12/01/2018

Afkar

Afkar namaku, tujuh tahun usiaku. Aku tinggal di perbatasan kota, sebuah wilayah yang tak jelas milik siapa. Kata Ibu, dulu daerah ini adalah tempat keramaian bangsa Palestina, tempat kami biasa berkumpul dan berniaga. Namun sekarang, bangsa Israel telah menduduki sebagian besar wilayah kami. Mereka menjadi penghuni rumah di kanan maupun kiri. Tentara militer, ataupun penduduk Israel biasa, datang dan tinggal di wilayah kami begitu saja. Semakin hari semakin banyak saja jumlahnya. Membuat penduduk asli disini terpaksa pindah lantaran diusir dengan bermacam cara.
Pun dengan keluargaku. Aku dan Ibu adalah dua dari 10 orang Palestin yang tersisa. Kami berada di tengah puluhan keluarga Israel yang sembarangan berkata bahwa ini adalah kota mereka. Membuat kami seringkali diintimidasi oleh mereka setiap hari. Diludahi, dilempari sampah dan kotoran, itu sudah biasa kami dapatkan. Mereka terus berusaha membuat kami agar tak betah, inginkan kami pindah dan pergi. Tapi kami terus bertahan.

Tak apa, setidaknya disini kami tahu mana bangsa yang menjadi lawan. Di ujung timur sana, kudengar ada sebuah negeri yang tak jelas mana kawan dan mana lawan. Mereka harus menghadapi bangsa sendiri yang tindakannya sungguh bertentangan dengan Al Qur’an. Di sebuah sidang pengadilannya saja diputuskan bahwa menyukai sesama jenis tak bisa dipidanakan. Aneh.. teramat aneh. Padahal kata Ayah, kaum nabi Luth dibinasakan oleh Allah karena melegalkan hal-hal semacam itu. Dan hakim-hakim itu malah sengaja mengundang azab Allah untuk ditimpakan kepada rakyat mereka sendiri. Pengadilan yang aneh.

Ayah memang sering bercerita banyak kisah. Kisah para nabi, perjuangan para sahabat, serta cerita-cerita binatang yang tercantum dalam Al Qur’an. Tapi satu yang paling kusukai, adalah cerita perihal sahabat nabi yang bernama Bilal bin Rabah. Bukan tanpa alasan, selain mengharukan, kisah Bilal adalah cerita terakhir yang sempat dibacakan Ayah kepadaku.

Ya, Ayah sudah syahid kala Aku berusia 5 tahun. Ia melawan saat tantara Israel hendak menyita satu-satunya kitab suci Al Qur’an yang ada di rumah kami. Ayah berkata tegas bahwa tangan kotor tentara-tentara itu tak berhak menyentuhnya. Alhasil Ayah ditodong dengan belasan senapan, mereka menyuruh Ayah keluar sendirian. Sembari melindungi Al Qur’an di dada, Ayah melangkah keluar rumah. Disana sudah ada banyak tentara Israel dengan senapan yang mengarah kepadanya. Aku menangis bersama Ibu dari balik jendela.

Dengan berteriak kasar, seorang tentara menyuruh Ayah menjatuhkan Al Qur’an yang didekapnya. Ayah tak bergeming, tangannya makin erat memegang kitab yang kesemua isinya sudah Ia hafal itu. Sebuah gas air mata ditembakkan kearahnya. Asapnya mengepul di sekitar kedua kakinya. Ayah tetap berdiri tegap, Aku tahu mustahil baginya melepas apa yang dicintainya.

Tanpa ada komando, puluhan gas air mata ditembakkan kearah Ayah. Dan sekejap, asap pekat menyelubungi kaki, badan, hingga kepalanya. Beberapa prajurit mundur beberapa langkah, menghindari efek gas air mata yang mulai terasa olehnya. Tapi tidak dengan ayah, seinci pun Ia tidak menggerakkan kakinya. Ia tetap tegap berdiri, menatap tajam para prajurit di sekelilingnya. Kedua tangannya teguh mendekap kitab suci, bibirnya lirih membaca tasbih dan tahlil. Seolah pekatnya gas air mata itu tak ada pengaruh apapun baginya. Beberapa tentara Israel mulai goyah, beringsut takut ditatap Ayah.

DOR!! Sebutir peluru melubangi kening Ayah. Badannya roboh beradu tanah, tapi tidak dengan kitab suci yang didekapnya. Serona dengannya, Akupun roboh tak sadarkan diri.

***

Afkar namaku, tujuh tahun usiaku. Aku tinggal di perbatasan kota, sebuah wilayah yang tak jelas milik siapa. Sudah dua tahun ini Aku bersekolah di sebuah sekolah darurat yang didirikan oleh relawan Indonesia. Jaraknya tak kurang dari 45 menit berjalan kaki. Tak masalah, kedua kakiku sudah terbiasa menempuhnya. Temanku bahkan harus berjalan selama 3 jam untuk bisa sampai di sekolah. Ia pun terlihat biasa saja, malah terlihat bersemangat menempa kaki kecilnya. Supaya nanti bisa menjadi seorang mujahid yang tangguh, itu katanya. Yang jadi masalah adalah justru ketika berpapasan dengan serdadu Yahudi. Mereka selalu saja gatal ingin mengerjai kami.

Sebuah bis sekolah bergambar bintang daud terparkir di pinggir jalan. Bis itu yang menjemput anak-anak Israel berangkat ke sekolah. Aku sudah sering melihatnya terparkir disana, yang berbeda adalah, hari ini bis itu dikawal belasan tentara. Kejadian kepala negara adidaya yang menyatakan bahwa Yerusalem sebagai ibukota Israel tempo hari, sempurna membuat mereka ketakutan sendiri. Mereka khawatir akan lebih banyak lagi serangan yang Kami lancarkan. Tanah ini adalah memang bumi para nabi, dan syahid untuk mempertahankannya adalah cita-cita Kami.

“Hey, Kamu! Kemarilah tikus kecil!” seorang tentara memanggilku. Aku tahu, mereka pasti hendak mengerjaiku lagi. Tanpa sedikitpun rasa takut, Aku berjalan mendekat. “Wahai manusia yang dilaknat Allah, Aku bukan tikus, Aku seorang muslim!” tegasku.

Tentara tersebut tampak terhenyak, Ia lalu menoleh ke arah kawan-kawannya. Yang ditoleh hanya tertawa, menertawakan dirinya. Tentara itu kemudian memandang kembali ke arahku. “Baiklah muslim.. em.. tikus muslim. Kau hendak ke sekolah bukan? Kau mau kami antar dengan bis ini?” tanyanya.  Aku menggeleng tegas, Aku tahu mereka hanya sedang mempermainkanku.

“Ayolah bocah.. dengan bis ini Kau akan bisa duduk dengan nyaman, kakimu tak akan melepuh seperti itu, dan Kaupun akan terlindung dari panas matahari” ucapnya, sembari tertawa meledek. Aku menatap tentara itu dengan pandangan tajam. “Tapi bis ini tak bisa melindungi kalian dari serangan bom kami bukan?” balasku. Tentara tersebut kembali terhenyak, gurat wajah takut sekilas tergambar jelas di wajahnya. Lidahnya tercekat, tak mampu membalas kata-kataku barusan.

“Ka..Kau!!” ucapnya, tergagap. Wajahnya memerah, antara malu dan lantaran marah. Tak lama, tangan kirinya menjambak rambutku, menyeretku masuk kedalam bis. “Berani sekali Kau bocah. Kau sekarang juga masuk bis ini, bersihkan lantainya dengan wajah palestinamu itu!” teriaknya. Aku sebenarnya kesakitan, tapi sedikitpun Aku tak boleh menampakkannya. Hal itu hanya akan membuat mereka bertambah senang.

“Lepaskan tanganmu wahai pembunuh para nabi!!” balasku. Mendengarnya, tentara itu semakin berang. Ia menyeretku semakin kasar, lalu membanting kepalaku ke lantai bis dengan keras. Satu dua bangsa Israel didalam bis menoleh tak acuh, yang lainnya malah tersenyum kecil mengejekku.
Menahan sakit, Aku lekas kembali bangkit, hendak melawan tentara tersebut dengan tenaga kecilku. Seperti yang kuduga, tentara sepertinya tak pernah membedakan anak-anak atau dewasa, laki-laki maupun perempuan, mereka tetap bersikap bengis dan kejam. Seperti sekarang, melawan Aku yang masih kecil ini, tentara tersebut bak melawan lelaki dewasa saja. Ia menghantamkan kepalaku ke lantai bis berulang kali. Aku mati-matian mencakar dan menggigit tangannya.  Sayang, cakaran itu hanya membuat tentara tersebut makin marah saja. Tubuhku Ia banting ke lantai, tangan besarnya mencengkram wajahku dengan kuatnya, dan lututnya Ia gunakan untuk menekan dadaku, membuatku merasakan sesak yang teramat berat.

“A..Allah.. Allaah…” lirihku, megap-megap mencari udara. Tentara itu terus membekap mulut sekaligus wajahku, tak membiarkan sedikit oksigenpun masuk kedalam paru-paruku. Hmbph.. A..Allaaah…!!

Di fikiranku langsung terngiang kembali, saat ayah berkisah tentang Bilal, sahabat Rasul yang begitu istimewa. Dulu Bilalpun pernah dihimpit dengan sebuah batu yang begitu besar, diserang dengan sengatan panas matahari siang, diatas tanah kering yang sangat menyakitkan. Ia dipaksa untuk beralih kembali mengakui Lata dan Uzza sebagai Tuhannya. Tapi Bilal tak bergeming, Ia tetap lirih berkata “Ahad.. Ahad.. Allahu Ahad..” ucapnya.

Tangan besar tentara kian keras mencengkramku, tangan satunya lagi Ia gunakan untuk mencekik leherku. Aku tahu, Ia memang jelas berusaha membunuhku.

Tak apa, sungguh tak apa. Menjadi syuhada memang cita-cita kami semua. Berapapun banyaknya muslim yang mereka bunuh, akan muncul ribuan muslim lagi yang bangkit dan melawan. Akan datang saatnya dimana semua muslim di dunia ini bersatu, membuat pasukan yahudi kocar-kacir ketakutan dan bersembunyi. Hingga seluruh alampun berbicara memberitahu tempat dimana mereka sembunyi.

Degup jantungku memelan, kesadaranku perlahan menghilang.  

Dengan tangan bergetar, Aku mengangkatnya ke atas. Bukan.. bukan utuk mencakar lagi, bukan pula untuk melawan lagi. Namun Aku mengangkat jari telunjukku di tengah-tengah Yahudi, memberi mereka sebuah pesan dengan lantang. “AHAD.. ALLAHU AHAD!!! LAAILAHAILLALLAAH, MUHAMMADU RASULULLAAH!!”

Langit terbelah, malaikat-malaikat bersayap turun berbondong-bondong, mereka berebut menjemputku. Sebuah sosok tak ingin kalah, Ia bersegera menggamit tangan kananku. Wajahnya begitu bersinar, menoleh ke arahku dengan penuh rasa sayang. Aku terperanjat bercampur haru. “Ayah..?” bisikku. Sosok tersebut menoleh, menatapku teduh, lalu tersenyum. “Iya Nak. Ayo, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu” ucapnya.

Aku langsung bertanya, “si..siapa Ayah?” tanyaku. 

Ayah menjawab, “siapa lagi? Ia sahabat Rasulullah tercinta, namanya Bilal bin Rabah..”

Mendengarnya, wajahku berubah sumringah. 
***

No comments:

Post a Comment