahnya itu makanan banyak. Ada satu makanan yang kesukaan Abi. Zahdan pengen menang biar bisa kasih makanan itu buat Abi.." jawab Zahdan.

Hampir-hampir saja Aku meleleh mendengarnya. Untuk beberapa jeda aku terdiam, bingung harus menjawab apa.

"Em.. Gak usah, Nak! Ma kasih.. Zahdan konsentrasi saja sama perlombaannya. Baca bismillah, terus berusaha sebaik-baiknya" nasihatku.

Ya, itulah Zahdan. Anak berponi pembawa kejutan, kapten bajak laut yang tak pernah sungkan unjuk kemampuan. Menawarkan kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Besok lusa kala Ia dewasa, entah kejutan-kejutan positif apa lagi yang kan dibawakannya.

 


13/08/2020

Meniru Ekspresi

Waktu bergulir seperti alir, berganti terus laksana arus. Bulan yang dulu menjadi awal hitungan, tak terasa kini sudah lebih dari duapuluh kali pengulangan. Siklus yang tak bisa sedikitpun ditahan, perpindahan yang sebisa mungkin tak ingin kulewatkan.

Lihat! Di usia Zhira yang hampir dua, badannya sudah meninggi beberapa. Kendati jika dibandingkan dengan anak tetangga, Zhira masih tampak mungil teramat kentara. Pampers size ‘M’ saja, masih sedikit longgar untuk ukurannya. Terakhir kali ditimbang di Posyandu, beratnya hanya berubah satu digit di belakang koma. Benar, badan Zhira tidaklah gemuk seperti Zahdan di waktu dulu.

Tapi tak apa, hal itu tak lantas menghambat Zhira untuk menunjukkan kehebatannya. Tak sedikitpun mengurangi isi bak semangat Zhira setiap detiknya. Anak kecil itu tetap bergerak riang setiap hari. Lari kesana, lari kemari. Dia suka sekali mengacak-acak isi kotak mainan Zahdan, membuatnya berantakan di tengah ruangan.

Tak cukup, Zhira mengobrak-abrik pula tumpukan baju di dalam lemari. Membuat Umminya mengomel panjang lantaran baju-baju itu baru saja disetrika dan dirapihkan. Sedangkan Zhira? Tentu saja tak mengerti. Dia hanya sedang meniru apa yang dilakukan orang-orang di sekitarnya. Dan membereskan baju, itu salah satunya.

Masih tak cukup, Zhira menghamburkan pula bedak ke atas kursi dan lantai. Tentunya setelah mengoles-oleskannya ke wajah sendiri di hadapan cermin, lagaknya seperti orang dewasa yang tengah berdandan. Sungguh sebuah tindakan yang lagi-lagi mengundang omelan dari Sang pemilik bedak.

“Astaghfirullahal azhiim! Abiii, tuh liat si anak pinter! Aduuh, abis atuh bedaknya!” gerutunya.

Sadar telah berbuat kesalahan, Zhira serta merta mencari perlindungan.

“Lalii..!” ucap Zhira sembari berlari dan memelukku.

Aku langsung terkekeh, kemudian menggamit lengan Zhira ke luar rumah.

“Gak apa-apa, itu kan cuma bedak. Zhira, kita cari kupu-kupu di luar saja, yuk!” ajakku.

Yang diajak langsung mengangguk setuju.

“Pu.. Pu!” katanya, polos.

***

Walau berbadan lebih mungil, Zhira tak kalah pintar dan cerdas dibanding yang lain. Dengar saja, Zhira kecil bisa melafalkan banyak abjad bahkan dalam bahasa inggris, merunut hingga angka sepuluh, serta mengucapkan huruf-huruf hijaiyah satu per satu.

Belum lagi bersenandung tik-tik hujan, balonku, cicak di dinding, sampai kira-kira boshi, sebuah lagu bintang kecil yang menggunakan bahasa jepang. Semuanya itu mampu Zhira ikuti dengan senyuman menggemaskan. Keren sekali!

Anak itu memang cepat sekali meniru kalimat-kalimat yang didengarnya.    

...

“Diem!” ucap Zhira kecil, tak mau digelitiki. Kata itu tampaknya dia tiru dari kakak Ziya yang gemar menyendiri.

Alih-alih menurut, aku yang mendengarnya malah tertawa. Dan semakin penasaran untuk terus menggelitikinya. Hanya berhenti ketika Zhira sudah tertawa-tawa, bangkit, kemudian berteriak sambil berlari.

“Laliii..!” katanya.

Ya, kosakata Zhira memang berkembang dengan cepat. Kata-kata ‘atut’ untuk ‘takut’, ‘koa’ untuk ‘kecoa’, dan ‘bili’ untuk ‘strawberry’, hanyalah sebagian kecil dari puluhan kata dalam kamus bahasa Zhira.

Pun dengan ekpresi, anak kecil itu sudah pandai sekali mengubah raut wajahnya. Terkadang, aku menggendongnya di depan cermin. Memintanya batuk, bersin, atau menguap. Dan Zhira kecil bisa melakukan semua itu dengan lucunya.

“Ha ha ha!” tawanya.

Zhira meniruku tatkala membacakan cerita untuk dua kakaknya.

“Hey! Kau sedang meniruku, anak kecil? Ha ha ha ha!” balasku.

“Ha ha ha ha ha!” Zhira tak mau kalah.

“Ha ha ha ha ha ha!” aku membalasnya lagi.

“Ha ha ha ha ha ha ha!” kata Zhira.

Aku berhenti membalas, lalu langsung menggelitikinya. Membuat anak kecil itu meronta, dan berlari menyelamatkan diri.

“Laliii!” teriak Zhira.

***

“Abih, tadi Unay, atoh, tus angis!” lapornya, suatu kali. (Unay adalah nama panggilan Unaisyah, seorang anaknya saudara. Mereka tinggal bersebelahan dengan rumah kami)

“Oh, ya? Jatoh dimana? Di jalan?” tanyaku.

Zhira mengangguk.

“Terus, sama Zhira disayang ngga?” tanyaku.

Zhira mengangguk lagi, lalu menjulurkan tangannya ke kepalaku.

“Yang.. ayaang..” katanya, mengelus kepalaku.

Giliranku yang mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Em, terus, nangisnya kayak gimana?” tanyaku lagi.

Tak mengambil jeda, yang ditanya langsung saja menekuk bibirnya, menyipitkan kedua matanya, kemudian meniru suara tangis. Sungguh sebuah ekspresi yang menggemaskan bukan kepalang.

“Heu...! Heu...! Gitu,” celotehnya, diakhiri dengan sebuah senyuman.

Demi melihat ekspresinya itu, aku tentu saja memintanya lagi dan lagi. Dan anak itu akan mengulangi dua sampai empat kali. Jika sudah tak mau, aku akan langsung menggelitikinya, membuatnya tertawa-tawa kegelian, kemudian berlari kabur. Menggodanya seperti ini jelas-jelas menyenangkan.

...

Tak hanya itu, Zhira kecil sudah bisa berekspresi mengomel. Iya, mengomel! Seringnya ketika kak Zahdan iseng menggangguinya, atau ada anak tetangga yang tak mau memberi pinjam sepeda.

“Jadaaan! Mnikuteligapenjiku!” katanya, ketika Zahdan memainkan boneka tangan milik Zhira.

Lucunya, perkataan itu Zhira ucapkan dengan nada yang cepat dan intonasi datar.

Alih-alih mengembalikan boneka tangan, Zahdan malah cekikikan dan semakin penasaran untuk memancing ekspresinya lagi.

“Jadaaan!! Kelutapimeduqlohusetpo!” lanjut Zhira, kali ini dengan ujung intonasi yang sedikit meninggi.

Zahdan tertawa-tawa, membuat Zhira kecil mengeluarkan lagi ucapan aneh lainnya. Lagi, dan lagi. Deretan kata yang benar-benar tak bisa kumengerti, kalimat yang sulit sekali kukenali, bahkan meski dicari di kamus bahasa Zhira berkali-kali.

Hebatnya, kalimat absurd tersebut Zhira ucapkan, dengan bibir yang sedikit dimajukan. Ditambah dengan dua alis yang hampir bertaut, serta dagu yang tertekuk, membuat ekspresi mengomelnya menjadi sempurna.

“Aspatiujiiim! Jadaan!! Kmldhfufrnfklsslfs!” katanya.

Rasa-rasanya, tak perlu sulit menebak dari mana Zhira meniru ekspresi yang itu. Pastilah dia menirunya dari orang dewasa selainku yang ada di rumah ini. He... 

 This image has an empty alt attribute; its file name is zhira-2.jpg