04/12/2016

Sepotong 212


"Hey, kau!" sebuah suara, terdengar menyapa ke arahku. Aku menoleh, berusaha mencari tahu. Sayang, selubung kain pelindung ini menghalangi lebar pandanganku. Aku yg hanya bisa mendengar suaranya saja, pun hanya bisa menjawab singkat, "eu.. Ya!! A..ada apa?" tanyaku, tergagap. Suara disana tertawa gembira, sepertinya senang karena aku telah menjawab panggilannya. "tidak ada apa2 kawan. Aku hanya salut padamu" katanya. Aku mengernyit heran, "salut atas apa? Aku tak mengerti" jawabku, masih tak bisa melihat sosok yg bertanya. "ah, kau ini suka merendah ternyata. Pastinya tak mudah juga bagimu untuk tiba di tempat ini bukan? Banyak penolakan, banyak dipersulit. Dan yang ku salut padamu adalah, kau bukan hanya bisa tetap sampai disini, tapi juga akan naik ke panggung sana, berjabat dengan ulama2, serta jendral pembuat tegak hukumnya. Kau memang hebat kawan" paparnya. Aku terdiam, sebagian diriku membenarkan perkataannya, ada rasa bangga menjadi satu yang terpilih untuk momen seindah ini. Akan tetapi sebagian perasaan yg lain menolaknya mentah2. "kenapa kawan? Apa ada ucapanku yg salah? " tanyanya. Aku tak langsung menjawab, terdiam beberapa saat.  "mm.. Entahlah. Aku ini hanya potongan kecil, tak ada mulya2nya sedikitpun. Namun satu ayat kalam Allah yg disandingkan denganku, membuat aku terbawa tinggi, ikut dihormati. Aku sebenarnya tak layak kau saluti.. " ucapku, tulus. Dia terdengar kembali tertawa, lalu berujar, "he.. Kau merendah lagi. Apapun, kau akan menjadi simbol perjuangan ini kawan. Menjadi pengingat bagi petinggi, untuk tak semena2 lagi menghina kalam Illahi. Kau patut berbangga. Kala mereka melihatmu, harusnya semakin kokoh keadilan yg kita perjuangkan selama ini" paparnya, terus menyanjungku. Aku hanya terdiam. Jika memang aku menjadi sepenting itu, aku akan sangat bersyukur.

Tak lama kemudian, aku dibawa ke atas panggung, dijabat oleh ulama2, bersua petinggi2 negeri. Jujur, aku senang.. Aku bangga. Setelah selubungku dibuka, aku diserahkan pada jenderal polisi, sebagai hadiah,  sekaligus pengingatnya pada inti yg diperjuangkan kami. Goresan indah kaligrafi Al Maidah ayat 51, terpampang jelas dibalik kaca bening. Aku yg semula hanya potongan kayu sisa bangunan, kini menjadi sesuatu yg sangat berharga. Bingkai kaligrafi salah satu ayat didalam kitab suci. Disini, diatas panggung ini, aku bisa melihat jutaan ummat memandang ke arahku, beedecak kagum. Aku..bangga. Di tengah gemuruh dan pekik takbir, aku mendengar sebuah teriakan, "kau hebat kawan!" suaranya samar terdengar dari depan panggung. Aku mengenali suaranya, ia yg bercakap denganku tadi. Aku mencari2, butuh waktu, hingga.. Tampaklah olehku sosoknya. Sepasang sandal lusuh berbaris diantara sandal2 lainnya. Tepat dihadapan shaf terdepan di tempat yg disediakan khusus bagi para pejuang dari ciamis. Aku langsung tergugu..membisu sejuta kelu. Ia yg lusuh, sejatinya lebih mulya dibanding diriku. Ia yg menjejak bumi selangkah demi selangkah demi tiba di tempat ini. Ia yg melindungi kaki mujahid berhati teguh itu dari duri dan kerikil tajam jalanan. Ia yg berhari2 menemani mereka, bahkan hingga diberi tempat istimewa di shaf terdepan ini. Ya Allah.. Aku tak patut berbangga. Peranku tak seberapa dibanding perjuangannya. Panggung tempatku dipuji ini tak ada apa2nya dibanding tinggi kemulyaannya. Dan ia masih tersenyum tulus sembari menyanjungku. Aku malu Ya Allah.. Sungguh.. Aku malu..

No comments:

Post a Comment