Akhir
Januari, empat tahun ke belakang. Musim penghujan masih betah bertandang, meski
waktu perginya sudah lewat hampir sebulan. Entahlah, sebenarnya ada masalah apa
dengan musim di negara ini. Yang kian kemari, kian tak bisa diprediksi para
ahli. Dalam berita kemarin katanya akan hujan, tahunya cuaca terang benderang. Semalam
diramal terang dan cerah, tahunya gelap dan berawan. Serupa dengan sekarang, mentari
pun seperti malas sekali menunjukkan diri. Ia lebih memilih bersembunyi,
dibalik awan pekat yang bergulung-gulung memenuhi langit siang hari. Membuat
remang permukaan bumi, dan lebih remang lagi wajah manusia yang melulu sibuk
setiap hari. Ada banyak urusan yang lebih mudah diselesaikan, tanpa dirongrongi
sepasukan besar bernama hujan.
Selayaknya
manusia-manusia yang lain, Aku pun memandang ke atas dengan perasaan cemas.
Khawatir hujan kan turun sedemikian deras. Mengguyur atap sekolah hingga
tampias ke teras-teras. Tempat dimana para orang tua berkumpul menunggui
anaknya yang tengah belajar di dalam kelas. Bukan, sebenarnya bukan itu yang
paling kukhawatirkan. Bagiku diguyur hujan di seluruh pakaian, atau hingga
kuyup di sekujur badan, itu sudah biasa kudapatkan. Dulu, Aku bahkan seringkali
memacu sepeda motor di jalanan, sengaja mengebut dan menerobos membelah hujan.
Tak peduli sampai rumah badan menggigil kedinginan, atau bersin dan mengusap
ingus berulang-ulang. Hal tersebut kerap kuanggap sebagai kesenangan.
Namun
kini setelah diberi permata berupa anak pertama, anak yang doyan sekali
‘nempel’ dan mengekori Aku kemana-mana, Aku tak lagi suka memaksakan diri menerobos
hujan. Betapa tidak, Ziya kecil sering jatuh sakit setiap kali kedinginan.
Sedikit batuk saja kerap membuat nafasnya tersengal dan sesak. Sedikit pilek
saja sering membuatnya harus ke klinik untuk terapi uap. Asma yang dideritanya
itu sungguh membuatku harus begitu hati-hati menjaganya. Jaket tebal, topi
gunung, berikut sepasang sarung tangan kecil, menjadi perlengkapan wajib
tatkala Ia kubawa berkendara roda dua. Apa mau dikata, motor adalah kendaraan
satu-satunya yang kumiliki untuk mengantar jemput Ziya ataupun Umminya.
“Ziya,
kayaknya bakal hujan sebentar lagi, Abi kebut sedikit ya?” kataku, pada Ziya
yang kubonceng di depan. Ziya diam tak menjawab, kepalanya yang tertutup helm Hello Kitty itu tertelungkup ke atas dashboard motor. Aku menghela nafas
pelan, “duh.. Ia pasti ketiduran lagi” bisikku, tak tenang. Meski sabuk bonceng
sudah mengikatnya, Aku tak berleha begitu saja. Seperti biasa, dengan tangan
kanan yang masih mengendalikan laju motor, tangan kiri kugunakan untuk
menyanggah bahu dan kepala Ziya. Kurengkuh badannya, kuangkat perlahan, sebisa
mungkin agar Ziya tetap merasa nyaman. Karena jika kepalanya tak kusanggah, khawatir
Ia tiba-tiba akan kesakitan karena terantuk, atau sekedar terbangun dari
tidurnya. Aku tahu, perjalanan pulang ke rumah memang terbilang jauh, seringkali
membuat sendi tangan kiriku terasa sakit tanpa mengaduh. Apalagi jika rasa
gatal sudah mendera wajahku, Aku sungguh kebingungan bagaimana cara
menggaruknya. Tangan kanan memegangi kemudi, dan tangan kiri memegangi Ziya, keduanya
harus tetap berada pada tempatnya, tak bisa dilepas meski sebentar saja. Alhasil
Aku hanya bisa mengernyit tak karuan, sebisa mungkin menahan gatal yang tak
kentara. He.. Tapi tak apa, yang penting Ziya sedikitnya merasa nyaman dalam
tidurnya. Badan kecilnya pasti merasa kelelahan setelah bersekolah di rentang
pagi-siang. Dan sungguh akan bertambah repot jika hujan benar-benar turun
menyiram jalanan. Jas hujan yang kuhulurkan menutupi seluruh badan, tentu akan
membuatnya penat dan sesak di pernafasan. Jika sudah demikian, dalam kepalaku kerap terbersit sebuah pemikiran. “Mungkin
sudah saatnya Aku berganti kendaraan”.
***
Minggu pertama April, di awal sepertiga malam
terakhir. Aku masih terlelap di atas kursi, ketika tiba-tiba saja dibangunkan
oleh Sang Istri. “Abi, kayaknya Ummi mau lahiran sekarang, udah mules banget
nih..” ucapnya, sembari meringis dan memegangi perut besarnya. Demi mendengar
kata-kata tersebut, Aku sontak melompat. “HAA? Be.. beneran Ummi?” ucapku, tak
percaya. Istriku menjawab dengan anggukan. Aku langsung berkata lagi, “ta.. tapi
ini masih malam Ummi. Apa Kita telfon sodara dulu, minta diantar ke Klinik
Bersalin pake mobil?” tanyaku, bercampur panik. Istriku membalas, “tak enak
Abi, membangunkan mereka di jam segini, Kita pakai motor saja” jawabnya, raut
wajahnya masih meringis. Aku menatapnya ragu, “apa Umi bakal bisa?” tanyaku.
Yang ditanya kembali mengangguk, “insya Allah bisa..” jawabnya. Sebuah jawaban
yang membuatku luluh dan menaruh percaya.
Setelah menitipkan Ziya pada asisten rumah tangga, tak
lama kami pun menembus dinginnya malam dengan kendaraan roda dua. Berdua
membelah jalanan yang masih sepi, teramat sepi malah. Tak banyak orang yang
berkegiatan di waktu sedini ini. Sebuah tas berisi perlengkapan lahiran
terselip di bawah stang. Isinya kain panjang, sarung, beberapa helai pernel,
baju bayi, serta dua gamis untuk baju ganti. Tas tersebut memang sudah jauh-jauh
hari dipersiapkan. Yang kami tak cukup siap adalah, ternyata waktunya dua
minggu lebih awal dari prediksi. Dan ternyata pula, waktu lahirannya justru di
malam hari. Tampaknya anak kedua kami ini memang memiliki cerita tersendiri.
Aku tak lupa menyelipkan pula inhaler, alat yang harus selalu dibawa penderita asma. Istriku
memang memiliki alergi sedari kecil, asmanya kerap kambuh setiap kali
kecapaian, pilek dan batuk, ataupun kedinginan. Itulah sebabnya Aku sempat
merasa ragu memboncengnya malam-malam begini, dengan kendaraan roda dua pula.
Khawatir menambah resiko bahaya dalam proses melahirkannya.
Aku memacu motor pelan, terutama ketika harus melewati
deretan polisi tidur dan jalanan yang berlubang. Tak ingin rasanya perempuan hamil
yang kubonceng di belakang ini semakin merasa tak nyaman. Ia sudah cukup
kesulitan dengan perut besarnya, bertambah sulit dengan rasa sakit yang
menderanya. Kini harus mati-matian berpegangan agar tak jatuh, padahal
mati-matian sesungguhnya adalah nanti di klinik persalinan. Sungguh kasihan
sekali melihatnya. “Ya Allah, kuatkan kami Ya Robb.. kuatkan kami..” bisikku
berulang-ulang, dengan lirihnya. Dalam kepala terbersit sebuah pemikiran
singkat. “Untuk keadaan darurat, kami memang perlu kendaraan roda empat”.
***
Terdorong
dari banyak kejadian, ditambah dengan telah lahirnya Zahdan, anggota baru keluarga
kami, maka Aku memaksakan diri mencari kendaraan yang dijual. Tak perlu mewah,
sederhana pun tak apa. Yang penting bisa membawa seluruh anggota keluarga,
melindunginya dari hujan dan kedinginan. Tak perlu baru, bekas pun biarkan
saja. Yang penting kondisi mesin masih bisa digunakan, tak mogok ketika melaju
di jalanan.
Singkat
cerita, Alhamdulillah Aku berhasil mendapatkan mobil yang sesuai kriteria.
Barangnya ada di luar kota, segera saja kuperiksa kesana. Sebuah kendaraan roda
empat kecil yang sederhana, teramat sederhana. Kapasitas didalamnya hanya muat
empat orang saja, lima jika dipaksa. Jariku pun berhitung, Aku, Istriku,
Maziya, dan Zahdan, total ada empat. Rasanya memang pas sekali dengan daya
tampung yang mobil itu mampu. Jikapun Ziya memiliki adik baru, Ia masih bisa
muat bersama kedua kakaknya di jok belakang itu. Mobil kecil tersebut berwarna
hitam, di beberapa bagian sudah terlihat goresan memanjang. Cacat penggunaan,
itu yang pemiliknya katakan. Aku hanya mengangguk tak berkeberatan.
Pemiliknya
memang tangan pertama, tak pernah gatal memodifikasi mesin dan tampilannya. Tak
heran jika mobil itu masih terlihat lugu, semua part-part didalamnya masih
orisinil bak tak pernah baru. Sang pemilik bermata sipit, tersenyum sembari
menyebut harga. Dengan senyum yang sama, Aku menawar sedikit dibawah harga yang
diminta. Kesepakatanpun terjadi tanpa banyak waktu terhabisi. Perlahan,
Kuserahkan semua uang tabungan sebagai uang muka, bertukar lembaran kwitansi
tanpa materai yang begitu jelas ditandatanganinya. Masih dengan tersenyum, pria
bermata sipit di hadapanku bertanya kapan maksimal pembayaran sisanya. Aku
sesaat terdiam, dalam hal ini Aku tak boleh memberi jawaban gamang, lantaran dalam
sebuah akad jual beli haruslah disertai kepastian. Jadilah lidahku menarikan
irama setengah lantang, “tiga bulan” ujarku.
Lugu,
mungkin itu kata yang pantas disematkan padaku. Betapa tidak, dari sana Aku
pulang hanya dengan membawa selembar kwitansi tanpa materai. Tak ada jaminan
kuat sang pemilik akan kabur membawa tabunganku, tanpa memberi kuasa sedikitpun
atas mobil yang masih ditangannya. Akad ini hanya bermodalkan rasa percaya,
keyakinan bahwa tak satupun dari kami yang akan berkhianat atas janji yang
disepakati. Aku menaruh pemikiran positif padanya.
Ceroboh,
mungkin itu kata berikutnya untuk menjulukiku. Waktu tiga bulan yang kujanjikan,
bukan waktu yang lama berselang. Ia hanya 3 kali waktu gajian, dan hanya 12
kali waktu jum’atan.
Memang,
Aku berencana mengajukan pinjaman ke Bank Syariah untuk melunasi sisa
pembayaran kendaraan tersebut. Serupa dengan pemikiran yang kutaruh pada
pemilik kendaraan, Akupun beranggapan hal yang sama pada Bank Syariah. Berfikiran
positif bahwa salah satu dari Bank-bank syariah itu akan dengan mudah
meloloskan pengajuanku. Tak sadar jika mereka sudah tentu memiliki kebijakan
sendiri-sendiri, tak tahu jika mereka ternyata memiliki peraturan
sendiri-sendiri.
***
Sebut
saja Bank Syariah A, Aku mendatanginya dengan membawa berkas-berkas lengkap
yang dibutuhkan. Seorang Customer Service
menyapa dengan ramahnya, memaparkan tabel angsuran dengan jelasnya, menganalisa
berkas yang kubawa dengan telitinya. Meski margin
yang diambil Bank tersebut ternyata sedikit lebih tinggi dibanding pasaran,
namun Aku tetap bersikukuh. “Tak apa sedikit lebih mahal, yang penting syariah”
fikirku. Sayang seribu sayang, saat dikatakan bahwa kendaraan yang hendak kubeli
adalah kendaraan di luar kota, Customer
Service tersebut terpaksa menggeleng dengan sederet kata. Bank tersebut tak
bisa membiayai pembelian kendaraan dengan plat luar kota. Ia menyarankan untuk
menghubungi Bank Syariah A cabang kota tersebut saja. Pengajuanku 100% bisa
diproses disana, asalkan Aku memiliki KTP sana juga. Lah, Aku kan sudah
domisili di kota ini. Masa harus pindahan dulu?
Besoknya,
Aku mengunjungi Leasing Syariah. Dulu
sewaktu membeli motor pertama, Aku pernah dibantu oleh mereka. Barangkali saja
kali inipun sama, mereka bisa membantuku menuntaskan akad pembelian mobil sederhana
yang kuincar. Sekali lagi sayang, pada tempo hari menyicil motor, Aku pernah kecelakaan
tabrakan, terbaring di Rumah Sakit beberapa minggu, hingga pembayaran angsuran
sementara tak bisa kulakukan. Lah wong
orang lagi dirawat, motornya juga rusak, tak bisa dipakai, masa masih harus
bayar. Sedihnya, ternyata kerusakan motorku itu tak sampai 75%, jadi tetap tak
bisa dilanjutkan untuk klaim asuransi. Lantaran tak bayar angsuran, Akupun
harus rela motorku ditarik paksa oleh Leasing
tersebut. Seakan masih kurang menderita, namaku di Black List pula, tak mengizinkanku mengajukan lagi pinjaman di masa
depan. Meski rasanya masih dongkol, Aku tetap keluar ruangan dengan sukarela, tak
menunggu mereka mendepakku keluar dari kantornya.
Tak
patah arang, Aku pindah ke Leasing
sebelahnya. Leasing yang lebih besar
dan punya nama. Kali ini di bawah plang nama bagian depan gedungnya, ada tambahan
tulisan “Syariah”. “Mungkin, mereka memang sudah buka cabang yang non Riba” sangkaku.
Aku kemudian masuk dan bertanya pada petugasnya. Tak disangka, seorang petugas malah
dengan lugasnya berkata, “ah.. sebetulnya syariah atau tidak itu sama saja Pak,
prosedur maupun rumusnya ya itu-itu juga. Kita pasang embel-embel Syariah,
karena ada aturan dari pemerintah, yang Syariah bisa DP 10%, sementara non
Syariah harus 20%. Konsumen kan pasti carinya yang lebih murah Pak, makanya kita
adain juga yang syariahnya” paparnya. Aku terhenyak, tak menyangka jika
perusahaan ini bisa membungkus transaksi Ribawi dengan embel Syariah. Apalagi
digunakan hanya untuk mensiasati peraturan pemerintah belaka.
“Bagaimana?
Kapan bisa Saya proses Pak?” Tanya petugas tersebut, sembari tersenyum. Aku
ikut tersenyum, lalu menggeleng dan menjauh pergi.
Minggu
depannya, Aku merambah Bank Syariah B. Marginnya sedikit lebih tinggi dari Bank
Syariah A. Aku kembali menegaskan dalam hati, “biarkan, yang penting Syariah”
bisikku. Bank tersebut menerima pengajuanku, menerima seluruh berkasku,
kemudian berjanji untuk segera memprosesnya. Akupun menghela nafas lega,
berharap janji mereka itu tak sekedar kata belaka.
Dua
minggu berselang, proses masih jua berjalan. Sebulan terlewati, proses masih
belum terberesi. Hingga dua bulan memudar, proses tersebut tak juga kelar. Saat
berkali-kali kutanyakan, jawaban mereka bak tak ada perbedaan. “Sedang cek berkas
dulu Pak”, “sedang cek barang dulu Pak”, atau “cek asuransi dulu Pak”. Cek ini,
cek itu, entah ada berapa ratus kilometer barisan cek yang tengah mengantri di
Bank itu sebenarnya. Sementara batas waktu tiga bulan pada penjual semakin
mendesak, membuat helaan nafas yang semula lega seketika berubah berat.
Kau
tahu kawan? Saat manusia tengah dilanda kemacetan, seringkali Ia dibayangi
dengan jalan bebas hambatan. Ketika manusia menghadapi sesuatu yang berat,
kerapkali Ia dibayangi tombol-tombol shortcut.
Opsi berbeda yang bisa menghantarkannya ke tujuan yang sama. Pun denganku, merasa
semakin didesak oleh waktu, Aku mencoba bertanya pada Bank C. Bank non syariah
yang cabangnya sudah tersebar dibanyak wilayah.
Setelah
Kupaparkan keperluanku, petugas Bank C tersebut hanya tersenyum sembari
menyodorkan secarik kertas berisi tabel angsuran pembiayaan kendaraan. Aku
terbelalak melihatnya, “GILA.. Cicilannya jauh lebih rendah dibandingkan
Bank-bank Syariah!” batinku, menyapu setiap angka yang tertera dengan pandangan
tak percaya. Masih dengan tersenyum, petugas di hadapanku menyodorkan secarik
kertas yang lain. Kali ini berisi tabel isian pengajuan pinjaman. Aku tergagap,
“ta.. tapi, Aku belum membawa berkasnya Pak” ucapku. Petugas tersebut malah
menggeleng santun, “tak apa-apa Pak, foto copy KTP saja sudah cukup” jawabnya,
masih dengan tersenyum.
Aku
kembali menatap tak percaya, “GILA.. pengajuan pinjaman hanya perlu foto copy KTP
saja?” fikirku. Sebuah fikiran yang sempurna membuatku linglung. Antara
menginjak bumi dan tidak, antara sadar dan tidak tengah berada dimana. Sang
petugas ramah menatapku, “Ada yang mau ditanyakan Pak?” katanya. Aku tergagap, kemudian
berkata padanya. “Em.. Be..berapa lama prosesnya Pak?” tanyaku. Petugas
tersebut melirik kalender duduk disampingnya sebentar, lalu menoleh kembali
kearahku. Dan dengan senyum yang sama, dengan santun yang sama, sekaligus
dengan ramah yang sama, Ia menjawab singkat. “Paling lama seminggu langsung
cair Pak” jawabnya. Sebuah jawaban yang kembali membuatku terhenyak.
“GILAA..!!
Proses di Bank Syariah saja sudah dua bulan tak kelar, ini bisa cair dalam
waktu hanya seminggu?” batinku, tak percaya. Kenapa proses di Bank Syariah
terasa lama dan susah, sedang Bank non Syariah ini terlihat begitu mudah. Jika
demikian adanya, pantas saja banyak orang lebih memilih non Syariah.
Serona
tak memberiku kesempatan berfikir panjang, Sang Petugas menyodoriku sebuah
bolpoin. “Bapak tinggal isi saja formulirnya, selebihnya biar Saya yang atur”
ucapnya. Tanganku bergetar menerima bolpoin tersebut, lebih bergetar lagi saat
hendak menggoreskannya di atas kertas isian. Mataku kembali menyapu apa yang
tertera, sepertinya hanya form isian standar, tak berbeda dengan form-form
pengajuan pada umumnya. Aku beralih melihati tabel angsuran, deretan angka
dengan nominal yang semakin ke bawah, semakin besar jumlahnya. Di pojok kanan
bagian atas, ada sebuah kata yang sempurna menohok mataku. “Bunga: ….%”
DEG!
Demi melihat kata tersebut, pipiku serasa ditampari, perutku serasa ditonjoki,
dan tengkukku serasa dipukuli. Kata tersebut membuat kakiku kembali menginjak
bumi, membuat kesadaran melesat menghampiriku lagi.
“Seberapapun
mudahnya, sebagaimanapun cepatnya, tapi akad di Bank ini tetap saja termasuk
Riba, haram kata agama” bisikku.
“Tapi,
waktuku semakin menipis. Janji pada penjual tempo hari itu harus segera
ditunaikan bukan?” bisikku yang lain.
“Iya,
tapi ini dosa, besar pula…” fikirku.
“Ah,
bukankah Aku sudah berusaha melalui akad yang Syariah. Salah siapa prosesnya
tak selesai-selesai. Wajar jika Aku dan nasabah yang lain berlarian ke non
Syariah” fikirku yang lain.
“Tapi..”
batinku, meragu.
“Tak
ada tapi-tapi. Ingat, anak-anak membutuhkan mobil itu. Kau tak akan rela asma
mereka kambuh lagi lantaran terus-terusan kehujanan bukan?” batinku yang lain,
meyakinkan.
“I..iya.
Aku memang tak rela” ucapku.
Petugas
di hadapanku mengangkat alisnya, “Maaf? Bagaimana maksudnya Pak?” tanyanya. Aku
tertunduk, menatap bolpoin di tanganku yang tergenggam erat.
***
Akhir
bulan Agustus, hujan datang tak putus-putus. Usai rintik yang satu, datang pula
rintik yang lain. Selesai deras yang satu, menyusul pula deras yang lain. Mungkin
permukaan bumi memang tak cukup basah, diberondong melulu oleh hujan yang
mengguyur sepanjang waktu. Padahal, di beberapa wilayah, banjir sudah ramai menggenangi
tanah. Menggubah manusia-manusia yang berkeluh kesah, pun munculkan insan-insan
penggerutu. Mereka tak mau terima dengan cuaca yang ada, juga tak suka dengan
hujan yang menghambatnya.
Ziya
kecil sudah berseragam lengkap di rumah. Jaket tebal dan sepatu ungu, tas lucu
berikut kerudung biru, tetap Ia kenakan meski bel masuk sekolah sebenarnya sudah
satu jam berlalu. Ziya terduduk dibelakang jendela kaca, menatap hujan diluar
tanpa ada sepatah kata. Tisyu putih di dalam genggamannya sudah lusuh lantaran
ingusnya tak mau berhenti. Tak lain dan tak bukan karena pilek yang
menyerangnya sejak semalam. Membuat nafasnya terasa sesak, dan harus dibawa ke
klinik untuk terapi uap. Semua gara-gara saat pulang sekolah kemarin kehujanan.
Padahal Aku sudah melindunginya dengan jaket yang kukenakan. Meski demikian,
hari ini Ia memaksa tetap ingin berangkat sekolah juga. Memintaku berjanji akan
mengantarnya, segera setelah hujan sedikit mereda. Beruntung hujan tak mau
reda.
Tiga
minggu setelah dari Bank C, Aku menelfon sang Penjual. Berkata sejujur-jujurnya
bahwa Aku telah berusaha mengajukan kredit ke Bank. Namun prosesnya begitu lama
hingga berbulan-bulan. Terkait dengan janji tiga bulan yang tempo hari
kujanjikan, Aku fikir sudah tak mungkin lagi terealisasikan. Jadi, keputusan
kukembalikan pada Penjual tersebut. Jika ingin menjualnya pada orang yang lain
ya silahkan. Adapun uang muka yang sudah kuberikan, tak apa meski Ia lakukan
pemotongan. Walau berat, semua sudah kurelakan. Itulah yang kupaparkan.
Penjual
tersebut tak langsung merespon, entah.. tampaknya Ia merasakan kecewa yang sama
seperti yang kurasakan. Sebenarnya, bisa saja saat itu Aku mengambil tawaran
dari Bank C. Berakad non Syariah dengannya, lalu menunaikan janji pada Sang
Penjual di luar kota. Akan tetapi dalam Islam akad teramat pentingnya. Serupa
dengan makan, ada yang dimulai dengan Bismillah dan ada yang tidak. Makanannya
sama, tapi berkahnya berbeda. Yang disertai Bismillah diridhoi oleh Allah,
sedang yang tidak justru dikerumuni oleh Syaithan. Akad Syariah menghantarkan ke
Jannah, sedang Akad Riba didekap neraka. Siang malam Aku mengadu, pada Allah
Tuhan Yang Satu. Berharap yang terbaik menurutNya, yang mengundang barokahNya,
semoga Allah memudahkannya. Namun jika tak baik menurutNya, maka semoga Allah
menjauhkannya, benar-benar menjauhkannya.. jauh sejauh-jauhnya.
***
Hujan,
sudah reda beberapa jam ke belakang. Menyisakan genangan yang terlihat
mengkilap di atas jalanan. Mungkin saja air di langit memang sudah habis semua
ditumpahkan, membuat para awan melayang ringan tiada berbeban. Bernyanyi-nyanyi
ditemani mentari siang yang ikhlas memberi kehangatan.
Serupa
denganku, hitung-hitungan tiga bulan sudah habis semua dilewatkan. Membuat
harapanku melayang tanpa sempat berpamitan. Tinggal menunggu Sang Penjual yang
memberi keputusan, berapa uang muka yang akan Ia kembalikan. Tak apa, sungguh
tak apa-apa. Aku sudah ikhlas menerima apapun kejadiannya. Mungkin memang belum
waktunya bagiku memiliki rezeki itu. Lihat, orang lain bahkan tak punya
kendaraan roda dua, yang lain bahkan kakipun tak punya, sudah sepantasnya Aku
bersyukur dengan apa yang ada.
“Ziya,
hari ini mau main kemana dulu? Mumpung ga hujan” tanyaku. Yang ditanya malah
tersenyum, untuk kemudian membisikan sesuatu ke telingaku. “Toko Buku..”
katanya, pelan. Aku mengangguk mantap, itu memang tempat yang tepat untuk
melupakan si roda empat. Menenggelamkan diri diantara buku-buku, memetik hikmah
demi hikmah satu persatu. Demi melihat persetujuanku, Ziya tertawa girang,
lebih girang dari saat pileknya jauh berkurang.
Di
jalan, Aku melewati lokasi Bank C. Bangunan sekian lantai yang berdiri dengan
megahnya. Aku menghela nafas, sesaat terlintas pemikiran sesat. Andai saja
tawaran Bank itu kuterima, mungkin kini Aku sudah menjemput Ziya dengan mobil
sederhana. Andai saja.. Hmft.. Cepat-cepat kutepis pemikiran demikian,
menimbunnya sedemikian dalam dengan kalimah Istighfar berulang-ulang. Itu
Riba.. itu non Syariah.. Allah telah jelas-jelas mengharamkannya, dan Rasul
telah jelas-jelas melaknatnya. Astaghfirullaah..
Melewati
perempatan, mataku beradu dengan sebuah ruko baru. Banyak papan bunga dipajang
didepannya. Penasaran, Aku sedikit mendekat, memperhatikan papan nama di depan
gedungnya lekat-lekat. “Ba..bank Sya..ri..ah.. D” ejaku. Tiga kata yang
membuatku terbelalak seketika, tiga kata yang sontak membuatku girang tak
terkira. Berkali girang dibanding saat Ziya tahu hendak dibawa main ke toko
buku. Ini salah satu bank yang terbilang besar di kota-kota lain, Alhamdulillah
buka cabang juga di kota ini sekarang. Masih ada kesempatan, masih ada
kesempatan, fikirku. “Ziya sebentar ya, Abi ada urusan dulu!” ucapku, sambil
membelokkan motor ke pelataran Bank Syariah itu.
Tak
lama, Aku bersegera menarik berkas dari Bank Syariah B, lalu memasukannya ke
Bank Syariah D secepatnya. Alhamdulillah, responnya lebih cepat berkali lipat. Membuatku
merasa bahwa mungkin ini adalah jawaban Allah atas harapan dan do’a-do’aku. Allah
hendak mengujiku dengan transaksi ribawi. Dan jika lulus, Allah akan
menggantinya dengan yang Ia Ridhoi. Tenang hati ini.. Damai perasaan ini.. Tak
terbayang jika saat itu Aku termakan bujukan petugas Bank C, terlibat akad Riba
dengan mudahnya. Tak mungkin rasanya hati akan bisa setenang ini. Setiap hari
menelan dosa besar yang dilaknati. Duh.. Syukur Alhamdulillah Allah masih
melindungiku.
No comments:
Post a Comment