09/06/2021

Ujian

Aku bermimpi, bertemu orang yg tak pernah kutemui. Bertanya kabar keluarga, serta hari-hari sulit yang mendera.
 
Kau bercerita panjang padaku tentang jalanan berduri, dan akupun bercerita padanya perihal mimpi.
 
"Kawan, mimpiku sudah kugantungkan di langit-langit angkasa" kataku.
 
"Lah, tidakkah itu hanya akan membuat harapanmu terlampau terbang. Terlalu tinggi untuk kau kejar sendiri?" katamu.
 
Aku menggeleng.
 
"Justru.. Dengan begitu, aku bisa meletakkan satu persatu anak tangga menuju kesana" jawabku.
 
Kau diam, namun rautmu tak menandakan persetujuan. Tentu, kalimatku terdengar tak berdasar, lebih seperti khayalan yang mustahil terwujudkan.
 
"Aku tahu, memang mustahil. Tetapi Aku sudah terlalu jemu menaruh mimpi di hamparan dunia. Semuanya selalu terpatahkan oleh pahitnya kenyataan"
 
"Harapan akan kedamaian, jerit pedih kesedihan.. Kau lihat sendiri, bukan? Kebaikan selalu saja kalah dan terpinggirkan. Sedang kejahatan, begitu pongah melenggang, memberangus sesiapapun yang dianggap menjadi penghalang"
 
"Lalu, kepada siapa lagi melabuhkan harap? Kala kebanyakan manusia tak pernah lagi beri peduli. Mereka terlalu sibuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri"
 
"Kau tahu, bukan? Aturan terus berubah-ubah, bersesuaian dengan peluang meraup pundi. Kebijakan terus berulah, tak lagi ditulis menggunakan logika dan hati" cerocosku, dengan suara yang sesak.
 
Sesak yang sama menjalar padamu, melukis raut berat dan kesedihan. Beberapa saat lamanya kau hanya terdiam, merenungkan pemikiran yang begitu dalam.
 
Terang saja, beringas cobaan memang telah menghantam banyak sekali orang. Saudara, kawan, semua berusaha untuk bertahan. Keluarga, tetangga, semua keras berupaya, hanya demi bisa menjawab.. 'kami baik-baik saja'.
...
 
"Aku setuju" jawabmu, tiba-tiba.
 
"Setuju atas apa?" tanyaku.
 
"Aku setuju atas keputus asaanmu. Walau sesungguhnya, kau punya pilihan sikap yang lebih baik. Kau tahu, kawan? Ujian itu serona terik sang surya. Panas terasa, menyengat sesiapa saja. Namun mari kita lihat dari sisi yang berbeda. Ia hadir ke dunia, tentunya dengan beragam karunia"
 
"Maka janganlah kita hanya berfokus pada teriknya. Namun lebih berfokuslah pada karuniaNya" lanjutmu, sambil tersenyum.
 
Aku ikut tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan.

No comments:

Post a Comment