23/10/2017

Berdamai Dengan Masalah (Sebuah Cerpen)



Kalender duduk itu masih jua terduduk di rak penyekat. Entah sudah berapa puluh kali Aku menatapinya lekat-lekat. Menekuri saat demi saat berjalannya tenggat, menghitung satu demi satu bergulirnya waktu, serta menandai angka demi angka terlewatinya masa. Tak heran, jika 31 bilangan yang terpampang di hadapan, ternyata telah ditandai hampir keseluruhan. Dan serona hari-hari sebelumnya, berpuluh angka itu seperti beterbangan mengelilingiku, bergerombol menanyaiku, ramai-ramai menyudutkanku.
Mereka datang merasuki, menjejali setiap inci bagian otak sebelah kiri. Membuat kongsi-kongsi, federasi-federasi, bahkan asosiasi-asosiasi. Yang satu dan lainnya saling tersambung, dengan penghubung berbagai tanda operasi hitung. Setumpuknya ditambah kemudian dikurangi, hasilnya dikali lalu dibagi-bagi. Selesai?
Ternyata tidak. Angka-angka hasil operasi itu kembali lagi membentuk kongsi-kongsi, federasi-federasi, pun asosiasi-asosiasi. Yang untuk kemudian mereka disambung dan dihitung, ditambah dan dikurangi, lagi.. lagi.. dan lagi.
Tak kurang dari delapan pekan, Aku membuat lingkaran demi lingkaran. Membulati setiap hari yang dilewatkan tanpa adanya penyelesaian. Hingga sekarang, angka 23 itu yang mendapat giliran. Aku tergugu, gelisah sempurna menyerangku. Mengapa? Mengapa ‘kewajiban’ itu tak jua terlunaskan? Bukankah jiwa seseorang kan tertahan hingga ‘urusan’ itu terbayarkan? Dan bukankah Nabi saja tak mau menyolatkan jenazah yang perihal ‘kemestiannya’ masihlah gamang? Lalu mengapa setelah sekian masa berjalan, ‘perkara’ itu belum juga diselesaikan? Tanyaku, entah pada siapa.
“Abi..!!” panggil seorang anak kecil berponi, mengagetkanku. Rambut depannya memang sudah terjulur hingga menutupi sebagian matanya. Buah dari penolakannya pada tempat pangkas rambut di pinggir jalan sana. Menjadikan Aku sendiri yang harus berkreasi mengguntingi, membentuk potongan gaya rambut anak ini menjadi model poni, satu-satunya potongan yang kukuasai. Tinggal ditutupi dengan rantang[1], lalu digunting sekelilingnya. Selesai, begitu mudahnya.
“Ada apa Zahdan?” tanyaku, sembari mengusap lembut rambutnya yang lurus. Zahdan tak lantas menjawab, Ia malah terkekeh memberi isyarat. Jemarinya menarik tangan kananku, lalu mendekatkan mulutnya kearah telingaku. Ia berbisik pelan, “He.. Abi, mm.. Jadan.. emm.. Jadan mau.. Jadan mau jajan.. Boleh ya Abi?” ucapnya, dengan nada yang manja. Aku menoleh sembari terkejut. “Haa?? Bukannya tadi Zahdan udah jajan Chiki?” tanyaku. Zahdan tak lantas merasa bersalah, Ia malah mengangguk dengan penuh semangat. Lalu dengan setengah berbisik, Ia berkata lagi, “Iya Abi.. sekalang Jadan mau jajan coklat, yang ada hadiah Boboboynya. Hadiahnya kelén (maksudnya keren) lho Abi..!” bujuk Zahdan, dengan raut wajah yang terlihat penuh harap, serta dua mata bulat yang menatapku lekat-lekat, sama lekatnya dengan saat Aku menatap kalender di rak penyekat.
Aku menghela nafas, angka-angka di otak kiriku kembali berkongsi-kongsi. Hitungannya kali ini dengan menyertakan faktor lembaran dana yang kupunyai. Segera, dompet kukeluarkan dan kubuka, memastikan siapa sajakah gerangan yang masih bertengger didalam sana. Tetap setia dan melulu ada, hingga maut memisahkan Kita. (Duh..)
TARAA…!! Didalamnya Kulihat, satu lembaran kusam berwarna coklat. Barisan bilangan nol berjumlah tiga, terpampang sempurna dibelakang angka limanya. Yang meski kubacakan mantra berulang kali, digit nol itu tak pernah bertambah barang sebiji. Satu lembar kusam berwarna coklat, menatapku sedemikian hangat. Satu? Ya, hanya satu. Ia ternyata satu-satunya yang teramat taat. Mendampingi dengan tabah, meski Aku tengah dilanda susah. Padahal, lembaran yang lain telah pergi entah kemana.
Si Hijau yang dulu memukau, meracau galau gara-gara motorku mendadak tak mau menyala. Ia kemudian angkat kaki, hanya sekejap setelah bensin motorku kembali diisi. Si Biru yang begitu lugu, terbujuk rayu seorang kasir di minimarket itu. Ia berganti posisi dengan detergen plus pewangi, yang katanya bisa juga mencuci sendiri. Sedang Si Merah yang bertuah, terlalu cepat beranjak enyah, hanya sesaat setelah alarm meteran listrik berteriak-teriak marah. Ia mau saja ditukar dengan deretan panjang angka, yang bahkan huruf R dan P didepannya saja tak ada.
Alhasil, lembaran coklat adalah satu-satunya yang tersisa. Membuatku semakin ragu untuk mengeluarkannya. Ia adalah yang paling setia diantara semua lembaran yang pernah ada. Ia adalah yang paling lama bertahan, saat yang lain sudah menghilang berlarian. Aku tak tega memutuskannya, Aku tak sampai hati menceraikannya. Luka yang Kutorehkan pasti akan membekas abadi, duka yang Kutancapkan pasti akan menyakitkan sekali. Duhai.. Apakah jodoh ini memang hanya sampai disini? Benarkah kebersamaan ini memang hanya berujung disini? Tidakkah ikatan ini harus melulu dierati, meski apapun jua yang terjadi? Tidakkah Kita harus saling menguatkan, apalagi saat badai datang melemahkan? (Lagi-lagi, Duh..)  
“ABII..!! MANA??” anak kecil berponi mengagetkanku untuk yang kedua kali. Rambut depannya masih jua terjulur hingga menutupi sebagian matanya. Aku kembali menoleh ke arahnya, pura-pura tak mengerti maksud dan tujuannya. “Ada apa Zahdan?” tanyaku, polos. Yang ditanya langsung merajuk, “Iiiih.. Abi mah! Jadan kan mau jajan coklat, yang ada hadiahnya téa. Abi kasih Jadan uangnya atuh..” ucap Zahdan, kali ini dengan menyodorkan telapak tangan yang terbuka, menuntut pengamalan secara real dan nyata, bukan hanya janji-janji politik semata. Sontak Aku langsung menggulung spanduk-spanduk kampanye, menggulung lengan baju hingga ke siku, menggulung ujung celana hingga ke lutut, dan menggulung tikar yang baru digelar.. Namun berhubung belum ada Razia, tikarnya kembali kugelar saja. (He..)
Sembari menatap Zahdan, Aku aktif melancarkan upaya preventif, dengan cara yang teramat persuasif.
“Mm.. Zahdan, bukannya coklat di warung itu udah abis?” tanyaku.
“Masih ada kok” jawabnya.
“Bukannya warungnya udah tutup?” tanyaku.
“Masih buka kok” jawabnya.
“Yang jagain warungnya lagi pergi ya?” tanyaku.
“Ngga, ada disana kok!” jawabnya.
“Em.. Zahdan, makan nasi dulu aja gih. Biar kenyang” kataku.
“Udah” jawab Zahdan.
“Minum Susu?” tanyaku.
“Udah juga” jawabnya.
“Berarti ga usah jajan” simpulku.
“Mau jajan!” simpulnya.
“Kan udah kenyang” kataku.
“Kan biar tambah kenyang” katanya.
“Makan nasi lagi aja” tawarku.
“Ga mau!” tolaknya.
“Minum susu?” tawarku lagi.
“Ga mau!” tolaknya lagi.
“Mau apa atuh?” tanyaku.
“Mau jajan!” jawabnya.
“Ergh.. Ya udah, Abi kasih uangnya. Tapi coklatnya satu aja ya?” tawarku.
“Em.. dua aja Abi!” jawabnya.
“Satu!” tegasku.
“DUA!!” tegasnya.
“SATUUU!!!” kataku, keras.
“DUAAAAAA!!” katanya, lebih keras.
Akhirnya, perdebatan Kami selesai, hanya sepersekian detik setelah lembaran coklat berpindah antar. Dompetku langsung kehilangan, teramat kehilangan bahkan. Cukup lama mulutnya terus terbuka, menganga.. setengah tak percaya isi perutnya dikuras hingga tiada sisa. Sedangkan Aku? Hanya bisa tergugu menahan pilu. Terbayang lembaran coklat kan bertukar tempat dengan lembaran abu. Dilengkapi tiga digit nol yang jumlahnya sama-sama enggan bertambah meski sebuah. Barisan bundarnya selalu rapi tertata, dibelakang angka yang kata orang mirip sekali angsa. Namun Angsa yang tanpa sepasang sayap, dan tanpa sepasang kaki. Tanpa adanya buntut, dan tanpa kejelasan patuk. Heran, dengan banyaknya ‘tanpa‘ tersebut, mengapa orang masih berkata angka itu mirip angsa?
Aku menatap anak kecil berponi berlari girang ke warung seberang. Tangannya tinggi mengibar-ngibarkan lembaran coklat, yang untuk berpamitan saja tak diberi sempat. Ia sudah menghilang.. dibawa jajan Zahdan. Ditukar dengan dua bungkus coklat yang memikat. Tidak, yang memikat Zahdan pastilah hadiah Boboiboynya, bukan coklatnya. Hmph.. hidup memang terkadang begitu kejam Kawan.
Belum usai Aku mengenang masa-masa kebersamaan bersama lembaran coklat, Zahdan kecil sudah datang membawa keresek berisi jajanan. Wajahnya sumringah bukan kepalang, berteriak-teriak dengan suara semarak. “Abii!! Lihaat!! Kata Ibu walung kalo belinya lima libu, dapet coklat sama Boboboynya lima. Lihat Abi!! Jadan dapet hadiahnya limaa!! Banyaak.. kelén-kelén Boboboynyaa!!” celotehnya, Ia tak tersentuh sedikitpun dengan arti lembaran coklat beserta kesetiaannya. Aku menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya dengan yang kulihat didepan mata. Tak ada lagi angka yang berkongsi-kongsi didalam kepala, tak ada lagi bilangan-bilangan yang dihitung campuran. Semuanya hilang bersamaan dengan teriakan Zahdan. “Abii.. Boboboynya masuk comberaan!!”
***
Tak ada asap, jika tak ada api. Tak ada fakta, jika tak ada bukti. Dan tak ada uang, jika belum dapat gaji. Artinya, bukan tanpa alasan, selembar lima ribu bisa menjadi teramat berarti bagiku. Bukan tanpa sebab, selembar berwarna coklat itu satu-satunya yang tersisa didompetku. Semua hal tersebut berasal dari sesuatu menyeramkan yang bernama, “Utang”.
Sebut saja Mr X, seorang pengusaha kawakan. Jam terbangnya dalam hal jual beli sudahlah tinggi. Teknik promosi, marketing strategy, termasuk hitung-hitungan laba dan rugi, sudah menjadi santapannya sehari-hari. Di waktu Aku berangkat kerja di pagi buta, Mr X masih meminum secangkir kopi dengan santainya. Di siang hari Aku beristirahat dengan kepala penat, Mr X tengah semarak, dengan pembeli Ia bercakap. Dan dikala Aku berlelah-lelah di saat petang, Mr X sudah sumringah menghitung keuntungan harian. 24 jumlah jam yang sama, namun apa yang Kami lalui dan hasilkan sungguhlah berbeda.
Aku sudah lumayan lama kenal dengan Mr X, karena selain masih terkait hubungan saudara, cukup sering Aku dimintai tolong olehnya. Mulai dari sekedar servis komputer, pesan-beli laptop, adu tawar rumah yang akan Ia beli, membuat desain rumah yang akan Ia bangun, membuat layout toko yang hendak Ia renovasi, membuat desain logo, membuat banner dan spanduk, serta masih banyak lagi. Yang kesemuanya tak pernah Kujadikan bisnis, murni saja memberi pertolongan. Mau diganti silahkan, tak digantipun tak mengapa. Semua disebabkan karena Kami ada keterkaitan saudara.
Sebaliknya, Mr X pun sudah banyak sekali berbuat baik. Tak jarang, Ia bantu mengantar Ziya (kakaknya Zahdan) pergi ke sekolah. Terutama bila Aku belum pulang dari tempat kerja. Terkadang pula Ia dititipi Zahdan sebentar, memberi nasihat yang terujar, serta kebaikan-kebaikan lain yang tak bisa Kujabar. Sayang, dari sekian banyak kelebihan yang ada padanya, hanya satu hal yang membuat Mr X kerap tercoreng namanya. Ia acapkali abai pada utangnya. Itu saja.
“Mana radio komunikasi yang Kupesan kemarin?” tanyanya, suatu kali. Aku menggeleng pelan, bingung hendak memberi jawaban yang tepat. Bukan apa-apa, Mr X suka meminta dibelikan barang, namun seringkali tanpa uang yang dibekalkan. Alasannya selalu klasik, ‘nanti diganti’. Padahal, kata ‘nanti’ itu bisa beminggu-minggu lamanya, bisa berbulan-bulan lamanya. Dan kata ‘nanti’ tersebut, memberi konsekuensi serius pada siklus keuanganku. Aku harus menggunakan simpanan pribadi terlebih dahulu, jika ada. Jika tidak, terpaksa menggilirnya dengan stok dana dari pos keuangan yang lain. Pos untuk bayar sekolahan, atau pos untuk kebutuhan dapur dan makan.
“Mm.. belum, belum sempat dipesankan” jawabku, setengah ragu. Berharap Mr X langsung mengerti dan memberi uang terlebih dahulu. Aku memang bukan tipikal orang yang berani berterus terang, terutama masalah uang. Aku selalu didera ambigu, membicarakan uang bagiku rasanya seperti sesuatu yang tabu. Mendengar jawabanku yang terbata, Mr X hanya mengangguk dan berkata, “Cepat pesankan ya! Nanti uangnya diganti” ucapnya.
Aku menghela nafas pasrah. Lagi-lagi kata ‘nanti’ itu muncul lagi. Padahal, bekas pembuatan spanduk minggu kemarin saja belum diganti, katanya nanti. Pembelian keyboard laptop bulan lalu saja masih belum dilunasi, katanya nanti. Belum lagi dengan pembelian PC bekas untuk tokonya, perbaikannya, programnya, berikut scanner barcodenya. ‘Nanti’ yang lama belum selesai, kini sudah ada ‘nanti’ yang baru. Tak tahu, ‘nanti’nya itu membuatku harus pontang panting mengatur isi saku. Tak sadar, ‘nanti’nya itu membuatku harus menahan lapar sampai terkapar. Entahlah, mungkin saja bagi Mr X besar nominal rupiah itu tak seberapa. Terlalu kecil dibandingkan perputaran uang di usaha yang tengah dikelolanya. Namun bagiku, nominal itu bisa menambal kebutuhan berminggu-minggu. Sayangnya Ia tak tahu, sekalipun tak pernah tahu.
Ingin sekali Aku lugas berkata padanya, “Mr, bayar dulu utangmu! Baru Kubelikan lagi pesanan-pesananmu!”. Atau sekedar jujur dalam bertutur, “Mr, Aku sedang tak punya uang, pesananmu tak bisa kubelikan!”. Namun Aku tak bisa. Aku benar-benar tak bisa berkata sedemikian lugasnya, Aku sungguh-sungguh tak mampu bertutur sebegitu jujurnya. Aku selalu teringat akan kebaikan-kebaikan yang sudah Ia lakukan, dan Akupun menjaga adab berucap pada Ia yang Kuberi hormat.
Kawan, Aku ini seorang perantau. Ayahku sudah meninggal dunia, sedang Ibuku tinggal jauh di kampung halaman sana. Di kota ini Mr X sudah kuanggap seperti orang tua sendiri. Anak-anaknya sudah Kuanggap seperti adik-adikku sendiri. Tak terhitung berapa kali, jika di rumahnya nasi belumlah matang, Anak-anaknya datang menumpang makan. Pun sebaliknya, saat Ziya atau Zahdan kecil bermain disana, mereka kerap disuapi makanan pula. Selayaknya keluarga seharusnya, Kami saling menolong satu dan lainnya. Seyogyanya keluarga semestinya, Kami saling membela dari rongrongan yang menerpa. Maka sungguh sangat disayangkan, jika sekarang ini hubungan baik tersebut berubah menjadi renggang, membelah kekerabatan, dan menarik garis jarak yang terbentang panjang. Semua hanya gara-gara urusan utang yang melulu terabaikan.   
***
Angka 28 yang terpampang, sempurna sudah Kutandai bulatan. Setelah sebegitu banyak bulatan-bulatan yang Kutorehkan, berderet berdesakan di sebuah lembar kalender yang terpajang. Pekan ke sembilan? Entahlah, untuk menghitungnya ulang Aku terlalu enggan. Dan untuk terus menandai tanggal seperti inipun, Aku makin didera kemalasan. Bukan apa-apa, rasanya percuma saja setiap tanggal kutandai. Urusan itu tetap saja tak tertanggulangi. Alih-alih menjadi solusi, fikiran ini malah makin terbebani. Teringat tanggal terus-terusan, menanggung derita berkesinambungan.
Lagi-lagi, Aku bertanya dalam hati. Mengapa? Mengapa utang itu tak jua terlunaskan? Bukankah jiwa seseorang kan tertahan hingga utangnya terbayarkan? Dan bukankah Nabi saja tak mau menyolatkan jenazah yang perihal utangnya masihlah gamang? Lalu mengapa setelah sekian masa berjalan, utang itu belum juga diselesaikan? Tanyaku, dengan gelisah yang menyerang. Berpadu dengan gejolak lapar yang menyerbu perutku. Tidak, gajian masih beberapa hari ke depan, sebisa mungkin Aku harus bertahan. Mengupayakan anak-anak di rumah mendapat kenyang, agar tak ada dari mereka yang memelas jajan. Dompetku? Tak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Keberadaannya kini jarang sekali dipertanyakan. Mungkin saja Ia sudah mati, sakit hati lantaran tak pernah diisi. Atau barangkali sekedar koma, saat seekor laba-laba sudah bersarang didalamnya.
PRAANG!! Suara benda pecah membuatku terkejut. Sontak Aku melompat, bersegera menuju ke sumber suara. Dan tampaklah di dapur, pecahan kecil piring berantakan di lantai. Ziya Sang anak pertama, tengah berdiri di dekatnya, wajahnya menatap kearahku dengan takutnya. Kedua matanya berkaca, hanya butuh sedikit bentakan saja bisa dipastikan pecahlah tangisnya. Sepertinya Ziya hendak memasak mie goreng, makanan favoritnya. Selama ini Ziya memasaknya lancar-lancar saja. Ia sudah terbiasa melakukannya tanpa bantuan. Namun entah kenapa kali ini piringnya tersenggol dan pecah beradu lantai.
“Ziya, ga apa-apa kan? Kakinya ada yang sakit ngga?” tanyaku. Ziya hanya menggeleng, masih dengan wajah yang mengerut takut. Aku berkata lagi, “Kalo gitu Ziya naik ke atas kursi disana, Abi beresin dulu pecahan piringnya” ucapku. Ziya menurut, naik ke kursi dengan hati-hati.
Singkat cerita, pecahan di lantai sudah Kubersihkan. Mie goreng Ziya sudah Kubuatkan. Aku lalu memberikannya pada Ziya yang masih juga terdiam. “Ini, Ziya makan dulu. Sambil kakinya Abi lihat ya, khawatir tadi kena pecahan” kataku. Ziya hanya mengangguk. Aku berlutut, mengamati telapak kaki Ziya dari dekat.
“Mm.. Abi” panggil Ziya, pelan. Aku mengangkat wajah, “Iya, kenapa?” tanyaku. Ziya belum sedikitpun menyentuh mie goreng di hadapannya, Ia malah memperhatikanku. “Kenapa sih, tadi Abi ga marah? Tadi kan, Ziya udah mecahin piring..” katanya. Aku lalu tersenyum, “Ziya, itu kan hanya piring.. HANYA piring.. Benda yang ga punya hati. Bisa dicari lagi, bisa dibeli lagi. Tapi kalo Abi marahin Ziya, trus hati Ziya yang pecah, susah buat benerinnya lagi” jawabku. Ziya mengangguk-angguk, entah mengerti entah tidak. 
Aku melanjutkan, “Lagipula, Ziya pasti ga sengaja mecahin piringnya kan? Lebih mudah buat Abi mengikhlaskan saja. Ziya ga usah takut, itu HANYA..” ucapanku terhenti. Sebuah kata yang terakhir tiba-tiba berbalik menyerang fikiranku. Memberondong kongsi-kongsi angka di dalam benakku, bilangan-bilangan didalam otakku, serta tanda lingkaran-lingkaran di kalender itu, semuanya bergumul, berkecamuk menjadi satu.   
Ziya berkata, “Abi.. Ma kasih ya. Ini.. Mie gorengnya buat berdua aja. Abi juga lapar kan?” tawar Ziya. Aku masih tergugu dengan kata-kataku sendiri, menatap mata Ziya yang tak lagi berkaca, berganti binar yang bersinar dengan tulusnya. “Em.. Bu.. Buat Ziya aja dulu. Nanti kalo Ziya udah kenyang, Abi yang habiskan. Ma kasih Ziya udah nawarin” jawabku. Ziya tersenyum lalu mengangguk.
Aku berbalik, menuju kalender kembali. Kemudian sekuat tenaga merobek semua tanggal yang sudah ditandai, menghilangkannya dari pandangan, melenyapkannya dari ingatan. Lirih Aku berkata, “Itu hanya uang.. HANYALAH uang. Berapapun jumlahnya, meski berpuluh atau beratus-ratus sekalipun, itu tak lebih dari benda mati belaka. Tak bisa menjadi jaminan berikan kebahagiaan. Jadi, lebih mudah bagiku untuk melepaskannya saja. Lebih enteng bagiku mengikhlaskannya saja. Ya Allah, kenapa Aku bisa lupa hal yang sedari dulu selalu Kuyakini? Aku terlalu dibuai dengan hitung-hitungan dunia. Padahal hitungan Allah lah yang lebih baik dari segalanya. Tak apa.. Jikapun tak dilunaskan, Insya Allah Aku sedekahkan. Biar menjadi amal kebaikanku di hari penghisaban. Bismillaah.. Aku sedekahkan semuanya Yaa Allah!! Aku Ikhlaskan semuanya Yaa Robb!!” lirihku, mantap. Tanganku meremas sobekan kalender, melemparkannya ke tempat sampah, kemudian tersenyum tenang. Jauh lebih tenang ketimbang perasaanku selama berpekan-pekan.
“Abii… Ini Ziya sisain buat Abi!” teriak Ziya. Aku langsung menyahut, “Oya? Asyiik, pasti lezat sekali. Ma kasih Ziya ya!” balasku, begitu semangat. Ziya mengangguk sembari tersenyum. Namun, mendadak terdengar suara “Jadan mauuu!!!” teriak seorang anak berponi, tiba-tiba muncul begitu saja dibelakangku, Ia baru bangun dari tidur siangnya. Aku sontak melompat, membawa kabur piring berisi mie goreng tersebut, pura-pura hendak bersembunyi. Zahdan mengejarku sambil merajuk dan tertawa. “Abiii…!! Jadan Mauu..!!” teriaknya. Ziya menepuk jidatnya, “Zahdaaan, itu mah punya Abi. Buat Zahdan biar Kakak bikinin aja!” kata Ziya, begitu bijaknya. Namun Zahdan tak peduli, Ia memilih mengejar-ngejarku hingga tertangkap. Lalu terburu-buru menghabiskan sisa mie yang ada. Ziya menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Aku tertawa melihatnya. Senang rasanya tak lagi dihantui angka-angka. Lebih senang lagi bisa merasakan kembali kebahagiaan di sekitar. Hilang sudah beban yang mengungkung hati, musnah sudah penat yang mendera fikiran. Ternyata yang perlu Kulakukan hanyalah, BERDAMAI DENGAN MASALAH, itu saja.


[1] rantang/ran·tang/ n panci bersusun dan bertutup untuk tempat makanan dengan dilengkapi tangkai, yang berfungsi sebagai pengait dan pegangan

No comments:

Post a Comment