03/03/2020

Bab Satu

Masih sibuk meramu bab satu, padahal sudah memakan waktu berminggu-minggu.

Apakah ceritanya terlampau pelik?

Hmm.. Tidak juga, hanya tengah berusaha menyajikan yang terbaik.

Bab satuku memang tak jauh beda dengan seorang pemalu, yang tengah dipaksa berterus terang pada pujaan kalbu.

Lidah yg tercekat, dahi yg berkeringat, serta jantung yg berdegup cepat, membuat kata 'suka' tak begitu saja mudah diucap.

Tak cukup sekian minggu, tak rampung pula beberapa bulan. Satu kata yang mendalam, adakalanya baru terucapkan bertahun-tahun kemudian.

Sebagian orang yang takdirnya tak menyatukan, justru memilih tuk menelannya kembali. Berpura-pura tak ada apapun yang terjadi, kemudian melangkah pergi seorang diri.

Membawa kata itu sejauh-jauhnya..

Melupakan rasa itu sebisa-bisanya.
...

Pedih? Tentu saja.

Siapakah yang mampu berjalan ke depan, sedang separuh hatinya tertinggal di belakang?

Siapa pula yang bisa bahagia menyongsong masa depan, sedangkan masa lalunya pun begitu menyesakkan?

Siapa?

Kau?

Hmft...

Bab satu, memang bab yang berat buatku. Bab ini seolah kuat menarikku ke belakang, kembali mengulang saat-saat menyedihkan.

Saat dimana satu kata pertama muncul tanpa alasan. Ia terus tertahan tak terungkapkan, untuk kemudian kandas tanpa balasan.

Saat dimana jemari menggoreskan puisi, baitnya menyapa sehangat pagi, tapi hujan memberangusnya menjadi kubangan. Menohok di pusat angan, menyayat di jeri terdalam.

Lagi-lagi, siapa yang dengan semua itu mampu bertahan?

Kau?

Lorong Waktu di SMK 1, Klise Bukan?

Yeiyy..! Lorong waktu yang mengetuk pintu, akhirnya ramai-ramai datang bertamu. Tak menunggu, segera saja aku menyilakan mereka, menyambut setiap lembarnya dengan gembira bercampur haru.

Iya, haru! Klise sekali bukan?

Ah, andai kau tahu berapa waktu sungguhan yang kuhabiskan untuk menulisnya, serta berapa sabar yang harus kutelan dalam merevisinya, maka boleh jadi kau ‘kan urung menganggap haru itu klise belaka.

Karena layaknya bahasa loop, maka do bermula ketika ide menyambar kepala. Kemudian, berpuluh if-then terunggah tanpa bisa dicegah. Next, text demi text menjelma visible, memadati box dalam sejumlah character. Muncul Error, di-fix. Error lagi, di-fix lagi.

Masih error, aku langsung menelan ludah, kesal menggelengkan kepala, lalu pergi memandangi air terjun sambil memeluk lutut, berteriak meratap-ratap.

Terakhir, aku menelan obat pereda sakit kepala, minum bercangkir-cangkir kopi, untuk kemudian kembali berusaha melakukan fix sedari line pertama.

Memang benar kata pepatah, menuliskan end ternyata tak semudah membalik telapak tangan.

Serius!
Coba saja jika telapak tanganmu terbalik betulan, punggung tanganmu mendadak terbalik menjadi telapak, bagaimanalah kau akan bertepuk?

Bagaimana kau bersalaman dengan kawan? Atau bahkan melahap kulit durian yang tajam? Mustahil, kan?

Maka, biarlah kini aku merayakan sendiri keharuanku bersama Lorong Waktu. Dan kalau kau mau, kau pun boleh merayakan klise yang sama.

#LorongWaktuDiSMK1