“Zahdan mau sekolah?” tanyaku, suatu kali.
“Mauuu!!!” teriak Zahdan, spontan.
Zahdan memang sudah seringkali melihat anak-anak seusianya
bergerombol dengan memakai baju seragam berwarna cerah, dan
masing-masing dari mereka membawa tas kecil lucu di punggungnya. Ia tahu
pasti bahwa di tas itu ada banyak benda-benda keren. Katakan saja
buku-buku, pensil, crayon warna-warni, bekal makanan, susu kotak, serta
beberapa mainan. Tak heran jika Zahdan, kian terbersit untuk bisa
bersekolah juga seperti mereka.
Usia Zahdan tahun ini adalah Lima, waktu yang lumayan tepat untuk
masuk TK A. Dengan prediksi TK A di usia 6 tahun, dan kelak bisa masuk
SD Kelas 1 di usia 7 tahun. Kami tak ingin membiarkan Zahdan masuk SD di
usia 6 tahun seperti kakaknya, karena ada kekhawatiran setelah selang
beberapa tahun Ia akan merasa jenuh terus menerus bersekolah, lantaran
merasa tak puas bermain di masa kecilnya.
Alhasil kami sibuk mencari-cari sekolah yang cocok untuk Zahdan,
bertanya kesana kemari, searching di google mengenai sekolah-sekolah TK
yang ada di kota ini. Berharap satu diantaranya adalah tempat terbaik
bagi Zahdan dalam mengenal dunia sekolah.
“Zahdan, sehabis antar ka Ziya, Insya Allah kita jalan-jalan sambil
cari sekolah buat Zahdan. Nanti, dipilih ya, Zahdan maunya sekolah di
sekolah yang mana!” kataku.
“Asyiiik.. Siap Pa Abi!!” jawab Zahdan, terlihat begitu senang.
Selang beberapa lama, Kami tiba di sekolah TK yang pertama. Areanya
luas dan bersih, taman bermainnya lebih berupa playground, lengkap.
Muridnya banyak, teramat banyak malah. TK A nya saja ada lima kelas,
dengan masing-masing kelas berjumlah maksimal 25 siswa, didampingi oleh
dua orang guru. Disana, Zahdan berlari-lari di taman bermain. Ia senang
memanjat tangga, bermain seluncur, serta masuk ke terowongan kecil.
“Abiii, sekolahnya luas ya? Tempat mainnya banyak. Zahdan mah mau disini ah!” kata Zahdan.
Aku hanya tersenyum, menimbang-nimbang kelebihan dan kekurangan yang kurasa di sekolah tersebut.
Kekurangan? Tentu saja. Tak bijak rasanya jika menilai sebuah sekolah
hanya dari kelebihannya, atau hanya dari fasilitasnya saja. Ada banyak
faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan seorang anak saat bersekolah.
Contohnya, di sekolah ini ada sesuatu yang kurasa janggal. Yang kulihat
pertama kali, sebelum anak-anak masuk kelas, mereka harus duduk
berbaris. Menuruti “komando” dari gurunya. ‘Diam’ artinya para siswa tak
bersuara, memangku kedua tangannya seolah ada meja. Raut wajah mereka
datar, tak ada sedikitpun riang-riangnya, seperti raut wajah orang
dewasa saja. Ngeri sekali melihatnya
Kedua, sejak masuk gerbang sekolah tersebut, tak ada satu guru pun
yang mendekat dan menyapa Zahdan. Mereka seperti orang dewasa yang tak
terlalu suka dengan anak-anak. Padahal di sekolah Ziya dulu, para
gurunya ramah sekali kepada anak-anak, tak pernah sungkan menyapa anak,
meski anak yang tak dikenal sekalipun. Hal tersebut tentu akan membuat
anak merasa nyaman berada dekat dengan mereka.
“Abi, Zahdan sekolah sekarang?” tanya Zahdan.
“He.. ya nggak atuh Zahdan. Kita kan mau lihat dulu sekolah yang kedua” jawabku.
Zahdan terperangah, mungkin dalam benaknya bertanya-tanya, memangnya
ada berapa banyak sekolah buat Zahdan. Namun anak kecil berponi itu
mengangguk juga, dari ekspresinya Ia terlihat sudah sangat ingin
bersekolah. Entah, mungkin supaya sepulang ke rumah nanti Zahdan bisa
bercerita pada teman tetangganya, bahwa Ia sudah sekolah. Hm.. Tampaknya
bersekolah adalah hal yang sangat keren dalam fikirannya.
***
TK kedua, sebuah sekolah yang berjarak cukup dekat dari rumah.
Areanya jauh lebih kecil dibanding TK yang pertama. Taman bermainnya
hanya dua ayunan dan sebuah seluncuran saja. Muridnya? Jangan tanya,
satu kelasnya tak lebih dari 8 atau 10 orang. Sedikit sekali memang,
hingga membuatku sempat khawatir tipe ekstrovert seperti Zahdan
tak akan kerasan. Namun, Gurunya tiba-tiba datang menyambut, mengajak
Zahdan bermain bersama siswa-siswa yang lain. Zahdan bebas berlari
kesana kemari mengeksplorasi setiap sudut sekolah tersebut. Bahkan
Zahdan dibuatkan pula mainan pesawat terbang dari bahan stick es krim.
Anak berponi itu senang bukan kepalang, Ia berulang kali menunjukkan
pesawat itu padaku.
“Abii.. lihat!! Zahdan dibikinin pesawat! Bagus ya Abi?” katanya.
Aku mengangguk mengiyakan. Sementara Umminya masih asyik mengobrol
dengan seorang guru, berbicara masalah beban-beban yang didapati
anak-anak seusia Zahdan di sekolah. Ada sekolah yang menuntut para
siswanya untuk lekas bisa membaca, bisa melafalkan kata-kata dalam
Bahasa inggris, dan patuh layaknya robot. Kasihan sekali.. Padahal Anak
seusia Zahdan masih memiliki kebutuhan untuk bermain, serta kebutuhan
untuk bersama orang tuanya. Jika Ia tak mendapatkan kebutuhan itu di
masa kecil, maka nanti setelah besar Ia akan menuntut balik pada kedua
orang tuanya. Tak jua dipenuhi, tantrumlah Ia.
“Abi besok kesini lagi?” tanya Zahdan, sesaat setelah diajak pulang ke rumah.
“Ya engga atuh Zahdan, besok mah kan hari Sabtu, sekolahnya juga tutup” kataku, sambil tertawa.
Zahdan ikut tertawa, lalu mengangguk mengerti.
***
TK ketiga, sekolah yang berkisar 300 meter dari TK kedua. Disana area
sekolahnya sedikit lebih luas. Taman bermainnya lebih bagus, muridnya
juga lumayan banyak. Tak heran, sekolah itu adalah sekolah negeri, biaya
masuknya pasti lebih murah dibanding yang lain. Sayang, TK tersebut
lebih mengkhususkan diri untuk umum, kurikulum seputar hafalan surat dan
do’a-do’a tak terlalu dikedepankan. Padahal bagi seorang anak muslim,
hal tersebut sangatlah penting.
TK keempat, sedikit lebih jauh dari sekolah yang ketiga. Dan karena hari sudahlah siang, kami kesana hanya sebentar saja.
***
Besoknya, Aku masih menyempatkan diri mengunjungi TK kelima. Sebuah
sekolah yang berada di pinggir jalan raya. Tempatnya lumayan luas, ada
area taman, gazebo, kolam, juga jembatan kecil yang indah.
Sekelilingnyapun terlihat bersih dan rapi, sepertinya yang punya sekolah
sangat teliti dalam memperhatikan hal ini.
Kami kesana tak lama, hanya berniat meminta brosur dan sedikit
melihat-lihat saja. Lagipula, waktunya bersamaan dengan gerbang sekolah
akan ditutup. Beruntung seorang Guru berbaik hati masih menerima kami.
Guru tersebut diikuti oleh anaknya, aktif sekali anak itu. Berlari-lari,
tak peduli meski Ibunya sedang kedatangan tamu.
Saat menjelaskan keadaan sekolah, tiba-tiba.. “SYUUUUTT” sebuah
sandal melayang hanya berjarak satu meter didepan wajahku. Pelakunya,
siapa lagi jika bukan anak aktif tersebut. Ibunya terlihat berang,
langsung memelototinya marah.
Aku tak peduli, namanya juga anak-anak. Zahdan juga sering melepas
sandalnya dengan cara dilempar. Hingga besoknya Ia kebingungan sendiri
saat mencari-cari sandal tersebut, dan barulah kuberi tahu, itu
akibatnya jika doyan melempar-lempar sandal.
Aku pura-pura berpaling memperhatikan hal yang lain, padahal melirik
pada mereka, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Guru tersebut.
Ternyata Ia langsung mendekati anaknya, lalu mencubit anaknya di bagian
belakang, sembari tetap memasang raut wajah ramah padaku. Hmph.. Aku
seketika merasa kasihan pada anak yang dicubit. Lebih merasa kasihan
lagi pada Ibu guru yang mencubit. Mungkin ini sinyal bahwa sekolah ini
tak cocok bagi Zahdan. Kami pun lekas memohon pamit dan bergegas pergi.
***
Di rumah, waktunya evaluasi. Aku bertanya pada Zahdan.
“Zahdan, jadi Zahdan teh mau sekolahnya di yang mana? Kesatu, kedua, ketiga, keempat atau kelima?” tanyaku.
Yang ditanya mengernyit sesaat, lalu langsung menjawab.
“Zahdan mah mau di yang kedua aja ah. Disana mah Ibu gurunya baik, udah bikinin pesawat buat Zahdan” jawabnya.
Aku tersenyum, Zahdan sudah bisa memutuskan mana yang Ia sukai. Ia
tak melihat sesuatu dari kemewahan belaka, ada faktor berbeda yang bisa
Ia temukan dalam sesuatu yang sederhana. Yang pasti, di usia hampir lima
tahun ini, Zahdan mendapat pengalaman berarti, yakni belajar
menganalisa sendiri. Ia mengumpulkan opsi-opsi, lalu memutuskan mana
yang ingin Ia jalani.
Zahdan, dimanapun sekolahmu, berusaha saja yang terbaik dalam menimba
ilmu. Tak penting berapa tinggi target dalam kurikulum itu, tak penting
pula angka dan nilai dalam raportmu. Yang penting bagiku hanyalah,
apakah Kau pulang sekolah dengan riang di raut wajah, atau Kau pulang
dengan kentaranya rasa penat dan lelah. Dua hal itu sudah cukup dalam
menilai keren tidaknya sebuah sekolah.
Yang jelas, tak sabar rasanya ingin melihat Zahdan memakai seragam
sekolah. Kau pasti akan terlihat keren Nak, berkali lipat terlihat
keren. ^_^
No comments:
Post a Comment