Zahdan kecil menangis keras, berteriak-teriak begitu nyaringnya. "GA MAUUU
!!!" ujarnya, sembari menghentak-hentakkan kakinya ke kursi, kesal. Aku
menatapnya iba, jarang sekali zahdan bersikap seperti ini. Biasanya jika
kesal pada orang lain, ia akan gunakan tangan atau kakinya. Pernah
ketika seorang anak tetangga main ke rumah, ia lalu mengambil mainan
kereta zahdan tanpa minta izin terlebih dahulu. Zahdan kesal, tanpa ba
bi bu didoronglah anak tersebut hingga mundur beberapa langkah,
nyaris jatuh terjengkang. "Ga Boleeh!!" tegasnya, sembari merebut
mainannya cepat. Anak tetangga tersebut melongo heran, kaget bukan
kepalang. Pun dengan anak-anak lain, zahdan tak segan-segan meluapkan
kekesalannya. Jika tangannya ditahan, kakinya yang maju. Ck..ck..
Tapi tidak kali ini, sepertinya zahdan merasa segan untuk melawan, ia
hanya bisa menangis menahan kesal. Pasalnya hanya satu, aku mengajaknya
menjemput ziya kakaknya dari sekolah. Dan zahdan tak mau, ia menolak
ajakanku. Jika difikir, wajar rasanya zahdan menolak, karena sedari pagi
tadi zahdan sudah diajak kesana kemari, mengantar ziya ke sekolah,
mengantar jemput umminya, dan itu bukan hari ini saja. Hampir setiap
kali zahdan selalu dibawa, apalagi saat aku libur seperti hari ini,
seharian penuh tugasku mengasuh dan menangani masalah transportasi.
Sayang, tampaknya zahdan mulai merasa lelah. Tak mau menurutiku, ia
menangis dan berteriak-teriak.
Jam menunjukkan pukul 10:30, ziya bubar
sekolah setengah jam lagi. Sekolah ziya terbilang cukup jauh, seharusnya
aku sudah berangkat dari sekarang. Dengan terburu2, aku membujuk zahdan
dengan iming-iming permen dan jajan ke swalayan. Tak berhasil, zahdan tetap
menolak. "zahdan, kasian kak ziya, ga ada yang jemput" ucapku. Zahdan
tak terpengaruh, tetap menangis menolak dan bilang "ga mauuu!!!"
teriaknya. Waduh, aku harus bagaimana, masa ditinggal di rumah
sendirian, otakku berfikir keras.
"Zahdan mau kuding?" tanyaku, maksudnya puding buatan sendiri, berwarna orange.
Zahdan memang belum fasih menyebutnya puding, ia malah memanggilnya
kuding. Kue "putu" ia sebut dengan kata "kutu", "toko" pun ia katakan
"koto", he.. "Itu tuh, yang rasa mangga, kesukaan zahdan" ucapku lagi.
Masih dengan menangis, zahdan berkata "mmauu..." lirihnya. "iya, abi
ambilin. Tapi zahdan berhenti nangisnya ya.." kataku, lalu berbalik,
mengambil puding dari kulkas.
Zahdan masih sesenggukan saat kusuapi puding tersebut. Ia begitu lahap memakannya. Berkali-kali aku memujinya, menyebut cara makannya hebat. Jam sudah menunjuk 10:37, aku kembali memutar otak.
"zahdan, kereta zahdan teh siapa aja? Emily, Hiro, mm..sama siapa ya?"
tanyaku. Zahdan langsung menjawab "sama Flynn!!" jawabnya, tak terlalu
jelas, mulutnya penuh dengan puding. "Oh iya, Flynn, abi lupa" ucapku.
"Eh, sayang ya.. Flynn, Hiro, sama Emily nya ga bisa jalan. Batere nya
udah abis ya nak?" lanjutku. Zahdan mengangguk, ia masih sesenggukan.
"Batere nya harus diganti !" ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya,
tapi batere abi di laci udah abis, ga bisa ganti sekarang" kataku.
Zahdan menatapku kecewa. Lalu, dengan hati-hati aku berkata padanya, "gimana
kalau kita beli dulu di swalayan, sambil jemput kaka ziya. Kan kasian
Flynn sama Hiro, ga bisa maju di rel" ajakku. Zahdan mengernyit,
berfikir sejenak. Aku bertanya lagi, "gimana? Mau?" tanyaku. Zahdan
menatapku, lalu menjawab "mauu!!" jawabnya. Aku menghela nafas lega.
"Alhamdulillaah.." bisikku, sembari melirik ke arah jam dinding. Jam
10:45, aku harus bergegas..
"Ya Allaah...!!" ucapku, spontan. Kulihat antrian kendaraan dari
kejauhan, begitu panjang, mengular hendak melintas di jembatan cimanuk.
Heran, padahal tadi pagi saat aku mengantar ziya sekolah, jalannya
lancar-lancar saja. Tak ada pilihan lain, aku bergegas memutar balik
kendaraan. Mengambil jalur yang lebih jauh, tapi kemungkinan arusnya
lebih lancar. Terpaksa, kelas ziya akan bubar jam 11:00 sebentar lagi,
mudah-mudahan dengan sedikit mengebut aku bisa tiba tepat waktu, begitu
fikirku. Sementara zahdan, terlihat tak peduli. Ia malah memintaku
membukakan bungkus kacang telur kemasan, cemilan kesukaannya. Aku
mengangguk, dan dengan mata tetap memperhatikan jalan, aku mengambil
bungkus kacang itu dari tangan zahdan.
Orang bilang, laki-laki tak bisa
mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Itu salah besar bung. Di balik
kemudi ini, aku dituntut harus bisa mengerjakan hal lain. Membuka
makanan zahdan, membuka minuman ziya, mengganti kaset film kesukaan
zahdan, hingga menahan kepala zahdan gara-gara tertidur dengan sebelah
tanganku. Dulu, kakaknya sering sekali tertidur diatas motor. Aku
terpaksa harus memeganginya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan
mengendalikan laju sepeda motor. Sampai di rumah, tangan kiriku sampai
bergetar karena pegal.
"Ini nak.." kataku singkat, sembari
menyerahkan kemasan cemilan yang sudah terbuka pada zahdan. "Abi masih
susah.." ujar zahdan. Aku melirik, tampaknya zahdan masih kesulitan
mengambil cemilannya. Lubang yang kubuat tak cukup besar. Aku segera
mengambilnya kembali dengan tangan kiri, menggigitnya, lalu merobeknya
lebih besar. "segini cukup?" tanyaku. Zahdan menjawab "iya" katanya
singkat. Lalu ia pun khusyu menikmati cemilan tersebut.
Jalur yang
kutempuh adalah jalan provinsi, beberapa kali aku tertahan truk besar
dan bus yang berjalan lambat didepanku. "astaghfirullaah.." lirihku,
sembari berusaha menyalip kendaraan besar tersebut.
Jam 11 tepat, aku masih di jalanan. "hmph.. Zahdan, kayaknya kita bakal
telat jemput kak ziya, jam segini kita masih..." ucapku terhenti, karena
kulihat Zahdan ternyata.. tidur, kepalanya manggut2 ke kanan dan kiri.
Aku lekas menahan kepalanya dengan tangan kiri, khawatir ia terantuk
pintu.
Pelan, aku menghentikan kendaraanku dulu. Memundurkan
sandaran kursi zahdan, membaringkannya senyaman mungkin, memasanginya
sabuk pengaman, dan mengamankan bungkusan cemilan yang masih berada
dalam genggaman zahdan. Setelah dirasa ok, kendaraan pun melaju lagi.
Kali ini dengan semua kaca jendela tertutup, karena khawatir suara
bising diluar membangunkan zahdan kecil dari tidurnya. Dan dengan laju
yang lebih cepat, secepat yang aku bisa, khawatir ziya menunggu terlalu
lama di sekolahnya.
Gelisah masih membuatku resah, meski sudah tiba di sekolah. Bingung,
bagaimana caranya menjemput ziya. Kelasnya yang berada didalam,
membuatku harus masuk kesana, sementara zahdan..tak mungkin kubangunkan.
Hmph..andai saja diri ini bisa dibagi dua. Keluar dari kendaraan,
seorang ibu dari siswa teman ziya berkata padaku. "Pa, maziya sudah
nunggu dari tadi" ujarnya. Aku bertambah bingung, "i..iya bu. Ini
adiknya tidur di dalem" jawabku tak jelas, sembari menunjuk ke arah zahdan yang lelap di dalam kendaraan. Berharap ibu tersebut berinisiatif menjagai zahdan sementara aku menjemput kakaknya.
Sayang, ibu itu tampaknya terburu-buru pula. Ia pergi sembari menuntun
anaknya menjauh. Aku melihat ke kanan kiri, ada tukang parkir disana.
"Apa kutitipkan ke tukang parkir saja dulu?" bisikku didalam hati.
"Tidak.. Tidak.. Ide yang buruk" jawabku sendiri. Arrghhh.. Bagaimana
ini..
Akhirnya, aku membuka sedikit kaca jendela, agar zahdan tak
merasa sesak didalam, lalu bergegas meloncat pergi. "Ya Allah, aku titip
zahdan.." bisikku, sembari berlari menuju ke kelas ziya.
Di kelas,
Ziya menggerutu sebal saat melihatku, "euh.. Abi meni lama sekali..!!"
ucapnya. Aku tak menjawab, malah langsung memberi perintah, "ziya, cepet
pake sepatu! Mana tasnya?" tegasku. Ziya mengernyit heran, namun
bergegas berbalik mengambil tasnya. "Zahdan abi tinggal tidur di mobil.
Makannya ziya harus cepet. Tadi jalannya macet panjang. Abi harus muter
jalannya, lebih jauh lagi. Makannya telat jemput ziya" paparku, sembari
memakaikan ziya sepatu di kakinya. Bukan karena ziya tak mampu sendiri,
tapi ziya menurutku masih kurang cepat. Ziya tak menjawab, ia hanya
mengangguk kecil tanda mengerti.
Setengah berlari aku menarik tangan
ziya. Bergegas kembali menuju zahdan. Ziya tergopoh-gopoh, sekuat tenaga
berusaha mengejar kecepatanku.
Lalu lalang para orang tua yang hendak menjemput menghalangiku. Aku
membetulkan tas ziya yang kutenteng di bahuku, lalu menarik kembali
tangan ziya cepat. "Ziya, kita nyebrang!!" teriakku. Ziya tak sempat
mengangguk, susah payah ia berlari mengikutiku, tangan kecilnya erat
sekali menggenggam tanganku.
Sampai di kendaraan, kulihat zahdan
masih tertidur nyenyak. Alhamdulillaah.. Bisikku. Ziya menatapku polos.
Aku tersenyum, menghela nafas lega, lalu bertanya, "jadi ziya, ngisi
ulangannya tadi bisa?" tanyaku. Ziya mengangguk sembari tersenyum pula.
No comments:
Post a Comment