Afkar namaku, tujuh tahun usiaku. Aku
tinggal di perbatasan kota, sebuah wilayah yang tak jelas milik siapa. Kata
Ibu, dulu daerah ini adalah tempat keramaian bangsa Palestina, tempat kami
biasa berkumpul dan berniaga. Namun sekarang, bangsa Israel telah menduduki
sebagian besar wilayah kami. Mereka menjadi penghuni rumah di kanan maupun
kiri. Tentara militer, ataupun penduduk Israel biasa, datang dan tinggal di
wilayah kami begitu saja. Semakin hari semakin banyak saja jumlahnya. Membuat
penduduk asli disini terpaksa pindah lantaran diusir dengan bermacam cara.
Pun dengan keluargaku. Aku dan Ibu adalah
dua dari 10 orang Palestin yang tersisa. Kami berada di tengah puluhan keluarga
Israel yang sembarangan berkata bahwa ini adalah kota mereka. Membuat kami seringkali
diintimidasi oleh mereka setiap hari. Diludahi, dilempari sampah dan kotoran,
itu sudah biasa kami dapatkan. Mereka terus berusaha membuat kami agar tak
betah, inginkan kami pindah dan pergi. Tapi kami terus bertahan.
Tak apa, setidaknya disini kami tahu mana
bangsa yang menjadi lawan. Di ujung timur sana, kudengar ada sebuah negeri yang
tak jelas mana kawan dan mana lawan. Mereka harus menghadapi bangsa sendiri
yang tindakannya sungguh bertentangan dengan Al Qur’an. Di sebuah sidang
pengadilannya saja diputuskan bahwa menyukai sesama jenis tak bisa dipidanakan.
Aneh.. teramat aneh. Padahal kata Ayah, kaum nabi Luth dibinasakan oleh Allah
karena melegalkan hal-hal semacam itu. Dan hakim-hakim itu malah sengaja
mengundang azab Allah untuk ditimpakan kepada rakyat mereka sendiri. Pengadilan
yang aneh.
Ayah memang sering bercerita banyak kisah.
Kisah para nabi, perjuangan para sahabat, serta cerita-cerita binatang yang
tercantum dalam Al Qur’an. Tapi satu yang paling kusukai, adalah cerita perihal
sahabat nabi yang bernama Bilal bin Rabah. Bukan tanpa alasan, selain
mengharukan, kisah Bilal adalah cerita terakhir yang sempat dibacakan Ayah
kepadaku.
Ya, Ayah sudah syahid kala Aku berusia 5
tahun. Ia melawan saat tantara Israel hendak menyita satu-satunya kitab suci Al
Qur’an yang ada di rumah kami. Ayah berkata tegas bahwa tangan kotor tentara-tentara
itu tak berhak menyentuhnya. Alhasil Ayah ditodong dengan belasan senapan,
mereka menyuruh Ayah keluar sendirian. Sembari melindungi Al Qur’an di dada,
Ayah melangkah keluar rumah. Disana sudah ada banyak tentara Israel dengan
senapan yang mengarah kepadanya. Aku menangis bersama Ibu dari balik jendela.
Dengan berteriak kasar, seorang tentara
menyuruh Ayah menjatuhkan Al Qur’an yang didekapnya. Ayah tak bergeming, tangannya
makin erat memegang kitab yang kesemua isinya sudah Ia hafal itu. Sebuah gas
air mata ditembakkan kearahnya. Asapnya mengepul di sekitar kedua kakinya. Ayah
tetap berdiri tegap, Aku tahu mustahil baginya melepas apa yang dicintainya.
Tanpa ada komando, puluhan gas air mata
ditembakkan kearah Ayah. Dan sekejap, asap pekat menyelubungi kaki, badan,
hingga kepalanya. Beberapa prajurit mundur beberapa langkah, menghindari efek
gas air mata yang mulai terasa olehnya. Tapi tidak dengan ayah, seinci pun Ia
tidak menggerakkan kakinya. Ia tetap tegap berdiri, menatap tajam para prajurit
di sekelilingnya. Kedua tangannya teguh mendekap kitab suci, bibirnya lirih
membaca tasbih dan tahlil. Seolah pekatnya gas air mata itu tak ada pengaruh
apapun baginya. Beberapa tentara Israel mulai goyah, beringsut takut ditatap
Ayah.
DOR!! Sebutir peluru melubangi kening Ayah.
Badannya roboh beradu tanah, tapi tidak dengan kitab suci yang didekapnya.
Serona dengannya, Akupun roboh tak sadarkan diri.
***
Afkar namaku, tujuh tahun usiaku. Aku tinggal
di perbatasan kota, sebuah wilayah yang tak jelas milik siapa. Sudah dua tahun
ini Aku bersekolah di sebuah sekolah darurat yang didirikan oleh relawan Indonesia.
Jaraknya tak kurang dari 45 menit berjalan kaki. Tak masalah, kedua kakiku
sudah terbiasa menempuhnya. Temanku bahkan harus berjalan selama 3 jam untuk
bisa sampai di sekolah. Ia pun terlihat biasa saja, malah terlihat bersemangat
menempa kaki kecilnya. Supaya nanti bisa menjadi seorang mujahid yang tangguh,
itu katanya. Yang jadi masalah adalah justru ketika berpapasan dengan serdadu Yahudi.
Mereka selalu saja gatal ingin mengerjai kami.
Sebuah bis sekolah bergambar bintang daud terparkir
di pinggir jalan. Bis itu yang menjemput anak-anak Israel berangkat ke sekolah.
Aku sudah sering melihatnya terparkir disana, yang berbeda adalah, hari ini bis
itu dikawal belasan tentara. Kejadian kepala negara adidaya yang menyatakan
bahwa Yerusalem sebagai ibukota Israel tempo hari, sempurna membuat mereka
ketakutan sendiri. Mereka khawatir akan lebih banyak lagi serangan yang Kami
lancarkan. Tanah ini adalah memang bumi para nabi, dan syahid untuk mempertahankannya
adalah cita-cita Kami.
“Hey, Kamu! Kemarilah tikus kecil!” seorang
tentara memanggilku. Aku tahu, mereka pasti hendak mengerjaiku lagi. Tanpa
sedikitpun rasa takut, Aku berjalan mendekat. “Wahai manusia yang dilaknat
Allah, Aku bukan tikus, Aku seorang muslim!” tegasku.
Tentara tersebut tampak terhenyak, Ia lalu
menoleh ke arah kawan-kawannya. Yang ditoleh hanya tertawa, menertawakan
dirinya. Tentara itu kemudian memandang kembali ke arahku. “Baiklah muslim..
em.. tikus muslim. Kau hendak ke sekolah bukan? Kau mau kami antar dengan bis
ini?” tanyanya. Aku menggeleng tegas,
Aku tahu mereka hanya sedang mempermainkanku.
“Ayolah bocah.. dengan bis ini Kau akan bisa
duduk dengan nyaman, kakimu tak akan melepuh seperti itu, dan Kaupun akan terlindung
dari panas matahari” ucapnya, sembari tertawa meledek. Aku menatap tentara itu
dengan pandangan tajam. “Tapi bis ini tak bisa melindungi kalian dari serangan
bom kami bukan?” balasku. Tentara tersebut kembali terhenyak, gurat wajah takut
sekilas tergambar jelas di wajahnya. Lidahnya tercekat, tak mampu membalas
kata-kataku barusan.
“Ka..Kau!!” ucapnya, tergagap. Wajahnya
memerah, antara malu dan lantaran marah. Tak lama, tangan kirinya menjambak
rambutku, menyeretku masuk kedalam bis. “Berani sekali Kau bocah. Kau sekarang
juga masuk bis ini, bersihkan lantainya dengan wajah palestinamu itu!” teriaknya.
Aku sebenarnya kesakitan, tapi sedikitpun Aku tak boleh menampakkannya. Hal itu
hanya akan membuat mereka bertambah senang.
“Lepaskan tanganmu wahai pembunuh para
nabi!!” balasku. Mendengarnya, tentara itu semakin berang. Ia menyeretku
semakin kasar, lalu membanting kepalaku ke lantai bis dengan keras. Satu dua bangsa
Israel didalam bis menoleh tak acuh, yang lainnya malah tersenyum kecil mengejekku.
Menahan sakit, Aku lekas kembali bangkit, hendak
melawan tentara tersebut dengan tenaga kecilku. Seperti yang kuduga, tentara sepertinya
tak pernah membedakan anak-anak atau dewasa, laki-laki maupun perempuan, mereka
tetap bersikap bengis dan kejam. Seperti sekarang, melawan Aku yang masih kecil
ini, tentara tersebut bak melawan lelaki dewasa saja. Ia menghantamkan kepalaku
ke lantai bis berulang kali. Aku mati-matian mencakar dan menggigit tangannya. Sayang, cakaran itu hanya membuat tentara
tersebut makin marah saja. Tubuhku Ia banting ke lantai, tangan besarnya
mencengkram wajahku dengan kuatnya, dan lututnya Ia gunakan untuk menekan
dadaku, membuatku merasakan sesak yang teramat berat.
“A..Allah.. Allaah…” lirihku, megap-megap
mencari udara. Tentara itu terus membekap mulut sekaligus wajahku, tak membiarkan
sedikit oksigenpun masuk kedalam paru-paruku. Hmbph.. A..Allaaah…!!
Di fikiranku langsung terngiang kembali,
saat ayah berkisah tentang Bilal, sahabat Rasul yang begitu istimewa. Dulu Bilalpun
pernah dihimpit dengan sebuah batu yang begitu besar, diserang dengan sengatan
panas matahari siang, diatas tanah kering yang sangat menyakitkan. Ia dipaksa
untuk beralih kembali mengakui Lata dan Uzza sebagai Tuhannya. Tapi Bilal tak
bergeming, Ia tetap lirih berkata “Ahad.. Ahad.. Allahu Ahad..” ucapnya.
Tangan besar tentara kian keras mencengkramku,
tangan satunya lagi Ia gunakan untuk mencekik leherku. Aku tahu, Ia memang jelas
berusaha membunuhku.
Tak apa, sungguh tak apa. Menjadi syuhada
memang cita-cita kami semua. Berapapun banyaknya muslim yang mereka bunuh, akan
muncul ribuan muslim lagi yang bangkit dan melawan. Akan datang saatnya dimana semua
muslim di dunia ini bersatu, membuat pasukan yahudi kocar-kacir ketakutan dan
bersembunyi. Hingga seluruh alampun berbicara memberitahu tempat dimana mereka
sembunyi.
Degup jantungku memelan, kesadaranku perlahan
menghilang.
Dengan tangan bergetar, Aku mengangkatnya
ke atas. Bukan.. bukan utuk mencakar lagi, bukan pula untuk melawan lagi. Namun
Aku mengangkat jari telunjukku di tengah-tengah Yahudi, memberi mereka sebuah pesan
dengan lantang. “AHAD.. ALLAHU AHAD!!! LAAILAHAILLALLAAH, MUHAMMADU RASULULLAAH!!”
Langit terbelah, malaikat-malaikat bersayap
turun berbondong-bondong, mereka berebut menjemputku. Sebuah sosok tak ingin
kalah, Ia bersegera menggamit tangan kananku. Wajahnya begitu bersinar, menoleh
ke arahku dengan penuh rasa sayang. Aku terperanjat bercampur haru. “Ayah..?”
bisikku. Sosok tersebut menoleh, menatapku teduh, lalu tersenyum. “Iya Nak.
Ayo, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu” ucapnya.
Aku langsung bertanya, “si..siapa Ayah?”
tanyaku.
Ayah menjawab, “siapa lagi? Ia sahabat
Rasulullah tercinta, namanya Bilal bin Rabah..”
Mendengarnya, wajahku berubah sumringah.
***
No comments:
Post a Comment