Kokok ayam sudah berlalu sedari tadi. Bulatan mentari sudah tertampak
memulai hari. Sinarnya bahkan sudah tiba di celah jendela serta kisi.
Seharusnya, para anak adam juga sudah berkegiatan dengan rutinitasnya
masing-masing. Mencuci, membersihkan rumah, pun memasak untuk sarapan pagi.
Demikian juga dengan anak-anak sekolah, setidaknya sudah bersiap dengan
pelajaran di hari ini. Mengecek ponsel, memeriksa pemberitahuan dari guru lewat
grup WA resmi.
Sayangnya, Zahdan kecil malah memilih kembali meringkuk di balik selimut.
Usai sholat shubuh tadi, anak itu tak lantas bermain robot seperti biasanya.
Pun tak lantas mandi dan mengenakan seragamnya. Alih-alih berseka, Zahdan malah
menguap, lalu merebahkan kepalanya di bantal bergambar bintang. Kedua matanya
rapat dipejamkan.
“Lho, Zahdan. Kenapa malah tidur lagi? Kan hari ini ada zoom meeting.
Zahdan gak siap-siap mandi terus pakai seragam?” tanyaku, sembari sibuk
menyiapkan perangkat modem andalan. Jika modem ini tidak siap, anak-anak nanti
akan kesulitan belajar daring.
Zahdan tak menjawab, kedua matanya melamun menatap langit-langit kamar,
lalu kembali terpejam.
Aneh, biasanya Zahdan selalu bersemangat setiap bangun pagi. Rasanya tadi
malam pun jam delapan sudah tidur. Durasi istirahatnya tidak bisa dikatakan
kurang.
Merasa ada sesuatu yang janggal, aku menghampirinya. Yang dihampiri malah
membenamkan kepalanya sendiri ke bawah bantal.
“Euh.. malah ngumpet. Nanti bu gurunya nungguin geura! Nanyain, kemana ya
Zahdan? Apa masih tidur ya?” kataku.
Zahdan tak bereaksi.
“Em, terus, kalo Zahdan nya gak ada, gak ngerjain tugas, nanti Zahdan gak
akan dapet bintang dari bu guru atuh” lanjutku.
Zahdan pelan mengeluarkan kepalanya, kedua matanya mengerjap-ngerjap malas.
“Kenapa? Zahdan sakit?” tanyaku, sembari meraba keningnya yang tak panas.
Zahdan menggeleng.
“Nafasnya sesek?” tanyaku lagi.
Zahdan kembali menggeleng.
“Mimpi ketemu monster?”
“Mimpi dikejar Zombie?”
“Atau mimpi ketemu sama alien?” godaku.
Zahdan makin menggeleng kencang.
“Nggak, Abii! Zahdan tadi malem mah nggak mimpi!” Zahdan akhirnya membuka
suara.
“Ooh! Terus kenapa atuh?” Aku menyelidik.
Zahdan terdiam sejenak, lalu bertanya balik.
“Abi, hari ini Zahdan sekolahnya zum miting lagi?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Iya, Zahdan. Kemaren kan bu guru sudah ngasih tahu lewat WA. Kemaren juga
Zahdan sudah dapet bintang sama jempol, katanya Zahdan hebat sudah ngejawab pertanyaan-pertanyaan
dari bu guru” paparku.
Zahdan kembali terdiam. Ini adalah kejanggalan kedua, karena dulu, Zahdan
biasanya kerap bertanya sudah berapa bintang yang ia dapat. Berapa jempol yang
diberi bu guru. Jumlahnya kemudian dibandingkan dengan total bintang yang
diraih oleh teman-temannya.
Tapi akhir-akhir ini, Zahdan tampak tak terlalu peduli dengan perolehan
bintang. Malahan, semangatnya terlihat berkurang kala mengikuti pembelajaran.
Harus duduk, menatap layar gadget selama satu jam. Betapapun kata ‘hebat’
disematkan, -mungkin karena terlalu sering didengar-, maknanya kian hambar
dirasakan.
Usut punya usut, Zahdan ternyata tengah merasa jemu. Iya, jemu! Jemu serupa
seperti yang kita semua rasakan. Jemu terhadap dibatasinya interaksi, jemu
lantaran tiadanya kerumunan. Pandemi ini memang sungguh telah membatasi banyak
sekali ruang. Dan semua pihak telah berusaha keras untuk terus beradaptasi
dalam menjalankan peran. Guru, murid, pedagang, karyawan, sebisa mungkin terus
berimprovisasi menunaikan fungsi.
Bagi anak ekstrovert semacam Zahdan, sudah tentu hal ini memunculkan
kendala. Karena baginya, keramaian adalah bahan penggerak utama. Komunikasi
dengan orang banyak, adalah penumbuh semangat dan sumber bahagia.
Berbeda dengan Ziya, yang tampaknya enjoy-enjoy saja belajar daring. Duduk
sendirian di pojok belajar, berkata satu dua melalui headset yang dipakai,
banyak-banyak mencatat serta menggambar. Bagi anak introvert, ini mmang
dunianya. Lihat, Ziya bahkan jarang sekali bertanya, jadwal belajarnya sudah Ia
pampangkan jelas di dinding kamar.
Ah, jemu bisa melanda siapa saja. Termasuk Zahdan dan karakter cerianya.
Orang tua mau tidak mau harus terus memunculkan hal yang baru.
...
“Zahdaan.. iih, lihat ini kutunya meni banyak!” ujar Umminya, ketika tengah
menyisiri rambut Zahdan.
Yang disisiri hanya terkekeh, rambutnya memang sudah cukup panjang menutupi
mata, tak heran jika kutu doyan sekali beranak pinak disana.
“Ambil kutunya satu Zahdan, kita lihat pakai mikroskop kertas!” ajakku.
Zahdan langsung terperangah, segala sesuatu yang baru memang kerap membuat
antusiasnya membuncah.
“Mi..kroskop kertaas? Iya Abi, siap! Zahdan ambilin kutu yang paling gede
ya!” katanya, penuh semangat.
Singkat cerita, sample kutu sudah disisipkan di foldscope (mikroskop
kertas). Bagian depannya disambungkan pada lampu flash dari ponsel, membuat
tampilan sample menjadi terpampang besar di dinding. Zahdan menatap hampir tak
berkedip, Ia berdecak sekaligus bergidik.
“Abi, itu teh kutu Zahdan?”
“Itu kakinya ada enam, Abi!”
“Ha? Itu yang bergerak-gerak apa? Ja.. jantungnya? Iya, ya? Itu teh
jantungnya kutu Zahdan ya? Hiii....”
Aku mengangguk mengiyakan. Menggeser-geser posisi sample agar bagian
jantungnya makin terlihat lebih jelas oleh Zahdan.
“Zahdan mah janji mau rajin mandi sama pakai shampo ah, gak mau ada kutu
lagi di kepala Zahdan!” tegasnya.
Mudah-mudahan, tema jantung kutu ini bisa menghapus jemu Zahdan selama
beberapa hari ke depan.