01/01/2018

Riba



Akhir Januari, empat tahun ke belakang. Musim penghujan masih betah bertandang, meski waktu perginya sudah lewat hampir sebulan. Entahlah, sebenarnya ada masalah apa dengan musim di negara ini. Yang kian kemari, kian tak bisa diprediksi para ahli. Dalam berita kemarin katanya akan hujan, tahunya cuaca terang benderang. Semalam diramal terang dan cerah, tahunya gelap dan berawan. Serupa dengan sekarang, mentari pun seperti malas sekali menunjukkan diri. Ia lebih memilih bersembunyi, dibalik awan pekat yang bergulung-gulung memenuhi langit siang hari. Membuat remang permukaan bumi, dan lebih remang lagi wajah manusia yang melulu sibuk setiap hari. Ada banyak urusan yang lebih mudah diselesaikan, tanpa dirongrongi sepasukan besar bernama hujan.
Selayaknya manusia-manusia yang lain, Aku pun memandang ke atas dengan perasaan cemas. Khawatir hujan kan turun sedemikian deras. Mengguyur atap sekolah hingga tampias ke teras-teras. Tempat dimana para orang tua berkumpul menunggui anaknya yang tengah belajar di dalam kelas. Bukan, sebenarnya bukan itu yang paling kukhawatirkan. Bagiku diguyur hujan di seluruh pakaian, atau hingga kuyup di sekujur badan, itu sudah biasa kudapatkan. Dulu, Aku bahkan seringkali memacu sepeda motor di jalanan, sengaja mengebut dan menerobos membelah hujan. Tak peduli sampai rumah badan menggigil kedinginan, atau bersin dan mengusap ingus berulang-ulang. Hal tersebut kerap kuanggap sebagai kesenangan.
Namun kini setelah diberi permata berupa anak pertama, anak yang doyan sekali ‘nempel’ dan mengekori Aku kemana-mana, Aku tak lagi suka memaksakan diri menerobos hujan. Betapa tidak, Ziya kecil sering jatuh sakit setiap kali kedinginan. Sedikit batuk saja kerap membuat nafasnya tersengal dan sesak. Sedikit pilek saja sering membuatnya harus ke klinik untuk terapi uap. Asma yang dideritanya itu sungguh membuatku harus begitu hati-hati menjaganya. Jaket tebal, topi gunung, berikut sepasang sarung tangan kecil, menjadi perlengkapan wajib tatkala Ia kubawa berkendara roda dua. Apa mau dikata, motor adalah kendaraan satu-satunya yang kumiliki untuk mengantar jemput Ziya ataupun Umminya.
“Ziya, kayaknya bakal hujan sebentar lagi, Abi kebut sedikit ya?” kataku, pada Ziya yang kubonceng di depan. Ziya diam tak menjawab, kepalanya yang tertutup helm Hello Kitty itu tertelungkup ke atas dashboard motor. Aku menghela nafas pelan, “duh.. Ia pasti ketiduran lagi” bisikku, tak tenang. Meski sabuk bonceng sudah mengikatnya, Aku tak berleha begitu saja. Seperti biasa, dengan tangan kanan yang masih mengendalikan laju motor, tangan kiri kugunakan untuk menyanggah bahu dan kepala Ziya. Kurengkuh badannya, kuangkat perlahan, sebisa mungkin agar Ziya tetap merasa nyaman. Karena jika kepalanya tak kusanggah, khawatir Ia tiba-tiba akan kesakitan karena terantuk, atau sekedar terbangun dari tidurnya. Aku tahu, perjalanan pulang ke rumah memang terbilang jauh, seringkali membuat sendi tangan kiriku terasa sakit tanpa mengaduh. Apalagi jika rasa gatal sudah mendera wajahku, Aku sungguh kebingungan bagaimana cara menggaruknya. Tangan kanan memegangi kemudi, dan tangan kiri memegangi Ziya, keduanya harus tetap berada pada tempatnya, tak bisa dilepas meski sebentar saja. Alhasil Aku hanya bisa mengernyit tak karuan, sebisa mungkin menahan gatal yang tak kentara. He.. Tapi tak apa, yang penting Ziya sedikitnya merasa nyaman dalam tidurnya. Badan kecilnya pasti merasa kelelahan setelah bersekolah di rentang pagi-siang. Dan sungguh akan bertambah repot jika hujan benar-benar turun menyiram jalanan. Jas hujan yang kuhulurkan menutupi seluruh badan, tentu akan membuatnya penat dan sesak di pernafasan. Jika sudah demikian, dalam kepalaku kerap terbersit sebuah pemikiran. “Mungkin sudah saatnya Aku berganti kendaraan”.
***
Minggu pertama April, di awal sepertiga malam terakhir. Aku masih terlelap di atas kursi, ketika tiba-tiba saja dibangunkan oleh Sang Istri. “Abi, kayaknya Ummi mau lahiran sekarang, udah mules banget nih..” ucapnya, sembari meringis dan memegangi perut besarnya. Demi mendengar kata-kata tersebut, Aku sontak melompat. “HAA? Be.. beneran Ummi?” ucapku, tak percaya. Istriku menjawab dengan anggukan. Aku langsung berkata lagi, “ta.. tapi ini masih malam Ummi. Apa Kita telfon sodara dulu, minta diantar ke Klinik Bersalin pake mobil?” tanyaku, bercampur panik. Istriku membalas, “tak enak Abi, membangunkan mereka di jam segini, Kita pakai motor saja” jawabnya, raut wajahnya masih meringis. Aku menatapnya ragu, “apa Umi bakal bisa?” tanyaku. Yang ditanya kembali mengangguk, “insya Allah bisa..” jawabnya. Sebuah jawaban yang membuatku luluh dan menaruh percaya.
Setelah menitipkan Ziya pada asisten rumah tangga, tak lama kami pun menembus dinginnya malam dengan kendaraan roda dua. Berdua membelah jalanan yang masih sepi, teramat sepi malah. Tak banyak orang yang berkegiatan di waktu sedini ini. Sebuah tas berisi perlengkapan lahiran terselip di bawah stang. Isinya kain panjang, sarung, beberapa helai pernel, baju bayi, serta dua gamis untuk baju ganti. Tas tersebut memang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan. Yang kami tak cukup siap adalah, ternyata waktunya dua minggu lebih awal dari prediksi. Dan ternyata pula, waktu lahirannya justru di malam hari. Tampaknya anak kedua kami ini memang memiliki cerita tersendiri.
Aku tak lupa menyelipkan pula inhaler, alat yang harus selalu dibawa penderita asma. Istriku memang memiliki alergi sedari kecil, asmanya kerap kambuh setiap kali kecapaian, pilek dan batuk, ataupun kedinginan. Itulah sebabnya Aku sempat merasa ragu memboncengnya malam-malam begini, dengan kendaraan roda dua pula. Khawatir menambah resiko bahaya dalam proses melahirkannya. 
Aku memacu motor pelan, terutama ketika harus melewati deretan polisi tidur dan jalanan yang berlubang. Tak ingin rasanya perempuan hamil yang kubonceng di belakang ini semakin merasa tak nyaman. Ia sudah cukup kesulitan dengan perut besarnya, bertambah sulit dengan rasa sakit yang menderanya. Kini harus mati-matian berpegangan agar tak jatuh, padahal mati-matian sesungguhnya adalah nanti di klinik persalinan. Sungguh kasihan sekali melihatnya. “Ya Allah, kuatkan kami Ya Robb.. kuatkan kami..” bisikku berulang-ulang, dengan lirihnya. Dalam kepala terbersit sebuah pemikiran singkat. “Untuk keadaan darurat, kami memang perlu kendaraan roda empat”.
***
Terdorong dari banyak kejadian, ditambah dengan telah lahirnya Zahdan, anggota baru keluarga kami, maka Aku memaksakan diri mencari kendaraan yang dijual. Tak perlu mewah, sederhana pun tak apa. Yang penting bisa membawa seluruh anggota keluarga, melindunginya dari hujan dan kedinginan. Tak perlu baru, bekas pun biarkan saja. Yang penting kondisi mesin masih bisa digunakan, tak mogok ketika melaju di jalanan.
Singkat cerita, Alhamdulillah Aku berhasil mendapatkan mobil yang sesuai kriteria. Barangnya ada di luar kota, segera saja kuperiksa kesana. Sebuah kendaraan roda empat kecil yang sederhana, teramat sederhana. Kapasitas didalamnya hanya muat empat orang saja, lima jika dipaksa. Jariku pun berhitung, Aku, Istriku, Maziya, dan Zahdan, total ada empat. Rasanya memang pas sekali dengan daya tampung yang mobil itu mampu. Jikapun Ziya memiliki adik baru, Ia masih bisa muat bersama kedua kakaknya di jok belakang itu. Mobil kecil tersebut berwarna hitam, di beberapa bagian sudah terlihat goresan memanjang. Cacat penggunaan, itu yang pemiliknya katakan. Aku hanya mengangguk tak berkeberatan.
Pemiliknya memang tangan pertama, tak pernah gatal memodifikasi mesin dan tampilannya. Tak heran jika mobil itu masih terlihat lugu, semua part-part didalamnya masih orisinil bak tak pernah baru. Sang pemilik bermata sipit, tersenyum sembari menyebut harga. Dengan senyum yang sama, Aku menawar sedikit dibawah harga yang diminta. Kesepakatanpun terjadi tanpa banyak waktu terhabisi. Perlahan, Kuserahkan semua uang tabungan sebagai uang muka, bertukar lembaran kwitansi tanpa materai yang begitu jelas ditandatanganinya. Masih dengan tersenyum, pria bermata sipit di hadapanku bertanya kapan maksimal pembayaran sisanya. Aku sesaat terdiam, dalam hal ini Aku tak boleh memberi jawaban gamang, lantaran dalam sebuah akad jual beli haruslah disertai kepastian. Jadilah lidahku menarikan irama setengah lantang, “tiga bulan” ujarku.
Lugu, mungkin itu kata yang pantas disematkan padaku. Betapa tidak, dari sana Aku pulang hanya dengan membawa selembar kwitansi tanpa materai. Tak ada jaminan kuat sang pemilik akan kabur membawa tabunganku, tanpa memberi kuasa sedikitpun atas mobil yang masih ditangannya. Akad ini hanya bermodalkan rasa percaya, keyakinan bahwa tak satupun dari kami yang akan berkhianat atas janji yang disepakati. Aku menaruh pemikiran positif padanya.
Ceroboh, mungkin itu kata berikutnya untuk menjulukiku. Waktu tiga bulan yang kujanjikan, bukan waktu yang lama berselang. Ia hanya 3 kali waktu gajian, dan hanya 12 kali waktu jum’atan.
Memang, Aku berencana mengajukan pinjaman ke Bank Syariah untuk melunasi sisa pembayaran kendaraan tersebut. Serupa dengan pemikiran yang kutaruh pada pemilik kendaraan, Akupun beranggapan hal yang sama pada Bank Syariah. Berfikiran positif bahwa salah satu dari Bank-bank syariah itu akan dengan mudah meloloskan pengajuanku. Tak sadar jika mereka sudah tentu memiliki kebijakan sendiri-sendiri, tak tahu jika mereka ternyata memiliki peraturan sendiri-sendiri.
***
Sebut saja Bank Syariah A, Aku mendatanginya dengan membawa berkas-berkas lengkap yang dibutuhkan. Seorang Customer Service menyapa dengan ramahnya, memaparkan tabel angsuran dengan jelasnya, menganalisa berkas yang kubawa dengan telitinya. Meski margin yang diambil Bank tersebut ternyata sedikit lebih tinggi dibanding pasaran, namun Aku tetap bersikukuh. “Tak apa sedikit lebih mahal, yang penting syariah” fikirku. Sayang seribu sayang, saat dikatakan bahwa kendaraan yang hendak kubeli adalah kendaraan di luar kota, Customer Service tersebut terpaksa menggeleng dengan sederet kata. Bank tersebut tak bisa membiayai pembelian kendaraan dengan plat luar kota. Ia menyarankan untuk menghubungi Bank Syariah A cabang kota tersebut saja. Pengajuanku 100% bisa diproses disana, asalkan Aku memiliki KTP sana juga. Lah, Aku kan sudah domisili di kota ini. Masa harus pindahan dulu?
Besoknya, Aku mengunjungi Leasing Syariah. Dulu sewaktu membeli motor pertama, Aku pernah dibantu oleh mereka. Barangkali saja kali inipun sama, mereka bisa membantuku menuntaskan akad pembelian mobil sederhana yang kuincar. Sekali lagi sayang, pada tempo hari menyicil motor, Aku pernah kecelakaan tabrakan, terbaring di Rumah Sakit beberapa minggu, hingga pembayaran angsuran sementara tak bisa kulakukan. Lah wong orang lagi dirawat, motornya juga rusak, tak bisa dipakai, masa masih harus bayar. Sedihnya, ternyata kerusakan motorku itu tak sampai 75%, jadi tetap tak bisa dilanjutkan untuk klaim asuransi. Lantaran tak bayar angsuran, Akupun harus rela motorku ditarik paksa oleh Leasing tersebut. Seakan masih kurang menderita, namaku di Black List pula, tak mengizinkanku mengajukan lagi pinjaman di masa depan. Meski rasanya masih dongkol, Aku tetap keluar ruangan dengan sukarela, tak menunggu mereka mendepakku keluar dari kantornya.
Tak patah arang, Aku pindah ke Leasing sebelahnya. Leasing yang lebih besar dan punya nama. Kali ini di bawah plang nama bagian depan gedungnya, ada tambahan tulisan “Syariah”. “Mungkin, mereka memang sudah buka cabang yang non Riba” sangkaku. Aku kemudian masuk dan bertanya pada petugasnya. Tak disangka, seorang petugas malah dengan lugasnya berkata, “ah.. sebetulnya syariah atau tidak itu sama saja Pak, prosedur maupun rumusnya ya itu-itu juga. Kita pasang embel-embel Syariah, karena ada aturan dari pemerintah, yang Syariah bisa DP 10%, sementara non Syariah harus 20%. Konsumen kan pasti carinya yang lebih murah Pak, makanya kita adain juga yang syariahnya” paparnya. Aku terhenyak, tak menyangka jika perusahaan ini bisa membungkus transaksi Ribawi dengan embel Syariah. Apalagi digunakan hanya untuk mensiasati peraturan pemerintah belaka.
“Bagaimana? Kapan bisa Saya proses Pak?” Tanya petugas tersebut, sembari tersenyum. Aku ikut tersenyum, lalu menggeleng dan menjauh pergi.
Minggu depannya, Aku merambah Bank Syariah B. Marginnya sedikit lebih tinggi dari Bank Syariah A. Aku kembali menegaskan dalam hati, “biarkan, yang penting Syariah” bisikku. Bank tersebut menerima pengajuanku, menerima seluruh berkasku, kemudian berjanji untuk segera memprosesnya. Akupun menghela nafas lega, berharap janji mereka itu tak sekedar kata belaka.
Dua minggu berselang, proses masih jua berjalan. Sebulan terlewati, proses masih belum terberesi. Hingga dua bulan memudar, proses tersebut tak juga kelar. Saat berkali-kali kutanyakan, jawaban mereka bak tak ada perbedaan. “Sedang cek berkas dulu Pak”, “sedang cek barang dulu Pak”, atau “cek asuransi dulu Pak”. Cek ini, cek itu, entah ada berapa ratus kilometer barisan cek yang tengah mengantri di Bank itu sebenarnya. Sementara batas waktu tiga bulan pada penjual semakin mendesak, membuat helaan nafas yang semula lega seketika berubah berat.
Kau tahu kawan? Saat manusia tengah dilanda kemacetan, seringkali Ia dibayangi dengan jalan bebas hambatan. Ketika manusia menghadapi sesuatu yang berat, kerapkali Ia dibayangi tombol-tombol shortcut. Opsi berbeda yang bisa menghantarkannya ke tujuan yang sama. Pun denganku, merasa semakin didesak oleh waktu, Aku mencoba bertanya pada Bank C. Bank non syariah yang cabangnya sudah tersebar dibanyak wilayah.
Setelah Kupaparkan keperluanku, petugas Bank C tersebut hanya tersenyum sembari menyodorkan secarik kertas berisi tabel angsuran pembiayaan kendaraan. Aku terbelalak melihatnya, “GILA.. Cicilannya jauh lebih rendah dibandingkan Bank-bank Syariah!” batinku, menyapu setiap angka yang tertera dengan pandangan tak percaya. Masih dengan tersenyum, petugas di hadapanku menyodorkan secarik kertas yang lain. Kali ini berisi tabel isian pengajuan pinjaman. Aku tergagap, “ta.. tapi, Aku belum membawa berkasnya Pak” ucapku. Petugas tersebut malah menggeleng santun, “tak apa-apa Pak, foto copy KTP saja sudah cukup” jawabnya, masih dengan tersenyum.
Aku kembali menatap tak percaya, “GILA.. pengajuan pinjaman hanya perlu foto copy KTP saja?” fikirku. Sebuah fikiran yang sempurna membuatku linglung. Antara menginjak bumi dan tidak, antara sadar dan tidak tengah berada dimana. Sang petugas ramah menatapku, “Ada yang mau ditanyakan Pak?” katanya. Aku tergagap, kemudian berkata padanya. “Em.. Be..berapa lama prosesnya Pak?” tanyaku. Petugas tersebut melirik kalender duduk disampingnya sebentar, lalu menoleh kembali kearahku. Dan dengan senyum yang sama, dengan santun yang sama, sekaligus dengan ramah yang sama, Ia menjawab singkat. “Paling lama seminggu langsung cair Pak” jawabnya. Sebuah jawaban yang kembali membuatku terhenyak.
“GILAA..!! Proses di Bank Syariah saja sudah dua bulan tak kelar, ini bisa cair dalam waktu hanya seminggu?” batinku, tak percaya. Kenapa proses di Bank Syariah terasa lama dan susah, sedang Bank non Syariah ini terlihat begitu mudah. Jika demikian adanya, pantas saja banyak orang lebih memilih non Syariah.
Serona tak memberiku kesempatan berfikir panjang, Sang Petugas menyodoriku sebuah bolpoin. “Bapak tinggal isi saja formulirnya, selebihnya biar Saya yang atur” ucapnya. Tanganku bergetar menerima bolpoin tersebut, lebih bergetar lagi saat hendak menggoreskannya di atas kertas isian. Mataku kembali menyapu apa yang tertera, sepertinya hanya form isian standar, tak berbeda dengan form-form pengajuan pada umumnya. Aku beralih melihati tabel angsuran, deretan angka dengan nominal yang semakin ke bawah, semakin besar jumlahnya. Di pojok kanan bagian atas, ada sebuah kata yang sempurna menohok mataku. “Bunga: ….%”
DEG! Demi melihat kata tersebut, pipiku serasa ditampari, perutku serasa ditonjoki, dan tengkukku serasa dipukuli. Kata tersebut membuat kakiku kembali menginjak bumi, membuat kesadaran melesat menghampiriku lagi.
“Seberapapun mudahnya, sebagaimanapun cepatnya, tapi akad di Bank ini tetap saja termasuk Riba, haram kata agama” bisikku.    
“Tapi, waktuku semakin menipis. Janji pada penjual tempo hari itu harus segera ditunaikan bukan?” bisikku yang lain.
“Iya, tapi ini dosa, besar pula…” fikirku.
“Ah, bukankah Aku sudah berusaha melalui akad yang Syariah. Salah siapa prosesnya tak selesai-selesai. Wajar jika Aku dan nasabah yang lain berlarian ke non Syariah” fikirku yang lain.
“Tapi..” batinku, meragu.
“Tak ada tapi-tapi. Ingat, anak-anak membutuhkan mobil itu. Kau tak akan rela asma mereka kambuh lagi lantaran terus-terusan kehujanan bukan?” batinku yang lain, meyakinkan.
“I..iya. Aku memang tak rela” ucapku.
Petugas di hadapanku mengangkat alisnya, “Maaf? Bagaimana maksudnya Pak?” tanyanya. Aku tertunduk, menatap bolpoin di tanganku yang tergenggam erat.
***
Akhir bulan Agustus, hujan datang tak putus-putus. Usai rintik yang satu, datang pula rintik yang lain. Selesai deras yang satu, menyusul pula deras yang lain. Mungkin permukaan bumi memang tak cukup basah, diberondong melulu oleh hujan yang mengguyur sepanjang waktu. Padahal, di beberapa wilayah, banjir sudah ramai menggenangi tanah. Menggubah manusia-manusia yang berkeluh kesah, pun munculkan insan-insan penggerutu. Mereka tak mau terima dengan cuaca yang ada, juga tak suka dengan hujan yang menghambatnya.
Ziya kecil sudah berseragam lengkap di rumah. Jaket tebal dan sepatu ungu, tas lucu berikut kerudung biru, tetap Ia kenakan meski bel masuk sekolah sebenarnya sudah satu jam berlalu. Ziya terduduk dibelakang jendela kaca, menatap hujan diluar tanpa ada sepatah kata. Tisyu putih di dalam genggamannya sudah lusuh lantaran ingusnya tak mau berhenti. Tak lain dan tak bukan karena pilek yang menyerangnya sejak semalam. Membuat nafasnya terasa sesak, dan harus dibawa ke klinik untuk terapi uap. Semua gara-gara saat pulang sekolah kemarin kehujanan. Padahal Aku sudah melindunginya dengan jaket yang kukenakan. Meski demikian, hari ini Ia memaksa tetap ingin berangkat sekolah juga. Memintaku berjanji akan mengantarnya, segera setelah hujan sedikit mereda. Beruntung hujan tak mau reda.
Tiga minggu setelah dari Bank C, Aku menelfon sang Penjual. Berkata sejujur-jujurnya bahwa Aku telah berusaha mengajukan kredit ke Bank. Namun prosesnya begitu lama hingga berbulan-bulan. Terkait dengan janji tiga bulan yang tempo hari kujanjikan, Aku fikir sudah tak mungkin lagi terealisasikan. Jadi, keputusan kukembalikan pada Penjual tersebut. Jika ingin menjualnya pada orang yang lain ya silahkan. Adapun uang muka yang sudah kuberikan, tak apa meski Ia lakukan pemotongan. Walau berat, semua sudah kurelakan. Itulah yang kupaparkan.
Penjual tersebut tak langsung merespon, entah.. tampaknya Ia merasakan kecewa yang sama seperti yang kurasakan. Sebenarnya, bisa saja saat itu Aku mengambil tawaran dari Bank C. Berakad non Syariah dengannya, lalu menunaikan janji pada Sang Penjual di luar kota. Akan tetapi dalam Islam akad teramat pentingnya. Serupa dengan makan, ada yang dimulai dengan Bismillah dan ada yang tidak. Makanannya sama, tapi berkahnya berbeda. Yang disertai Bismillah diridhoi oleh Allah, sedang yang tidak justru dikerumuni oleh Syaithan. Akad Syariah menghantarkan ke Jannah, sedang Akad Riba didekap neraka. Siang malam Aku mengadu, pada Allah Tuhan Yang Satu. Berharap yang terbaik menurutNya, yang mengundang barokahNya, semoga Allah memudahkannya. Namun jika tak baik menurutNya, maka semoga Allah menjauhkannya, benar-benar menjauhkannya.. jauh sejauh-jauhnya.
***
Hujan, sudah reda beberapa jam ke belakang. Menyisakan genangan yang terlihat mengkilap di atas jalanan. Mungkin saja air di langit memang sudah habis semua ditumpahkan, membuat para awan melayang ringan tiada berbeban. Bernyanyi-nyanyi ditemani mentari siang yang ikhlas memberi kehangatan.
Serupa denganku, hitung-hitungan tiga bulan sudah habis semua dilewatkan. Membuat harapanku melayang tanpa sempat berpamitan. Tinggal menunggu Sang Penjual yang memberi keputusan, berapa uang muka yang akan Ia kembalikan. Tak apa, sungguh tak apa-apa. Aku sudah ikhlas menerima apapun kejadiannya. Mungkin memang belum waktunya bagiku memiliki rezeki itu. Lihat, orang lain bahkan tak punya kendaraan roda dua, yang lain bahkan kakipun tak punya, sudah sepantasnya Aku bersyukur dengan apa yang ada.
“Ziya, hari ini mau main kemana dulu? Mumpung ga hujan” tanyaku. Yang ditanya malah tersenyum, untuk kemudian membisikan sesuatu ke telingaku. “Toko Buku..” katanya, pelan. Aku mengangguk mantap, itu memang tempat yang tepat untuk melupakan si roda empat. Menenggelamkan diri diantara buku-buku, memetik hikmah demi hikmah satu persatu. Demi melihat persetujuanku, Ziya tertawa girang, lebih girang dari saat pileknya jauh berkurang.
Di jalan, Aku melewati lokasi Bank C. Bangunan sekian lantai yang berdiri dengan megahnya. Aku menghela nafas, sesaat terlintas pemikiran sesat. Andai saja tawaran Bank itu kuterima, mungkin kini Aku sudah menjemput Ziya dengan mobil sederhana. Andai saja.. Hmft.. Cepat-cepat kutepis pemikiran demikian, menimbunnya sedemikian dalam dengan kalimah Istighfar berulang-ulang. Itu Riba.. itu non Syariah.. Allah telah jelas-jelas mengharamkannya, dan Rasul telah jelas-jelas melaknatnya. Astaghfirullaah..
Melewati perempatan, mataku beradu dengan sebuah ruko baru. Banyak papan bunga dipajang didepannya. Penasaran, Aku sedikit mendekat, memperhatikan papan nama di depan gedungnya lekat-lekat. “Ba..bank Sya..ri..ah.. D” ejaku. Tiga kata yang membuatku terbelalak seketika, tiga kata yang sontak membuatku girang tak terkira. Berkali girang dibanding saat Ziya tahu hendak dibawa main ke toko buku. Ini salah satu bank yang terbilang besar di kota-kota lain, Alhamdulillah buka cabang juga di kota ini sekarang. Masih ada kesempatan, masih ada kesempatan, fikirku. “Ziya sebentar ya, Abi ada urusan dulu!” ucapku, sambil membelokkan motor ke pelataran Bank Syariah itu.        
Tak lama, Aku bersegera menarik berkas dari Bank Syariah B, lalu memasukannya ke Bank Syariah D secepatnya. Alhamdulillah, responnya lebih cepat berkali lipat. Membuatku merasa bahwa mungkin ini adalah jawaban Allah atas harapan dan do’a-do’aku. Allah hendak mengujiku dengan transaksi ribawi. Dan jika lulus, Allah akan menggantinya dengan yang Ia Ridhoi. Tenang hati ini.. Damai perasaan ini.. Tak terbayang jika saat itu Aku termakan bujukan petugas Bank C, terlibat akad Riba dengan mudahnya. Tak mungkin rasanya hati akan bisa setenang ini. Setiap hari menelan dosa besar yang dilaknati. Duh.. Syukur Alhamdulillah Allah masih melindungiku.

No comments:

Post a Comment