Ambulan meraung-raung di tengah kemacetan. Berteriak hingga parau meminta
diberi jalan. Sayang, sepagi ini bukan ia sajalah yang punya
kepentingan. Karyawan kantoran, anak sekolahan, hingga ibu-ibu berburu
belanjaan, semua berebut ingin didahulukan. Petugas menggeleng-gelengkan
kepala tak berdaya. Ketika sebuah mobil mewah menolak untuk berhenti,
tak mau memberi jalan bagi sang ambulan. Lamat-lamat, sirine ambulan memelan
dan terdiam, pasrah pada keadaan. Mendekati area jembatan, macet kian
parah saja. Dan jam masih menunjukkan
pukul 7 lewat 20 menit. Bukan, bukan gara-gara air sungai yang meluap lagi.
Bukan pula gara-gara endapan lumpur yang menutupi jalanan lagi. Tapi karena
para pelancong yang berhenti begitu saja di jembatan. Memarkir kendaraan
sembarang, lalu berfoto ria di depan bekas luapan sungai. Kurang ajar
memang, tempat kejadian bencana, mereka anggap tempat berwisata.
Mengambil gambar bergantian, sekedar untuk update instagram. Miris...
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menerobos kerumunan. Rambutnya kaku,
bekas terkena lumpur yang mengering. Begitupun wajah, tangan, dan kaki
anak tersebut. Berwarna coklat, tak beda dengan endapan lumpur yang
tengah dibersihkan para relawan. Tiba di bibir jembatan, anak itu
berteriak keras, "KAU.. KAAAU!! LIHAT APA YANG SUDAH KAU LAKUKAAAN!!!"
teriaknya, menyayat hati. Semua orang memandang ke arahnya, heran. "Kau
sudah menghanyutkan rumahku, kau menelan pula ayah dan ibuku.
Kau merusak seluruh desa. Apa yang kau lakukan hah?" teriak anak itu
lagi, kali ini dengan wajah berurai air mata, deras dari kedua ujung
matanya. Tangan kanannya bergetar, menunjuk tegas ke arah sungai
didepannya. "Sekolahku kau banjiri, adikku yang masih bayipun.. Kau
membawanya pergi.. Hiks... A.. Apa yang kau lakukaan..." suaranya
memelan, ia menangis sesenggukan. Berulang kali ia menghapus air mata
dengan baju lusuhnya, percuma, air matanya selalu keluar lagi, dan lagi.
Orang-orang yang berada di jembatan terenyuh, tergugu, tak mampu berkata
apa2. Keadaan menjadi hening. Lirih, anak tesebut berkata lagi, "aku tak
pernah berlaku buruk padamu. Hampir setiap pekan aku berenang, bermain
di alirmu. Tapi mengapa justru akulah yang kau sisakan? Mengapa kau
merebut semua keluargaku?" papar anak kecil itu. Seorang petugas
penyelamat berjalan mendekat, hendak menenangkannya. Anak itu
mengatupkan rahang, menggeram marah, lalu mengambil sebuah batu didekat
kakinya. "Kau tahu, ayahku.. Ayahku selalu memuji keindahanmu, memuji
ketenanganmu, memuji kesabaranmu. Ia membesarkanku dengan mengajarkan
cara berteman denganmu. Dan lihat sekarang? Kau melibas orang yang
begitu menghormatimu!! Kau.. KAU JAHAAAT!!" teriaknya. Dan dengan sekuat
tenaga ia melemparkan batu itu jauh ke arah sungai. Tampak sekali
kekecewaan dari wajah anak tersebut. Keadaan semakin hening. Semua orang
masih terdiam, beberapa diantaranya malah ikut terisak pelan, menangis.
Petugas penyelamat berkata lembut, "sudahlah nak, ikhlaskan saja, ayo
bapak antar ke posko bantuan" ajaknya. Sayang, anak tersebut tidak
menurut, dengan wajah yang bersimbah air mata, ia mengambil batu kedua,
lalu kembali melemparkannya ke arah sungai, lebih jauh dari lemparan
pertamanya. "Kenapa sekarang kau diam saja hah? Jawab pertanyaanku.
JAWAB PERTANYAANKU !!" teriaknya lagi. Petugas penyelamat tak mampu
menahan air matanya, ia mendekat lagi, mencoba membujuknya. "Nak,
sudahlah.. Ini adalah tak..." kata-katanya terhenti. Karena tiba-tiba, suara
bergemuruh terdengar begitu kerasnya dari arah sungai.
Orang-orang panik, berlarian menjauh dari jembatan. Semua ketakutan,
terbayang air sungai akan meluap untuk yang kedua kalinya. Semua..
Kecuali anak kecil itu. Ia tetap berdiri tegap di bibir jembatan.
Menatap sungai dengan mata yang tajam. Dengan santainya, ia mengambil
kembali batu sebesar bola pingpong. Lalu dengan sekuat tenaga ia
melemparkannya kembali ke arah sungai. Lemparan ketiga, yang lebih jauh
dari lemparan pertama dan kedua. Ajaib, bersamaan dengan menghilangnya
batu tersebut ditelan arus sungai, suara
gemuruh berhenti begitu saja. "Kau hendak membanjiri kami lagi hah?"
tanya anak tersebut, penuh keberanian. Samar, terdengar suara jawaban.
"Ma..maafkan aku nak.." terdengar tak begitu jelas, bercampur dengan
suara angin yang bertiup. Namun semua orang di tempat itu, bisa
menangkap suara tersebut dengan telinganya. Mereka terperangah, tak
percaya dengan apa yang didengarnya sendiri. Mereka menoleh ke arah anak
kecil di bibir jembatan. Tampak anak itu sedang tersenyum. "Hmp..kau
menjawab juga akhirnya" ujarnya.
"Nak, selayaknya dirimu yang dibakar kemarahan, begitupun denganku. Aku
yang beratus tahun menyaksikan dan merasakan sendiri prilaku manusia
padaku. Mereka yang mengaku makhluk yang paling mulia. Mereka yang
mengaku makhluk paling sempurna. Mereka yang diserahi peran menjadi
khalifah atas bumi dan apa-apa yang ada diatasnya. Tapi lihat saja, berapa
ton sampah yang mereka buang padaku setiap harinya. Berapa banyak limbah
pabrik yang mereka alirkan padaku setiap waktunya. Dan tak cukup
sampai disitu, mereka berbondong-bondong mendirikan bangunan, membangun
perumahan, jauh didalam batas sungai alirku. Membuat lebar sungai ini
semakin kecil dari waktu ke waktu. Belum lagi botol-botol khamr bekas mabuk
mereka, pakaian-pakaian bekas zina mereka, pun amplop-amplop bekas suap mereka. Aku
berteriak pada Tuhan, lenyapkan mereka Ya Allah.. Binasakan mereka Ya
Robb. Tapi Dia berkata, jangan. Masih ada lisan-lisan penuh zikir saat
melihat aliran sungaiku. Masih ada segelintir manusia yang teguh
melarang perusakan alam. Hingga beberapa tahun terakhir ini, bukan hanya
sampah yang mereka buang padaku. Tapi janin. Ya, janin. Janin hasil
dari perbuatan zina para pemudi dan pemuda. Hotel dan penginapan yang
berdiri di kota ini, menjadi tempat bermaksiat semata. Taman kota yang
indah ditata, malah menjadi tempat menjajakan diri di malam hari.
Hasilnya, aborsi, mereka buang buah dari perbuatan haram mereka, janin-janin
yang tak berdaya itu, kedalam derasnya aliran sungaiku. Kau tahu nak,
janin-janin itulah yang menjerit-jerit pada Tuhan, binasakan mereka Ya Allah,
lenyapkan mereka Ya Robb.. Hingga akhirnya, Diapun mengizinkanku
meluapkan kemarahan ini" Papar suara tersebut, panjang lebar. Semua
orang yang hadir terdiam, tertunduk teramat dalam. Bukan hanya lumpur
diatas jalanan yang harus dibenahi. Namun iman didalam hati, ia harus
pula diberesi.
No comments:
Post a Comment