03/10/2016

Kemarahan Cimanuk

Ambulan meraung-raung di tengah kemacetan. Berteriak hingga parau meminta diberi jalan. Sayang, sepagi ini bukan ia sajalah yang punya kepentingan. Karyawan kantoran, anak sekolahan, hingga ibu-ibu berburu belanjaan, semua berebut ingin didahulukan. Petugas menggeleng-gelengkan kepala tak berdaya. Ketika sebuah mobil mewah menolak untuk berhenti, tak mau memberi jalan bagi sang ambulan. Lamat-lamat, sirine ambulan memelan dan terdiam, pasrah pada keadaan. Mendekati area jembatan, macet kian parah saja. Dan jam masih menunjukkan pukul 7 lewat 20 menit. Bukan, bukan gara-gara air sungai yang meluap lagi. Bukan pula gara-gara endapan lumpur yang menutupi jalanan lagi. Tapi karena para pelancong yang berhenti begitu saja di jembatan. Memarkir kendaraan sembarang, lalu berfoto ria di depan bekas luapan sungai. Kurang ajar memang, tempat kejadian bencana, mereka anggap tempat berwisata. Mengambil gambar bergantian, sekedar untuk update instagram. Miris...
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menerobos kerumunan. Rambutnya kaku, bekas terkena lumpur yang mengering. Begitupun wajah, tangan, dan kaki anak tersebut. Berwarna coklat, tak beda dengan endapan lumpur yang tengah dibersihkan para relawan. Tiba di bibir jembatan, anak itu berteriak keras, "KAU.. KAAAU!! LIHAT APA YANG SUDAH KAU LAKUKAAAN!!!" teriaknya, menyayat hati. Semua orang memandang ke arahnya, heran. "Kau sudah menghanyutkan rumahku, kau menelan pula ayah dan ibuku. Kau merusak seluruh desa. Apa yang kau lakukan hah?" teriak anak itu lagi, kali ini dengan wajah berurai air mata, deras dari kedua ujung matanya. Tangan kanannya bergetar, menunjuk tegas ke arah sungai didepannya. "Sekolahku kau banjiri, adikku yang masih bayipun.. Kau membawanya pergi.. Hiks... A.. Apa yang kau lakukaan..." suaranya memelan, ia menangis sesenggukan. Berulang kali ia menghapus air mata dengan baju lusuhnya, percuma, air matanya selalu keluar lagi, dan lagi. Orang-orang yang berada di jembatan terenyuh, tergugu, tak mampu berkata apa2. Keadaan menjadi hening. Lirih, anak tesebut berkata lagi, "aku tak pernah berlaku buruk padamu. Hampir setiap pekan aku berenang, bermain di alirmu. Tapi mengapa justru akulah yang kau sisakan? Mengapa kau merebut semua keluargaku?" papar anak kecil itu. Seorang petugas penyelamat berjalan mendekat, hendak menenangkannya. Anak itu mengatupkan rahang, menggeram marah, lalu mengambil sebuah batu didekat kakinya. "Kau tahu, ayahku.. Ayahku selalu memuji keindahanmu, memuji ketenanganmu, memuji kesabaranmu. Ia membesarkanku dengan mengajarkan cara berteman denganmu. Dan lihat sekarang? Kau melibas orang yang begitu menghormatimu!! Kau.. KAU JAHAAAT!!" teriaknya. Dan dengan sekuat tenaga ia melemparkan batu itu jauh ke arah sungai. Tampak sekali kekecewaan dari wajah anak tersebut. Keadaan semakin hening. Semua orang masih terdiam, beberapa diantaranya malah ikut terisak pelan, menangis.
Petugas penyelamat berkata lembut, "sudahlah nak, ikhlaskan saja, ayo bapak antar ke posko bantuan" ajaknya. Sayang, anak tersebut tidak menurut, dengan wajah yang bersimbah air mata, ia mengambil batu kedua, lalu kembali melemparkannya ke arah sungai, lebih jauh dari lemparan pertamanya. "Kenapa sekarang kau diam saja hah? Jawab pertanyaanku. JAWAB PERTANYAANKU !!" teriaknya lagi. Petugas penyelamat tak mampu menahan air matanya, ia mendekat lagi, mencoba membujuknya. "Nak, sudahlah.. Ini adalah tak..." kata-katanya terhenti. Karena tiba-tiba, suara bergemuruh terdengar begitu kerasnya dari arah sungai. 
Orang-orang panik, berlarian menjauh dari jembatan. Semua ketakutan, terbayang air sungai akan meluap untuk yang kedua kalinya. Semua.. Kecuali anak kecil itu. Ia tetap berdiri tegap di bibir jembatan. Menatap sungai dengan mata yang tajam. Dengan santainya, ia mengambil kembali batu sebesar bola pingpong. Lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkannya kembali ke arah sungai. Lemparan ketiga, yang lebih jauh dari lemparan pertama dan kedua. Ajaib, bersamaan dengan menghilangnya batu tersebut ditelan arus sungai, suara gemuruh berhenti begitu saja. "Kau hendak membanjiri kami lagi hah?" tanya anak tersebut, penuh keberanian. Samar, terdengar suara jawaban. "Ma..maafkan aku nak.." terdengar tak begitu jelas, bercampur dengan suara angin yang bertiup. Namun semua orang di tempat itu, bisa menangkap suara tersebut dengan telinganya. Mereka terperangah, tak percaya dengan apa yang didengarnya sendiri. Mereka menoleh ke arah anak kecil di bibir jembatan. Tampak anak itu sedang tersenyum. "Hmp..kau menjawab juga akhirnya" ujarnya. 
"Nak, selayaknya dirimu yang dibakar kemarahan, begitupun denganku. Aku yang beratus tahun menyaksikan dan merasakan sendiri prilaku manusia padaku. Mereka yang mengaku makhluk yang paling mulia. Mereka yang mengaku makhluk paling sempurna. Mereka yang diserahi peran menjadi khalifah atas bumi dan apa-apa yang ada diatasnya. Tapi lihat saja, berapa ton sampah yang mereka buang padaku setiap harinya. Berapa banyak limbah pabrik yang mereka alirkan padaku setiap waktunya. Dan tak cukup sampai disitu, mereka berbondong-bondong mendirikan bangunan, membangun perumahan, jauh didalam batas sungai alirku. Membuat lebar sungai ini semakin kecil dari waktu ke waktu. Belum lagi botol-botol khamr bekas mabuk mereka, pakaian-pakaian bekas zina mereka, pun amplop-amplop bekas suap mereka. Aku berteriak pada Tuhan, lenyapkan mereka Ya Allah.. Binasakan mereka Ya Robb. Tapi Dia berkata, jangan. Masih ada lisan-lisan penuh zikir saat melihat aliran sungaiku. Masih ada segelintir manusia yang teguh melarang perusakan alam. Hingga beberapa tahun terakhir ini, bukan hanya sampah yang mereka buang padaku. Tapi janin. Ya, janin. Janin hasil dari perbuatan zina para pemudi dan pemuda. Hotel dan penginapan yang berdiri di kota ini, menjadi tempat bermaksiat semata. Taman kota yang indah ditata, malah menjadi tempat menjajakan diri di malam hari. Hasilnya, aborsi, mereka buang buah dari perbuatan haram mereka, janin-janin yang tak berdaya itu, kedalam derasnya aliran sungaiku. Kau tahu nak, janin-janin itulah yang menjerit-jerit pada Tuhan, binasakan mereka Ya Allah, lenyapkan mereka Ya Robb.. Hingga akhirnya, Diapun mengizinkanku meluapkan kemarahan ini" Papar suara tersebut, panjang lebar. Semua orang yang hadir terdiam, tertunduk teramat dalam. Bukan hanya lumpur diatas jalanan yang harus dibenahi. Namun iman didalam hati, ia harus pula diberesi. 

No comments:

Post a Comment