20/10/2017

Lebih baik Aku pulang

Lagi, Aku selalu saja terperangah setiap kali kemari. Menatap belalai-belalai Crane yang terjulur panjang sekali, mengangkat ratusan panel beton untuk dirangkai menjadi bangunan tinggi. Teramat tinggi malah, karena serona kompetisi, gedung yang baru selalu saja lebih tinggi sekian kali. Apartemen yang baru menambah lantai berkali-kali. Harganya? Jangan tanya, sepuluh jari tanganmu itu tak akan genap hanya untuk menghitung angka nolnya saja. Ditambah sepuluh jari kakimu pun masih tak cukup untuk menghitung jumlah toiletnya saja. Miris..

Lagi, Aku melulu terpana setiap kali datang bertandang. Melihat tiang-tiang pancang yang ditanam sedemikian dalam. Jutaan ton kubik pasir dikerahkan, ribuan batang pohon dideretkan, semua demi satu kata, pembangunan. Tak cukup, maka area laut menjadi lahan sasaran. Bawa saja tanah daratan, timbun seluruh lautan sana. Gunakan untuk melangitkan pencakar, hunian-hunian mewah, dan tektek bengek fasilitas lainnya. Jika dengannya pulau-pulau lain jadi tenggelam, nelayan kehilangan mata pencaharian, rakyat miskin makin tersisihkan, tergilas oleh roda beringas pembangunan, abaikan saja.. Termasuk saat seorang tukang becak yang kelaparan sampai meninggal didalam becaknya, karena tak jua mendapat penumpang. Para pengemis yang mengais-ngais makanan sisa dari tempat sampah, para bayi yang tinggal di pinggiran kali, mereka terlindas roda pembangunan berkali-kali, terpinggirkan, tersisihkan, lalu mati tanpa ada yang peduli. Hey, Ini kan hukum alam. Omong kosong!

Kawan, lihat gedung-gedung itu, tempat-tempat megah yang sudah barang tentu dibangun bukan bagi jelata seperti Kita. Bahkan mereka yang leluhurnya mendiami tanah itu secara turun menurun pun, tak lantas memiliki hak untuk dapat tinggal didalamnya. Gedung itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang kaya sekaligus raya. Mereka yang raya sekaligus kaya. Tak terhingga kaya sampai-sampai nalarnya menjadi gila. Betapa tidak, sepetak kecil ruangan saja dijual dengan sejumlah harga ‘hanya’. Sepotong ‘hanya’ yang tak akan terbeli, meski diganti ginjal yang Kita miliki. Sepotong ‘hanya’ yang tak jua didapat, walau sekeluarga Kita dibuat melarat.

Apapun itu, kini Ku semakin tahu. Mengapa pasir-pasir di gunungku digali habis dan dikeruk melulu. Yang waktu melihatnya, membuat Kami merasa pilu hingga ke ulu. Kini Aku semakin paham, kenapa pepohonan di hutanku dibabat terus-terusan. Yang kala menyaksikannya, jadikan Kami menanggung tangisan, terdalam dari yang pernah dirasakan.

Hmph.. Kami memang anak-anak kampung. Rumah Kami menempel di lereng gunung. Kami tak mengerti dengan apartemen yang bertingkat-tingkat banyaknya. Kami tak pernah melihat uang berjuta-juta banyaknya. Tapi Kami tahu, perusakan alam adalah perbuatan menentang Tuhan.

Entahlah, yang pasti hari ini Aku pulang. Kembali ke kampung, kembali ke gunung. Kau tahu? Hutan disana jauh lebih menyejukkan. Beratus kali lipat lebih menyenangkan.
 
#efekbelumsarapan
#coratcorettakberilmu

No comments:

Post a Comment