08/10/2020

Hari Senin

Jika Jum’at adalah rajanya hari, maka Senin adalah hari yang ingin dihindari.
 
Betapa tidak? Jum’at mendekatkan kami pada libur dan berleha-leha. Sedangkan Senin, justru memutus santai dan memberangusnya, menjauhkan keadaan itu sejauh-jauhnya.
 
Mulai dari bangun tidur yang lebih pagi, jengah disiram air dingin dari bak mandi. Lanjut ribut karena baju seragam belum disetrika, ditambah panik karena PR yang terlupa. Tak cukup, kian kalang kabut ketika kaos kaki cuma ketemu sebelah, kemudian tergopoh-gopoh pergi ke sekolah.
 
Keluar rumah, jalanan becek menyambut. Kaki terbirit-birit berlari, tangan melambai-lambai menyetop angkutan. Harus cepat, lantaran rebutan dengan buruh dan karyawan. Manusia dijejal-jejal pak sopir seperti karung sayuran. Betapun sudah terbilang sesak di dalam, sang sopir tetap saja teriak-teriak “ayo, masih kosong! Masih kosong!”.
 
Sungguh sebuah pembodohan publik yang dilegalkan.
 
Aku pun menggerutu, bukan hanya karena dijejal-jejal, melainkan lantaran macet yang bikin tersengal. Raut kesal terpampang jelas di semua wajah penumpang. Seolah yang kesal pada hari Senin bukan hanya kami, melainkan seantero jagat raya bumi.
 
Belum lagi harus berlama-lama berdiri mengikuti upacara, terkena razia, pidato ini, wejangan itu, bla bla bla. Ah! Hari Senin sungguhlah melelahkan. Padahal, lihat! Waktu baru menunjuk jam delapan kurang!
...
 
Upacara belumlah selesai, namun matahari sudah terasa menyengat dan menyilaukan. Topi yang kami pakai, sudah tentu tak akan mampu melawan matahari sebesar itu. Disusul gerah yang melanda, dan keringat sebesar bulir jagung menyeruak begitu kentara. Menjadikan seragam yang baru dicuci berubah terkontaminasi. Keringat tersebut nampak jelas di area punggung, ketiak, serta leher baju. Beradu bau dengan aroma pewangi yang disemprotkan kala menyetrika.
 
Ah, jika pagi hari sudah sepanas ini, seratus kali semprot pun tak akan berarti melawan bau keringat yang membanjiri.
...
 
Bendera telah berkibar di pucuk tertinggi, giliran inspektur upacara yang berbicara. Wajah-wajah siswa terlihat lelah, kian membuncah perasaan pegal dan gerah. Momen pidato dalam upacara memang selalu menjadi yang terlama. Rasa bosan dan jengah akan hinggap dengan mudahnya.
 
Para siswa menghela nafas pasrah. Merasa bahwa upacara ini akan terjadi ‘selamanya’. Satu dua dari mereka mulai berpikir untuk pura-pura pingsan saja. Mengadu pada petugas PMR yang berjaga, biar bisa nyaman merebahkan badan di ruang UKS sana.
 
Tak lama, seorang bapak berpeci hitam melangkah ke arah podium. Penampilannya sederhana, setelan rapih baju safari berwarna abu, dengan empat saku di bajunya. Terlihat jelas, Beliau berusia lebih tua dibanding bapak kepala sekolah. Meski demikian, sosoknya tak kalah gagah, garis wajahnya bijaksana, seakan seluruh tantangan dunia telah sukses dihadapinya.
 
“Duh, masih lama gak ya?” bisik seorang kawan, wajahnya sudah memerah, berkeringat dan kepanasan.
 
Aku menggeleng, dalam hati menanyakan hal yang sama.
 
Tanpa disangka, Bapak berpeci hitam ternyata tak berpidato di atas podium yang teduh. Beliau menyambar tiang microphon, kemudian membawanya turun ke lapangan rumput.
Iya, lapangan yang sama tempat kami berpanas-panasan!
 
“Ha?” lirih kawan disamping, menatap tak percaya. Pun semua siswa, melihat tindakan Bapak berpeci hitam dengan hati yang tersentuh dan bangga. 
 
Rasa-rasanya, baru kali ini inspektur upacara memilih kepanasan bersama peserta. Di upacara yang selevel negara saja, inspektur justru duduk nyaman di kursi yang empuk. Jauh berbeda dengan para peserta yang rapih berbaris, nyaris tanpa bergerak.
 
Di sini, dibawah sengatan panasnya sang surya, Bapak tersebut memulai pidatonya dengan suara yang bersahaja. Kami semua terdiam, takjub, khusyuk mendengarkan wejangan-wejangan dari beliau. Perihal Skill, Knowledge, yang harus disupport dengan Attitude. Beliau menyampaikan segalanya dengan jelas, sedikit guyonan bahasa sunda, ditambah beberapa kalimat bahasa inggris yang diucapkan dengan fasih. Kesemuanya itu langsung membuat kami kian berdecak kagum pada sosoknya.
 
Lupakan perihal panas yang mendera, abaikan tentang pegal yang terasa. Motivasi yang dilantangkan Bapak berpeci hitam seolah membakar semangat hingga membara. Wejangan yang dihembuskan Beliau seperti angin sepoi yang menghanyutkan jiwa.
 
Siapa? Siapa beliau sebenarnya?
 
Selidik punya selidik, Bapak berpeci hitam ternyata dulunya adalah seorang Marinir. Yang pada suatu waktu tiba-tiba memutuskan menjadi guru. Melepas seragam dan senapan, menggantinya dengan baju safari dan buku-buku. Ya, sebutir peluru mungkin mampu menembus sebuah kepala. Namun sebuah ilmu, sangat mungkin menembus ribuan kepala.
...
 
Jika Jum’at adalah rajanya hari, maka Senin adalah hari yang memiliki memori. Karena di Senin itulah hari pertamaku bertemu dengan Bapak berpeci hitam. Pertemuan yang penuh kesan, sosok yang sulit untuk dilupakan. Wejangan-wejangannya akan selalu terkenang, betapapun kini beliau sudah berbeda alam.
 

 

No comments:

Post a Comment