03/10/2016

Membujuk Zahdan

Zahdan kecil menangis keras, berteriak-teriak begitu nyaringnya. "GA MAUUU !!!" ujarnya, sembari menghentak-hentakkan kakinya ke kursi, kesal. Aku menatapnya iba, jarang sekali zahdan bersikap seperti ini. Biasanya jika kesal pada orang lain, ia akan gunakan tangan atau kakinya. Pernah ketika seorang anak tetangga main ke rumah, ia lalu mengambil mainan kereta zahdan tanpa minta izin terlebih dahulu. Zahdan kesal, tanpa ba bi bu didoronglah anak tersebut hingga mundur beberapa langkah, nyaris jatuh terjengkang. "Ga Boleeh!!" tegasnya, sembari merebut mainannya cepat. Anak tetangga tersebut melongo heran, kaget bukan kepalang. Pun dengan anak-anak lain, zahdan tak segan-segan meluapkan kekesalannya. Jika tangannya ditahan, kakinya yang maju. Ck..ck..
Tapi tidak kali ini, sepertinya zahdan merasa segan untuk melawan, ia hanya bisa menangis menahan kesal. Pasalnya hanya satu, aku mengajaknya menjemput ziya kakaknya dari sekolah. Dan zahdan tak mau, ia menolak ajakanku. Jika difikir, wajar rasanya zahdan menolak, karena sedari pagi tadi zahdan sudah diajak kesana kemari, mengantar ziya ke sekolah, mengantar jemput umminya, dan itu bukan hari ini saja. Hampir setiap kali zahdan selalu dibawa, apalagi saat aku libur seperti hari ini, seharian penuh tugasku mengasuh dan menangani masalah transportasi. Sayang, tampaknya zahdan mulai merasa lelah. Tak mau menurutiku, ia menangis dan berteriak-teriak.
Jam menunjukkan pukul 10:30, ziya bubar sekolah setengah jam lagi. Sekolah ziya terbilang cukup jauh, seharusnya aku sudah berangkat dari sekarang. Dengan terburu2, aku membujuk zahdan dengan iming-iming permen dan jajan ke swalayan. Tak berhasil, zahdan tetap menolak. "zahdan, kasian kak ziya, ga ada yang jemput" ucapku. Zahdan tak terpengaruh, tetap menangis menolak dan bilang "ga mauuu!!!" teriaknya. Waduh, aku harus bagaimana, masa ditinggal di rumah sendirian, otakku berfikir keras.
"Zahdan mau kuding?" tanyaku, maksudnya puding buatan sendiri, berwarna orange.

Zahdan memang belum fasih menyebutnya puding, ia malah memanggilnya kuding. Kue "putu" ia sebut dengan kata "kutu", "toko" pun ia katakan "koto", he.. "Itu tuh, yang rasa mangga, kesukaan zahdan" ucapku lagi. Masih dengan menangis, zahdan berkata "mmauu..." lirihnya. "iya, abi ambilin. Tapi zahdan berhenti nangisnya ya.." kataku, lalu berbalik, mengambil puding dari kulkas.
Zahdan masih sesenggukan saat kusuapi puding tersebut. Ia begitu lahap memakannya. Berkali-kali aku memujinya, menyebut cara makannya hebat. Jam sudah menunjuk 10:37, aku kembali memutar otak.
"zahdan, kereta zahdan teh siapa aja? Emily, Hiro, mm..sama siapa ya?" tanyaku. Zahdan langsung menjawab "sama Flynn!!" jawabnya, tak terlalu jelas, mulutnya penuh dengan puding. "Oh iya, Flynn, abi lupa" ucapku. "Eh, sayang ya.. Flynn, Hiro, sama Emily nya ga bisa jalan. Batere nya udah abis ya nak?" lanjutku. Zahdan mengangguk, ia masih sesenggukan. "Batere nya harus diganti !" ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, tapi batere abi di laci udah abis, ga bisa ganti sekarang" kataku. Zahdan menatapku kecewa. Lalu, dengan hati-hati aku berkata padanya, "gimana kalau kita beli dulu di swalayan, sambil jemput kaka ziya. Kan kasian Flynn sama Hiro, ga bisa maju di rel" ajakku. Zahdan mengernyit, berfikir sejenak. Aku bertanya lagi, "gimana? Mau?" tanyaku. Zahdan menatapku, lalu menjawab "mauu!!" jawabnya. Aku menghela nafas lega. "Alhamdulillaah.." bisikku, sembari melirik ke arah jam dinding. Jam 10:45, aku harus bergegas..

"Ya Allaah...!!" ucapku, spontan. Kulihat antrian kendaraan dari kejauhan, begitu panjang, mengular hendak melintas di jembatan cimanuk. Heran, padahal tadi pagi saat aku mengantar ziya sekolah, jalannya lancar-lancar saja. Tak ada pilihan lain, aku bergegas memutar balik kendaraan. Mengambil jalur yang lebih jauh, tapi kemungkinan arusnya lebih lancar. Terpaksa, kelas ziya akan bubar jam 11:00 sebentar lagi, mudah-mudahan dengan sedikit mengebut aku bisa tiba tepat waktu, begitu fikirku. Sementara zahdan, terlihat tak peduli. Ia malah memintaku membukakan bungkus kacang telur kemasan, cemilan kesukaannya. Aku mengangguk, dan dengan mata tetap memperhatikan jalan, aku mengambil bungkus kacang itu dari tangan zahdan.
Orang bilang, laki-laki tak bisa mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Itu salah besar bung. Di balik kemudi ini, aku dituntut harus bisa mengerjakan hal lain. Membuka makanan zahdan, membuka minuman ziya, mengganti kaset film kesukaan zahdan, hingga menahan kepala zahdan gara-gara tertidur dengan sebelah tanganku. Dulu, kakaknya sering sekali tertidur diatas motor. Aku terpaksa harus memeganginya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan mengendalikan laju sepeda motor. Sampai di rumah, tangan kiriku sampai bergetar karena pegal.
"Ini nak.." kataku singkat, sembari menyerahkan kemasan cemilan yang sudah terbuka pada zahdan. "Abi masih susah.." ujar zahdan. Aku melirik, tampaknya zahdan masih kesulitan mengambil cemilannya. Lubang yang kubuat tak cukup besar. Aku segera mengambilnya kembali dengan tangan kiri, menggigitnya, lalu merobeknya lebih besar. "segini cukup?" tanyaku. Zahdan menjawab "iya" katanya singkat. Lalu ia pun khusyu menikmati cemilan tersebut.
Jalur yang kutempuh adalah jalan provinsi, beberapa kali aku tertahan truk besar dan bus yang berjalan lambat didepanku. "astaghfirullaah.." lirihku, sembari berusaha menyalip kendaraan besar tersebut.

Jam 11 tepat, aku masih di jalanan. "hmph.. Zahdan, kayaknya kita bakal telat jemput kak ziya, jam segini kita masih..." ucapku terhenti, karena kulihat Zahdan ternyata.. tidur, kepalanya manggut2 ke kanan dan kiri. Aku lekas menahan kepalanya dengan tangan kiri, khawatir ia terantuk pintu.
Pelan, aku menghentikan kendaraanku dulu. Memundurkan sandaran kursi zahdan, membaringkannya senyaman mungkin, memasanginya sabuk pengaman, dan mengamankan bungkusan cemilan yang masih berada dalam genggaman zahdan. Setelah dirasa ok, kendaraan pun melaju lagi. Kali ini dengan semua kaca jendela tertutup, karena khawatir suara bising diluar membangunkan zahdan kecil dari tidurnya. Dan dengan laju yang lebih cepat, secepat yang aku bisa, khawatir ziya menunggu terlalu lama di sekolahnya.

Gelisah masih membuatku resah, meski sudah tiba di sekolah. Bingung, bagaimana caranya menjemput ziya. Kelasnya yang berada didalam, membuatku harus masuk kesana, sementara zahdan..tak mungkin kubangunkan. Hmph..andai saja diri ini bisa dibagi dua. Keluar dari kendaraan, seorang ibu dari siswa teman ziya berkata padaku. "Pa, maziya sudah nunggu dari tadi" ujarnya. Aku bertambah bingung, "i..iya bu. Ini adiknya tidur di dalem" jawabku tak jelas, sembari menunjuk ke arah zahdan yang lelap di dalam kendaraan. Berharap ibu tersebut berinisiatif menjagai zahdan sementara aku menjemput kakaknya.
Sayang, ibu itu tampaknya terburu-buru pula. Ia pergi sembari menuntun anaknya menjauh. Aku melihat ke kanan kiri, ada tukang parkir disana. "Apa kutitipkan ke tukang parkir saja dulu?" bisikku didalam hati. "Tidak.. Tidak.. Ide yang buruk" jawabku sendiri. Arrghhh.. Bagaimana ini..
Akhirnya, aku membuka sedikit kaca jendela, agar zahdan tak merasa sesak didalam, lalu bergegas meloncat pergi. "Ya Allah, aku titip zahdan.." bisikku, sembari berlari menuju ke kelas ziya.
Di kelas, Ziya menggerutu sebal saat melihatku, "euh.. Abi meni lama sekali..!!" ucapnya. Aku tak menjawab, malah langsung memberi perintah, "ziya, cepet pake sepatu! Mana tasnya?" tegasku. Ziya mengernyit heran, namun bergegas berbalik mengambil tasnya. "Zahdan abi tinggal tidur di mobil. Makannya ziya harus cepet. Tadi jalannya macet panjang. Abi harus muter jalannya, lebih jauh lagi. Makannya telat jemput ziya" paparku, sembari memakaikan ziya sepatu di kakinya. Bukan karena ziya tak mampu sendiri, tapi ziya menurutku masih kurang cepat. Ziya tak menjawab, ia hanya mengangguk kecil tanda mengerti.
Setengah berlari aku menarik tangan ziya. Bergegas kembali menuju zahdan. Ziya tergopoh-gopoh, sekuat tenaga berusaha mengejar kecepatanku.
 

Lalu lalang para orang tua yang hendak menjemput menghalangiku. Aku membetulkan tas ziya yang kutenteng di bahuku, lalu menarik kembali tangan ziya cepat. "Ziya, kita nyebrang!!" teriakku. Ziya tak sempat mengangguk, susah payah ia berlari mengikutiku, tangan kecilnya erat sekali menggenggam tanganku.
Sampai di kendaraan, kulihat zahdan masih tertidur nyenyak. Alhamdulillaah.. Bisikku. Ziya menatapku polos. Aku tersenyum, menghela nafas lega, lalu bertanya, "jadi ziya, ngisi ulangannya tadi bisa?" tanyaku. Ziya mengangguk sembari tersenyum pula. 

No comments:

Post a Comment