Adalah Mazhira, seorang bayi mungil nan lucu yang
lahir di hari Rabu, pada tanggal 17 Januari yang lalu. Ya, hanya lima belas
menit menjelang Adzan Isya, Alhamdulillah bayi itu beralih ke alam dunia, alam dimana
kita semua sekarang berada. Aku melihat sendiri saat ditarik kepala dan tubuh kuyupnya,
pun mendengar sendiri waktu Ia melantunkan tangis pertama kalinya. Tentu saja, tangisnya
bukanlah tangisan yang keras menggema, yang menggetarkan dinding dan jagat raya.
Melainkan sebuah tangisan malu yang begitu syahdu, menenangkan hati hingga ke
ulu, serona sepoi yang bertiup di hutan bambu.
Mazhira sangatlah ringan, beratnya tak lebih dari 2,17
kilogram saja. Paling ringan dibanding dengan kakak-kakaknya. Tak heran jika
sang dokter mewanti-wanti agar lebih telaten dalam mengurusnya. Aku mengangguk
tanda akan berusaha. Memang, dulu Ziya dilahirkan dengan berat badan 2,7 kilo,
sedangkan Zahdan lahir di angka 2,4 kilo. Ternyata, Zhira lebih mungil lagi
berat badannya, mengalahkan dua kakaknya, buah dari pola makan yang terjaga
lantaran khawatir akan sulit persalinannya.
“Tak apa, yang penting Kau sehat dan selamat Nak..”
bisikku, haru.
***
Ada yang berbeda di kelahiran Zhira, yakni Kami bertigalah
yang menungguinya. Aku, Ziya, dan Zahdan, datang bersama ke klinik persalinan.
Aku mendampingi Umminya, sedang Ziya dan Zahdan menunggu berdua di kamar. Ziya
malah terkadang ‘nyelonong’ masuk ke ruang tindakan, membawa sebungkus chiki sekedar
minta dibukakan. (He..) Alhasil Aku sampai ditegur perawat yang bertugas, anak
kecil tak boleh masuk kesana. Aku mengangguk patuh, memberi wejangan Ziya sebuah
kalimat sederhana. Padahal dalam hati Aku tahu, Ziya hanya tak sabar ingin
melihat adiknya yang baru.
Sedangkan Zahdan, begitu khusyu dengan HP dalam
genggaman, apalagi jika bukan tengah main game balapan. Aku terpaksa memberinya
handphone, karena beberapa kali Zahdan masuk juga ke ruang tindakan, mengusap
perut Umminya sembari memanggil-manggil Zhira.
“De Jhiraa.. Ini Kaka Jahdan. Cepet keluar ya, nanti
kita maen game bareng-bareng. Uhuk..uhuk..” ucapnya.
“Zahdan do’ain dulu atuh” kataku.
“Eh iya..” ucap Zahdan, lalu bergegas mengangkat kedua
tangannya. Alisnya mengernyit serius, matanya mendelik ke atas, serta bibirnya
berkomat-kamit tak jelas, entah do’a apa yang tengah dilafalkannya.
“Udah!!” ucapnya tiba-tiba, hanya berselang tiga detik
setelah mengangkat tangan barusan.
Aku menggelengkan kepala merasa takjub, tadi itu do’a
tercepat yang pernah kusaksikan sepanjang hidup. Tak lama, Aku menuntun Zahdan
kembali ke kamar, ada Ziya yang sudah berganti baju seragam disana. Sepulang
sekolah tadi Ziya memang langsung menuju klinik, tak ke rumah dulu. Baju
gantinya sudah kubawakan dalam tas.
Setelah meminjamkan handphone pada Zahdan, Aku memberi
perintah sebentar. “Zahdan, sekarang Zahdan tunggu di kamar sama Ka Ziya ya. Ga
boleh keluar, maennya didalem aja. Ziya boleh maen laptop, tapi tolong jagain juga
Zahdan, sambil diasuh, Ziya kan kakaknya. Do’ain juga Ummi sama de Zhira, minta
sama Allah biar proses ngelahirinnya lancar. Iya?” kataku. Ziya mengangguk
mengiyakan. Sementara Zahdan sudah tenggelam dalam permainan, sembari terbatuk-batuk.
Pilek menyerangnya sedari kemarin.
Aku bergegas kembali ke ruang tindakan, menemani Umminya
anak-anak yang sedang berjuang.
***
“A..bi.. Hhk. Napas.. Napas Jahdan ga enakeun.. Ehk..”
ucap Zahdan, dengan nafas yang memburu cepat.
Aku beristighfar dalam hati, merasa bingung. Di satu
sisi Aku harus diruang tindakan menemani Umminya, tapi di sisi lain, Zahdan yang
sedang sesak seperti ini tak bisa kutinggalkan. Aku meraih HP, mencari nomor
kontak seseorang yang bisa dimintai bantuan, hendak memintanya membawakan
nebulizer di rumah.
Singkat cerita, nebulizer sudah ditangan, segera saja
kupasangkan pada Zahdan. Asap obat mengepul memenuhi rongga pernafasannya. Kedua
mata Zahdan sayu, menatap lemas film Upin dan Ipin yang tengah tayang di layar
TV. Sembari menunggu, Aku baru bisa mendirikan shalat maghrib, padahal jarum
sudah menunjukkan jam setengah tujuh lewat. Apa daya, sepanjang waktu Aku berjaga
di ruang tindakan. Menemaninya merasakan mulas yang bertambah lama kian bertambah
sering. Terakhir kali kutinggalkan, sudah 3 menit sekali.
Usai shalat, usai pula Zahdan diterapi uap. Meski tak
tuntas, sepertinya bisa melegakan nafasnya selama beberapa jam ke depan.
Terpaksa, ada hal lain yang harus dikerjakan.
Kembali ke ruang tindakan, sudah ada dokter disana. Ia
sempat bertanya Aku darimana, dan langsung mengerti setelah kujelaskan. Tak
lama, sang Dokter berkata bahwa ini saatnya bayi dilahirkan. Jantungku berdegup
kencang, ratusan do’a dipanjatkan, bersiap atas segala kemungkinan.
“Ya Robb, lancarkanlah.. selamatkanlah..” bisikku.
***
Setengah jam setelah lahiran..
“Ziya, Zahdan, mau lihat de Zhira?” tanyaku.
Ziya dan Zahdan langsung melompat, menyerangku dengan
berbagai pertanyaan.
“Bayinya udah lahir Abi?? Dimana? Ziya pengen lihat. Dimana
Abi?” kata Ziya.
“Jahdan juga Abi.. Uhuk.. Jadan juga mau liat de Jira..!!”
susul Zahdan, setengah terbatuk.
“Iyaa, ayo sini. Ikutin Abi!” ucapku.
Tanpa perlu diberi komando dua kali, Ziya dan Zahdan
antusias mengikuti langkahku. Kaki-kaki kecilnya setengah berlari, tak sabar
ingin melihat adik baru mereka.
“Ziya, tuh lihat, de Zhira lagi tidur di kotak kaca.
Sama kaya Ziya waktu dulu” kataku, sambil menunjuk dari balik kaca besar di depan
ruang bayi. Ziya langsung terperangah, hendak mengetuk kaca tersebut, namun tak
jadi lantaran kucegah.
“Mana de Jhira Abi? Jadan juga mau lihat!!” kata
Zahdan, kakinya berusaha berjinjit, namun masih tak cukup tinggi untuk melihat
kedalam. Aku lekas membantu mengangkat Zahdan, mendudukannya dalam gendongan.
Yang digendong tak kalah terperangah. Melihat seorang
bayi mungil dalam kotak kaca, tengah disinari lampu untuk menghangatkannya.
“I..itu de Jhira?? Adiknya Jahdan ya Abi?” ucapnya.
Aku kembali mengangguk mengiyakan.
“Aku mah mau kasih de Jhira hadiah ah Abi. Terus
ajakin de Jhira main mobil hot wil yang keren. Yang buka pintunya ke atas. Kan
itu keren ya Abi? Kata Abi mah yang keren teh yang bambel bi ya? Yang warna
kuning trus bisa jadi robot tea?” paparnya panjang lebar, lalu diakhiri dengan
pertanyaan. Aku tersenyum mendengarkannya.
“Zahdan, de Zhira mah kan perempuan. Mainnya bukan
mobil atau robot. Tapi Zahdan boleh ajak main de Zhira ko, kalo udah aga gede,
sekarang mah kan masih bayi” jawabku.
“Oh..” jawab Zahdan singkat.
Meski demikian, Zahdan tampaknya tetap berusaha
mengajak main adiknya. Terbukti saat Zhira digendong, Zahdan tak segan-segan
mendekat. Ia lalu menutup wajahnya sendiri dengan dua telapak tangannya. Mencandai
Zhira dengan permainan Ci luk ba. Kami tersenyum melihat tingkah lakunya.
***
Besoknya, di rumah. Zahdan benar-benar memberi Mazhira
hadiah. Sebuah bungkusan dari beberapa kertas yang ditempeli, plus digambari
dengan spidol diluarnya. Menempelinya menggunakan isolasi besar, Zahdan memang kerap
ikut nimbrung tiap kali Aku membungkus paket.
“Ummi, ini hadiah buat de Jhira..!!” katanya, tulus.
Hadiah itu Ia letakkan tepat disamping busa tempat
Mazhira berbaring di kamar. Lalu lantaran adiknya itu tengah tertidur, Zahdan
pun berbalik pergi ke ruang tengah, kembali bermain.
Penasaran dengan isi hadiah dari Zahdan, Aku membuka
sedikit bungkus kertasnya.
Benar saja, bukan mobil bukan pula robot mainan yang
dihadiahkan Zahdan pada Zhira. Tapi.. Kereta mainan, belasan kereta mainan
banyaknya. Thomas, Percy, Luke, dan Toby, adalah empat diantaranya. Mainan yang
dulu sangat disukainya sebelum berpindah melirik hot wheel. Sepertinya Ia tak
terlalu peduli meski adiknya itu seorang perempuan. Ia hanya ingin memberi
hadiah yang berharga menurutnya.
He.. Kau hebat Zahdan! ^_^